Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu

penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang

ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan

metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari

insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh

gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar

pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh

terhadap insulin. (Depkes, 2008)

Berdasarkan Perkeni tahun 2015 Diabetes Melitus adalah penyakit

gangguan metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik

hyperglikemia. Berbagai komplikasi dapat timbul akibat kadar gula darah

yang tidak terkontrol, misalnya neuropati, hipertensi, jantung koroner,

retinopati, nefropati, dan gangren.

Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolisme yang

disebabkan kurangnya hormon insulin. Hormon insulin dihasilkan oleh

sekelompok sel beta di kelenjar pankreas dan sangat berperan dalam

metabolisme gula dalam sel tubuh. Kadar gula yang tinggi dalam tubuh

tidak bisa diserap semua dan tidak mengalami metabolisme dalam sel.

11
12

Akibatnya, seseorang akan kekurangan energi, sehingga mudah lelah dan

berat badan terus turun. Kadar gula yang berlebih tersebut dikeluarkan

melalui ginjal dan dikeluarkan bersama urin. Gula memiliki sifat menarik

air sehingga menyebabkan seseorang banyak mengeluarkan urin dan

selalu merasa haus. (Maulana, 2015)

Dengan kata lain, diabetes adalah suatu penyakit di mana kadar

glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat

melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup. Sedangkan insulin

sendiri adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, yang bertanggung

jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal. Insulin

memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau

disimpan sebagai cadangan energi.

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association

(2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:

1) DM Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas

karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau

tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level

protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi

sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.
13

2) DM Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes

Mellitus/NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi

insulin tidak bisa membawa gula masuk ke dalam jaringan karena

terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan

insulin untuk merangsang pengambilan gula oleh jaringan perifer

dan untuk menghambat produksi gula oleh hati. Oleh karena

terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif

karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan

mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat

mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya gula

bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas

akan mengalami desensitisasi terhadap adanya gula. Onset DM

tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.

Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan

mengakibatkan sensitivitas reseptor akan gula berkurang. DM

tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3) DM Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek

genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik,

infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.


14

4) DM Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana

intoleransi gula didapati pertama kali pada masa kehamilan,

biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional

berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk

menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun

setelah melahirkan.

Kriteria Diagnostik DM menurut American Diabetes Association

(2010) :

a) Gejala klasik DM dengan gula darah sewaktu 200 mg/ dl (11.1

mmol/L). Gula darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan

sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan

terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria, polidipsia dan berat badan

turun tanpa sebab.

b) Kadar gula darah puasa 126 mg/ dl (7.0 mmol/L). Puasa adalah

pasien tak mendapat kalori sedikitnya 8 jam.

c) Kadar gula darah 2 jam PP 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes

Toleransi Gula Oral dilakukan dengan standar WHO,

menggunakan beban gula yang setara dengan 75 gr gula anhidrus

yang dilarutkan ke dalam air. Apabila hasil pemeriksaan tidak

memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke

dalam kelompok Toleransi Gula Terganggu (TTGO) atau Gula


15

Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantung dari hasil yang

dipeoleh : TGT : Gula darah plasma 2 jam setelah beban antara

140- 199 mg/dl (7,8-11,0 mmol/L) GDPT : Gula darah puasa

antara 100 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L).

2.1.3 Patofisiologi DM

Menurut Noor (2015), dalam artikelnya, patofisiologi DM tipe 2

terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :

1) Resistensi insulin

2) Disfungsi sel B pankreas

DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin

secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin.

Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya

aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi

produksi gula hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan

sel-sel B Langerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Defisiensi

fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak

absolut.

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan

pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,

pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B

pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif


16

seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya

penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita DM tipe 2

memang umumnya ditemukan kedua factor tersebut, yaitu resistensi

insulin dan defisiensi insulin.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Maulana (2015), Tanda-tanda seseorang itu terkena atau

mengidap diabetes adalah sebagai berikut:

Gejala Diabetes tipe 1 muncul secara tiba-tiba pada saat usia anak-anak

sebagai akibat dari kelainan genetika, sehingga tubuh tidak memproduksi

insulin dengan baik. Gejala-gejalanya antara lain adalah:

a) Sering buang air kecil

b) Terus menerus lapar dan haus

c) Berat badan menurun

d) Kelelahan

e) Penglihatan kabur

f) Infeksi pada kulit yang berulang

g) Meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni

h) Cenderung terjadi pada mereka yang berusia di bawah 20 tahun.

Sedangkan gejala diabetes tipe 2 muncul secara perlahan-lahan

sampai menjadi gangguan yang jelas, dan pada tahap permulaannya

seperti gejala diabetes tipe 1, yaitu:

a) Cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit

b) Sering buang air kecil


17

c) Terus menerus lapar dan haus

d) Kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya

e) Mudah sakit yang berkepanjangan

f) Biasanya terjadi pada mereka yang berusia diatas 40 tahun, tetapi

prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan

remaja.

Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai

keletihan akibat kerja. Jika gula darah sudah tumpah ke saluran urin dan

urin tersebut tidak disiram, maka akan dikerumuni oleh semut yang

merupakan tanda adanya gula.

Gejala lain yang biasanya muncul adalah :

a) Penglihatan kabur

b) Luka yang lama sembuh

c) Kaki terasa kebas, geli, atau merasa terbakar

d) Infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita

e) Impotensi pada pria

2.1.5 Faktor Resiko DM

Menurut Holistic Health Solution (2011), Indonesia menempati

urutan keempat di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan China dalam

angka penderita diabetes. Diperkirakan sedikitnya 14 juta orang di negeri

ini menderita diabetes dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Ada

sejumlah factor yang dianggap bisa meningkatkan risiko diabetes, yakni:


18

1) Kadar glukosa darah tinggi

Jika pemeriksaan gula darah (glukosa) menunjukkan seseorang

mengalami prediabetes (gula darah berkisar 111-125 mg/dL),

berarti dia berisiko tinggi terkena diabetes.

