Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Asma merupakan penyakit saluran napas yang sering ditemukan, berpotensi
menjadi penyakit kronis yang serius dan memberikan beban pada pasien, keluarga, dan
komunitas.1 Gejala asma ditandai dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada
yang berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan
saluran pernapasan. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir
semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit
dari ringan sampai berat, bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.2
Penyakit asma menyerang 300 juta individu diseluruh dunia. Penyakit ini
merupakan masalah kesehatan global yang serius, melibatkan seluruh kelompok usia,
dengan peningkatan prevalensi terutama di negara berkembang. Menurut Global Initiative
for Asthma (GINA) prevalensi asma berkisar antara 1% hingga 18% di berbagai negara.
World Health Organization (WHO) mengestimasi setidaknya terdapat 15 juta disability-
adjusted life years (DALYs) yang hilang akibat asma, merepresentasikan 1% dari total
beban penyakit global.3 Di Indonesia sendiri, prevalensi asma adalah 3,5% pada tahun
2007 dan meningkat menjadi 4,5% di tahun 2013.2
Walaupun tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan asma secara total,
tatalaksana yang tepat dibutuhkan untuk mempertahankan gejala, aktivitas normal
termasuk berolahraga, fungsi pulmonal sedekat mungkin dengan normal, menghindari
efek samping obat, serta mencegah kematian akibat asma. Terapi jangka panjang dari
asma bertujuan mengontrol gejala dan mengurangi risiko agar beban pasien berkurang.
Selain itu komponen penting dari terapi asma lain adalah edukasi ke keluarga pasien serta
latihan untuk menangani eksaserbasi asma secara sederhana yang dapat dimulai sejak usia
dini, termasuk dengan menghindari faktor pencetus seperti allergen, infeksi, polutan, serta
obat-obatan.3
1.2. Tujuan
- Mengetahui definisi, epidemiologi, serta klasifikasi dari asma
- Mengetahui patofisiologi dari asma
- Mengetahui manifestasi klinis dan cara mendiagnosis asma
- Mengetahui tatalaksana dari asma
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Menurut GINA, asma merupakan inflamasi kronis dari saluran napas dimana
banyak sel dan elemen selular memegang peranan. Inflamasi kronis diasosiasikan dengan
hiperresponsivitas saluran napas yang menyebabkan episode rekuren mengi,
breathlessness, sesak, dan batuk terutama pada malam atau pagi hari. Episode ini biasanya
berkaitan dengan obstruksi saluran nafas yang bervariasi, umumnya reversible baik secara
spontan atau dengan pengobatan.3

2.2 Epidemiologi
Penyakit asma menyerang 300 juta individu diseluruh dunia. Penyakit ini
merupakan masalah kesehatan global yang serius, melibatkan seluruh kelompok usia,
dengan peningkatan prevalensi terutama di negara berkembang. Menurut Global Initiative
for Asthma (GINA) prevalensi asma berkisar antara 1% hingga 18% di berbagai negara.
World Health Organization (WHO) mengestimasi setidaknya terdapat 15 juta disability-
adjusted life years (DALYs) yang hilang akibat asma, merepresentasikan 1% dari total
beban penyakit global.3 Di Indonesia sendiri, prevalensi asma adalah 3,5% pada tahun
2007 dan meningkat menjadi 4,5% di tahun 2013.2
Berdasarkan usia, prevalensi asma tertinggi adalah 5,7% pada usia 25-34 tahun
dan prevalensi asma terendah berada pada umur <1 tahun yaitu sebesar 1,5%. Berdasarkan
latar belakang demografis, pada umumnya asma diderita usia muda dibandingkan dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang diderita usia tua, namun tidak menutup
kemungkinan asma diderita di usia lanjut. Disamping itu, prevalensi pasien rawat inap
akibat asma tertinggi pada usia 45-64 tahun yaitu 25,66% dan terendah pada usia 0-6 hari
sebesar 0,13%. Prevalensi status asmatikus pasien rawat inap tertinggi pada usia 25-44
tahun yaitu 31,56% dan terendah pada usia 7-28 hari yaitu 0,05% sementara prevalensi
status asmatikus pasien rawat jalan tertinggi juga pada usia 25-44 tahun sebesar 29,95%
dan terendah usia 7-28 hari sebesar 0,43%.2
2.3. Klasifikasi4

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola


keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Penilaian tingkat keparahan asma umumnya dibuat
setelah diagnosis ditegakkan, atau ketika pertama kali pasien memeriksakan diri ke dokter
sebelum pasien menggunakan obat. Namun pada umumnya penderita sudah dalam
pengobatan dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami
pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian
berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan
itu sendiri.

Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada,
maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam pengobatan
asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka
sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula
dengan asma persisten ringan. Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma
persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi
penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat.
Demikian pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat
pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.

Diagnosis asma umumnya dibuat berdasarkan penilaian spirometri dan gejala


yang dialami pasien selama 2-4 minggu terakhir. Adapun penilaian spesifik untuk menilai
tingkat keparahan asma didasarkan pada gejala yang dialami, tingkat aktivitas yang dapat
dilakukan, penggunaan SABA untuk menurunkan gejala dalam waktu singkat,
eksaserbasi, dan fungsi paru.
Adapun klasifikasi tingkat kontrol asma menjadi penting pula untuk diperhatikan
untuk memberikan gambaran mengenai efektivitas pengobatan yang telah dilakukan dan
bagaimana dampaknya terhadap gejala yang dialami pasien serta ada tidaknya perbaikan
pada fungsi paru yang dibandingkan pada setiap kelompok umur.
Tabel 1. Klasifikasi tingkat keparahan asma (diadaptasi dari 2007 NHLBI Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Asthma Expert Panel Report 3)4

Tabel 2. Klasifikasi tingkatan kontrol asma (diadaptasi dari 2007 NHLBI Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Asthma Expert Panel Report 3)4
2.4. Faktor Risiko dan Faktor Pencetus5

