Anda di halaman 1dari 6

MARWAH NEGERI TANAH MELAYU

Manusia tamsilkan panas dan hujan permainkan hari suka dan duka permaianan hidup akhirnya
tiada daya menentang maut, rusa mati rumput subur namun patah tumbuh hilang berganti, kayu-
kayu besar-kecil terhampar di bumi ditimpa terik matahari dan pada saatnya dibakar laksana
dahsyat di tengah hati yang kian waspada menyaksikan padi yang menguning runduk melambai
seperti alunan riak sungai Batang Sosa di siang hari kala Kumala tengah duduk di bibir sungai
sambil mencari ulat pocong di pasir putih sekitaran sungai Batang Sosa, hal yang biasa
dilakukanya mengisi waktu suntuk atau sekedar mencari angin segar di sana, dari kejauhan
tampak amai (panggilan dalam bahasa melayu yang berarti ibu) berjalan melintasi ilalang-ilalang
yang menguning sambil membawa kudai (keranjang yang terbuat dari rotan) yang berisi pisang
seminyak
Kumala mari amai obati bekas lukamu itu, amai tidak ingin luka semalam membuat penjagaan
amai selama ini sia-sia, amai tidak ingin kulitmu berparut seperti amai yang akhirnya jadi
perawan tua baru kawin ucap amai sambil mengupas pisang, amai luka Kumala hanya
sedikit dan tidaklah parah, tidak akan membekas lama, lagi pula apa bisa kulit pisang ini
menyembuhkannya amai? tanya Kumala lagi pada ibunya, amai hanya tersenyum pada Kumala
ia perlahan membalurkan kulit pisang seminyak pada bekas luka Kumala dengan penuh kasih.
Kumala Rais adalah gadis desa Batang Sosa anak ke delapan dari pasangan amai Jeriah dan abah
Napi, keluarga yang sederhana ini tinggal di desa hulu Batang Sosa dengan menjunjung tinggi
adat istiadat setempat yang sangat kental dengan adat melayunya, keluarga ini baru dua tahun
terakhir mendiami perkampungan Batang Sosa sebelumnya mereka tinggal di Rantau Kasai
Dalu-dalu namun semenjak kejadian dua tahun silam. Kumala kembali mengingat peristiwa yang
seakan nyata tertayang kembali di benaknya.
Pada saat itu abah Napi seperti biasanya mengajar anak-anak serta pemuda setempat dengan
salah satu keahlianya dibidang silat yang sudah turun temurun namun kali ini ia mengajari
muridnya pada tengah malam dikarenakan kisruh antara rakyat Dalu-dalu dengan perusahaan
setempat yang terkenal berkuasa ingin melakukan sengketa hampir sebagian wilayah daerah
Tambusai sekian dulu latihan awak kali ko tutur abah Napi mengakhiri latihan kala malam itu,
setelah semua muridnya bubar abah Napi dengan berbekal lampu semprong di tangannya hendak
pulang ke rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh namun suasana malam yang gelap dan jalanan
yang sepi cukup mencekam kala itu, abah Napi dengan sedikit tergesa-gesa berjalan dan terus
berjalan hingga ia mendengar dari kejauhan suara tembakan dan koaran dimana-mana, segera
abah Napi bersembunyi di balik semak-semak Tuhan apalah yang akan terjadi bisik abah Napi
dalam hati.
Ternyata sekelompok sekutu perusahaan sengketaan tanah menyerang pada malam itu
sekelompok preman tiga truk penuh lengkap dengan senjata masing-masing sambil melempar
kobaran api di sepanjang jalan tatkala waktu bersamaan setelah beberapa detik lewatnya
serombongan penyerang sungguh terkejut abah Napi melihat apa yang dilihatnya pada saat itu
segerombolan pasukan berkuda lengkap dengan penunggangnya berpakaian putih dan bersorban
putih keluar dari Benteng Tujuh Lapis, abah Napi yang bergetar tubuhnya menyaksikan apa yang
dilihatnya sungguh nyata Maha Kuasa Allah atas segalanya ucap abah Napi takjub, tampak
olehnya pasukan berkuda itu mengejar perusuh, abah Napi yang terpana akan kejadian aneh itu
menenangkan diri dan pulang dengan agak berlari-lari hingga sampai ke rumahnya.
amai Kumala bukak pintu ko ucap abah Napi sambil mengedor pintu rumah dengan nafas yang
tersenggal-senggal, tak lama pintu dibuka oleh amai dan abah Napi pun segera masuk dan
mengunci pintu dengan rapat, keherananlah amai Jeriah dan bertanya apa yang terjadi abah?
