Paper Azmi
Paper Azmi
OBSERVASI
Disusun Oleh :
Ahmad Wakhidatus S. 20160210088
Nur Hikmah 20160210088
Azmi Hanafiah Dwi P 20160210088
Wallid Nur Achsan 20160210088
Chia Tedy Hantriyoko 20160210088
FAKULTAS PERTANIAN
November, 2017
BAB I
IDENTIFIKASI MASALAH
I. KASUS
Pak Tiyoso adalah seorang petani di Padukuhan Kopek, Desa Sidorejo,
Magetan. Saat ini Pak Tiyoso memiliki lahan seluas 400 m2 yang ditanami
tanaman singkong varietas Ketan yang didapat dari hasil perbanyakan sendiri.
Terjadi perbedaan hasil panen antara standart pemerintah dan Pak Tiyoso.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Singkong
Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus
Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry,
2007). Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang,
dan daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi
menjadi tiga bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya
akan karbohidrat yaitu sekitar 80%-90% dengan pati sebagai komponen
utamanya. Tanaman ini tidak dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk
segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam
air, dan penghancuran atau beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam
sianida yang bersifat racun yang terkandung dalam semua varietas singkong.
Kebanyakan tanaman singkong dapat dilakukan dengan cara generatif
(biji) dan vegetatif (stek batang). Generatif (biji) biasanya dilakukan pada skala
penelitian (pemulihan tanaman) untuk menghasilkan varietas baru, singkong
lazimnya diperbanyak dengan stek batang. Para petani biasanya menanam
tanaman singkong dari golongan singkong yang tidak beracun untuk mencukupi
kebutuhan pangan. Sedangkan untuk keperluan industri atau bahan dasar untuk
industri biasanya dipilih golongan umbi yang beracun. Karena golongan ini
mempunyai kadar pati yang lebih tinggi dan umbinya lebih besar serta tahan
terhadap kerusakan, misalnya perubahan warna (Sosrosoedirdjo, 1993).
B. Syarat Tumbuh
Tanaman ubi kayu banyak diusahakan di lahan kering dengan berbagai
jenis tanah terutama Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol. Provinsi Lampung
merupakan sentral produksi ubi kayu utama di Indonesia. Di Provinsi Lampung
ubi kayu sebagian besar ditanam di lahan Ultisol bersifat masam, Al-dd tinggi
dan kandungan hara relatif miskin. Ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada
tanah ultisol dengan pH 6,1. Klon yang umum ditanam petani adalah klon unggul
UJ-5 (Balai Penelitian Kacang dan Ubi, 2013).
Untuk dapat berproduksi dengan optimal, tanaman ubi kayu
memerlukan curah hujan 150 - 200 mm pada umur 1 - 3 bulan, 250 - 300 mm
pada umur 4 - 7 bulan, dan 100 - 150 mm pada fase panen (Wargiono dkk.,
2006). Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut,
ubi kayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim
basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai dengan kebutuhan
tanaman pada tiap fase pertumbuhan. Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan
baik pada ketinggian 0 - 800 m dpl. Di atas ketinggian lebih dari 800 m dpl,
pertumbuhan akan lambat, daunnya kecil, dan umbinya pun kecil dan sedikit.
Drainase harus baik, tanah tidak terlalu keras dan curah hujan 760 2.500 mm
tahun-1, dengan bulan kering tidak lebih dari 6 bulan (Danarti, 2009).
C. Budidaya Singkong
1. Penyiapan Bibit
Sumber bibit ubi kayu berasal dari pembibitan tradisional berupa stek
yang diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan dengan kebutuhan
bibit untuk sistem budidaya ubi kayu monokultur adalah 10.000 - 15.000 stek
ha-1 (Tim Prima Tani, 2006). Untuk satu batang ubi kayu hanya diperoleh 10 -
20 stek sehingga luas areal pembibitan minimal 20% dari luas areal yang akan
ditanami ubi kayu. Asal stek, diameter bibit, ukuran stek, dan lama penyimpanan
bibit 11 berpengaruh terhadap daya tumbuh dan hasil ubi kayu. Bibit yang
dianjurkan untuk ditanam adalah stek dari batang bagian tengah dengan diameter
batang 2-3 cm, panjang 15-20 cm, dan tanpa penyimpanan.
2. Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan berupa pengolahan tanah bertujuan untuk : (1)
Memperbaiki struktur tanah; (2) Menekan pertumbuhan gulma; dan (3)
Menerapkan sistem konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya
erosi. Tanah yang baik untuk budidaya ubi kayu adalah memiliki struktur
gembur atau remah yang dapat dipertahankan sejak fase awal pertumbuhan
sampai panen. Kondisi tersebut dapat menjamin sirkulasi O2 dan CO2 di dalam
tanah terutama pada lapisan olah sehingga aktivitas jasad renik dan fungsi akar
optimal dalam penyerapan hara.
Menurut Tim Prima Tani (2006), tanah sebaiknya diolah dengan
kedalaman sekitar 25 cm, kemudian dibuat bedengan dengan lebar bedengan dan
jarak antar bedengan disesuaikan jarak tanam ubi kayu, yaitu 80-130 cm x 60-
100 cm. Pada lahan miring atau peka erosi, tanah perlu dikelola dengan sistem
konservasi, yaitu : (1) tanpa olah tanah; (2) olah tanah minimal; dan (3) olah
tanah sempurna sistem guludan kontur. Pengolahan minimal (secara larik atau
individual) efektif mengendalikan erosi tetapi hasil ubi kayu seringkali rendah
dan biaya pengendalian gulma relatif tinggi. Dalam hal ini tanah dibajak (dengan
traktor 3-7 singkal piring atau hewan tradisional) dua kali atau satu kali yang
diikuti dengan pembuatan guludan (ridging). Untuk lahan peka erosi, guludan
juga berperan sebagai pengendali erosi sehingga guludan dibuat searah kontur.
3. Penanaman
Stek ditanam di guludan dengan jarak antar barisan tanaman 80-130 cm
dan dalam barisan tanaman 60-100 cm untuk sistem monokultur (Tim Prima
Tani, 2006), sedangkan jarak tanam ubi kayu untuk sistem tumpangsari dengan
kacang tanah, kedelai, atau kacang hijau adalah 200 x 100 cm dan jarak tanam
tanaman sela yang efektif mengendalikan erosi dan produktivitasnya tinggi
adalah 40 cm antara barisan dan 10-15 cm dalam barisan. Penanaman stek ubi
kayu disarankan pada saat tanah dalam kondisi gembur dan lembab atau
ketersediaan air pada lapisan olah sekitar 80% dari kapasitas lapang. Tanah
dengan kondisi tersebut akan dapat menjamin kelancaran sirkulasi O2 dan CO2
serta meningkatkan aktivitas mikroba tanah sehingga dapat memacu
pertumbuhan daun untuk menghasilkan fotosintat secara maksimal dan
ditranslokasikan ke dalam umbi secara maksimal pula. Posisi stek di tanah dan
kedalaman tanam dapat mempengaruhi hasil ubikayu. Stek yang ditanam dengan
posisi vertikal (tegak) dengan kedalaman sekitar 15 cm memberikan hasil
tertinggi baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Penanam stek dengan
posisi vertikal juga dapat memacu pertumbuhan akar dan menyebar merata di
lapisan olah. Stek yang ditanam dengan posisi miring atau horizontal (mendatar),
akarnya tidak terdistribusi secara merata seperti stek yang ditanam vertikal pada
kedalaman 15 cm dan kepadatannya rendah.