Asma adalah penyakit yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor meliputi faktor
endogen dan faktor lingkungan. Namun faktor risiko penyebab asma harus dibedakan pula
dengan faktor pencetus yang umumnya merupakan faktor lingkungan yang dapat
memperburuk asma pada penderita yang telah memiliki asma. Adapun beberapa faktor
yang menjadi faktor risiko untuk menderita asma yaitu :
a. Atopi6
Atopi merupakan faktor risiko utama pada asma, dan orang tanpa atopi
akan memiliki risiko yang sangat kecil untuk terjadinya asma. Pasien asma
umumnya juga mengalami penyakit atopi lainnya seperti rinitis alergi, yang
umumnya juga ditemukan pada 80% pasien asma, serta dermatitis atopi (eksema).
Atopi bisa ditemukan hampir pada 40-50% populasi, namun hanya sebagian yang
berkembang menjadi asma. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan serta
genetik juga memegang peranan penting untuk dapat menjadi asma pada individu
dengan riwayat atopi. Alergen yang memicu sensitisasi umumnya merupakan
protein yang memiliki aktivitas protease, dan alergen yang paling sering memicu
adalah tungau debu rumah, bulu kucing dan anjing, kecoa, serbuk sari rumput dan
pohon serta hewan pengerat. Atopi disebabkan oleh adanya produksi antibodi
spesifik IgE yang diturunkan dalam keluarga dengan riwayat alergi.
b. Faktor Genetik7
Faktor genetik juga memegang peranan penting untuk terjadinya asma
mencakup polimorfisme gen pada kromosom 5q yang termasuk sel T helper 2
interleukin (IL)-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 yang diketahui berasosiasi dengan
terjadinya atopi. Adapun gen lain yang diketahui turut berperan adalah gen
ADAM-3 , ORMDL3 dan DPP-10 namun fungsinya dalam patogenesis penyakit
masih belum sepenuhnya jelas. Polomorfisme gen juga menjadi penting untuk
menentukan respon terhadap terapi asma.
c. Infeksi8
Meskipun infeksi virus ( terutama rhinovirus) adalah pencetus utama
eksaserbasi asma, namun tidak jelas apakah virus ini memegang peranan dalam
etiologi. Bakteri atipikal seperti Mycoplasma dan Chlamydophila juga disebut
memiliki hubungan dengan insiden terjadinya asma berat.
d. Diet9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet rendah antioksidan seperti
vitamin C dan vitamin A, magnesium, selenium, dan lemak omega 3 (minyak
ikan) atau diet tinggi garam dan lemak omega 6 berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya asma. Kurangnya vitamin D juga disebut berhubungan dengan
perkembangan penyakit asma.
e. Polusi Udara10
Polusi udara seperti sulfur dioksida, ozon, dan partikel diesel dapat
memicu terjadinya asma. Polusi udara di dalam rumah seperti pada asap kompor
dan paparan terhadap perokok pasif juga menjadi salah satu faktor risiko asma.
f. Alergen11
Alergen yang terhirup merupakan pemicu tersering terjadinya gejala asma
dan juga bisa berakibat pada sensitisasi alergi. Paparan pada tungau pada masa
kecil menjadi faktor risiko terjadinya sensitisasi alergi dan asma.
g. Pemaparan di lingkungan pekerjaan12
Asma akibat pekerjaan merupakan penyebab terjadinya 10% kejadian
asma pada dewasa muda. Bahan kimia seperti toluene diisocyanate dan trimellitic
anhydride menjadi salah satu penyebab sensitisasi atopi. Alergen lain yang
mungkin ada pada tempat bekerja adalah alergen hewan kecil pada pekerja
laboratorium dan fungal amilase pada tepung pembuat roti. Asma akibat pekerjaan
bisa ditegakkan apabila gejala membaik selama akhir minggu dan liburan.
h. Obesitas13
Asma umumnya terjadi pada orang dengan obesitas (IMT > 30 kg/m2) dan
biasanya lebih sulit untuk dikontrol. Meskipun faktor lain juga bisa berkontribusi
seperti pro-inflammatory adipokines dan penurunan anti-inflammatory adipokines
yang dilepaskan dari lemak.
i. Faktor Lain14
Faktor lain yang dianggap menjadi penyebab terjadinya asma meliputi usia
ibu yang muda saat hamil, durasi pemberian ASI, prematuritas, dan rendahnya
berat badan lahir, serta tidak adanya aktivitas. Pemberian konsumsi
acetaminophen (paracetamol) pada masa kanak kanak juga dianggap
meningkatkan stress oksidatif.

Sebagian kecil dari pasien asma (sekitar 10%) memiliki hasil skin test yang negatif
terhadap alergen yang umum dan memiliki konsentasi serum IgE normal. Pasien ini
umunya menunjukkan onset penyakit yang lebih lama muncul (dewasa), umumnya
memiliki polip nasal dan sensitif terhadap aspirin. Mereka umumnya memiliki asma yang
lebih parah dan persisten.
Selain faktor faktor risiko yang telah disebutkan di atas, terdapat pula sejumlah
hal yang diteliti menjadi faktor pencetus terjadinya asma yaitu :
a. Alergen
Alergen yang dihirup mengaktivasi sel mast yang berikatan dengan IgE
yang secara langsung pelepasan mediator bronkokonstriktor. Seringkali terjadi
edema saluran pernapasan dan respons inflamasi akut dengan peningkatan
eosinofil dan neutrofil yang sulit membaik dengan bronkodilator. Alergen yang
paling sering memicu terjadinya asma adalah spesies Dermatophagoides. Alergen
lain berasal dari hewan peliharaan juga kecoak. Alergen seperti serbuk rumput,
ragweed, serbuk kayu, dan spora jamur merupakan contoh alergen musiman.
b. Infeksi virus
Infeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, virus pernapasan
syncytial dan coronavirus merupakan pemicu tersering terjadinya eksaserbasi
berat akut dan bisa memasuki sel epitel pada jalur pernapasan atas dan bawah.
Mekanisme terjadinya masih belum sepenuhnya dimengerti namun terjadi
peningkatan inflamasi pernapasan yang berhubungan dengan peningkatan
eosinofil dan neutrofil. Terdapat pula penurunan produksi interferon tipe 1 oleh
sel epitel pada penderita asma, yang berakibat pada kerentanan terhadap infeksi
virus dan peningkatan terjadinya respon inflamasi.
c. Agen farmakologis15
Ada beberapa obat yang diindikasi dapat memicu terjadinya asma.
Betaadrenergic blocker seringkali memicu perburukan asma akut. Mekanisme
terjadinya berhubungan dengna adanya peningkatan bronkokonstriktor kolinergik.
Semua blocker harus dihindari, termasuk blocker selektif atau dengan
penggunaan topikal seperti tetes mata timolol juga berbahaya untuk penderita
asma. Angiotensin-converting enzyme inhibitor juga dinilai merugikan karena
menghambat pengrusakan kinin, yang merupakan bronkokonstriktor. Aspirin juga
memperburuk asma pada beberapa pasien.
d. Latihan16
Latihan menjadi salah satu pencetus terjadinya asma terutama pada anak
anak. Mekanisme terjadinya berhubungan dengan hiperventilasi, yang berakibat
pada peningkatan osmolalitas cairan pernapasan dan memicu pelepasan mediator
sel mast, dan berdampak pada terjadinya bronkokonstriktor. Exercise induced
asthma (EIA) umumnya dimulai setelah latihan selesai dilakukan dan membaik
secara spontan setelah 30 menit. EIA biasanya memburuk saat musim kering yang
dingin daripada musim panas yang lembab. Biasanya terjadi pada aktivitas
olahraga seperti lari saat musim dingin, ski, dan hoki es. Hal ini bisa dicegah
dengan pemberian 2 agonis dan antileukotrien, tetapi paling baik dengan
pengobatan teratur menggunakan ICS, yang mengurangi populasi sel mast di
permukaan yang berperan dalam respons ini.
e. Faktor fisik17
Udara dingin dan hiperventilasi menjadi salah satu pemicu terjadinya asma
seperti mekanisme pada latihan. Tertawa juga dapat menjadi faktor pemicu.
Banyak pasien yang dilaporkan mengalami perburukan kondisi asma pada musim
panas dan pada saat pergantian musim. Penderita lain mengalami perburukan saat
terekspos dengan bau yang kuat atau parfum.
f. Makanan dan diet
Beberapa makanan seperti kerang kerangan dan kacang bisa
menginduksi terjadinya reaksi anafilaktik yang bisa berakibat pada terjadinya
mengi. Pasien dengan asma yang diinduksi oleh aspirin mengalami penurunan
gejala dengan diet bebas salisilat. Metabisulfite yang menjadi pengawet makanan
bisa memicu asma melalui pelepasan gas sulfur dioksida di lambung. Tartrazine,
pewarna makanan, juga dinilai mampu menginduksi terjadinya asma.
g. Polusi Udara
Peningkatan jumlah sulfur dioksida, ozon dan nitrogen oksida
berhubungan dengan peningkatan gejala asma.
h. Faktor Pekerjaan
Beberapa zat yang ditemukan di tempat kerja dianggap dapat menjadi agen
sensitisasi, yang juga berperan sebagai agen pencetus gejala asma. Asma oleh
pekerjaan biasanya mereda saat akhir minggu dan hari libur. Jika terlepas dari
paparan selama 6 bulan gejala awal, biasanya akan terjadi penyembuhan
sempurna. Gejala persisten lain bisa berdampak pada perubahan saluran
pernapasan yang ireversibel sehingga deteksi dini dan pencegahan menjadi faktor
penting mencegah terjadinya asma.
i. Hormon18
Pada beberapa wanita, diketahui asma memburuk saat masa premenstrual
yang terkadang menjadi asma berat. Hal ini berhubungan dengan penurunan
progesteron dan pada kasus berat bisa diterapi dengan progesteron dosis tinggi dan
gonadtropin releasing factor. Baik thyrotoxicosis dan hypothyroidism juga dinilai
memperburuk terjadinya asma.
j. Gastroesophageal reflux19
GERD sering terjadi pada penderita asma karena insidensi ini meningkat
akibat terjadinya bronkodilatasi. Meskipun refluks asam mampu memicu refleks
bronkokonstriktor, namun refluks ini jarang menimbulkan gejala asma.
k. Stress20
Banyak penderita asma yang memiliki perburukan gejala yang
diasosiasikan dengan stres. Faktor psikologi ini mengiduksi bronkokonstriksi
melalui jalur refleks kolinergik.