2) Adanya riwayat keluarga

Seseorang berisiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 1 atau tipe

2 jika orang tua atau saudara laki-laki atau perempuannya

menderita penyakit ini.

3) Kelebihan berat badan

Sebagian besar penderita diabetes tipe 2 memiliki kelebihan

berat badan. Semakin banyak jaringan lemak, semakin resisten

otot dan sel jaringan terhadap insulin, terutama jika kelebihan

lemak berada di sekitar perut.

4) Kurang beraktivitas

Semakin kurang aktif, semakin besar risiko seseorang terkena

diabetes.

5) Usia

Risiko terkena diabetes tipe 2 bertambah seiring dengan

meningkatnya usia.

6) Riwayat diabetes gestasional

Lebih dari separuh wanita yang mengalami diabetes gestasional

(mengalami diabetes saat hamil) kelak akan terkena diabetes


19

tipe 2 dalam hidupnya. Wanita yang pernah melahirkan bayi

dengan berat badan lebih dari 4,5 kg juga berisiko lebih tinggi.

7) Sindrom ovarium polikistik

Sindrom ovarium polikistik adalah kondisi yang terjadi akibat

ketidakseimbangan hormon pada wanita. Sindrom ini terkait

kuat dengan risiko diabetes tipe 2. Banyak wanita yang

menderita sindrom ini memiliki kadar insulin darah yang tinggi

dan kurang peka terhadap efek insulin dibandingkan orang lain.

8) Hipertensi atau lemak darah yang abnormal

Karena orang yang memiliki tekanan darah tinggi dan kadar

lemak darah (lipid) abnormal berisiko terkena diabetes, semua

pengidap kedua kondisi tersebut harus melakukan pemeriksaan

diabetes.

2.1.6 Diagnosis DM tipe 2

Biasanya, dokter akan melakukan diagnosis dugaan terlebih dahulu,

yaitu berdasarkan keluhan atau gejala khas yang dialami seseorang.

Setelah melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan seseorang

tersebut menderita DM atau tidak. Diagnosis ini disebut dengan

diagnosis pasti. Setelah itu, dokter akan memutuskan bahwa seseorang

telah menderita DM jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Seseorang menderita gejala khas beserta keluhan seperti

disebutkan diatas ditambah dengan kadar gula darah sewaktu lebih

besar atau sama dengan 200 mg/dl.


20

b) Seseorang memiliki kadar gula darah puasa lebih besar atau sama

dengan 126 mg/dl sebanyak 2 kali pemeriksaan pada saat yang

berbeda.

Jika pemeriksaan kadar Gula darah sewaktu masih meragukan, perlu

dilakukan tes toleransi gula oral dengan tujuan untuk memastikan

diagnosis. (Maulana, 2015)

Para penderita diabetes tipe 2 biasanya terdiagnosis pada usia 30-an.

Namun, saat ini kita melihat semakin banyak pasien yang terdiagnosis

pada usia remaja. Mungkin merupakan predisposisi genetika, sama

dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1, yang mungkin berhubungan

dengan perkembangan diabetes tipe 2. Namun, tidak seperti para

penderita diabetes tipe 1, banyak penderita diabetes tipe 2 (60%)

mengalami obesitas. Ini tampaknya disebabkan oleh gabungan antara

faktor genetika dan akibat tubuh memperoleh lebih banyak kalori untuk

menjaga kadar gula darah tetap cukup tinggi agar sel berfungsi. (Darryl,

2012)

2.1.7 Komplikasi DM

Menurut Maulana (2015), komplikasi DM terdiri dari :

1) Komplikasi Akut

Komplikasi akut terjadi jika kadar gula darah seseorang meningkat

atau menurun dengan tajam dalam waktu relatif singkat. Kadar gula

darah bisa menurun drastis jika penderita menjalani diet yang terlalu

ketat. Perubahan yang besar dan mendadak dapat berakibat fatal.


21

Dalam komplikasi akut dikenal beberapa istilah sebagai berikut:

a) Hipoglikemia yaitu keadaan seseorang dengan kadar gula

darah dibawah nilai normal. Gejala hipoglikemia ditandai

dengan munculnya rasa lapar, gemetar, mengeluarkan

keringat, berdebar-debar, pusing, gelisah, dan penderita bisa

menjadi koma

b) Ketoasidosis diabetik-koma diabetik yang diartikan sebagai

keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat

mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan

yang terlalu bebas, atau stress.

c) Koma hiperosmolar non ketotik yang diakibatkan adanya

dehidrasi berat, hipotensi, dan shock. Karena itu, koma

hiperosmolar non ketotik diartikan sebagai keadaan tubuh

tanpa penimbunan lemak yang menyebabkan penderita

menunjukkan pernapasan yang cepat dan dalam (kusmaul).

d) Koma lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh

dengan asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi

bikarbonat. Akibatnya, kadar asam laktat dalam darah

meningkat dan seseorang bisa mengalami koma.

2) Komplikasi Kronis

Komplikasi kronis diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang

akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, gangguan fungsi

ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronis sering dibedakan


22

berdasarkan bagian tubuh yang mengalami kelainan, seperti kelainan

di bagian mata, mulut, jantung, urogenital, saraf dan kulit.

