Anda di halaman 1dari 11

MUHAMMAD ALIFF BIN SHAM

D16309271
990619036417
Diploma perbankan dan kewangan islam (DBKN)

Biografi Imam Malik dan dasar-dasar pengambilan hukum.


a. Awal kehidupan
Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-asybahi al-
araby al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M). Ayahnya berasal dari
kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama Aliyah binti syuraik dari kabilah
Azdi. Kakek imam Malik datang berhijrah ke negeri Madinah setelah Rasulullah wafat, beliau
merupakan seorang pembesar tabiin, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah. Imam malik tidak
pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji sampai beliau
wafat pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun 179 H dalam usia 87 tahun.
b. Guru-guru Imam Malik
Imam malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya
Abdurrahman bin Hurzum, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-zuhry, Abu Az-zanad,
Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Said, dan Rabiah bin Abdirrahman.
c. Murid-murid Imam Malik
Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa sesudahnya. Berikut ini
adalah murid-muridnya yang menjadi fuqaha dan ahli hadits:
Yang berasal dari Mesir antara lain: Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-
Quraisyi, Abu Abdillah bin Qosim Al-Ataqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-Amiry Al-jady,
Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin Ayun bin Al-Laits, Ashbah bin Alfaraj Al-
Amawi, Muhammad bin Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-
Maruf bin ibni Mawaz.
Yang berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: Abu Abdillah Ziyad bin
Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Maruf bisyabtun, Isa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya bin Yahya
bin Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami.
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang
pada:
a. Al-Quran
Dalam memegang Al-Quran ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash
Al-Quran atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan
memperhatikan illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang
dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Quran. Apabila dalil syariy menghendaki adanya
pentawilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti tawil tersebut. Apabila terdapat
pertentangan antara makna zahir Al-Quran dengan makna yang terkandung dalam sunnah,
maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Quran. Tetapi apabila makna yang dikandung
oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan
makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Quran (sunnah yang dimaksud
disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c. Ijma Ahl al-Madinah
Ijma ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma ahl al-Madinah yang asalnya dari al-
Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma
semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang
dimaksud dengan ijma ahl al-Madinah tersebut ialah ijma ahl al-Madinah pada masa
lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan
kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah.
Ijma ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum
muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad,
sebab ijma ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jamaah, sedang khabar ahad
hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka
terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud
dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut
Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang
dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat
tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu yang dapat diamalkan dan fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika
khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh
dalil-dalil lain yang qathiy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu
konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad
itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap
sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.
Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi
ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: Menurut hukum dengan mengambil maslahah
yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud
mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak
berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan
pertimbangannya pada maksud pembuat syara secara keseluruhan. Dari tarif tersebut,
jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juziyyah atau maslahah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering
dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih
kuat dilihat dari tujuan syariat diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut
qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata
akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan
qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada
akibat negatif. Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan
sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan
hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat
atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu
kembali kepada memelihara tujuan syariat diturunkan. Tujuan syariat diturunkan dapat
diketahui melalui Al-Quran, sunnah atau ijma.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan
beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama,
bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar
maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma.
h. Sadd Al-Zarai
Imam Malik menggunakan sadd al-Zarai sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang,
hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang
halal, halal pula hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab
adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang,
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah
dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini
adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula
sebaliknya.
j. Syaru Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syaru
man qablana syarun lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa,
tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian.
Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Quran dan sunnah shahihah mengisahkan
suatu hukum yang pernah diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang
diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Quran
dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.
Biografi Imam SyafiI dan dasar-dasar pengambilan hukum
a. Awal Kehidupan
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafii,
nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf.Imam
Syafii lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza, tidak lama kelahiran beliau, ayah
beliau wafat. Ibu beliau bernama Fatimal al-Azdiyah, salah satu kabilah di Yaman. Imam
Syafii kecil memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hapalan yang luar
biasa. Beliau pernah berkata: Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-
ayat Alquran, maka aku langsung menghapalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum
selesai guruku membacakannya kepada kami, aku telah menghafal seluruh apa yang
didiktekannya. Maka dia berkata kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas
mengambil bayaran dari kamu sesen pun. Imam Syafii amat gemar mengembara,
khususnya bertujuan menuntut ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada
Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H.
pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafii didatangkan ke
Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan.
Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-
Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru beliau. Tak lama
berada di Baghdad, Imam Syafii kembali ke Mekkah al-Mukarramah, dengan membawa
ilmu ahl rayu, yang dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi
dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke
Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fikih. Tidak lama di Baghdad, beliau
melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. tak lama
setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H, beliau menghembuskan nafas
terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga
terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana
dan kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain
itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.
b. Guru-Guru Imam Syafii
Imam Syafii merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl rayu dan ahl hadis (Kufah
dan Madinah), di Kufah Imam Syafii menimba ilmu kepada Muhammad Ibn al-Hasan al
Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah,
beliau belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis.
Selain itu, beliau juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun
ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafii yaitu :
1) Mutharaf Ibn Mazim
2) Hisyam Ibn Yusuf
3) Umar Ibn Abi Salamah