2.5. Patofisiologi
Asma dikaitkan dengan suatu inflamasi kronik spesifik terhadap mukosa saluran
pernafasan bawah. Salah satu tujuan dari tata laksana asma ada untuk mengurangi
inflamasi.
2.5.1 Patologi5
Patologi asma didapatkan dari hasil pemeriksaan paru pasien yang
meninggal karena asma dan dari biopsi bronkus. Mukosa jalan nafas terinfiltrasi
oleh eosinofil dan limfosit T yang teraktivasi, dan terdapat aktivasi dari sel mast
mukosa. Derajat inflamasi berhubungan lemah dengan tingkat keparahan penyakit
dan mungkin bisa didapatkan gambaran serupa pada pasien atopi tanpa gejala
asma. Inflamasi biasanya berkurang dengan tatalaksana kortikosteroid inhalasi.
Terdapat perubahan struktural dari jalan napas atau biasa disebut sebagai
remodelling. Karakteristik penting dari gambaran asma adalah terdapat penebalan
dari membran basement karena adanya deposit dari kolagen subepithelial.
Gambaran ini juga terdapat pada pasien dengan bronkitis eosinofilik yang
memberikan gambaran batuk dan tidak memiliki asma, tetapi cenderung
merupakan marker inflamasi eosinofilik dari jalan napas karena adanya pelepasan
mediator fibrogenik dari eosinofil. Biasanya epitel rapuh atau robek karena
berkurangnya perlekatan dengan dinding saluran napas dan peningkatan sel epitel
di dalam lumen. Dinding jalan napas biasanya menebal dan edema, sehingga
menyebabkan asma yang fatal. Penemuan lain yang biasa ditemukan pada pasien
dengan asma yang fatal adalah adanya oklusi dari lumen jalan napas oleh
sumbatan mukus (mucous plug) , yang terdiri dari glikoprotein mukus yang
disekresikan dari sel goblet dan protein plasma dari saluran bronkial yang bocor.
Terdapat vasodilatasi dan peningkatan jumlah pembuluh darah (angiogenesis).
Observasi langsung dengan bronkoskopi menunjukkan adanya jalan napas
yang semakin menyempit, eritem, dan edema. Patologi dari asma biasanya
memiliki keseragaman dengan berbagai fenotipe asma lainnya, termasuk atopi
(ekstrinsik), non atopi (intrinsik), okupasional, sensitif aspirin, dan asma anak.
Perubahan patologi dapat ditemukan pada semua jalan napas, namun tidak sampai
ke parenkim paru. Inflamasi jalan napas perifer juga ditemukan pada pasien
dengan asma parah. Keterlibatan jalan napas bisa terjadi patchy dan biasanya
konsisten dengan penemuan bronkografik dari penyempitan jalan napas yang tidak
seragam.
2.7.2 Inflamasi Jalan Napas5
Terdapat inflamasi dari mukosa pernapasan dari trakea hingga ke
bronkiolus terminal, namun biasanya mendominasi di bronkus. Akan tetapi, belum
terdapat teori pasti bagaimana sel inflamasi berinteraksi dan bagaimana inflamasi
dapat menyebabkan gejala asma. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pola
spesifik dari inflamasi jalan napas pada asma berkaitan dengan hiperresponsivitas
jalan napas, yang berkaitan dengan obstruksi jalan napas yang bervariasi. Pola
inflamasi dari asma merupakan karakteristik dari penyakit alergi dengan
kemiripan sel inflamasi yang juga terlihat pada mukosa nasal pasien dengan
rhinitis. Akan tetapi, pola inflamasi tersebut tidak dapat dibedakan dengan asma
intrinsik dan lebih menunjukkan produksi IgE lokal dibandingkan dengan respon
sistemik. Mekanisme yang melibatkan inflamasi yang persisten pada asma masih
belum diketahui secara pasti. Meskipun pola inflamasi dari asma dikaitkan dengan
infiltrasi eosinofil, beberapa pasien dengan asma yang parah menunjukkan pola
inflamasi sel neutrofil yang lebih tidak sensitif terhadap kortikosteroid. Akan
tetapi, banyak sel inflamasi yang terlibat pada asma dengan tanpa sel kunci yang
dominan.
Sel mast penting dalam inisiasi respon bronkokonstriktor akut terhadap
alergen dan stimulus tidak langsung lainnya, seperti olahraga dan hiperventilasi
(via perubahan osmolalitas). Sel mast mukosa yang teraktivasi dapat ditemukan
pada permukaan jalan napas pasien dan jufa pada lapisan otot polos jalan napas.
Gambaran ini tidak dapat ditemukan pada orang normal atau pasien dengan
bronkitis eosinofilik. Sel mast yang teraktivasi oleh alergen melalui mekanisme
IgE-dependen dan ikatan IgE spesifik pada sel mast akan membuat sel mast
menjadi lebih sensitif terhadap aktivasi oleh stimulus fisik, seperti osmolalitas.
Namun sampai saat ini belum terdapat teori pasti peranan sel mast pada kejadian
inflamasi alergi yang lebih kronis. Sel mast akan melepaskan berbagai mediator
bronkokonstriktor, termasuk histamin, prostaglandin D2, dan sisteinil-leukotrien,
sitokin, kemokin, faktor pertumbuhan, dan neurotrofin.
Maktofag merupakan turunan dari monosit darah dan akan berada dalam
jalan napas penderita asma serta diaktivasi oleh alergen via reseptor IgE
berafinitas rendah. Makrofag memiliki kapasitas untuk menginisiasi tipe respon
inflamasi dengan pelepasan mediator antri inflamasi sehingga peranan dalam
penyakit asma belum dapat dipastikan. Sel dendit yang menyerupai sel makrofag
di epitel jalan napas merupakan antigen-presenting cells (APC) yang utama. Sel
dendrit akan menangkap alergen, memprosesnya menjadi peptida, dan membawa
peptida ke nodus limfe lokal dimana peptida tersebut alergen tersebut akan dibawa
ke limfosit T dan akan menyebabkan produksi sel T yang spesifik alergen. Sel
dendrit yang imatur pada saluran pernapasan akan menyebabkan diferensiasi sel
TH2 dan membutuhkan sitokin, seperti IL-12 dan TNF-, untuk menimbulkan
respon TH1. Sitokin thymic stromal lymphopoietin (TSLP) dilepaskan dari sel
epitel pasien dengan asma dan menginstruksikan sel dendrit unruk melepaskan
kemokin yang akan menarik sel TH2 pada jalan napas.
Infiltrasi eosinofil adalah karakteristik penting dalam jalan napas pasien
asma. Inhalasi alergen menyebabkan peningkatan eosinofil yang teraktivasi pada
jalan napas saat reaksi lambat. Eosinofil berkaitan dengan hiperresponsivitas jalan
napas melalui pelepasan protein dasar dan radikal bebas yang berasal dari turunan
oksigen. Rekrutmen eosinofil melibatkan adhesi eosinofil pada sel endotel
vaskular pada sirkulasi jalan napas karena adanya interaksi antara molekul adhesi,
migrasi ke submukosa dibawah pengaruh kemokin dan aktivasi serta pemanjangan
waktu survival. Adanya blok antibodi terhadap IL-5 akan menyebabkan reduksi
memanjang dari eosinofil yang beredar dan yang berada didalam sputum, namun
tidak memiliki keterkaitan dengan pengurangan hiperresponsivitas jalan napas
atau gejala asma meskipun pada pasien tertentu dengan resistensi steroid dapat
terjadi pengurangan eksaserbasi. Eosinofil penting dalam pelepasan faktor
pertumbuhan yang terlibat dalam remodeling jalan napas dan eksaserbasi namun
tidak dalam hiperresponsivitas jalan napas.
Peningkatan jumlah neutrofil yang teraktivasi ditemukan pada sputum dan
jalan napas beberapa pasien dengan asma yang parah dan selama eksaserbasi,
meskipun terdapat pasien dengan asma ringan atau sedang yang juga memiliki
predominansi neutrofil.
Limfosit T memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan respon
inflamasi asma melalui pelepasan pola spesifik sitokin yang menyebabkan
rekrutmen dan survival dari eosinofil dan maintenance populasi sel mast dalam
jalan napas. Sistem imun nave dan sistem imun asma biasanya mengekspresikan
fenotipe TH2, sedangkan pada jalan napas normal terdapat dominansi TH1. TH2
melalui pelepasan IL-5 dikaitkan dengan inflamasi eosinofilik dan melalui
pelepasan IL-4 dan IL-13 diasosiasikan dengan peningkatan pembentukan IgE.
Pada biopsi bronkus terdapat dominasi sel NK CD4+ yang mengekspresikan IL-4
yang tinggi. Sel T regulatori memainkan peran penting dalam menentukan ekpresi
dari sel T lainnya dan terdapat bukti bahwa pengurangan regulasi dari sel T pada
asma dikaitkan dengan sel TH2.
Sel struktural jalan napas, seperti sel epitel, fibroblast dan otot polos jalan
napas merupakan sumber penting mediator inflamasi, seperti sitokin dan mediator
lipid pada asma. Karena sel struktural jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan sel inflamasi, sel struktural juga dapat menjadi sumber utama mediator
yang menyebabkan inflamasi kronis pada jalan napas pasien asma. Selain itu, sel
epitel memiliki peran kunci untuk menterjemahkan sinyal lingkungan ke respon
inflamasi jalan napas dan merupakan sel target utama dari kortikosteroid inhalasi.

