Anda di halaman 1dari 2

PERDEBATAN MENGENAI UANG KOMITE SEKOLAH

Polemik boleh-tidaknya orang tua siswa (peserta didik) memberikan sumbangan tetap ke
sekolah sebagai bentuk partisipasi masyarakat kepada sekolah, telah menimbulkan pro-kontra di
antara beberapa Sekolah SMA, Di satu sisi ada sekolah yang berpandangan uang komite tidak
perlu lagi sementara di satu sisi lagi ada sekolah berpandangan sebaliknya.

Bermula dari dikucurkannya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) oleh Pemerintah
Pusat –melalui APBN– sejak awal Tahun Pelajaran 2013- 2014 lalu, diikuti oleh kebijakan
beberapa Kepala Sekolah secara sepihak memberhentikan iyuran/ uang komite bagi siswanya
akhirnya masyarakat beranggapan seolah-olah uang BOS adalah pengganti uang komite. Artinya
masyarakat (orang tua/ wali siswa) menyimpulkan bahwa mulai saat itu anak-anak mereka tidak
lagi perlu membayar uang sekolah (uang komite) seperti yang selama ini mereka lakukan.
Kesimpulan itu juga dikaitkan dengan fakta bahwa di SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah
Menengah Pertama) miliki pemerintahan (Negeri) memang sudah tidak ada lagi yang namanya
uang sekolah atau uang komite sejak diberikannya dana BOS beberapa tahun lalu.

Sesungguhnya, jika diperhatikan penggunaan dana BOS yang dijelaskan dalam Juknis
(Petunjuk Teknis) yang dikeluarkan Kemdikbud bahwa dari 9 item penggunaan dana BOS itu
jelas sekali perbedaan antara penggunaan dana BOS dengan penggunaan uang komite (dulu
bernama uang BP3/ Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan). Kalau dana BOS
dipergunakan untuk operasional non personal maka dana komite dapat juga dipergunakan untuk
tunjangan operasional personal seperti penambahan guru dan pegawai honor untuk menunjang
operasional sekolah, disamping untuk berbagai kegiatan yang tidak/ belum memadai dananya
dari dana rutin.

Ada beberapa pokok pikiran yang semestinya dipahami oleh masyarakat berkenaan dana
BOS di SLTA (SMA/ MA/ SMK). Pertama; mengingat penggunaan dana BOS sama sekali
berbeda dengan penggunaan uang komite maka seharusnya orang tua tidak serta-merta
memprotes iyuran komite yang sudah dianggarkan untuk satu tahun anggaran itu setelah dana
BOS dikucurkan ke sekolah. Jika iyuran ini dihentikan, tentu akan menyulitkan sekolah dalam
melaksanakan program-program yang sudah dibuat.

Sebagai contoh, jika uang komite dapat dipakai sebagai uang tambahan kesejahteraan
guru dan pegawai (termasuk guru dan pegawai honorer) tapi dana BOS sama sekali tidak boleh
dipergunakan untuk honor (tunjangan) guru dan pegawai, termasuk guru dan pegawai honorer.
Jika iyuran komite diberhentikan maka berarti para guru/ pegawai honorer itu tidak akan bisa
dibayar lagi oleh sekolah honornya. Apakah mereka akan mau mengajar (bekerja) tanpa honor?
Padahal mereka sangat dibutuhkan sekolah karena mereka belum bisa digantikan oleh guru/
pegawai negeri yang ada. Pemerintah juga belum bisa memberikan pengganti tenaga honorer
yang sudah ada.

Di sisi lain, keikutsertaan orang tua/ wali dalam menggalang dana untuk kebutuhan
sekolah sebenarnya ini merupakan bentuk kerja sama antara sekolah dengan masyarakat yang
memang digalakkan. Inilah bentuk partisipasi langsung orang tua siswa kepda sekolah. Undang-
undang Sisdiknas sendiri bahkan tidak kurang dari 5 pasal memberikan ruang untuk partisipasi
masyarakat ini. Artinya ada dasar hukum yang menjadi landasan untuk keikutsertaan masyarakat
dalam penggalangan dana sekolah yang memang belum terpenuhi sepenuhnya oleh Pemerintah.
Bahwa ada kecenderungan masyarakat agar sekolah secara keseluruhan digratiskan, itu
tidaklah salah. Inilah yang perlu diluruskan. Masyarakat harus diberi pencerahan bahwa untuk
saat ini pemerintah sebenarnya belum mampu menggratiskan pendidikan kepada rakyatnya.
Walaupun Undang-undang Dasar 1945 sudah mengamanahkan agar anggaran pendidikan itu
ditetap minimal 20 persen dari APBN, terbukti sampai hari ini masih begitu banyak problem
kekurangan sarana prasarana dan fasilitas lainnya yang belum mampu diatasi Pemerintah.

Di banyak daerah bahkan masih banyak sekolah yang harus belajar pagi dan sore
dikarenakan RKB (Ruang Kelas Belajar) yang masih kurang. Banyak pula gedung sekolah yang
sudah tidak layak pakai karena sudah sangat tua dimakan usia. Dan jika diperiksa berbagai
fasilitas yang diperlukan peserta didik di semua sekolah di Indonesia, betapa membuat hati kita
sangat terenyuh khususnya sekolah-sekolah yang jauh dari ibu kota. Begitu masih banyaknya
problem yang berkaitan dengan anggaran. Artinya, pemerintah memang belum mampu
membiayai pendidikan masyarakat secara keseluruhan dengan gratis. Idealnya, sekolah memang
grastis dan orang tua (masyarkat) cukup membayar pajak saja. Tidak perlu ikut membayar uang
sekolah. Masalahnya pemerintah memang belum bisa. Penghasilan negara belum sampai ke
tahap seperti itu.

Oleh karena itu, partisipasi masyarakat yang memang diberi ruang oleh undang-undang
untuk ikut terlibat langsung dalam pembiayaan sekolah tidak harus diberhentikan hanya karena
pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk dana BOS. Kepala sekolah juga tidak perlu ‘sok
hebat’ dengan seolah-olah ikut menggratiskan uang sekolah dengan membuat ketentuan sendiri.
Undang-undang tentu saja lebih tinggi derajatnya hukumnya dari pada peraturan Kepala Sekolah
atau peraturan Komite Sekolah.

Justru dalam keadaan seperti ini masyarakat harus dicerahkan dengan informasi yang
benar. Masyarkat tidak harus diinabobokan dengan istilah ‘sekolah gratis’ sementara sekolah
dengan berbagai dalih yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, malah masih tetap meminta
sumbangan. Dan uang-uang itu malah tidak jelas pertanggungjawabannya. Alangkah lebih baik,
pastisipasi orang tua ini terus digalakkan (termasuk di SD dan SMP) dengan syarat uang-uang itu
diaudit dengan baik. Kepala Sekolah tidak boleh menggunakan sesukia hati. Orang tua benar-
benar dilibatkan dengan aktif dan pengurus Komite Sekolah tidak sekedar menjadi bember
Kepala Sekolah.

Anda mungkin juga menyukai