Kenapa abah ketakutan ko? Kumala pun terbangun karena pembicaraan amai dan abahnya
kenapa abah ketakutan ko mai? tanya Kumala penasaran, abah tadi pulang dari mengajar
anak-anak silek (silat), nak pulangnyo abah nampak serombongan perusuh dari PT. Dulang Fajar
tu ramai lengkap dengan senjata masing, waktu abah sembunyi subhanaallah nak, segerombol
pasukan berkuda keluar dari Benteng Tujuh Lapis tu lengkap dengan penunggang bersorban
putihnyo ucap ayah panjang lebar dan menceritakan apa yang dilihatnya, itulah mungkin
pasukan berkuda yang diceritakan datuknyo Kumala ko abah tutur amai sambil memberikan
segelas air untuk abah itu artinyo apa yang diceritakan datuk masih ada sampai sekarang amai?
entahlah Kumala, itu Tuhan Yang Maha Kuasa yang tahu, tidurlah dikau lagi nak jelas amai
kembali, sementara abah hanya terdiam mungkin masih memikirkan tentang apa yang dilihatnya,
aku menurut dan kembali masuk ke bilik untuk tidur.
Keesokan harinya Kumala terbangun disubuh hari dan pergi kesurau untuk sembahyang namun
aneh tidak ada warga yang ribut tentang hal yang diceritakan abah semalam, seperti tidak terjadi
apa-apa, hingga pulang sembahyang Kumala pulang bersamaan dengan Jamilah temannya yang
memang selalu bersama semenjak duduk di bangku SD Kumala apa kamu sudah tahu kalau
sebelum subuh tadi pimpinan PT. Dulang Fajar datang kerumah kami, dan mereka telah
membatalkan persengketaan di desa kita tidak disitu saja mereka juga memberi santunan untuk
desa kita yang jumlahnya lumayan dan ini berkat abahmu katanya tutur Jamilah mengagetkan
batin Kumala hahaha ada-ada saja kamu ini Milah, apalah yang bisa abahku perbuat jawab
Kumala masih merasa heran apa yang dikatakan Jamilah berbanding terbalik dengan yang
diceritakan abah semalam, Jamilah kembali menyambung ucapan Kumala mungkin saja kamu
tidak mengetahuinya Kumala, siapa tahu abahmu berkarib dengan Sanusi Hartawijaya pimpinan
PT. Dulang Fajar itu dan dikau tidak mengetahuinya memanglah kami orang terpandang yang
jatuh miskin Jamilah, namun bukan berarti kami tidak mengenali keluarga yang berkunyit
berserai Kumala mulai merasa pembicaraan ini semakin jauh larinya, hingga ia pun bergegas
pulang dan Jamilah telah sampai di rumahnya.
Sesampainya di rumah Kumala pun bertanya kepada abah abah mengapa warga sama sekali
tidak mengetahui hal-hal yang abah ceritakan semalam? Malah mereka mengatakan bahwa
Sanusi Hartawijaya meminta maaf kepada desa kita juga mengatakan kalau ini berkat abah,
Kumala tidak mengerti abah tanya Kumala pada abah abah juga sama sekali tidak mengerti
Kumala, ini diluar akal kendali abah, tapi nak, abah harap dikau jangan menceritakan hal yang
abah lihat tadi malam, biarlah ini menjadi pegangan bagi kita atas Kuasa Tuhan diatas segalanya
dan marwah Benteng Tujuh Lapis.