2.7.3 Mediator Inflamasi5


Mediator inflamasi memiliki peranan penting dalam asma dan memeiliki
berbagai efek yang mempengaruhi gambaran patologis asma. Mediator seperti
histmain, prostaglandin D2, dan sisteinil-leukotrien akan menyebabkan kontraksi
otot polos jalan npas, meningkatkan kebocoran mikrovaskular, peningkatan
sekresi mukus, dan menarik sel inflamasi lainnya. Karena setiap mediator
memiliki banyak efek, peranan dari mediator secara individu tidaklah jelas.
Sitokin meregulasi inflamasi kronis dari asma. IL-4, IL-5, dan IL-13
memediasi inflamasi alergi. Sedangkan sitokin proinflamasi seperti TNF- dan
IL-1 akan meningkatkan respon inflamasi dan memainkan peran pada tingkat
penyakit yang lebih parah. Sitokin yang merupakan anti-inflamasi IL-10 dan IL-
12 biasanya berkurang pada penderita asma.
Sel inflamasi yang teraktivasi (makrofag dan eosinofil) akan menghasilkan
ROS yang akan meningkatkan dan memiliki keterkaitan dengan keparahan
penyakit, meningkatkan respon inflamasi, dan mengurangi responsivitas terhadap
kortikosteroid. Nitrit oksida (NO) diproduksi oleh sel epitel jalan napas dan
makrofaf. Kadar NO yang diekspirasi pasien asma biasanya lebih tinggi dari
normal dan berkaitan dengan inflamasi eosinofilik. Peningkatan NO biasana
berkaitan dengan vasodilatasi bronkial. Fraksional NO yang diekshalasi dapat
digunakan untuk diagnosis dan monitor inflamasi asma namun tidak rutin
digunakan pada praktek klinis.

2.7.4. Efek Inflamasi5


Respon inflamasi kronis memeiliki berbagai efek pada sel target jalan
napas yang menyebabkan perubahan patofisiologis dan remodeling. Asma
merupakan penyakit dengan inflamasi berkelanjutan dan perbaikan yang terjadi
secara simultan.
Shedding dari epitel jalan napas penting dalam hiperresponsivitas jalan
napas dan menjelaskan beberapa mekanisme, seperti paparan ozon, infeksi virus,
sensitizer kimia, dan alergen yang menyebabkan kerusakan pada epitel. Kerusakan
epitelial memiliki keterkaitan dengan hiperresponsivitas jalan napas dalam
beberapa hal, termasuk hilangnya fungsi barrier yang menyebabkan adanya
penetrasi alergen, hilangnya enzim yang mendegradasi mediator inflamasi
peptida, hilangnya faktor relaksan dan paparan terhadap saraf sensori yang
menyebabkan refleks efek neural pada saluran napas.
Pada semua pasien asma, membrana basal biasanya mengalami penebalan
karena fibrosis subepithelial dengan deposit kolagen tipe III dan V dibawah
membrana basalis dan dikaitkan dengan infiltrasi sel eosinofil, melalui pelepasan
mediator seperti faktor pertumbuhan. Manipulasi mekanik yang dapat mengubah
fenotipe epitel jalan napas menjadi profibrotik. Pada pasien yang lebih parah dapat
pula terjadi fibrosis pada dinding jalan napas yang menyebabkan penyempitan
ireversibel dari jalan napas.
Otot polos pasien dengan asma tidak menunjukkan peningkatan
responsivitas dengan konstriktor. Pengurangan responsivitas terhadap -agonis
ditunjukkan pada pasien post-mortem atau bronkus pasien asma yang diambil
melalui prosedur operasi, meskipun jumlah reseptor tidak berkurang.
Abnormalitas otot polos ini merupakan efek sekunder dari proses inflamasi kronis.
Mediator inflamasi dapat memodulasi kanal ion yang meregulasi resting
membrane potential dari otot polos saluran napas, sehingga mempengaruhi dan
mengubah tingkat eksitabilitas sel ini. Pada pasien asma juga ditemukan hipertrofi
dan hiperplasi otot polos saluran napas yang merupakan hasil dari stimulasi
berbagai faktor pertumbuhan, seperti PDGF atau endothelin-1 yang dilepaskan
dari sel inflamasi atau epithelial.
Adanya peningkatan aliran darah mukosa jalan napas pada asma juga dapat
menyebabkan penyempitan jalan napas. Peningkatan jumlah pembuluh darah pada
jalan napas pasien asma merupakan hasil dari angiogenesis sebagai respon dari
faktor pertumbuhan, terutama VEGF. Kebocoran mikrovaskular dari venule
postkapiler sebagai respon dari mediator inflamasi juga dapat diamati dan
menyebabkan edema jalan napas dan eksudasi plasma ke lumen saluran napas.
Peningkatan sekresi mucus menyebabkan adanya mucous plug yang
menyumbat saluran napas dan dapat berakibat fatal. Terdapat hiperplasi kelenjar
submukosa yang terdapat pada jalan napas besar dan peningkatan jumlah sel
goblet epitel. IL-13 meningkatkan mucus pada penelitian eksperimen pada asma.
Defek pada regulasi neural juga menyebabkan hiperresponsivitas jalan
napas pada atma. Jalur kolinergik melalui pelepasan asetilkolin melalui reseptor
muskarinik menyebabkan bronkokonstriksi dan dapat teraktivasi secara refleks
pada asma. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi saraf sensori yang
menyebabkan refleks kolinergik bronkokonstriksi atau pelepasan neuropeptida
inflamasi. Produk inflamasi dapat pula mensensitisasi ujung saraf sensori pada
epithel saluran napas dan saraf menjadi hiperalgesik. Neurotropin dapat
menyebabkan proliferasi dan sensitisasi dari saraf sensori jalan napas. Saraf jalan
napas dapat melepaskan neurotransmitter, seperti substansi P yang memiliki efek
inflamasi.
Adanya berbagai perubahan pada struktur jalan napas dapat menyebabkan
penyempitan irreversibel dari jalan napas dan penurunan fungsi paru seiring
berjalannya waktu. Namun, sebagian pasien dengan asma memiliki fungsi paru
normal atau mendekati normal sepanjang hidup apabila ditatalaksana. Percepatan
penurunan fungsi paru terjadi pada sedikit pasien asma dan biasa terjadi pada
pasien yang memiliki asma parah. Karakteristik perubahan struktural antara lain
peningkatan otot polos jalan napas, fibrosis, angiogenesis, dan hiperplasia mukus.
Terbatasnya aliran udara pada jalan napas disebabkan karena adanya
bronkokonstriksi, edema jalan napas, kongesti vaskular dan oklusi lumen karena
eksudat. Hasilnya terdapat pengurangan forced expiratory volume in 1 second
(FEV1), FEV1/forced vital capacity (FVC) ratio, dan peak expiratory flow (PEF),
serta peningkatan resistensi jalan napas. Penutupan yang lebih awal dari jalan
napas perifer menyebabkan hiperinflasi paru dan peningkatan volume residual,
terutama saat eksaserbasi akut dan asma persisten yang parah. Pada asma yang
lebih parah, berkurangnya ventilasi dan peningkatan aliran darah pulmoner
menyebabkan mismatch ventilasi dan perfusi dan hiperemia bronkial. Kegagalan
ventilasi jarang terjadi, meskipun pada pasien dengan asma yang parah. PCO2
arteri biasanya cenderung lebih rendah karena adanya peningkatan ventilasi.
Hiperresponsivitas jalan napas adalah terjadinya bronkokonstriksi yang
berlebihan karena respon dari trigger inhalasi multipel dan tidak memiliki efek
apapun pada jalan napas yang normal. Hiperresponsivitas berkaitan dengan
frekuensi asma dan ditunjukkan dengan bronkokonstriktor langsung, seperti
histamin dan metakolin yang akan mengkontraksikan otot polos jalan napas, atau
dengan stimulus tidak langsung, yaitu dengan pelepasan bronkokonstriktor dari
sel mast atau saraf sensor yang teraktivasi. Kebanyakan trigger dari asma adalah
yang bersifat tidak langsung, seperti alergen, olah raga, hiperventilasi, debu iritan,
asap, dan sulfur dioksida.