4) Yahya Ibn Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafii belajar kepada beberapa ulama antara lain:
1) Sufyan Ibn Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3) Said Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn Abdurrahman al-Aththar
5) Abdul Hamid Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6) Ibrahim Ibn Abi Said Ibn Abi Fudaik
7) Abdullah Ibn Nafi.
Selain dua fikih di atas (aliran rayu dan hadis), Imam Syafii juga belajar fikih aliran al-Auzai
dari Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya Ibn Hasan.
c. Murid-Murid Imam Syafii
Imam Syafii mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam alirannya. Yang
paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafii ini antara lain :
1. Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir pada tahun 185
H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis. Saat Imam Syafii
datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani menemuinya dan belajar fikih kepadanya. Al-
Muzani dianggap orang yang paling pandai, serdas serta yang paling banyak menyusun kitab
untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H. adapun kitab karangan beliau antara
lain al-Jami al-Kabr, al-Jami a-agir, serta yang terkenal al-Mukhtaar a-agir.
2. Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Yaqub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari Bani Buwait
kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafii yang
tertua bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus Imam Syafii, sepeninggalnya.beliau
belajar fikih dari Imam Syafii dan mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin
Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafii merupakan sandarannya dalam berfatwa serta
pengaduannya apabila diberikan satu masalah padanya. Beliau selalu menghidupkan malam
dengan membaca Alquran dan shalat serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan
berdzikir kepada Allah. Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena
tidak menyetujui paham Mutajilah yang merupakan paham resmi negara saat itu, tentang
kemakhlukan Alquran. Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaar al-Kabr, al-
Mukhtaar a-agir dan al-Faraid dalam aliran Imam Syafii menjadi satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafii yang lain, yaitu ar-Rabi Ibn Sulaiman al-
Marawi, Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul ala as-Sadafi, Ahmad
Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn
Hanbal, Hasan Ibn Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan
Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Zafarani.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafii dalam Istinb hukum,
antara lain :
1. Alquran dan sunnah
2. Ijmak
3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafii, seperti yang dikutip DR. Jaih
Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut : rujukan
pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Alquran dan
sunnah, hukumnya ditentukan dengan qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih.
Ijmak diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir.
Apabila suatu lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih
diutamakan.hadis munqati ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh
diqiyaskan kepada al-asl. Kata mengapa dan bagaimana tidak boleh dipertanyakan
kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafii menggunakan lima
sumber, yaitu:
1. Nash-nash
baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain
keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat,
tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafii menempati urutan
setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu
zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syari dengan bersandar kepada dalil. Adapun
ijmak pertama yang digunakan oleh imam Syafii adalah ijmaknya para sahabat, beliau
menetapkan bahwa ijmak diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila
mmasalah yang sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak
adahujjah padanya.
3. Pendapat para sahabat.
Imam Syafii membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah
disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang
tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam
keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak
ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafii tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam
Syafii akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak,
atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat
baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafii menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam untuk
mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak
menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih
dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang
mujtahid.
5. Istidlal.
Imam Syafii memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak menemukan
hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal yang diakui oleh imam
Syafii adalah adat istiadat (urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam
(istishab). Namun begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh
imam Syafii sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafii.[12]
6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafii menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul Jadid. Kaul
Qadim adalah pendapat imam Syafii yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Kaul
Jadid adalah pendapat imam Syafii yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau
belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl
al-ray. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafii dan berhasil
dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Zafarani, dan Abu Tsaur. Setelah
tinggal di Irak, imam Syafii melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di
Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat
imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits.
Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafii mengubah beberapa pendapatnya yang
kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafii
yang bercorak rayu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a. Air yang terkena najis.
Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah
ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak berubah.
Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah
ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.
b. Zakat buah-buahan.
Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan lama.
Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c. Membaca talbiyah dalam thawaf.
Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Kaul Jadid: tidak
sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf
Biografi imam Hanbali dan dasar-dasar pengambilan hukum

a. Awal kehidupan
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah
keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota bagdad.
Ia adalah Abu aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-
Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar bin
Maad bin Adnan. Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal,
maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.

b. Pendidikan Ibnu Hanbal


Ibnu Hanbal hafal Al-Quranul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan
menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada
Abu yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan
fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh
Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang
berpendapat bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya
adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat
pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah
bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam SyafiI adalah salah satu
guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa SyafiI merupakan guru kedua
dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan Ahmad
bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan SyafiI. ia juga berguru
kepada Ibrahim bin Saad, Yahya Al-Qathan, Waki juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah
(pengganti Imam Malik).
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan
hukum adalah:

1. Nash dari Al-Quran dan Sunnah yang shahih.

Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Quran dan dari Sunnah Rasul yang
shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
2. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Quran maupun dari hadits
shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat,
maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan
Sunnah.

3. Hadits Mursal dan Hadits Dhaif


Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan
hadits mursal dan hadits dhaif. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya
dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dhaif.

4. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits
dhaif, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan
dalam keadaan dharurat (terpaksa)

5. sadd al-dzarai
yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.

Anda mungkin juga menyukai