Tabel 2.1
Komplikasi jangka panjang dari Diabetes
Sumber (Maulana, 2015)

Organ/Jaringan Yang terjadi Komplikasi


yang terkena
Pembuluh darah Plak aterosklerotik Sirkulasi yang jelek
terbentuk & menyumbat menyebabkan
arteri berukuran besar penyembuhan luka yang
atau sedang di jantung, jelek & bisa
otak, tungkai & penis. menyebabkan penyakit
Dinding pembuluh darah jantung, stroke,
kecil mengalami gangrene kaki & tangan,
kerusakan sehingga impoten & infeksi.
pembuluh tidak dapat
mentransfer oksigen
secara normal &
mengalami kebocoran.
Mata Terjadi kerusakan pada Gangguan penglihatan
pembuluh darah kecil & pada akhirnya bisa
retina terjadi kebutaan

Ginjal a) Penebalan pembuluh Fungsi ginjal yang


darah ginjal buruk Gagal ginjal
b) Protein bocor ke
dalam air kemih
c) Darah tidak disaring
secara normal
Saraf Kerusakan saraf karena a) Kelemahan tungkai
Gula tidak dimetabolisir yang terjadi secara
secara normal dan karena tiba-tiba atau secara
aliran darah berkurang perlahan
b) Berkurangnya rasa,
kesemutan dan nyeri
di tangan & kaki
c) Kerusakan saraf
menahun
Sistem saraf Kerusakan pada saraf a) Tekanan darah yang
otonom yang mengendalikan naik-turun
tekanan darah & saluran b) Kesulitan menelan
pencernaan & perubahan fungsi
pencernaan disertai
serangan diare
Kulit Berkurangnya aliran a) Luka, infeksi dalam
darah ke kulit & (ulkus diabetikum)
23

hilangnya rasa yang b) Penyembuhan luka


menyebabkan cedera yang jelek
berulang
Darah Gangguan fungsi sel Mudah terkena infeksi,
darah putih terutama infeksi saluran
kemih & kulit
Jaringan Ikat Gula tidak Sindroma terowongan
dimetabolisasi secara karpal Kontraktur
normal sehingga Dupuytren.
jaringan menebal atau
berkontraksi

2.1.8 Penatalaksanaan DM

Menurut Suzanna Ndraha (2014), dalam artikelnya tentang

penatalaksanaan DM tipe 2, dalam Konsensus Pengelolaan dan

Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan

pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu

: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.

1) Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan

perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan

keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komprehensif

dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki

perilaku sehat.

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha

pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami

penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah

kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat

masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan


24

pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan

perilaku/kebiasaan yang diperlukan.

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan

gula mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan obat-

obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan

mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

2) Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu

makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori

masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan

jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan

yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-

25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup

serat sekitar 25g/hari.

3) Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-

masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani

dianjurkan yang bersifat aerobic seperti jalan santai, jogging,

bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga

kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

meningkatkan sensitifitas insulin.


25

4) Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan

peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan

jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk

suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Pemicu sekresi insulin :

a) Sulfonilurea

b) Glinid

Peningkat sensitivitas insulin :

a) Biguanid

b) Tiazolidindion

Penghambat gluconeogenesis alfa :

a) Biguanid (Metformin)

Penghambat glukosidase alfa :

a) Acarbose

b. Obat Suntikan

a) Insulin

b) Agonis GLP-1/incretin mimetic

Dengan memahami 4 pilar tatalaksana DM tipe 2 ini, maka dapat

dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat

(GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri

dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan


26

secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian

penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar gula darahnya dengan

menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS gula darah belum terkendali,

maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara

bertahap sesuai dengan respons kadar Gula darah. Pemberian OHO

berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit

sebelum makan. Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah

makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama.

Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor

dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.

2.2 Kadar Gula Darah

2.2.1 Definisi

Glukosa adalah gula. Gula diuraikan dalam sel untuk menghasilkan

tenaga. Gula darah meningkat setelah kita makan atau minum sesuatu

yang bukan air putih biasa. Tingkat gula darah yang tinggi, yang disebut

hiperglikemia, merupakan tanda penyakit DM. Gula darah yang tinggi

lambat laun dapat merusak mata, saraf, ginjal, atau jantung. (Maulana,

2015).
27

2.2.2 Kriteria Kadar Gula Darah

Patokan patokan yang dipakai di Indonesia adalah (Perkeni, 2011):

1) Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar gula darah. Pada ketetapan

terakhir yang dikeluarkan oleh WHO dalam petemuan tahun 2005

disepakati bahwa angkanya tidak berubah dari ketetapan

sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 1999, yaitu:

Tabel 2.2
Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar Gula darah
(Sumber: Perkeni, 2011)

Metode Kadar Gula Darah


Pengukuran Normal DM IGT IFG
Gula darah < 6,1 7.0 < 7.0 < 6,1
Puasa mmol/L mmol/L mmol/L mmol/L
(<110 (126 (<126 (<10
mg/dL) mg/dL) mg/dL) mg/dL)

Gula darah Nilai yang 11,1 11,1 (<140 g/dL)


2 jam PP sering mmol/L mmol/L Jika diukur
(setelah dipakai tidak (200mg/dL) (200
makan) spesifik <7,8 mg/dL)
mmol/L
(<140
mg/dL)
2) Kadar Gula darah normal (Normoglycaemia) Normoglycaemia

adalah kondisi dimana kadar Gula darah yang ada mempunyi resiko

kecil untuk dapat berkembang menjadi diabetes atau menyebabkan

munculnya penyakit jantung dan pembuluh darah.

3) IGT (Impairing Glucose Tolerance) IGT oleh WHO didefinisikan

sebagai kondisi dimana seseorang mempunyai resiko tinggi untuk

terjangkit diabetes walaupun ada kasus yang menunjukkan kadar

gula darah dapat kembali ke keadaan normal. Seseorang yang kadar


28

gula darahnya termasuk dalam kategori IGT juga mempunyai resiko

terkena penyakit jantung dan pembuluh darah yang sering

mengiringi penderita diabetes. Kondisi IGT ini menurut para ahli

terjadi karena adanya kerusakan dari produksi hormon insulin dan

terjadinya kekebalan jaringan otot terhadap insulin yang diproduksi.