2.8. Manifestasi Klinis


Gejala tipikal dari asma adalah episode rekuren dari wheezing, dada seperti terikat,
sesak napas, dan batuk. Asma biasanya sering didiagnosis sebagai infeksi dada atau flu
yang sembuh lebih lama. Biasanya penyebab klasik serangan adalah olahraga, udara
dingin, paparan alergen udara atau polutan, infeksi viral saluran pernafasan atas. Inspeksi
nasal polip dan eczema juga dilakukan. Pasien dengan asma intermitten yang ringan
biasanya asimptomatik antara serangan eksaserbasi. Individu dengan asma persisten
biasanya mengalami sesak dan wheezing, meskipun bervariasi, dengan gejala yang
berfluktuasi dalam satu hari, antara hari ke hari atau antar bulan.21
Terdapat peningkatan mucus pada beberapa pasien yang sulit untuk dikeluarkan.
Terdapat pula peingkatan ventilasi dan penggunaan otot aksesorius untuk bernapas.
Gejala prodormal yang timbul sebelum serangan adalah rasa gatal dibawah dagu, rasa
tidak nyaman antara skapula, atau ketakutan yang tidak dapat dijelaskan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memanjang, ronki disepanjang lapang paru, dan
bisa terjadi hiperinflasi paru.5,22,23
Asma biasanya menunjukkan pola diurnal, dengan gejala dan fungsi paru yang
lebih parah pada malam. Ketika sedang tidak terkontrol, gejala seperti batuk dan wheezing
biasanya mengganggu tidur dan menyebabkan yang disebut sebagai asma nocturnal.
Batuk tanpa mukus bisa merupakan gejala dominan pada beberapa pasien, dengan gejala
wheezing atau sesak yang lebih sedikit sehingga menyebabkan tertundanya penegakan
diagnosis dan disebut sebagai asma varian batuk.21,22,24
Beberapa pasien dengan asma juga memiliki respon inflamasi pada saluran
pernapasan atas sehingga perlu ditanyakan riwayat sinusitis, sakit kepala sinus, runny
nose, hidung tersumbat, atau berkurangnya indra penciuman.21
Meskipun etiologi asma biasanya sulit untuk didapatkan, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengidentifikasi agen yang dapat menyebabkan eksaserbasi kondisi
asma. Perlu ditanyakan alergen potensial, seperti paparan binatang, debu, atau agen
okupasi yang potensial. Pada beberapa keadaan, asma dapat disebabkan oleh obat-obatan.
Beta-bloker yang diberikan topikal sebagai tetes mata dapat menyebabkan bronkospasme,
begitu pula dengan aspirin, dan NSAID, agen kolinergik, dan pil kontrasepsi.21

2.9. Diagnosis
2.9.1. Global Initiative for Asthma (GINA)
Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA),1 asma memiliki dua
gambaran kunci: riwayat gejala respirasi, seperti wheezing, shortness of breath,
sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu dan intensitasnya, dan variasi
pembatasan aliran udara ekspirasi. Adapun algoritma penegakan diagnosis,
menurut GINA adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Asma menurut GINA1


Adapun kriteria untuk membuat diagnosis asma adalah sebagai berikut1

1. Riwayat gejala respirasi yang variabel


Gejala tipikal adalah adanya wheezing, napas pendek, chest tightness, dan batuk.
Biasanya orang dengan asma memiliki lebih dari satu gejala tersebut. Gejala yang
terjadi biasanya berubah dalam waktu dan bervariasi dalam intensitas. Gejala
biasanya memburuk saat malam hari ataupun saat berjalan dan biasanya
dicetuskan oleh olahraga, tertawa, alergen, ataupun udara dingin. Biasanya gejala
dapat terjadi dengan atau memburuk dengan infeksi virus.
2. Adanya bukti limitasi aliran udara ekspirasi yang variabel
Setidaknya terdapat satu kali selama proses diagnostik FEV1 yang rendah dan
berkurangnya rasio FEV1/FVC. Rasio FEV1/FVC normal adalah lebih dari 0.750-
0.80 pada orang dewasa dan lebih dari 0.90 pada anak-anak.
Selain itu, terdapat variasi fungsi paru yang melebihi variasi pada orang sehat.
Variabilitas diurnal harian PEF (peak expiratory flow) pada pasien asma adalah
>10% dan >13% pada anak-anak. Variasi diurnal dikalkulasi dari dua kali
pembacaan dengan rumus : PEF tertinggi dikurangi dengan PEF terendah dibagi
dengan rerata PEF tertinggi dan terendah selama 1-2 minggu. Biasanya pasien
asma juga memiliki fenomena reversibilitas bronkodilator yang didefinisikan
sebagai peningkatan FEV1 lebih dari 12% dan 200 ml setelah inhalasi
bronkodilator. Variasi fungsi paru juga dapat ditunjukkan dengan adanya
peningkatan lebih dari 12% dan 200 ml (>12% pada anak) setelah 4 minggu
penggunaan antiinflamasi.
Semakin besar variasi, atau semakin banyak variasi yang terlihat maka
semakin tegak diagnosis asma pada pasien. Tes perlu diulang sellama gejala pada
pagi hari atau setelah berhenti menggunakan bronkodilator. Reversibilitas
bronkodilator bisa tidak terjadi saat eksaserbasi parah atau infeksi virus. Jika tidak
terdapat fenomena tersebut ketika pertama kali uji, langkah berikutnya tergantung
dari urgensi klinis dan ketersediaan tes lainnya.
Biasanya pemeriksaan fisik pada pasien asma normal, tetapi penemuan
yang paling sering ditemukan adalah adanya wheezing saat auskultasi, terutama
saat ekspirasi paksa. Apabila kriteria standar asma tidak terpenuhi, pertimbangkan
pemeriksaan lain. Sebagai contoh, apabila fungsi paru normal, ulang uji
reversibilitas setelah menghentikan medikasi selama 12 jam. Jika pasien memiliki
gejala yang sering, pertimbangkan percobaan peningkatan terapi kontroler dan
ulang uji fungsi paru setelah 3 bulan. Jika pasien memiliki gejala yang sedikit,
pertimbangkan menurunkan terapi kontroler, tetapi pastikan pasien memiliki
rencana asma tertulis, monitor pasien secara seksama, dan mengulang uji tes paru.1
Kontrol asma berarti menilai sejauh mana efek asma yang terlihat pada pasien.
Kontrol asma memiliki dua domain: kontrol gejala dan faktor resiko untuk
outcome buruk di masa mendatang. Adapun penilaian dari kontrol tersebut adalah
sebagai berikut :

1. Tingkatan kontrol gejala asma


Dalam 4 minggu terakhir, tanyakan pada pasien apakah pasien memiliki:
- gejala siang hari lebih dari 2 kali/ minggu
- terbangun malam hari karena asma
- membutuhkan reliever lebih dari 2 kali dalam seminggu
- pembatasan aktivitas karena asma
Apabila tidak ada gejala-gejala satupun diatas, maka asma digolongkan sebagai
well controlled, apabila terdapat 1-2 gejala termasuk dalam partly controlled dan
3-4 gejala termasuk dalam uncontrolled.

