Anda di halaman 1dari 4

FIQH SOSIAL*

Istilah Fiqh Sosial (Fiqh al-Ijtimiyyt) memang tergolong baru dan belum dikenal
dalam khazanah keilmuan fiqh klasik. Secara etimologis, istilah ini dapat memiliki dua arti:
1. Fiqh Sosial dalam arti antonim dari Fiqh Individu (Fiqh al-Infirdiyyt). Sehingga ia
dapat berarti aturan fiqh terkait persoalan-persoalan yang menyangkut banyak orang
secara berkelompok atau berjamaah.
2. Fiqh Sosial dalam arti aturan-aturan fiqh terkait persoalan-persoalan yang terjadi dan
selalu berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat, seperti pelestarian lingkungan
hidup, ekonomi syariah, penanggulangan tindak pidana korupsi, kontra-terorisme dan
radikalisme, kesetaraan gender, konsep demokrasi (syr), dan lain-lain. Dalam arti
kedua ini, Fiqh Sosial selalu berkembang dan dapat masuk ke dalam berbagai cabang
keilmuan fiqh yang telah termaktub dalam literatur-literatur fiqh klasik, seperti Fiqh
Mumalt (hukum bisnis), Fiqh Munkaht (hukum keluarga), Fiqh Jinyt (hukum
pidana), Fiqh Siysah (politik-pemerintahan), dan seterusnya.
Fiqh Sosial berangkat dan berkembang dari teori Maqs}id al-Syarah (tujuan-tujuan
syariah) yang secara substansial berarti jalan untuk menuju kemaslahatan. Menurut Imam al-
Syt}ibiy, Maqs}id al-Syarah dapat dilihat dari dua sudut pandang (perspektif). Pertama,
dilihat dari perspektif Maqs}id al-Syri (tujuan Tuhan). Kedua, dari perspektif Maqs}id al-
Mukallaf (tujuan hamba yang menjadi target hukum). Dilihat dari perspektif Maqs}id al-
Syri, Maqs}id al-Syarah mengandung empat aspek, yaitu:
1. Tujuan utama dari al-Syri dalam menetapkan syariah, yaitu untuk kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat.
2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Sedangkan dilihat dari Maqs}id al-Mukallaf, secara garis besar Maqs}id al-Syarah
dapat diartikan sebagai niat yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf dalam bertutur-kata
dan bertindak-tanduk dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga semua itu dapat berjalan seiring
dengan kehendak Tuhan (Maqs}id al-Syri). Sebab tanpa adanya kejelasan tentang
Maqs}id al-Mukallaf, maksud suatu perbuatan manusia akan sangat sulit dibedakan. Apakah
berupa kewajiban atau kesunnahan, apakah untuk ibadah atau pamer, dan seterusnya.
Syaikh Wahbah al-Zuh\ailiy berpendapat bahwa Maqs}id al-Syarah berarti menjaga
lima komponen pokok dalam kehidupan yakni: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima
komponen ini harus diterapkan secara bertahap sesuai tingkat urgensinya, dimulai dari:
1. D{arriyyt (kebutuhan primer), yaitu hal-hal yang menjamin keberlangsungan hidup
umat manusia, baik yang berkaitan dengan urusan duniawi maupun berkaitan dengan
2