4) IFG (Impairing Fasting Glucose) Batas bawah untuk IFG tidak

berubah untuk pengukuran gula darah puasa yaitu 6.1 mmol/L atau

110 mg/dL. IFG sendiri mempunyai kedudukan hampir sama dengan

IGT. Bukan entitas penyakit akan tetapi sebuah kondisi dimana

tubuh tidak dapat memproduksi insulin secara optimal dan

terdapatnya 10 gangguan mekanisme penekanan pengeluaran gula

dari hati ke dalam darah.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kadar Gula Darah

Dalam jurnalnya, Mei, Catur & Asih (2013) Faktor-faktor yang

mempengaruhi kadar gula darah pada penderita DM tipe 2, antara lain

faktor umur, jenis kelamin, kepatuhan minum obat, kepatuhan diet,

asupan (karbohidrat, protein, lemak dan serat), indeks glikemik, aktivitas

fisik, pengetahuan dan dukungan keluarga.

1) Seiring dengan bertambahnya usia, organ tubuh mengalami

penurunan fungsi atau bahkan kegagalan dalam menjalankan

fungsinya, termasuk sel beta pankreas. Pada orang yang memiliki

umur lebih dari 45 tahun, fungsi sel beta pangkreas mengalami


29

penurunan yang besarnya tergantung pada beban kerja sel beta

pankreas

2) Jenis kelamin penderita DM berhubungan dengan pengendalian

kadar gula darah. Wanita diketahui memiliki pengendalian kadar

gula darah yang lebih buruk dibanding pria. Wanita memiliki sikap

yang lebih baik terhadap pengelolaan DM, namun memiliki

dukungan keluarga yang kurang serta aktivitas fisik yang lebih

rendah dibandingkan laki-laki. Meningkatnya durasi DM

berhubungan dengan semakin buruknya kendali kadar gula darah.

Hal ini berkaitan dengan progresivitas penurunan sekresi insulin

akibat kerusakan sel beta pankreas.

3) Kepatuhan pengobatan adalah keterlibatan secara aktif dan sukarela

dari pasien terhadap pengelolaan penyakit yang dideritanya dengan

mengikuti kesepakatan pengobatan yang telah dibuat antara pasien

dan petugas kesehatan. Kepatuhan minum obat merupakan salah

satu faktor yang berhubungan dengan kadar gula darah penderita

DM tipe 2 dimana penderita DM yang tingkat kepatuhan minum

obatnya rendah memiliki pengendalian kadar gula darah yang buruk.

Kepatuhan diet yang dijalankan merupakan salah satu faktor yang

berperan dalam pengelolaan DM tipe 2 berkaitan dengan kepatuhan

terhadap diet yang dianjurkan.

4) Asupan karbohidrat merupakan komponen utama dalam makanan

yang mempengaruhi kadar gula darah postprandial dan kebutuhan


30

insulin. Makanan yang termasuk dalam jenis karbohidrat sederhana

lebih cepat meningkatkan kadar gula darah dibandingkan

karbohidrat kompleks yang umumnya tinggi serat. Glukosa yang

diabsorbsi dari asupan makanan memiliki kontribusi terbesar dalam

menaikkan kadar gula darah, sedangkan asupan lemak, protein,

fruktosa dan galaktosa memiliki efek yang kecil terhadap kenaikan

kadar gula darah. Pada umumnya, peranan asupan protein pada

pengendalian kadar gula darah penderita DM hanya dilihat dari

kontribusi asam amino menghasilkan gula melalui proses

gluconeogenesis. Asupan gula yang disertai protein pada penderita

DM tipe 2 menstimulasi sekresi insulin dan menurunkan respon gula

darah terhadap gula jika dibandingkan dengan asupan gula saja.

5) Diet tinggi lemak diketahui memperburuk pengendalian kadar gula

darah pada penderita DM, sedangkan diet rendah lemak dapat

memperbaiki toleransi gula dan sensitivitas insulin jika disertai

dengan asupan karbohidrat kompleks tinggi serat atau asupan tinggi

protein. Asupan makanan tinggi lemak berkaitan dengan terjadinya

peningkatan oksidasi asam lemak yang mempengaruhi metabolism

karbohidrat, menurunkan oksidasi glukosa pada otot dan

meningkatkan produksi gula di hati.

6) Indeks glikemik berguna untuk menentukan respons gula darah

terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Konsumsi

makanan dengan indeks glikemik rendah diktetahui dapat


31

menurunkan kadar glukosa darah pada postprandial serta dapat

memperbaiki kendali

7) Aktivitas fisik pada penderita DM memiliki peranan pensting dalam

pengendalian kadar gula darah. Khususnya bagi penderita DM tipe

2. Pada saat melakukan melakukan aktivtas fisik atau berolahraga,

kebutuhan otot terhadap glukosa sebagai bahan bakar akan

meningkat, sehingga terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh

otot. Pada otot yang aktif karena aktivitas fisik, jumlah reseptor

insulin pada sel tubuh serta sensitivitas reseptor terhadap insulin

mengalami peningkatan. Sehingga terjadi peningkatkan pemakaian

glukosa oleh otot. Pada otot yang aktif karena aktivitas fisik, jumlah

reseptor insulin pada sel tubuh serta sensitivitas reseptor terhadap

insulin mengalami peningkatan.

8) Pengetahuan merupakan faktor-faktor yang sangart penting dalam

pembentukan perilaku seseorang. Perilaku yang disadari oleh

pengetahuan akan bertahan lebih lama dibandingkan perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan. Penderita DM tipe 2 yang

memperoleh edukasi sehingga pengetahuannya meningkat memiliki

kemampuan adaptasi dan melakukan perubahan perilaku yang lebih

baik. Semakin baik pengetahuan penderita mengenai kondisi yang

dialaminya, semakin baik pengendalian kadar glukosa darah yang

dapat dicapai. Anggota keluarga dapat memberikan dampak positif

maupun negatif terhadap kesehatan penderita DM melalui


32

mekanisme kontribusi terhadap aktivitas pengelolaan DM serta

kontribusi dalam mencegah atau menimbulkan stress.