2. Faktor resiko outcome asma yang buruk


Nilai faktor resiko saat diagnosis dan secara periodik, terutama pada pasien yang
mengalami eksaserbasi. Ukur FEV1 saat awal terapi, setelah 3-6 bulan terapi
kontroler untuk mengetahui fungsi paru terbaik dan secara periodik untuk
penilaian resiko yang terjadi.
Adapun faktor resiko independen yang yang secara potensial dapat dimodifikasi
adalah:
- gejala asma yang tidak terkontrol
- Kortikosteroid inhalasi yang tidak digunakan; adherensi yang buruk; teknik
inhaler yang tidak benar
- Penggunaan short acting beta agonist yang tinggi
- FEV1 yang rendah, terutama <60% nilai yang terprediksi
- Masalah sosioekonomi atau psikologis mayor
- Paparan rokok dan alergen
- Komorbid obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
- Eosinofilia sputum atau darah
- Kehamilan
Faktor resiko independen mayor lain untuk eksaserbasi:

- pernah diintubasi atau berada di pelayanan intensif karena asma


- memiliki 1 atau lebih eksaserbasi parah dalam 12 bulan terakhir
Apabila terdapat satu atau lebih faktor resiko tersebut, akan meningkatkan resiko
eksaserbasi meskipun gejala well controlled.
Untuk menginvestigasi asma yang tidak terkontrol pada pelayanan primer dapat
digunakan algoritma sebagai berikut:
Pantau pasien menggunakan inhaler. Diskusikan
mengenai kepatuhan dan hambatan penggunaannya
Bandingkan teknik inhaler dengan ceklis penggunaan alat dan
perbaiki kesalahan penggunaan; cek berkala. Gunakan empati
untuk diskusi kepatuhan dan hambatan berobat

Konfirmasi diagnosis asma


Jika fungsi paru normal selama gejala, pertimbangkan
penggunaan kortikosteroid inhalasi dan ulang fungsi paru setelah
2-3 minggu

Hilangkan faktor resiko potensial. Nilai dan atur


komorbid
Cek faktor resiko atau pencetus seperti rokok, beta-blocker,
NSAID, alergen. Cek komorbid rinitis, obesitas, GERD,
anxietas/depresi

pertimbangkan step up terapi


diskusikan dengan pasien dan pertimbangkan keuntungan dan
resiko

Rujuk ke spesialis atau klinik asma


Jika asma masih belum terkontrol setelah 3-6 bulan rujuk ke
spesialis. Rujuk pula apabila gejala asma parah atau ragu
terhadap diagnosis

Gambar 2 Algoritma investigasi asma yang tidak terkontrol pada pelayanan


primer1

2.9.2. British Thoracic Society


Berdasarkan British Thoracic Society25, penegakan diagnosis asma pada
dewasa berdasarkan pola gejala dan tanda karakteristik dan tidak adanya
penjelasan alternatif mengenai gejala tersebut. Kunci diagnosis adalah dengan
anamnesis klinis. Dasar diagnosis awal adalah dengan penilaian teliti dari gejala
dan ukur obstruksi aliran udara:
1. Pada pasien dengan kemungkinan tinggi asma langsung lanjutkan dengan
percobaan pengobatan. Pemeriksaan lanjutan dilakukan bagi orang yang yang
memiliki respon percobaan pengobatan yang buruk
2. Pasien dengan kemungkinan rendah asma, yang memiliki gejala yang mengarah
ke diagnosis alternatif, investigasi lebih lanjut. Pertimbangkan kembali diagnosis
asma pada pasien yang tidak memiliki respon
3. Pada pasien dengan kemungkinan asma yang intermediate gunakan pendekatan
untuk melakukan investigasi lebih lanjut, termasuk percobaan eksplisit terhadap
tatalaksana periode spesifik sebelum konfirmasi diagnosis dan menentukan
tatalaksana maintenance.
Penggunaan spirometri adalah uji inisial yang dipilih untuk menilai keadaan
dan tingkat keparahan obstruksi aliran udara. Gambaran klinis yang meningkatkan
probabilitas asma adalah: 25

1. memiliki lebih dari satu gejala: wheeze, sesak napas, chest tightness, dan batuk,
terutama jika:
- gejala memburuk pada malam hari dan pagi hari
- gejala berespon pada olahraga, paparan alergen, dan udara dingin
- gejala setelah konsumsi aspirin dan beta-blocker
2. Gejala kelainan atopi
3. Riwayat keluarga dengan asma dan/atau kelainan atopi
4. Wheeze yang terdengar luas pada auskultasi dada
5. FEV1 atau PEF yang rendah (anamnesis atau pembacaan serial) yang tidak dapat
dijelaskan
6. Eosinofilia darah tepi yang tidak dapat dijelaskan

Gambaran klinis yang menurunkan probabilitas asma adalah: 25

1. Adanya dizziness, light-headedness kesemutan perifer yang menonjol


2. Batuk kronis produktid tanpa wheeze atau sesak napas
3. Pemeriksaan fisik dada yang normal berulang ketika simptomatik
4. Gangguan suara
5. Gejala dengan flu saja
6. Riwayat merokok yang signifikan
7. Penyakit jantung
8. PEF atau spirometri yang normal ketika simptomatik (gambaran spirogram normal
ketika tidak symptomatik tidak mengeksklusi diagnosis asma. Pengulangan
pengukuran fungsi paru biasanya lebih berguna dibandingkan dengan pengukuran
tunggal)

Gambar 3 Algoritma Diagnosis Asma menurut British Thoracic Society25


2.9.3. National Asthma Council Australia
Berdasarkan National Asthma Council Australia26, diagnosis asma dapat
ditegakkan apabila:

1. terdapat riwayat gejala yang variabel terutama batuk, chest tightness,wheezem dan
napas yang pendek
2. limitasi aliran udara ekspirasi (FEV1 / FVC lebih rendah dari batas bawah normal
berdasarkan usia*)
3. Limitasi aliran udara ekspirasi yang variabel
4. Tidak ada penemuan lain yang memberikan alternatif diagnosis lain
*Cut-points limitasi aliran udara ekspirasi pada dewasa dan dewasa muda:

- <0.85 (usia hingga 19 tahun)


- <0.80 (usia 20 39 tahun)
- <0.75 (usia 40-59 tahun)
- <0.70 (usia >60 tahun)

Gambar 4 Algoritma Diagnosis Asma berdasarkan National Asthma Council


Australia26
2.10. Tata Laksana27

Adapun beberapa tujuan dari dilakukannya terapi pada penderita asma adalah
untuk meminimalisir gejala kronik termasuk nokturnal, meminimalisir kejadian
eksaserbasi, mengurangi penggunaan 2 agonis, tidak membatasi aktivitas termasuk
berolahraga, puncak variasi sirkadian arus pernapasan <20%, arus puncak pernapasan
normal dan meminimalisir penggunaan obat. Penatalaksanaan asma juga bertujuan untuk
mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi
stabil minimal dalam waktu satu bulan. Untuk itu, terapi asma dilakukan dengan terapi
obat obatan namun terapi nonfarmakologi juga kerap dilakukan. Beberapa jenis obat
yang digunakan sebagai terapi utama asma adalah bronkodilator yang memberikan efek
dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan
batuk, namun tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Jenis lainnya adalah pengontrol yaitu medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma dan menghambat proses inflamasi, diberikan setiap hari untuk mencapai
dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.

Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan
napas (inhalasi) adalah : lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan
napas, efek sistemik minimal atau dihindarkan. Beberapa obat hanya dapat diberikan
melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan
kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada
oral.

Macam-macam cara pemberian obat inhalasi

- Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)


- IDT dengan alat Bantu (spacer)
- Breath-actuated MDI
- Dry powder inhaler (DPI)
- Turbuhaler
- Nebuliser
Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler
dan menarik napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang
agar penderita terampil. Penggunaan alat Bantu (spacer) mengatasi kesulitan tersebut dan
memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Selain spacer juga mengurangi deposit obat
di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan
kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid; serta mengurangi bioavailibiliti sistemik
dan risiko efek samping sistemik. Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dengan IDT dan
spacer `memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi
dan pemberian melalui IDT dan spacer terbukti memberikan efek bronkodilatasi yang
lebih baik daripada melalui DPI.

Kelebihan dry powder inhalation/DPI adalah tidak menggunakan campuran yaitu


propelan freon, dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi hanya
dibutuhkan kecepatan aliran udara inspirasi minimal, oleh sebab itu DPI sulit digunakan
saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni,
dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung
klorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan
kelembaban tinggi. Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT, sekarang telah diganti
hidrofluoroalkan (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah ekivalen;
tetapi pada kortikosteroid, HFA menghantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke
paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan juga efek samping sistemiknya. Dengan DPI
obat lebih banyak terdeposit dalam saluran napas dibanding IDT, tetapi studi
menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama
melalui DPI (bukti B). Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat
antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI
ke IDT atau sebaliknya.

1. Terapi Bronkodilator
Bronkodilator terutama bekerja pada otot polos saluran napas untuk
mengatasi bronkokonstriktor pada asma. Obat jenis ini memberikan efek
penurunan gejala namun tidak berdampak pada proses inflamasi. Sehingga
bronkodilator tidak dapat digunakan untuk mengontrol asma pada pasien dengan
gejala persisten. Ada 3 kelas bronkodilator yang sering digunakan yaitu : 2-
adrenergic agonists, anticholinergics, dan theophylline. Namun dari ketiga obat
ini yang paling menunjukkan keefektifan dalam mengatasi asma adalah jenis 2-
adrenergic agonists.
a. 2-adrenergic agonists
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai
waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset
cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek
samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis
beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma.
Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila
diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau
bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan
perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan
napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja
singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya
glukokortikosteroid oral.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot
rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian
inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin
menggunakan terapi inhalasi.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya
lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin
kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat.
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-
2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di
antara pemberian satu dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana
metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan
dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak
diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas
lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum
.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok
efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi
yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-
2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap
inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan
ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi
agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru
dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh
karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik
dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi
awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang
respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek
bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang,
dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan
efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi
mukus. Pada orang lanjut usia efek samping lain yang dapat ditemui
adalah retensi urin dan glaukoma.
d. Theophylline
Theophylline umumnya digunakan sebagai bronkodilator oral.
Efeknya adalah menghambat phosphodiesterase pada sel otot polos
yang meningkatkan siklik AMP. Penggunaannya diberikan secara oral
sehari sekali atau dua kali untuk menstabilkan efek konsentrasi
plasma. Theophylline dapat dijadikan bronkodilator tambahan pada
pasien asma berat. Aminophylline (theophylline jenis garam larut)
biasanya dapat digunakan secara intra vena pada pasien dengan
eksaserbasi berat yang tidak bisa diatasi dengan penggunaan SABA.
Adapun efek samping yang mungkin terjadi adalah nausea,
muntah, dan sakit kepala yang berhubungan dengan penghambatan
phosphodiesterase. Diuresis, palpitasi, aritmia dan kejang epileptikus
juga dapat terjadi karena adanya adenosine A1- reseptor antagonism.

2. Terapi Kontroler
a. Kortikosteroid inhalan
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi
adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang
berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan
manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif jalan
napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga,
apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol
(walau dosis sudah sesuai dengan derajat berat asma) maka dianjurkan
untuk menambahkan obat pengontrol lainnya daripada meningkatkan
dosis steroid inhalasi tersebut.
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal
seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran
napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan
penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan
membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat
dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek
samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang
berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati
(first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di
paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda
kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian
menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek
sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan
triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem
penghantaran. Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti
sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk semua
glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan
terjadi tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan
steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
densiti tulang.
b. Kortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat
(setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik
daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika
steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma
persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau
telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka
dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi
juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang
terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat
tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan
pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk
mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan saat memberi steroid oral : gunakan prednison,
prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada
otot minimal; bentuk oral, bukan parenteral; penggunaan selang
sehari atau sekali sehari pagi hari.
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid
oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,
diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,
glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.
Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral
pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru,
infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan
tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko
infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,
maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.
c. Antileukotrien (montelukast)
Bekerja dengan memblok cys-LT1-receptor dan
memberikan efek pada asma. Penggunaannya kurang efektif
dibandingkan dengan ICS dalam mengontrol asma dan memiliki efek
yang kurang terhadap inflamasi saluran napas, tetapi baik untuk terapi
tambahan pasien yang tidak terkontrol dengan ICS dosis rendah.
Diberikan secara oral sekali atau dua kali sehari.
d. Cromones (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan
nedokromil sodium belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang
bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat
saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi.
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis
menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal
paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak
seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak
enak saat melakukan inhalasi .
e. Steroid Sparing Therapies
Adapun jenis obat yang digunakan adalah methotrexate,
cyclosporin A, azathioprine, gold dan IV gamma globulin, tetapi
semua jenis obat ini tidak memiliki efek yang menguntungkan dalam
penggunaan jangka panjang.
f. Anti IgE
Omalizumab adalah antibodi penghambat yang
menetralisir sirkulasi IgE tanpa mengikat IgE sehingga mencegah
terjadinya reaksi IgE. Pengobatan ini digunakan untuk menurunkan
angka kejadian eksaserbasi pada pasien asma berat dan meningkatkan
kontrol asma. Namun untuk pengobatan ini membutuhkan biaya
mahal. Omalizumab biasanya diberikan secara injeksi subkutan 2-4
minggu sekali.
g. Terapi alternatif
Terapi yang digunakan adalah hipnosis, akupuntur,
chiropraxis, kontrol pernapasan, yoga, dan spleotherapy.
Manajemen berdasarkan derajat berat asma

1. Asma Intermiten

Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen,
asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula
penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar
pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal. Serangan berat umumnya
jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat pada
asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma persisten sedang.

Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan,
atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau
leukotriene modifiers atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin. Bila terjadi
serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja
singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau
antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama
3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.

2. Asma Persisten Ringan

Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat, sehingga terapi
utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari dengan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari
atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari.
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita
membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan
beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya.

3. Asma Persisten Sedang

Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah
kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari
atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika
penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum
terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya.
Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan.
Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau
kombinasi dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah.

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2
kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau
kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat
sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai
pengontrol.