urusan agama, sehingga apabila hal-hal d}arriyyt ini tiada, maka kehidupan manusia
di dunia akan binasa, begitu pula kehidupan manusia di akhirat juga penuh siksaan.
Bentuk nyata d}arriyyt ini adalah dengan menjaga lima komponen pokok di atas.
2. H|jiyyt (kebutuhan sekunder), yaitu segala hal yang berfungsi untuk menghilangkan
kesulitan dan kesengsaraan dalam kehidupan manusia. Jika kemaslahatan h\jiyyt ini
tiada, maka keberadaan manusia dapat berlanjut dan tidak akan binasa, tetapi penuh
dengan kesulitan dan kesengsaraan.
3. Tah\sniyyt, yaitu hal-hal yang bertujuan melengkapi dan memperindah kehidupan
manusia, sebagai contoh: memakai perhiasan dan pakaian yang rapi ketika bepergian,
mengkonsumsi makanan-minuman yang lezat, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh ilustratif, ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilaksanakan bagi setiap mukallaf dan jika ditinggalkan dapat berakibat fatal bagi kehidupan
akhirat kelak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ibadah haji tergolong kategori D{arriyyt,
karena mengandung unsur proteksi terhadap agama (hifz}u al-dn). Untuk menunaikan ibadah
haji dengan lancar, tentu dibutuhkan fasilitas pendukung berupa kendaraan yang layak sesuai
tempat tinggal yang bersangkutan, seperti pesawat terbang. Sehingga keberadaan pesawat
terbang tergolong H|jiyyt, karena tanpa pesawat terbang ibadah haji tetap dapat terlaksana
tetapi penuh kesulitan. Sedangkan memilih maskapai Garuda Indonesia Airways atau Saudi
Arabia Airlines adalah Tah\sniyyt, karena hanya merupakan pilihan maskapai penerbangan
dan tidak berpengaruh apapun bagi pelaksanaan ibadah haji.
Contoh lain, manusia butuh makan dan minum untuk bertahan hidup di muka bumi,
sehingga keberadaan makanan dan minuman tergolong D{arriyyt. Untuk alasan kesehatan,
bahan makanan dan minuman tersebut harus diolah serta dimasak terlebih dahulu, sehingga
keberadaan alat memasak tergolong H|jiyyt, karena jika alat memasak tiada maka dapat
mempersulit manusia dalam mencerna makanan. Sedangkan memilih untuk memasak dengan
kompor gas, kompor listrik, atau tungku adalah tergolong Tah\sniyyt.
Para Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi tujuan turunnya wahyu Allah tentang
sistem hukum Islam. Pertama, pendapat Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa tujuannya
adalah dalam rangka mencapai keadilan (al-'adl). Pendapat kedua menyatakan bahwa tujuan
syariah adalah untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Pendapat ketiga, yang dikemukakan
oleh Imam al-G|azliy, bahwa tujuan syariah adalah untuk mencapai serta merealisasikan
manfaat dan semua kepentingan (mas}lah\ah) yang begitu banyak untuk semua umat
manusia.
Maqs}id al-Syarah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah menjaga
lima aspek yang sangat vital dalam kehidupan. Kelima aspek itu adalah memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Sedangkan hubungan antara Maqs}id al-Syarah dengan
kemaslahatan adalah simbiosis-mutualistis. Artinya, segala sesuatu yang bertujuan untuk
3