Tabel 2.3
Kriteria Pengendalian Kadar Gula Darah

Kriteria Buruk Baik Sedang Buruk


Hipoglikemia Hiperglikemia
Gula < 80 80-109 110-125 126
darah mg/Dl mg/dL mg/dL mg/dL
puasa
Gula < 110 110-144 145-179 180
darah 2 mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL
Jam PP
Sumber : Holistic Health Solution (2011).

2.2.4 Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Beberapa tes di bawah ini dapat memberi informasi tentang keadaan

glukosa dalam darah (Tandra, 2007) :

1) Tes Glukosa Darah Kapiler

Cara screening ini cepat dan murah, yakni dengan menusuk

ujung jari untuk mengambil tidak lebih dari setetes darah

kapiler. Tes ini disebut finger-prick blood sugar screening atau

lazim disingkat gula darah stick. Bisa dipakai untuk memeriksa

glukosa darah puasa, 2 jam sesudah makan, maupun yang

sewaktu atau acak. Pada stick yang dipakai, sudah ada bahan

kimia yang bila ditetesi darah akan bereaksi dan dalam 1-2

menit sudah memberi hasil.


33

2) Tes Glukosa Darah Vena

Biasanya dilakukan oleh laboratorium dengan mengambil

darah dari pembuluh darah vena di lengan bagian dalam untuk

menilai kadar glukosa darah setelah puasa minimal 8 jam dan

glukosa darah 2 jam sesudah makan (2 jam pp-post prandial).

Harap diingat bahwa pada pasien yang sudah mengidap

diabetes, pemeriksaan darah dilakukan dalam keadaan pasien

tetap mengkonsumsi obat atau suntik insulin seperti biasanya,

sebagaimana telah diinstruksikan oleh dokter pada kontrol

sebelumnya. (Banyak orang beranggapan keliru bahwa semua

obat harus dihentikan pada saat pemeriksaan darah). Glukosa

darah puasa memberi gambaran bagaimana glukosa darah

kemarin harinya, sedangkan yang 2 jam pp untuk melihat kira-

kira bagaimana hasil minum obat yang diberikan dan diet pada

pagi itu

3) Tes Toleransi Glukosa

Tes ini lebih teliti. Setelah 10 jam puasa, pagi harinya

pasien datang ke laboratorium untuk periksa glukosa darah.

Lalu, pasien minum glukosa 75 gram (kira-kira 2-3 kali lebih

manis daripada minuman softdrink), dan 2 jam kemudian

diperiksa lagi glukosa darahnya.

Bila curiga ada diabetes, tetapi pada 2 pemeriksaan

terdahulu (tes glukosa darah kapiler atau vena) tidak bisa


34

dipastikan apakah pasien tersebut mengidap diabetes atau tidak,

perlu dipikirkan tes toleransi glukosa ini.

4) Tes Glukosa Urine

Glukosa yang menimbun dalam darah akan keluar melalui

urine dan terdeteksi pada tes urine. Adanya glukosa dalam urine

adalah indikasi bahwa pasien tersebut terkena diabetes. Namun,

tes urine ini tidak dapat dipakai untuk memastikan suatu

diagnosis diabetes. Sebab, selain pada glukosa darah itu sendiri,

kadar glukosa dalam urine tergantung pada jumlah urine,

pengaruh obat-obatan, serta fungsi ginjal.

5) Tes HbA1c (Glycated Hemoglobin atau Glycosylated

Hemoglobin)

Bila sudah pasti terkena diabetes, dokter akan

menganjurkan pemeriksaan HbA1c darah setiap 2-3 bulan. Tes

ini memberi gambaran tentang keadaan glukosa darah dalam 2-

3 bulan terakhir. Ini lebih baik daripada pemeriksaan glukosa

darah sewaktu, untuk melihat ketaatan si pasien. Glukosa darah

yang tinggi akan diikat pada molekol hemoglobin (Hb) dalam

darah, dan akan bertahan dalam darah sesuai dengan usia

hemoglobin, yaitu 2-3 bulan. Makin tinggi glukosa darah, makin

banyak molekul hemoglobin yang berikatan dengan gula. Tes

ini dipakai untuk memantau pengobatan diabetes, serta menilai

keberhasilan diet dan olahraga yang dilakukan.


35

2.2.5 Kembalinya Gula Darah ke Kadar Puasa

Setelah makanan di cerna dan diserap, kadar glukosa darah

meningkat mencapai puncak lalu mulai menurun. Penyerapan glukosa

dari makanan oleh sel, terutama oleh sel-sel di hati, otot, dan jaringan

adipose, menurunkan kadar glukosa darah. Dua jam setelah makan, kadar

glukosa darah kembali ke kadar puasa normal sekitar 80-100 mg/dL. (~5

mM) (Dawn B Marks. 2000).

Segera setelah makan, karbohidrat dalam makanan berfungsi sebagai

sumber utama glukosa darah. Sewaktu kadar glukosa darah kembali ke

rentang puasa dalam 2 jam setelah makan, glikogenolisis dirangsang dan

mulai memasok glukosa ke darah. Kemudian, glukosa juga dihasilkan

melalui gluconeogenesis (Dawn B Marks. 2000).

Selama puasa 12 jam, sumber utama glukosa darah adalah

glikogenolisis. Dengan demikian, glikogenolisis adalah jalur utama

penghasil glukosa glukosa dalam keadaan basal (setelah 12 jam). Namun,

setelah puasa sekitar 16 jam, glikogenolisis dan gluconeogenesis

memiliki peran sama dalam memelihara glukosa darah (Dawn B Marks.

2000).

Tigapuluh jam setelah makan, simpanan glikogen di dalam hati

habis. Akibatnya gluconeogenesis adalah satu-satunya sumber glukosa

darah. Mekanisme tersebut yang menyebabkan lemak digunakan sebagai

bahan bakar utama dan yang memungkinkan kadar glukosa darah

dipertahankan selama masa kekurangan makanan menyebabkan protein


36

tubuh dapat dipertahankan selama masa kekurangan makanan

menyebabkan protein tubuh dapat dipertahankan. Karena itu, manusia

dapat bertahan hidup tanpa mendapat makanan dalam jangka lama,

sering melebihi satu bulan atau bahkan lebih (Dawn B Marks. 2000).