Kumala merasa rintik air menimpanya, sepertinya akan turun hujan dan membuyarkan lamunan
Kumala yang mengingat kejadian di kampung halamannya dulu yang membuat mereka
berpindah ke kampung yang didiaminya sekarang, karena pihak PT. Dulang Fajar memaksa abah
Napi bergabung di perusahaan mereka sementara jelas saja abah Napi tidak akan menerima
ultimatum tersebut untuk bergabung dengan perusahaan yang terkenal dengan otoriternya itu
berkuasa tanpa memikirkan apa pun yang terjadi, dikarenakan oleh itu keluarga abah Napi
memutuskan untuk hijrah ke Batang Sosa kampung kecil paham adat yang mereka diami
sekarang.
Kumala berlari menerobos hujan yang mulai turun dengan derasnya menghujami padang ilalang
pinggiran sungai Batang Sosa yang riaknya semakin deras, Kumala sampai kerumahnya dengan
basah kuyub dan sembari mengangkat jemuran ikan asin yang lupa di angkat oleh amainya
amai Kumala pulang ucap Kumala memenuhi ruangan sekat rumah yang berdindingkan
semi permanen itu, kenapa lama sekali pulangnya Kumala, amai hampir saja nak menjenguk
dikau di sungai tutur amai meresahkan Kumala, amai..Kumala kan tidak ada kerja di rumah,
Kumala senang di tepian sungai Sosa itu amai, lagi pula amai ko lah nak jemput Kumala pula
sedangkan ikan asin ko lupa amai angkat dari penjemuran Kumala bersenda dengan amai,
sedangkan amai hanya tersenyum dan beranjak mengambilkan handuk untuk Kumala yang
hampir sekujur badannya basah kuyup itu, Kumala bagaimana dengan sekolahmu apa dikau
tetap ingin melanjutkan atau bekerja saja menolong amai? kembali amai menuturkan tapi kali
ini ucapan amai menohok hati Kumala, ia hanya terdiam dan menekuk kedua belah kakinya,
fikirannya jauh melayang ia teringat akan susah payah orangtuanya mencari nafkah untuk satu
keluarga itu, bagaimana bisa ia selalu menyusahkan orangtuanya itu, amai.. untuk sekarang
Kumala belum bisa memutuskannya Kumala masih ingin berfikir sebelum memutuskan
kehendak Kumala, hanya saja salah satu kehendak Kumala yang terkuat membentur naluri
Kumala, Kumala tidak tega amai ucap Kumala penuh perasaan, ha apa itu Kumala, katakanlah
nak tidak akan ada pembenturan untukmu bagi amai dan abah selagi itu hal yang baik nak amai
menjawab penuturan Kumala sambil mengeringkan rambut Kumala dengan handuk, tidak ada
apa-apa amai, mari kita ke dapur amai, Kumala ingin memasak sambal kokek asam durian dan
sayur pucuk seminyak rasanya, bukankah nanti sore abang Fatih dan kak Zainab pulang amai,
benar tidak? Kumala mengubah topik pembicaraannya dan mengajak amai memasak di dapur
dan menyiapkan makanan karena abang dan kakaknya akan pulang dikarenakan libur kuliah
yang panjang iyo Kumala dikau pintar sekali mencari alasan, marilah tukar dahulu bajumu yang
basah itu Kumala agar tidak mendatangkan penyakit angin duduk seperti abahmu amai pun
menyuruh Kumala mengganti pakaiannya yang terlebih dahulu berdiri dan masuk kebilik namun
Kumala menghampiri ibunya lagi amai kita buatkan kolak puti la mandi juga ya, bukankah kak
abang Fatih sangat menyukainya Kumala sangat bersemangat dengan kepulangan saudara-
saudaranya itu iyo Kumala semua kita bikinkan nanti, kita hidangkan beserta krasak kincong
juga yo, tapi sekarang dikau ganti dahulu bajumu yang basah itu nak amai mulai mengejek
Kumala yang tidak menyukai sambal krasak kincong karena berbahan ikan hasil fermentasi dan
bau yang menyengat dari bunga kincong yang tidak disukai bagi sebagian orang itu amai
janganlah berkata seperti itu, Kumala akan ganti baju secepatnya amai Kumala pun lekas
mengganti pakaiannya yang basah kuyub itu.