4. Pemupukan
Pemupukan sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan
produksi ubi kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hara yang hilang
terbawa panen untuk setiap ton umbi segar adalah 6,54 kg N; 2,24 kg P2O5; dan
9,32 K2O ha-1 musim-1, dimana 25% N, 30% P2O5, dan 26% K2O terdapat di
dalam umbi. Berdasarkan perhitungan tersebut, hara yang terbawa panen ubi
kayu pada tingkat hasil 30 ton ha-1 adalah 147,6 kg N; 47,4 kg P2O5; dan 179,4
kg K2O ha-1. Untuk mendapatkan hasil tinggi tanpa menurunkan tingkat
kesuburan tanah, hara yang terbawa panen tersebut harus diganti melalui
pemupukan setiap musim. Tanpa pemupukan akan terjadi pengurasan hara
sehingga tingkat kesuburan tanah menurun. Pemupukan yang tidak rasional dan
tidak berimbang juga dapat merusak kesuburan tanah. Pemupukan harus
dilakukan secara efisien sehingga didapatkan produksi tanaman dan pendapatan
yang diharapkan. Umbi ubi kayu adalah tempat menyimpan sementara hasil
fotosintesis yang tidak digunakan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman.
Dengan demikian, pertumbuhan vegetatif yang berlebihan akibat dosis
pemupukan yang tinggi dapat menurunkan hasil panen. Efisiensi pemupukan
dipengaruhi oleh jenis pupuk, varietas, jenis tanah, pola tanam, dan keberadaan
unsur lainnya di dalam tanah. Untuk pertanaman ubi kayu sistem monokultur,
disarankan pemberian pupuk anorganik sebanyak 200 kg Urea, 100 kg SP36,
dan 100 kg KCl hektar-1 yang 14 diberikan sebanyak tiga tahap. Tahap I umur 7
- 10 hari diberikan 50 kg Urea, 100 kg SP36, dan 50 kg KCl ha-1, dan tahap II
umur 2 - 3 bulan diberikan 75 kg Urea dan 50 kg KCl ha-1, serta tahap III umur
5 bulan diberikan lagi 75 kg Urea ha-1. Pupuk organik (kotoran ternak) dapat
digunakan sebanyak 1 -2 ton ha-1 pada saat tanam.
BAB III
ANALISIS MASALAH
Berdasarkan uraian kasus dan hasil identifikasi masalah yang ada, maka
didapati beberapa permasalahan yang terjadi pada lahan Bapak Tiyoso yang
mengalami perbedaan dan penurunan produksi singkong sebagai berikut :
a. Masalah penggunaan bahan tanam
b. Proses pemupukan yang belum teratur dan belum sesuai dengan kebutuhan
tanaman singkong.
c. Adanya gangguan hama dan penyakit pada beberapa tanaman singkong
d. Proses pengairan atau irigasi yang belum optimal.
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor pemilihan jenis dan perlakuan terhadap bahan tanam ini lah yang
menjadi alasan kenapa hasil produksi lahan singkong Pak Triyoso jauh dari standart
panen pemerintah dengan luasan lahan yang sama. Selain faktor bahan tanam yang
merupakan faktor internal, faktor perlakuan sebelum penanaman juga perlu
diperhatikan dengan baik. Diketahui bahwa Pak Triyoso melakukan penyemprotan
dan pembakaran herbisisda pada saat melakukan persiapan lahannya. Faktor ini
juga lah yang turut memperparah kondisi media tanam dari singkong yang berakibat
kurang maksimalnya pertumbuhan dari singkong tersebut.
a. Pupuk Kandang
Diberikan pada saat pengolahan (bajak) jadi ppupuk kemudian dicampur
langsung dengan tanah.
b. Pupuk Phoska
Diberikan pada tanaman umur 1 bulan dan 2 bulan, dengan cara ditanur pada
sekeliling pangkal pohon dengan jarak kurang lebih sejengkal.
Dari uraian diatas bisa dilihat bahwa pemberian pupuk yang dilakukan tidak
detail dan tidak sesuai besaran yang dibutuhkan oleh tanaman singkong, sehingga
apabila dilakukan terus menerus akan mengganggu produktivitasnya.
KESIMPULAN