HIFEMA
Pembimbing:
Disusun oleh:
Ivan Aulia Rizka
G4A016091
2017
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT
HIFEMA
Disusun oleh:
G4A016091
Pembimbing,
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Teguh Anamani, Sp.M selaku
pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat
dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Latar Belakang
Salah satu diantara penyebab kebutaan yang terjadi pada mata ialah
trauma okuli (persentuhan mata dengan benda tumpul). Trauma okuli ialah
trauma yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada
bola mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Trauma okuli sering
terjadi pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia ini sering
mengalami trauma okuli. Trauma okuli menjadi salah satu penyebab tersering
yang menyebabkan kebutaan unilateral. Kerusakan ini akan memberikan
penyulit yang mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Dewasa
muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering
mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya
kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan
lalu lintas (Ilyas, 2009).
Trauma okuli merupakan salah satu penyebab terjadinya Hifema
traumatik. Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik
mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal
dari iris atau badan siliar yang robek. Menurut Duke Elder (1954), hifema
disebabkan oleh robekan pada segmen anterior bola mata yang kemudian
dengan cepat akan berhenti dan darah akan diabsorbsi dengan cepat. Hal ini
disebut dengan hifema primer. Bila oleh karena sesuatu sebab misalnya
adanya gerakan badan yang berlebihan, maka timbul perdarahan sekunder
atau hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan
lebih sukar hilang (Nurwasis, 2006). Beberapa keadaan yang dapat muncul
akibat adanya hifema diantaranya, peningkatan tekanan intraokular, kornea
terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior, dan katarak.
Selain itu hifema juga dapat mengakibatkan penurunan penglihatan sehingga
setiap dokter harus memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana
hifema.
II.TINJAUAN PUSTAKA
B. DEFINISI HIFEMA
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik
mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan
bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang
terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang.
Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat
menurunkan penglihatan. Hifema dapat juga disebabkan oleh trauma
intraoperasi, pecahnya neovaskularisasi, atau adanya kanker (Ilyas, 2012).
C. ETIOLOGI
1. Hifema traumatik
2. Hifema iatrogenik
3. Hifema spontan
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan
hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada
umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil,
mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul
yang menghantam bagian depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya
perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta ekspansi
bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan terjadinya
penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan badan silier).
Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini akan mengalami
ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera oculi anterior).
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan
komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini
dapat terjadi intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi
yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema
iatrogenik.
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya
anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan
kedua jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik mata depan
akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun adanya gangguan
hematologi.
1. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun sikatriks.
Pada kondisi ini, adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti
retina yang mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan
mengeluarkan faktor tumbuh vaskular (misal: VEGF)2 yang oleh lapisan
kaya pembuluh darah (seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah
yang baru pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah
mengalami ruptur maupun kebocoran. KondisI ini meningkatkan
kerentanan terjadinya perdarahan bilik mata depan.
2. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada umumnya
juga melibatkan neovaskularisasi3 seperti yang telah dijelaskan pada poin
pertama.
3. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand yang
mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan faktor
anti-pembekuan. Dengan demikian terjadi proses kecenderungan berdarah.
4. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti
aspirin dan warfarin.
Gambar 2.5. Proses trauma dari arah anterior bola mata dapat mengakibatkan
distorsi dimensi antero-posterior dan ekuatorial yang mengakibatkan perubahan
tekanan intraokular mendadak dan menyebabkan ruptur pembuluh darah (Kanski,
2011)
D. EPIDEMIOLOGI
Menurut satu studi yang dilakukan di Amerika Serikat, kejadian
hifema, terutama hifema traumatik, diperkirakan sebanyak 12 kasus per
100.000 orang populasi. Anak-anak dan remaja usia 10-20 tahun memiliki
persentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%. Hifema lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 3 : 1 (Ilyas, 2009)
E. PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai
peregangan limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat
meningkatkan tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan
kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena
adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-
cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar (Ilyas,
2002).
G. GEJALA KLINIS
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang
berair dan nyeri kepala. Penglihatan pasien akan sangat menurun, fotofobia.
Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila
jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul
di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot
sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat
terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor pupil (Ilyas,
2012).
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena
darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini
secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat
bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler
ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat
massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi
membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat
darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan
darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea (Ilyas, 2012).
H. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan perlu diadakan
pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan (Ilyas,
2012)
1. Anamnesis
Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu
kejadian, proses terjadi trauma dan benda yang mengenai mata tersebut.
Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu, apakah dari
depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut, apakah terbuat
dari kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang dari satu jam
maka perlu ditanyakan ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata karena
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler akibat perdarahan
sekunder. Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan
apakah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya.
Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata sebelum terjadi
trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan apakah
pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan
tersebut, ambliopia, penyakit kornea atau glaukoma, riwayat pembukaan
darah atau penggunaan antikoagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lengkap. Semua hal yang
berhubungan dengan cedera bola mata ditanyakan. Dilakukan
pemeriksaan hifema dan menilai perdarahan ulang. Bila ditemukan
kasus hifema, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan
daerah orbita luar hingga lensa.
b. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen;
visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan
retina.
c. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler
okuler, glaukoma.
d. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
e. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
f. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
g. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila
TIO normal atau meningkat ringan
I. TATALAKSANA
Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5
hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata
maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6
hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior
perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan
selama 9 hari. Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari.
Dari keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut :
dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka
koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar
seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis.
Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut.
Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah
masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200
J. KOMPLIKASI
Pada umumnya yang perlu diwaspadai dalam menemukan kasus
hifema adalah komplikasi yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya
dibandingkan keberadaan darah di kamera okuli anterior itu sendiri.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah : (Ilyas, 2012)
1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu gluakoma
traumatik
2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik
3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder (2o hemorrhage)
4. Sinekia posterior
5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari sembilan
hari
6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan
hemosiderin pada stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total
yang umumnya disertai dengan peningkatan tekanan intraokular. Corneal
blood staining dapat menghilang, namun memerlukan waktu berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun lamanya.
7. Glaukoma kronik
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema
adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina,
katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada
tingginya hifema.
1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini
timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan
dari perdarahan primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat
daripada yang primer. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari
setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.
2. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh
tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah.
Insidensinya 20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya
darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena
unsur-unsur darah menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya
glaukoma.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar
berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran
cairan mata.
3. Hemosiderosis kornea
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk
sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan
sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris
dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema
dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat
penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea,
menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis
atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.
Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh
disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada
perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler.
Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi kadang-
kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun).
Insidensinya 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan
siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi
dan kebutaan.
4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini
akibat dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang
mendapat terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien
dengan evakuasi bedah pada hifema.Peripheral anterior synechiae anterior
synechiae terjadi pada pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang
lama, biasanya 9 hari atau lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer
berhubungan dengan iritis yang lama akibat trauma atau dari darah pada
COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian bisa menyebabkan
trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata tertutup.
5. Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.
6. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea,
uveitis. Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar
yang mungkin juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga
pada funduskopi gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan
menurunnya lebih banyak.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila
sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular
masih normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat
menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intra okular sehingga
mata terasa sakit oleh karena glaukoma. Jika hifemanya mengisi seluruh
COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra okular lebih meninggi dan
penglihatan lebih menurun lagi.
K. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam
penglihatan pasien. Fungsi penglihatan harus merupakan goal dalam
penatalaksanaan pasien dengan hifema (Ilyas, 2012).
1. Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitudaerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
(gaya-gayakontusif) yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan
bercampur denganhumor aqueus (cairan mata) yang jernih.
2. Angka kejadian dari hifema traumatic diperkirakan 12 kejadian per 100.000
Populasi,dengan pria terkena tiga sampai lima kali lebih sering daripada
wanita.
3. Klasifikasi hifema dapat dikelompokkan berdasarkan penyebab, waktu
terjadinya.Juga terdapat derajat (grade) berdasarkan tampilan klinis.
4. Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, kesalahan prosedur operasi
mata,tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah
(contohnya juvenile xanthogranuloma).
5. Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada
pembuluhdarah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan
perdarahan dalam bilik mata depan
6. Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan epifora, penglihatan
pasien kabur dan akan sangat menurun.
7. Prinsip pengobatan : menghentikan pendarahan atau mencegah pendarahan
berulang,mengeluarkan darah dari bilik mata depan, mengendalikan tekanan
bola mata,mencegah imbibisi kornea, mengatasi uveitis, mendeteksi dini
penyulit yang mungkinterjadi setelah hifema.
8. Komplikasi dari hifema adalah uveitis, glaukoma sekunder, imhibisi,
kebutaan
9. Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI press
Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Jakarta : FKUI press
Ilyas, Sidarta. 2002 Trauma Tumpul Mata : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Sagung
Seto, Hal : 263-6.
Ilyas, Sidarta et al. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa
kedokteran. Ed.2. 2012. Jakarta : Sagung Seto. Hal. 266.
Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata:
Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair,
Surabaya.
Yanoff M, Duker JS. 2004. Ophtalmology. 2nd ed, p. 416-419. St Louis, MO:
Mosby