2.3 Konsep Puasa

2.3.1 Definisi

Puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban bagi ummat

Islam berupa berniat puasa, tidak makan , minum dan menahan diri dari

hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam

matahari. (Sabiq. S 2006 dalam skripsi Mughni, 2007)

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan shaum. Shaum secara

bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara,

nikah dan berjalan. Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan

diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.

Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh

(dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim

(tidak bersafar). Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan itu wajib

adalah dalil Al Quran, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama

(ijma ulama).

Di antara dalil dari Al Quran adalah firman Allah Taala,




37

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

bertakwa. (QS. Al Baqarah : 183).

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa

sallam,

Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah

(sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad

adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat;

menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.

Wajibnya puasa ini juga sudah malum minnad dini bidhoruroh

yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian

dari rukun Islam. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari

wajibnya hal ini.

2.3.2 Manfaat Puasa untuk Kesehatan

1) Kesehatan Jiwa

a) Puasa dapat mengendalikan marah

Puasa mengajarkan bahwa kemenangan bukanlah ketika

berhasil menundukkan sepasukan musuh, tetapi saat kita

berhasil menaklukkan apa yang ada didalam dada, yakni nafsu

kita sendiri.
38

b) Puasa dapat mengontrol kebencian

Kita boleh benci, asal kebencian itu timbul dari kebersihan

hati, bukan dari ketakaburan diri. Benci kepada kebhatilan dan

ketidakadilan adalah keharusan. Jadi, ada benci yang benar

dan ada benci yang salah. Benci yang tidak diperkenankan

adalah benci yang timbul dari kesombongan.

c) Puasa dapat mengusir kecemasan

Puasa akan menjadikan kita agar tidak cemas terhadap hal-hal,

seperti kematian, kemiskinan, kehilangan kekuasaan dsb.

d) Puasa dapat menenangkan dan mencerdaskan pikiran

Orang yang berpuasa akan merasakan ketenangan.

Ketenangan inilah yang akan membuat bisa berfikir jernih.

Banyak sekali masalah kecil menjadi rumit karena kita

menghadapinya dengan kemarahan atau ketakutan.

Ketenangan hati adalah kunci kecerdasan otak kita dan puasa

adalah media ampuh untuk memperoleh ketenangan itu.

(Mustamir, 2011)

2) Kesehatan DM

Berdasarkan penelitian-penelitian para ahli kedokteran,

ternyata puasa dapat mengurangi kadar gula darah dalam tubuh.

Dengan begitu, tubuh akan terbebas dari penyakit Diabetes

Mellitus. Sudah banyak dilakukan usaha pengobatan terhadap

diabetes dengan mengikuti system puasa selama lebih dari 10


39

jam dan kurang dari 20 jam. Setiap kelompok mendapatkan

pengaruh sesuai keadaan. Metode ini telah mencapai hasil

menakjubkan dalam pengobatan diabetes, tanpa menggunakan

satupun obat-obatan kimiawi. (Mustamir, 2011).

2.3.3 Fisiologi Puasa

Menurut Jurnal dari IDI yaitu Tata Laksana Diabetes Melitus saat

Puasa Ramadhan, oleh Firmansyah (2013) :

a. Efek puasa pada individu normal

1) Efek terhadap Berat Badan

Beberapa studi mendapati bahwa individu sehat yang

menjalani puasa Ramadhan mengalami penurunan berat badan.

Studi pada 81 orang mahasiswa sehat di sebuah universitas

Teheran mendapati penurunan berat badan setelah berpuasa

Ramadhan baik pada lelaki ataupun perempuan. Hasil yang

sama juga didapatkan oleh Sadiya dkk.

2) Efek terhadap Metabolisme Glukosa

Pada individu normal, proses makan akan merangsang

sekresi insulin dari sel beta pankreas. Proses ini pada akhirnya

menghasilkan glikogenesis dan penyimpanan glukosa dalam

bentuk glikogen di hati dan otot. Sebaliknya, pada kondisi

puasa, sekresi insulin akan berkurang sementara hormone

kontra-regulator seperti glucagon dan katekolamin akan


40

meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan glikogenolisis dan

gluconeogenesis.

Selama puasa berlangsung, simpanan glikogen akan

berkurang dan rendahnya kadar insulin plasma memicu

pelepasan asam lemak dari sel adiposity. Oksidasi asam lemak

ini menghasilkan keton sebagai bahan bakar metabolisme oleh

otot rangka, otot jantung, hati, ginjal, dan jaringan adipose. Hal

ini menghemat penggunaan glukosa yang memang terutama

ditujukan untuk otak dan eritrosit.

3) Efek terhadap Metabolisme Lipid

Efek puasa Ramadhan terhadap profil lipid bervariasi dalam

banyak studi, mungkin disebabkan perubahan menu diet dan

berkurangnya aktifitas. Ziaee dkk tidak mendapatkan adanya

perbedaan kadar trigliserida (TG) yang signifikan sebelum dan

sesudah Ramadhan meski kadar TG meningkat selama

Ramadhan. Kondisi ini diperkirakan akibat konsumsi diet tinggi

karbohidrat terutama konsumsi gula. Penyebab lain adalah

perubahan pola konsumsi sumber karbohidrat dari karbohidrat

kompleks, (seperti sereal, buah, sayuran) menjadi karbohidrat

sederhana seperti minuman manis atau dengan pemanis buatan

selama Ramadhan.
41

b. Efek puasa pada individu dengan diabetes

1) Efek puasa terhadap Metabolisme

Pada pasien DM tipe 1 dan kondisi defisiensi insulin berat

akan terjadi proses glikogenolisis, gluconeogenesis dan

ketogenesis yang berlebihan. Kondisi ini pada akhirnya

menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang dapat

mengancam nyawa. Selain itu pasien diabetes memiliki

neuropati otonom yang dapat menyebabkan respons tidak

adekuat terhadap kondisi hipoglikemia.