menjaga Maqs}id al-Syarah disebut maslahat. Sebaliknya, segala sesuatu yang mengarah
kepada pelecehan Maqs}id al-Syarah disebut mafsadah. Maqs}id al-Syarah selalu
sejalan beriringan dengan maslahat. Di mana ada Maqs}id al-Syarah, maka di situ terdapat
pula maslahat. Simbosis ini berangkat dari tujuan syariah itu sendiri, yakni untuk menjadikan
kehidupan manusia diliputi kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Maqs}id al-Syarah sendiri memiliki dua peran. Selain berperan sebagai metode,
yakni sebagai pisau analisis atau kacamata untuk membaca kenyataan yang ada di sekeliling
kita, Maqs}id al-Syarah juga berperan sebagai doktrin, yakni berarti bermaksud mencapai,
menjamin, dan melestarikan kemaslahatan umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itu
dicanangkanlah tiga skala prioritas di atas, yakni D{arriyyt, H|jiyyt dan Tah\sniyyt.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Maqs}id al-Syarah memiliki prinsip
proteksi terhadap lima komponen dasar dalam kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan. Tetapi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, serta tuntutan
zaman dan keadaan, sebagian pakar fiqh (fuqah) berpendapat bahwa komponen primer yang
harus ada dan dilindungi dalam kehidupan umat manusia mencakup enam komponen, yaitu
ditambah komponen kehormatan (al-'ird}).
Ada pula pakar fiqh kontemporer yang berpendapat bahwa komponen dasar keenam
dalam kehidupan bukan kehormatan (al-'ird}), tetapi lingkungan hidup (al-b'ah), seperti yang
dikemukakan oleh Prof. K.H. Ali Yafie, dengan argumen bahwa al-'ird telah tercakup dalam
jiwa (al-nafs) yang di dalamnya terdapat tiga unsur, yaitu: nyawa (al-rh) dan raga (al-jism),
serta kehormatan (al-'ird) itu sendiri. Sehingga menurutnya, enam komponen dasar dalam
kehidupan manusia yang harus diproteksi, dan sebagaimana diakui oleh Maqs}id al-
Syariah, adalah mencakup perlindungan terhadap agama (hifz}u al-dn), perlindungan
terhadap jiwa (hifz}u al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifz}u al-'aql), perlindungan
terhadap keturunan (hifz}u al-nasl), perlindungan terhadap harta benda (hifz}u al-ml), serta
perlindungan terhadap lingkungan hidup (hifz}u al-b'ah).
Selain landasan filosofis berupa Maqs}id al-Syariah, Fiqh Sosial juga memiliki ciri-
ciri pokok yang menjadi acuan utama dalam menggagas, membingkai, mengembangkan serta
menerapkan Fiqh Sosial, yaitu:
1. Interpretasi (penafsiran) teks-teks fiqh secara kontekstual, yakni pola penafsiran yang
dahulu cenderung terpaku pada teori linguistik semata, dalam konsep Fiqh Sosial ini
beralih pada penekanan teori-teori sosial dan disesuaikan dengan kondisi faktual yang
terjadi di masyarakat.
2. Perubahan pola bermazhab, dari bermazhab secara qauliy (tekstualis-statis), menuju
bermazhab secara manhajiy (metodologis-dinamis). Artinya, pola bermazhab dalam
konsep Fiqh Sosial adalah mengikuti mazhab bukan dalam hal hukum atau aturan-
aturan baku yang termaktub dalam literatur-literatur fiqh klasik, tetapi mengikuti
4

mazhab sebatas metodologinya semata. Ibarat sebuah menu makanan, yang diikuti
bukanlah spesifikasi makanan yang telah ada tersebut, tetapi yang diikuti hanyalah
sebatas bahan baku dan peralatan yang digunakan dalam membuat makanan tersebut,
sehingga produk yang dihasilkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
3. Verifikasi ajaran, antara us}l (pokok) dan fur (cabang). Dengan verifikasi ini, dapat
diketahui bagian yang dapat dimodifikasi dan bagian yang harus tetap sesuai aslinya,
sehingga orisinalitas dan otentisitas ajaran Islam, termasuk fiqh, dapat dipertahankan
sekaligus disesuaikan dengan kebutuhan serta perkembangan zaman, waktu, keadaan,
dan kebutuhan masyarakat setempat.
4. Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif bagi suatu negara,
karena di dalam fiqh sendiri mengandung banyak perbedaan pendapat (ikhtilf) yang
tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum jika dipaksakan menjadi sebuah
sistem baku atau dikodifikasi menjadi hukum positif. Selain itu, akan timbul banyak
efek negatif akibat pemberlakuan fiqh sebagai hukum positif. Sehingga fiqh cukup
menjadi sebuah tatanan atau etika sosial yang ditaati dan dikontrol oleh masyarakat,
serta dikembangkan atau disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
5. Pengenalan dan penekanan metodologi filosofis, sebagaimana telah diuraikan di atas,
terkait hubungan antara Fiqh Sosial dengan landasan filosofisnya berupa Maqs}id al-
Syariah. Seluruh materi dan aturan dalam Fiqh Sosial bertujuan untuk memberikan
manfaat sebesar-besarnya, serta menghantarkan manusia pada kemaslahatan di dunia
hingga akhirat kelak. Sehingga aturan-aturan Fiqh Sosial yang dapat dijumpai dalam
berbagai cabang keilmuan fiqh tersebut dapat ditarik ke dalam cabang keilmuan baru
tetapi sekaligus dapat selalu berkembang, dinamis, elastis, responsif dan aplikatif.

*
Disusun oleh Nashihul Ibad Elhas, S.H.I., M.S.I. (Dosen LB pada IAIN Jember). Tulisan singkat ini
digunakan sebagai materi tambahan bagi mahasiswa Semester I Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Jember,
Tahun Akademik 2014/2015.

Anda mungkin juga menyukai