Lain lubuk lain pula ikannya begitulah pepatah mengatakan, Fatih dan Zainab pulang ke
kampung halaman orangtuanya dengan tidak lupa memakai tambek kain (kain diikat menyerupai
rok atau celana), tidak memakai pakaian khas perkotaan yang serba modern, mereka masih
menjunjung adat kebiasaan tempat berpijak sanak saudara mereka, hingga sampai ke rumahnya
yang telah disambut oleh keluarga kecil itu dan sebagian ada juga tetangga yang datang ingin
berjumpa dengan anak kemenakan mereka itu.
Assalamualaikum.. ucap Fatih dan Zainab hampir bersamaan waalaikumsalam.. jawab
keluarga mereka, dilanjutkan dengan berjabat tangan dan melepas rindu saling berganti
dilakukan kenapa baru sampai nak? Bukankah dikau direncanakan tiba sore tadi? tanya amai
pada Fatih dan Zainab iyo amai tapi tadi kendaraan yang kami tumpangi rusak, jadi menunggu
perbaikannya yang membuat kami tidak sampai pada waktu yang diharapkan amai Zainab
menjawab dengan raut wajah letih tapi tetap disembunyikannya sambil merangkul Kumala
tidak apa-apa nak, hanya saja amai terlalu mengkhawatirkanmu dan abangmu, yang penting
kalian baik-baik saja tidak kurang suatu apa pun abah pun melanjutkan dengan rasa lega
anaknya telah pulang dengan selamat, libur tiga minggu itu rasanya sungguh akan
membahagiankan mengingat sudah 3 tahun anaknya itu tidak pulang ke kampung setelah
semester pertama dikarenakan ongkos dan pencapaian kampung mereka yang mengharuskan
bertukar kendaraan berkali-kali, kak Utih dan suaminya tidak ke sini amai? tanya Fatih
menanya kan kakak keduanya yang tinggal di Tambusai Utara bersama suaminya itu tidak
Fatih, suami kakakmu itu kan pemuka adat, jadi sangat sulit meninggalkan kampung mereka,
takutnya nanti kalau-kalau ada yang hendak kenduri atau hajatan tersendat dilaksanakan, lagi
pula kondisi jalan yang musim penghujan ini sulit sekali dicapai nak amai menjelaskan tentang
keadaan kak Utih iyo itu kak, kak Zainab dan abang Fatih belum makan bukan? Mari kita
makan bersama-sama Kumala menambahkan baiklah adikku Kumala, abang dan kakak akan
makan, tetapi abang nak tahu dahulu, apa masakannya nanti dikau yang masak? Fatih mulai
mengejek adik kesayangannya itu abang rasai saja nanti, kalau enak sudah barang tentu Kumala
yang masakan Kumala pun menjawab dengan tidak mau kalah bisa saja kamu adikku Fatih
pun merangkul adiknya dan menuju dapur sudahlah mari kita makan bersama ajak abah dan
mereka pun makan malam sederhana dengan lauk pauk seadanya namun tak kalah lezatnya bagi
selera lidah anak keturunan melayu, rasa masakan yang pedas dan kaya bumbu-bumbu alami
yang membuat makan malam itu penuh nikmat.
Seperti biasa dikala sang surya terbit di ufuk timur dan menyapa anak cucu keterunan tanah
melayu hulu Batang Sosa yang mulai gemencar mencari nafkah untuk keluarga mereka dengan
mencari ikan di sungai Batang Sosa, menganyam tembikar di halaman rumah, dan sebagian ada
juga yang berkebun di ladang mereka masing-masing, begitu juga halnya dengan Kumala ia telah
memutuskan bahwa akan bekerja setahun penuh untuk membantu orangtuanya lalu melanjutkan
jenjang cita-citanya, pagi nan cerah itu diawali Kumala dengan melanjutkan pelatihan tari
tradisionalnya bersama anak-anak serta remaja kampungnya, pelatihan yang ditekuni Kumala
belumlah bisa disebut sanggar, dikarenakan tidak adanya tempat yang memadai dan property
yang seadanya saja itu, Kumala mengajar murid-murid tarinya di lapangan terbuka dengan
sukarela namun dua bulan belakangan ia diberikan uang oleh kepala desa setempat yang
jumlahnya tidaklah seberapa namun selalu ditabungkan oleh Kumala.