2) Efek terhadap Berat Badan

Studi EPIDIAR menunjukkan bahwa secara umum tidak

terdapat perubahan berat badan bermakna pada pasien diabetes

yang berpuasa. Namun, ada laporan yang menyebutkan

peningkatan atau penurunan berat badan setelah berpuasa

Ramadhan. Tidak adanya asupan makanan atau minuman antara

waktu sahur dan waktu berbuka, seringnya pasien tidak

membatasi jumlah atau jenis asupan makanan saat malam, juga

akibat pembatasan aktifitas harian selama berpuasa karena

kekhawatiran hipoglikemia tampaknya mungkin menjadi

penyebab tidak hanya menurunnya berat badan tetapi juga

peningkatan berat badan.


42

3) Efek terhadap Kadar Glukosa

Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan

signifikan terhadap kendali kadar glukosa. Variasi kadar

glukosa mungkin disebabkan dari jumlah atau jenis makanan

yang dikonsumsi, keteraturan mengonsumsi obat, pola makan

yang tidak terkendali saat berbuka, atau menurunnya aktivitas

fisik. Meski begitu, pasien diabetes yang berpuasa tetap

beresiko mengalami hipoglikemia, hiperglikemia, atau

ketoasidosis. Studi EPIDIAR menunjukkan peningkatan risiko

hipoglikemia berat yang membutuhkan perawatan sekitar 4,7

kali lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada DM tipe

2. Di sisi lain, risiko hiperglikemia berat meningkat sekitar 5

kali lipat pada pasien DM tipe 2 dan 3 kali lipat pada DM tipe

1.

4) Efek terhadap Profil Lipid

Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan

signifikan profil lipid. Dilaporkan terdapat penurunan ringan

kadar kolesterol total dan trigliserida dan peningkatan kadar

HDL, yang menunjukkan penurunan risiko kejadian

kardiovaskuler.

2.3.4 Risiko puasa pada Diabetes

Studi EPIDIAR menemukan peningkatan komplikasi pada pasien

diabetes saat berpuasa. Tetapi studi lain menyimpulkan tidak terjadi


43

peningkatan komplikasi bermakna pada diabetasi saat berpuasa.

Beberapa risiko yang sering timbul pada diabetes saat puasa yaitu :

1) Hipoglikemia

Dalam studi tersebut juga didapatkan peningkatan risiko

hipoglikemia berat sebesar 4,7 kali lipat pada pasien diabetes

tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada pasien diabetes tipe 2.

Hipoglikemia terjadi lebih sering pada pasien dengan perubahan

dosis antidiabetik oral dan insulin, dan pada pasien yang

melakukan perubahan gaya hidup yang signifikan selama puasa.

2) Hiperglikemia

Pada pasien diabetes yang menjalani puasa, pengendalian kadar

glukosa darah dapat memburuk, membaik, atau tidak berubah.

Studi EPIDIAR menunjukkan peningkatan lima kali lipat risiko

terjadinya hiperglikemia berat pada pasien diabetes tipe 1 yang

menjalani puasa Ramadhan. Diperkirakan kondisi

hiperglikemia ini akibat pengurangan berlebihan dosis obat,

yang sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah hipoglikemia,

juga karena peningkatan pada konsumsi selama bulan puasa.

3) Ketoasidosis diabetikum

Pasien diabetes tipe 1 yang menjalankan puasa Ramadhan

mengalami peningkatan risiko komplikasi ini, khususnya jika

pengendalian glukosanya buruk sebelum Ramadhan. Risiko ini


44

makin meningkat dengan adanya pengurangan berlebihan dosis

pengobatan.

4) Dehidrasi dan trombosis

Saat puasa, terjadi pengurangan asupan cairan. Jangka panjang

(11-16 jam) yang berisiko dehidrasi. Kondisi dehidrasi ini dapat

diperberat dengan perspitasi (pengeluaran keringat) berlebihan

dikaitkan dengan kondisi cuaca terik dan aktivitas fisik. Selain

itu, hiperglikemia dapat mencetuskan terjadinya diuresis

osmosis yang dapat menyebabkan deplesi cairan dan elektrolit.

Hipotensi ortostatik dapat terjadi, khususnya pada mereka

dengan neuropati otonom sehingga risiko sinkop, jatuh atau

fraktur tulang penting diperhatikan. Kontraksi ruang

intravaskuler dapat memicu kondisi hiperkoagulabel;

peningkatan viskositas darah akibat dehidrasi ini meningkatkan

risiko thrombosis dan stroke. Meski begitu, insidens perawatan

rumah sakit akibat penyakit coroner atau stroke tidak meningkat

selama Ramadhan.

2.3.5 Diabetes dengan Ibadah Puasa

Bagi penderita DM, kegiatan berpuasa (dalam hal ini puasa

Ramadhan) akan mempengaruhi kendali glukosa darah akibat

perubahan pola dan jadwal makan serta aktifitas fisik. Berpuasa dalam

jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko terjadinya

komplikasi akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis


45

diabetikum, dan dehidrasi atau thrombosis. Risiko tersebut terbagi

menjadi risiko sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Risiko

komplikasi tersebut terutama muncul pada pasien DM dengan resiko

sedang sampai sangat tinggi. (Firmansyah, 2013)

Secara sederhana apa yang ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat

185 diatas menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami penyakit

kronis seperti diabetes melitus diperbolehkan mengambil rukhshoh

(keringanan) untuk tidak berpuasa. Tetapi dalam kenyataannya, banyak

orang dengan diabetes tetap memaksakan diri untuk melaksanakan

puasa selama bulan Ramadhan dengan alasan untuk menjalankan syariat

Islam. Mereka merasa tidak mantap beribadah manakala kewajiban

yang satu ini ditinggalkan, meskipun ada kompensasi bagi mereka yang

sakit untuk meninggalkannya.