4. Asma Persisten Berat

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai
nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal
mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat
pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2
kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian
glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari.
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai
kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi
selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja
lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral
dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan
jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah
menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal
harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/
mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada
asma di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma harian
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------
Persisten inhalasi Kromolin
Ringan (200-400 ug Leukotriene modifiers
BD/hari atau ekivalenya)
Asma Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid Ditambahag
Persisten glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD onis beta-2 kerja
Sedang (400-800 ug atau ekivalennya) lama oral, atau
BD/hari atau ekivalennya ditambah Teofilin lepas
) dan lambat Ditambahteo
agonis beta-2 kerja lama Glukokortikosteroid filin lepas lambat
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah agonis beta-2 kerja
lama oral, atau

Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi (>800 ug
BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah leukotriene modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon
Persisten glukokortikosteroid oral selang sehari 10 mg
Berat (> 800 ug BD atau ditambah agonis beta-2 kerja
ekivalennya) dan agonis lama oral, ditambah teofilin lepas
beta-2 kerja lama, lambat
ditambah 1 di bawah
ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol

Manajemen Serangan Akut Asma

Gambar 5. Manajemen Asma Akut27


Tabel 3. Pendekatan Managemen Asma Jangka Panjang ((diadaptasi dari 2007 NHLBI Guidelines for the
Diagnosis and Treatment of Asthma Expert Panel Report 3)1
BAB III
KESIMPULAN

Asma merupakan inflamasi kronis yang diasosiasikan dengan hiperresponsivitas


saluran napas yang menyebabkan episode rekuren mengi, breathlessness, sesak, dan batuk
terutama pada malam atau pagi hari. Penyakit asma menyerang 300 juta individu
diseluruh dunia. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang serius,
melibatkan seluruh kelompok usia, dengan peningkatan prevalensi terutama di negara
berkembang. Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Asma adalah penyakit yang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor meliputi faktor endogen dan faktor lingkungan. Namun faktor risiko penyebab
asma harus dibedakan pula dengan faktor pencetus yang umumnya merupakan faktor
lingkungan yang dapat memperburuk asma pada penderita yang telah memiliki asma.
Hiperresponsivitas jalan napas adalah terjadinya bronkokonstriksi yang
berlebihan karena respon dari trigger inhalasi multipel dan tidak memiliki efek apapun
pada jalan napas yang normal. Hiperresponsivitas berkaitan dengan frekuensi asma dan
ditunjukkan dengan bronkokonstriktor langsung, seperti histamin dan metakolin yang
akan mengkontraksikan otot polos jalan napas.
Gejala tipikal dari asma adalah episode rekuren dari wheezing, dada seperti terikat,
sesak napas, dan batuk. Asma biasanya sering didiagnosis sebagai infeksi dada atau flu
yang sembuh lebih lama. Biasanya penyebab klasik serangan adalah olahraga, udara
dingin, paparan alergen udara atau polutan, infeksi viral saluran pernafasan atas. Adapun
diagnosis asma dapat dibuat berdasarkan GINA, British Thoracic Society, dan Australian
Asthma Council.
Adapun beberapa tujuan dari dilakukannya terapi pada penderita asma adalah
untuk meminimalisir gejala kronik termasuk nokturnal, meminimalisir kejadian
eksaserbasi, mengurangi penggunaan 2 agonis, tidak membatasi aktivitas termasuk
berolahraga, dan meminimalisir penggunaan obat. Beberapa jenis obat yang digunakan
sebagai terapi utama asma adalah bronkodilator yang memberikan efek dilatasi jalan
napas. Jenis lainnya adalah pengontrol yaitu medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma dan menghambat proses inflamasi
DAFTAR PUSTAKA

1. GINA. Pocket Guide for Health Professionals [Internet]. 2015. [cited 2016 Sept 12].
Available From: http://ginasthma.org/wpcontent/uploads/2016/01/GINA_Pocket_2015.
pdf

2. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention [Internet]. 2015. [cited
2016 Sept 12]. Available from: http://ginasthma.org/wp-content/uploads/2016/
01/GINA_Report_2015_Aug11-1.pdf

3. Kemenkes. Infodatin: Asma [Internet]. 2014. [cited 2016 Sept 12]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-asma.pdf

4. Expert Panel Report 3 (EPR-3): Guidelines for the Diagnosis and Management of
AsthmaSummary Report 2007. Journal of Allergy and Clinical Immunology.
2007;120(5):S94-S138.

5. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's principles of


internal medicine. New York, N.Y.: McGraw-Hill Medical; 2014.

6. Holt PSly P. Viral infections and atopy in asthma pathogenesis: new rationales for
asthma prevention and treatment. Nature Medicine. 2012;18(5):726-735.

7. Mukherjee AZhang Z. Allergic Asthma: Influence of Genetic and Environmental


Factors. Journal of Biological Chemistry. 2011;286(38):32883-32889.

8. Kloepfer K, Lee W, Pappas T, Kang T, Vrtis R, Evans M et al. Detection of pathogenic


bacteria during rhinovirus infection is associated with increased respiratory symptoms
and asthma exacerbations. Journal of Allergy and Clinical Immunology.
2014;133(5):1301-1307.e3.
9. Paul G, Brehm J, Alcorn J, Holgun F, Aujla S, Celedn J. Vitamin D and Asthma. Am
J Respir Crit Care Med. 2012;185(2):124-132.

10. Guarnieri MBalmes J. Outdoor air pollution and asthma. The Lancet.
2014;383(9928):1581-1592.

11. Gregory Lloyd C. Orchestrating house dust mite-associated allergy in the lung. Trends
in Immunology. 2011;32(9):402-411.

12. Palikhe N, Kim J, Park H. Biomarkers Predicting Isocyanate-Induced Asthma. Allergy


Asthma Immunol Res. 2011;3(1):21.

13. Holguin F, Bleecker E, Busse W, Calhoun W, Castro M, Erzurum S et al. Obesity and
asthma: An association modified by age of asthma onset. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 2011;127(6):1486-1493.e2.

14. Crump C, Winkleby M, Sundquist J, Sundquist K. Risk of Asthma in Young Adults


Who Were Born Preterm: A Swedish National Cohort Study. PEDIATRICS.
2011;127(4):e913-e920.

15. Morales D, Jackson C, Lipworth B, Donnan P, Guthrie B. Adverse Respiratory Effect


of Acute -Blocker Exposure in Asthma. Chest. 2014;145(4):779-786.

16. Naguwa S, Afrasiabi R, Chang C. Exercise-Induced Asthma. Bronchial Asthma.


2011;:251-266.

17. Hyrks H, Jaakkola M, Ikheimo T, Hugg T, Jaakkola J. Asthma and allergic rhinitis
increase respiratory symptoms in cold weather among young adults. Respiratory
Medicine. 2014;108(1):63-70.
18. Rao C, Moore C, Bleecker E, Busse W, Calhoun W, Castro M et al. Characteristics of
Perimenstrual Asthma and Its Relation to Asthma Severity and Control. Chest.
2013;143(4):984-992.

19. Saritas YVaezi M. Extraesophageal manifestations of gastroesophageal reflux


disease: cough, asthma, laryngitis, chest pain. Swiss Med Wkly. 2012.

20. Yonas M, Lange N, Celedn J. Psychosocial stress and asthma morbidity. Current
Opinion in Allergy and Clinical Immunology. 2012;12(2):202-210.

21. Walker BR, Colledge NR. Davidsons Principles and Practice of Medicine. Elsevier
Health Sciences; 2013. 1394 p.

22. Kumar P, Clark M. Kumar & Clarks Clinical Medicine. Seventh. London: Elsevier
Health Sciences; 2005.

23. Florin T, MD SL, Aronson PL, Werner HC. Netters Pediatrics. Elsevier Health
Sciences; 2011. 861 p.

24. Gould BE, Dyer R. Pathophysiology for the Health Professions - E- Book. Elsevier
Health Sciences; 2014. 737 p.

25. British Thoracic Society. British Guideline on the Management of Asthma. British
Thoracic Society; 2014.

26. Making a diagnosis of asthma in adults [Internet]. Australian Asthma Handbook.


[cited 2016 Aug 28]. Available from: http://www.asthmahandbook.org.au/diagnosis/
adults/making-a-diagnosis
27. Lalloo U, Ainslie G, Abdool-Gaffar M, Awotedu A, Feldman C, Greenblatt M et al.
Guideline for the management of acute asthma in adults: 2013 update. S Afr Med J.
2012;103(3):189.

Anda mungkin juga menyukai