Kak Kumala kami senang sekali dikau kembali mengajar kami ucap Ningsih salah seorang
murid tari Kumala iyo Ningsih kakak juga senang bisa melatih kalian lagi, tapi selama kakak
libur karena ujian sekolah kan ada kak Isah yang ajari kalian, jadi kalian sudah banyak
menguasai tarian tradisional melayu bukan? Jadi kita bisa melanjutkan mempelajari tarian daerah
lain juga, misalnya tari kecak dari Bali, tari piring dari Sumatra Barat, atau tari ronggeng dari
Jawa Barat tutur Kumala penuh semangat benar sekali Kumala, jadi kita sebagai putri daerah
tanah melayu harus paham betul kekayaan daerah kita disamping itu kita juga semestinya tahu
budaya daerah di setiap wilayah di negara kita, di sanalah kita akan menyadari kalau tanah air
kita sangat kaya akan kebudayaan masyarakat di daerahnya masing-masing yang sungguh
beragam dan unik seta mengandung nilai dan artinya masing-masing terang Isah menjelaskan
kepada murid-muridnya, iyo kak, kami sangat ingin mempelajarinya, bagi kami belajar tari
sangat menyenangkan dan kadang-kadang juga serasa sambil bermain seperti tari lukah gilo yang
kakak ajar kan minggu lalu, itu sangat kami sukai kak jawab Puri yang juga murid tarinya
Kumala yang sangat menyenangi tarian tradisional, itulah makanya kakak sangat ingin
mengajari kalian semua, sebab kakak ingin kalian tidak hanya bermain tapi bermain sambil
mempelajari kekayaan budaya daerah kita Kumala semakin semangat melihat tanggapan dari
anak-anak tarinya itu iyo benar yang dikatakan kak Kumala, sekarang mari kita lanjutkan
latihan tarian minggu lalu ya Ningsih mengajak muridnya berdiri dan mengikuti gerakan dasar
tari, mereka berlatih dengan kesungguhan hati hingga waktu siang dan Kumala pun pulang
bersama Isah, namun Kumala ingin singgah di sungai dulu untuk menemui abahnya yang sedang
mencari ikan di sana, tidak lupa Kumala terlebih dulu menebas pisang di ladang yang searah
dengan jalan menuju sungai untuk diberikan kepada abah sebagai penghilang lapar, namun di
ladang Kumala dengan tidak sengaja berjumpa dengan Imus anak orang terpandang di
kampungnya yang sudah barang tentu mempunyai banyak harta itu, hampir separuh tanah
kampung merekalah yang miliki namun dengan suka rela mereka perbolehkan warga
menempatinya tanpa bayaran dan tagihan, termasuk tanah rumah Kumala, Kumala ingin berbalik
dan mengurungkan niatnya untuk menebas pisang namun rasa segannya menolak hal itu
mengingat ladangnya terletak di pinggiran jalan tempat orang-orang kampung berlalu lelang jadi
mengurangi sedikit tabuh ketidak sengajaan berpapasannya dengan Imus, tampak di sana Imus
sedang menebas rumput dan kian menghentikan pekerjaannya seketika melihat Kumala yang
tengah berjalan ke arahnya, menyadari akan hal itu Imus pun menyeka keringat yang membasahi
wajahnya, ia sepertinya terpana akan kecantikan Kumala, maklumlah sudah sangat lama sekali
Imus tidak berjumpa dengan Kumala walau sewaktu kecil mereka sering bermain bersama
membantu mak cik menangguk (menangkap) ikan di sungai namun seiring waktu berjalan dan
Imus anak dari orang yang berkecukupan itu melanjutkan sekolahnya ke kota tidak lagi berjumpa
dengan Kumala.