Tambahan lagi, program yang ditujukan untuk memberikan

pemahaman pada orang yang mengalami diabetes tentang puasa belum

disosialisasikan dengan baik di Indonesia. Walaupun pada kenyataannya

jumlah pemeluk Islam di Indonesia merupakan terbesar di seluruh dunia

dan jumlah orang yang terdiagnosa diabetes melitus menempati ranking

ke-4 terbesar di seluruh dunia setelah India, China, dan USA.

Berdasarkan laporan tahun 2011 yang dirilis oleh International Diabetes

Federation (IDF), terdapat sekitar 7,3 juta orang yang

mengalami diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2010.


46

Berdasarkan ilmu kedokteran, seseorang yang mengalami diabetes

masih diperbolehkan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan sejauh

memenuhi aturan-aturan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi

diabetesnya. Puasa bagi orang diabetes jika tidak dipersiapkan dengan

baik, selain dapat membahayakan jiwa, juga dapat mengganggu

kekhusyukan ibadah itu sendiri. Oleh karena itu penting sekali bagi

orang yang mengalami diabetes melitus yang ingin berpuasa untuk

memahami kondisi diabetes yang memungkinkannya untuk berpuasa

secara aman. (Yulia, 2012).

2.3.6 Kategori Risiko Terkait Puasa Ramadhan pada Pasien DM tipe 2

Menurut Al-AroujM, dkk dalam Jurnal American Diabetes

Association (2010):

1) Risiko Sangat Tinggi

a. Hipoglikemia berat dalam 3 bulan terakhir menjelang

Ramadhan

b. Riwayat hipoglikemia yang berulang

c. Hipoglikemia yang tidak disadari

d. Kendali glikemi buruk yang berlanjut

e. Riwayat ketoasidosis dalam 3 bulan sebelum Ramadhan

f. Diabetes Melitus tipe 1

g. Penyakit kritis
47

h. Riwayat koma hiperglikemik hyperosmolar dalam 3 bulan

sebelum ramadhan

i. Kehamilan

j. Dialysis kronik

2) Risiko Tinggi

a. Hiperglikemia sedang (rerata kadar glukosa 150-300 mg/dL

atau kadar A1C 7,5-9,0%

b. Insufisiensi ginjal

c. Komplikasi makrovaskular

d. Hidup sendiri dan mendapat terapi insulin atau

sulfonilurea.

e. Usia lanjut dengan penyakit tertentu

f. Pengobatan yang dapat menganggu proses berpikir

3) Risiko Sedang

a. Diabetes terkendali dengan glinid (short-acting insuling

secretagogue)

4) Risiko Rendah

a. Pasien Diabetes yang terkendali baik dengan gaya hidup

sehat, metformin, akarbose, thiazolidineodione, dan atau

terapi berbasis inkretin.

2.3.7 Manajemen Penderita Diabetes saat berpuasa

Pertimbangan medis terkait resiko serta tatalaksana DM secara

menyeluruh harus dikomunikasikan oleh dokter kepada pasien DM dan


48

atau keluarganya melalui kegiatan edukasi. Jika pasien tetap

berkeinginan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan, maka ada

beberapa hal yang harus diperhatikan (Konsensus Perkeni, 2015) :

1) Satu-dua bulan sebelum menjalankan ibadah puasa, pasien

diminta untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara

menyeluruh meliputi kadar glukosa darah, tekanan darah, dan

kadar lemak darah, sekaligus menentukan resiko yang akan

terjadi bila pasien tetap ingin berpuasa.

2) Pasien diminta untuk memantau kadar glukosa darah secara

teratur, terutama pertengahan hari dan menjelang berbuka

puasa.

3) Jangan menjalankan ibadah puasa bila merasa tidak sehat.

4) Harus dilakukan penyesuaian dosis serta jadwal pemberian obat

hipoglikemik oral dan atau insulin oleh dokter selama pasien

menjalankan ibadah puasa.

5) Hindari melewatkan waktu makan atau mengkonsumsi

karbohidrat atau minuman manis secara berlebihan untuk

menghindari terjadinya hiperglikemia post prandial yang tidak

terkontrol. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat

kompleks saat sahur dan karbohidrat simple saat berbuka puasa,

serta menjaga asupan buah, sayuran dan cairan yang cukup.

Usahakan untuk makan sahur menjelang waktu imsak (saat

puasa akan dimulai).


49

6) Hindari aktifitas fisik yang berlebihan terutama beberapa saat

menjelang waktu berbuka puasa.

7) Puasa harus segera dibatalkan bila kadar glukosa darah kurang

dari 60 mg/dL (3,3 mmol/L). pertimbangkan untuk

membatalkan puasa bila kadar glukosa darah kurang dari 80

mg/dL (4,4 mmol/L) atau glukosa darah meningkat sampai lebih

dari 300 mg/dL untuk menghindari terjadi ketoasidosis

diabetikum.

8) Selalu berhubungan dengan dokter selama menjalankan ibadah

puasa.

2.3.8 Penelitian-penelitian sebelumnya

a. Penelitian oleh Yosephine, dkk (2002) kadar gula darah sewaktu

sebelum dan selama berpuasa tidak menunjukkan perbedaan yang

bermakna. Semakin lama subjek peneliti berpuasa rata-rata kadar

gula darah sewaktu akan semakin rendah.

b. Penelitian oleh Ali Santosa (2014) kadar gula darah didapatkan

perbedaan bermakna antara saat puasa terhadap tidak berpuasa.

yaitu mengalami penurunan gula darah setelah puasa Ramadhan.

c. Penelitian oleh Khomimah, dkk (2014) pada penelitian ini terjadi

penurunan glukosa darah puasa yang bermakna dan penurunan

glukosa darah 2 jam sesudah makan yang tidak bermakna.

Anda mungkin juga menyukai