Kumala? Apa benar dikau Kumala Rais? selidik Imus yang tidak lagi mengenali raut wajah
Kumala teman kecilnya itu, iyo ini Kumala, dikau lupa padaku Imus? jawab Kumala tapi tidak
lagi dijawab oleh Imus, Kumala hanya tersenyum namun tidak lagi seakrab masa kecil mereka
dulu, tidak seceria saat mereka bermain gasing, tidak juga sebagainya, suasana pertemuan
mereka begitu dingin, Kumala menebas pisang yang telah masak beberapa sisir saja, bang Imus,
Kumala duluan ya, Kumala hendak ke sungai menghantarkan pisang ini untuk abah tutur
Kumala pada Imus yang hanya terdiam duduk di bibir jalan iyo dik Kumala, hati-hati yo, salam
pado abah Imus menjawab dengan suara merendah iyo.. Kumala pun bergegas pergi dan
tanpa menoleh lagi ke belakang, terasa canggung sekali pertemuannya kala itu bersama sahabat
kecilnya Imus, ia pun berusaha secepatnya mencapai sungai hendak memberikan pisang untuk
abahnya.
Mak uwo (tante tertua) ada nampak abah Kumala kah? tanya Kumala yang tidak menemui
abahnya di sungai tempat biasa abah Napi menangguk ikan ooo abahmu ke boncah (rawa)
Kumala, pendapatan ikan abahmu hari ini tidak banyak, mungkin ia mencoba mencari di boncah
pula iyolah mak uwo, Kumala hendak menyusul abah dulu Kumala pun bergegas ke boncah
untuk menemui abahnya, sesampainya di boncah Kumala melihat abahnya bersama abangnya
Fatih tengah duduk beristirahat di tepian boncah beralas kan daun torok, abah, bang Fatih
Kumala memanggil abah dan abangnya itu dan menghampirinya, dikau kemari Kumala?
Bukankah dikau mengajar tari? tanya abangnya pada Kumala iyo bang, tapi sudah selesai,
abah dan abang mengapa menangguk ikan di boncah? tanya Kumala. iyo nak ikan di sungai
sudah tidak banyak lagi hasilnyo, sementara abah ingin pendapatan abah meningkat agar tercapai
maksud hati nak melanjutkan sekolah dikau Kumala. ucapan abah terasa begitu mengiris hati
Kumala, begitu kuat niat abahnya untuk menyekolahkannya Kumala pulanglah dikau dahulu,
bantu amai dan kak Zainab menganyam biar lekas dijual ke poken Fatih pun menambahkan
yang menangkap raut kesedihan di wajah adiknya itu baiklah bang, abah, Kumala pulang dulu,
o iyo bah tadi Kumala di jalan bertemu abang Imus dia lagi libur juga ternyata, beliau titipkan
salam untuk abah Kumala meletakkan pisang dan ia pun pergi tanpa mendengarkan lagi
perbincangan abah dan Fatih, di jalan Kumala selalu memikirkan ucapan abahnya, ia berfikir
begitu banyak ia telah menyusahkan abah dan amainya ingin rasanya ia menolong jika saja ia
bisa, namun apa daya tidak banyak yang bisa ia lakukan di desa kecil tempat tinggalnya itu.
Malam menjelang sunyi pun mulai terasa oleh terhentinya hiruk-pikuk penduduk desa Batang
Sosa dengan kegiatannya masing-masing, kini hanya ada suara jangkrik yang bersenandung
layaknya sebuah irama alami yang disuguhkan alam tanah melayu Batang Sosa, tampak Kumala
tengah selesai sembahyang dari surau dekat rumahnya, seperti biasanya keluarga sederhana itu
menunggu waktu ibadah selanjutnya saling becengkrama bercerita dan memakan pisang rebus
dengan sungguh rasa syukur, pemandangan yang sungguh harmonis untuk ukuran keluarga
rukun tanah melayu.
Tidak lama berselang terdengar datang dan mengucapkan salam Assalamualaikum
waalaikumsalam keluarga Kumalapun menjawab salam itu dan mempersilahkan orang yang
mengucapkan salam masuk, ternyata mereka adalah keluarga Abdul Gani yang terkenal kaya itu,
dan ayah dari Imus Asholihin sahabat kecil Kumala. ha masuk, masuk pak sambut abah Napi
mempersilahkan keluarga Abdul Gani masuk, layaknya tamu mereka pun duduk di depan yang
beralaskan tikar rotan itu dan menyampaikan maksudnya sementara itu Kumala dan Zainab lekas
kedapur untuk membuat air teh untuk tamu mereka. jadi maksud kedatangan kami kesini adalah
mau menyampaikan maksud hati dari anak kami Imus yang telah menaruh hati pada Kumala,
telah lama ia menyukai Kumala kata-kata Abdul Gani bagaikan panah yang menusuk telinga
abah Napi dan Amai Jeriah bagaimana tidak, seharusnya mereka faham akan adat budaya yang
turun temurun kalau keluarga mereka bertali sepinggang (seadat) ini maaf sebelumnya, bukan
apa-apa tapi dari adat tertua kita yang telah turun temurun sampai ke anak cucunyo bumi dipijak
adat dijunjung, Kumala dan Imus ko kan adik beradik sesuku seninik mamak macam mano bisa
dipersatukan hukum alam mengutuk kita kalau kehendak nan tersebut dilanggar juga abah Napi
berusaha tenang dan dijawab kembali oleh Abdul Gani kami tahu adat yang dimaksut namun
bukankah ada adat baru yang memperbolehkan hal ini dengan salah satunya berpindah adat,
kenapa tidak untuk dilakukan? Abdul Gani tetap pada pendirianya iyo namunkan tetap tidak
baik melanggar adat, takutnyo apa yang tidak diinginkan menimpa, baik buruknya sudah pasti
kita inginkan baiknya, namun sebisa kita sebagai orang tua kan menghindari bala bagi putra putri
kita abah Napi berusaha menjelaskan, sementara itu Kumala telah mendengarkaan pembicaraan
abahnya dan keluarga Imus, ia benar-benar bahagia namun di sisi lain ia tidak dapat
menyembunyikan rasa yang begitu murni dari lubuk hatinya, namun ia sangat bangga karena
ayahnya sangat menghormati adat, dan pada akhirnya setelah melalui pertimbangan, Imus yang
sangat menginginkan mengikat hubungan bersama Kumala mengalah dan mengundurkan niatnya
Imus rasa apa yang dikatakan apak Napi itu sangatlah banyak benarnya ayah, Imus mungkin
salah mengartikan rasa sayang Imus ko adik Kumala, sekarang Imus hendak mengurungkan niat
imus dan menganggap adik Kumala sebagai adik Imus saja ucapan Imus melegakan suasana
hati-hati yang sempat tegang kala itu hingga meneteskan air mata Kumala dari balik dinding
sekat yang seakan menjadi penopang tubuh Kumala kala itu, namun kembali Imus berkata yang
tidak kalah membuat batin Kumala seakan ingin keluar dan ada disana dan Imus berniat akan
menyekolahkan adik Imus Kumala untuk melanjutkan kuliahnya di Pekanbaru semua akan Imus
tanggung dengan uang tabungan Imus sendiri, Imus harap ayah dan ibu tidak menentang
kehendak Imus dan apak Napi dan mak cik Jariah menerima kehendak Imus Imus
mengutarakan niatnya dengan penuh kemantapan tidak mungkin kami keberatan nak, kami
bangga anak tunggal kami berjiwa besar seperti engkau Imus ucap Abdul Gani dengan penuh
binaran mata kalau memang itu keinginan nak Imus murni untuk membantu Kumala bagaimana
bisa kami tolak, kami yakin Kumala anak kami senang bila mendengarnya abah Napi
menambahkan lalu mereka berbincang-bincang hingga memutuskan untuk pulang.
Semenjak saat itu Kumala dan Imus kembali menjadi sahabat dan saling menjaga satu sama lain
layaknya saudara sekandung, mereka sadar takdir mereka seadat untuk saling mengasihi dan
menyayangi sebagai saudara harus mereka terima. Kumala melanjutkan pendidikannya yang
dibiayai oleh Imus hingga ia dapat memasuki universitas yanag cukup ternama dan mengambil
jurusan seni, hal itu sangat tidak disia-sia kan oleh Kumala, ia berusaha mengembangkan
budaya-budaya nusantara terutama yang hampir punah.
MENCARI JUDUL
Tinong tinong Notifier Eager, sebuah nada pesan baru BBM dari smartphone BlackBerry
putih kesayangan saya.
Gerakan ujung pulpen itu terhenti tepat di atas kertas yang masih belum selesai saya tulis. Ingin
saya meraih telepon genggam itu dan segera membaca isi pesan BBM tersebut. Tapi saya
berpikir, mungkin cuma Broadcast atau orang iseng saja.
Sebetulnya sih, takut memecah terawangan dan imajinasi saya, maklum lagi Belajar Nulis dan
ingin malam ini netasin lagi tulisan-tulisan di kertas kusam saya. Mencoba untuk yakin, semoga
saja imajinasi ini gak cepat ngilang begitu saja.
Saya taruh pulpen di sudut kertas, penasaran ingin membaca isi pesan BBM di HP yang
kebetulan saya charge.
Sebuah pesan baru dari Vie Vy RK -nama yang terpampang di salah satu kontak BBM saya.
Seorang perempuan, teman kecil, berseragam Putih Biru Vivi Amelia di dada kanan
seragamnya kurang lebih 15 tahun silam.
alun lalok lai? (bahasa padang), pesan singkat itu berlanjut dengan saya membalas dak bisa
lalok do, adoh yang Menghantui, padahal bisuak pagi adoh jadwal luar kota.
Berfikir ia dengan kesimpulan di rumah yang saya tempati ada hantunya, apalagi cuman tinggal
sendiri.
Kemudian dengan memberi penjelasan, kalau saya dihantui sama pulpen dan kertas, seiring
dengan penjelasan itu masuk pesan baru balasan selamat menulis.
Saya berfikir, apa ia akan bertanya saya menulis apa, atau gak peduli sama sekali saya mau
menulis apa?
Kaki yang miliki tujuan, hati berkata akan
Hendak ia lalui, jalan itu berpihak menepis tujuan.
Merenung, sejenak ia berfikir apa harus kembali?
Untuk jemput semua yang pernah ia tapaki dalam perjalannya.
Namun, untuk menoleh saja ia rapuh.
Saat renungan itu, dari seberang terdengar teriakan.
Berbisik kepada hati, untuk mengejar teriakan itu.
Untuk apa renungi semua catatan yang ada?
Di seberang sudah menyediakan kertas putih dan alat tulisnya.
Tinggal ia mau menulis apa? meskipun ia menepis jalan kelam.
Ia punya mata untuk berjalan (hati) dan punya kaki untuk melihat (tujuan).
Hingga ia punya salam rindu untuk kembali bangkit, arti dari kehidupan. (a.Bst)
Sekedar tulisan tak jelas di atas yang saya kirimkan ke pesan BBMnya, dan entah dari mana juga
tulisan itu saya coba tulis, mungkin terawangan dan imajinasi saya yang mewakili untuk isi
kertas saya saat itu. Tak lama, handphone saya berdering tanda sebuah pesan baru masuk.
Ia punya mata untuk berjalan (hati) dan punya kaki untuk melihat (tujuan)
Aneh saya melihat potongan tulisan ini, kenapa kembali lagi ke handphone putih saya.
Dengan sebuah pesan di bawahnya tulisannya bagus, apalagi kalimat yang ini memiliki makna
yang dalam saya pakai buat status di wall FaceBook saya ya.
Saya cuma sampaikan pakai saja dan makasih kalau memang suka
Ditemani sebatang r*kok tak lupa secangkir kopi panas, teringat kertas dan pulpen yang tadi
sempat saya tinggal. Mungkin mereka merajuk di ujung pulpen, untuk kembali tumpah di
kertasnya. Ingin rasanya saya kembali lanjuti tulisan itu, sejenak saya berpikir.
Ternyata untuk menulis kita perlu seseorang penikmat dan pemerhati tulisan, layaknya Vivi
Amelia mendalami sebuah bait kalimat menjadi arti.
Hingga saya belum temui sebuah judul untuk tulisan ini, dan masih MENCARI JUDUL. Saya
hanya menulis untuk dia di pesan BBM itu good night, sampai ketemu DI KERTAS.

Anda mungkin juga menyukai