Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA

HIFEMA

Pembimbing:

dr. Yulia Fitriani, Sp.M

Disusun oleh:
Ivan Aulia Rizka
G4A016091

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT

HIFEMA

Disusun oleh:

Ivan Aulia Rizka

G4A016091

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti program profesi dokter pada


SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal, Juli 2017

Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp. M

NIP. 19820730 201412 2 001


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Teguh Anamani, Sp.M selaku
pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat
dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2017

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Mata ..................................................................... 6


B. Definisi ...................................................................................................... 9
C. Etiologi ...................................................................................................... 10
D. Epidemiologi ............................................................................................ 11
E. Patofisiologi .............................................................................................. 11
F. Gejala Klinis ............................................................................................ 13
G. Penegakan Diagnosis ................................................................................ 14
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 18
I. Komplikasi ................................................................................................ 24
J. Prognosis ................................................................................................... 25
III. KESIMPULAN ............................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu diantara penyebab kebutaan yang terjadi pada mata ialah
trauma okuli (persentuhan mata dengan benda tumpul). Trauma okuli ialah
trauma yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada
bola mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Trauma okuli sering
terjadi pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia ini sering
mengalami trauma okuli. Trauma okuli menjadi salah satu penyebab tersering
yang menyebabkan kebutaan unilateral. Kerusakan ini akan memberikan
penyulit yang mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Dewasa
muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering
mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya
kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan
lalu lintas (Ilyas, 2009).
Trauma okuli merupakan salah satu penyebab terjadinya Hifema
traumatik. Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik
mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal
dari iris atau badan siliar yang robek. Menurut Duke Elder (1954), hifema
disebabkan oleh robekan pada segmen anterior bola mata yang kemudian
dengan cepat akan berhenti dan darah akan diabsorbsi dengan cepat. Hal ini
disebut dengan hifema primer. Bila oleh karena sesuatu sebab misalnya
adanya gerakan badan yang berlebihan, maka timbul perdarahan sekunder
atau hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan
lebih sukar hilang (Nurwasis, 2006). Beberapa keadaan yang dapat muncul
akibat adanya hifema diantaranya, peningkatan tekanan intraokular, kornea
terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior, dan katarak.
Selain itu hifema juga dapat mengakibatkan penurunan penglihatan sehingga
setiap dokter harus memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana
hifema.
II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi MataAnatomi Bola Mata


Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh
tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisanlapisan tersebut adalah : (1)
sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar
mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera,
yang membentuk bagian putih mata.

Gambar 2.1. Anatomi Bulbus Oculi


Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah
darinya oleh selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan
dari luar ke dalam, yaitu : (Yanoff, 2004)
1. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau
sklera dan bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan
jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih. Daerah ini relatif lemah dan
dapat menonjol ke dalam bola mata oleh perbesaran cavum
subarachnoidea yang mengelilingi nervus opticus. Jika tekanan intraokular
meningkat, lamina fibrosa akan menonjol ke luar yang menyebabkan
discus menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop.
Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang
terkait yaitu vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di
depannya pada batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi
utama merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-
lapisan berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel kornea
(epithelium anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva. (2)
substansia propria, terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina limitans
posterior dan (4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan
dengan aqueous humour.
2. Lamina vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea
(terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2)
corpus ciliare (ke belakang bersambung dengan choroidea dan ke anterior
terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus
ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang
tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi
ruang diantara lensa dan kornea menjadi bilik mata depan dan bilik mata
belakang, serat-serat otot iris bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat
sirkuler dan radier.
Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer
dengan iris. Pada bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya
mengarah ke badan siliar. Bagian dalam jalinan ini yang menghadap ke
bilik mata depan dikenal sebagai jalinan uvea. Bagian luar jalinan ini yang
terletak dekat kanalis schlemm dikenal sebagai jalinan korneoskleral.
Serat-serat longitudinal otot siliaris menyisip ke dalam jalinan trabekula
tersebut. Kanal schlemn merupakan kapiler yang dimodifikasi yang
mengelilingi kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel. Pada dinding
sebelah dalam terdapat lubang lubang sebesar 2 U, sehingga terdapat
hubungan langsung antara trabekula dan kanal schlemn. Dari kanal
schlemn, keluar saluran kolektor, 20 30 buah, yang menuju ke pleksus
vena di dalam jaringan sclera dan episkelera dan vena siliaris anterior di
badan siliar.

Gambar 2.2. Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar


3. Tunica sensoria (retina)
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di
dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan
dalamnya berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior
retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin
berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir.
Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel
pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina
ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris.
B. Vaskularisasi Bola Mata
Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri
ophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna bagian
intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya
melewati kanalis optikus menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama
adalah arteri sentralis retina, yang memasuki nervus optikus sebesar 8-15
mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri oftalmika adalah
arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak
mata atas, cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris
posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua kelopak
mata, dan arteri supra orbitalis serta supra troklearis (Yanoff, 2004).

Gambar 2.3. Vaskularisasi pada Bola Mata


Arteri siliaris posterior brevis memvaskularisasi koroid dan bagian nervus
optikus. Kedua arteri siliaris longus memvaskularisasi badan siliar,
beranastomosis satu dengan yang lain, dan bersama arteri siliaris anterior
membentuk sirkulus arteriosus major iris. Arteri siliaris anterior berasal
dari cabang-cabang muskularis dan menuju ke muskuli rekti. Arteri ini
memvaskularisasi sklera, episklera, limbus, konjungtiva, serta ikut
membentuk sirkulus arteriosus major iris (Yanoff, 2004).
Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmika
superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae,
vena siliaris anterior, dan vena sentralis retina. Vena oftalmika
berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fisura orbitalis superior dan
dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fisura orbitalis inferior
(Yanoff, 2004).
Gambar 2.4. Vaskularisasi pada Segmen Anterior

B. DEFINISI HIFEMA
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik
mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan
bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang
terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang.
Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat
menurunkan penglihatan. Hifema dapat juga disebabkan oleh trauma
intraoperasi, pecahnya neovaskularisasi, atau adanya kanker (Ilyas, 2012).

C. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni: (Kanski, 2011)

1. Hifema traumatik
2. Hifema iatrogenik
3. Hifema spontan
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan
hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada
umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil,
mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul
yang menghantam bagian depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya
perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta ekspansi
bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan terjadinya
penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan badan silier).
Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini akan mengalami
ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera oculi anterior).
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan
komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini
dapat terjadi intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi
yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema
iatrogenik.
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya
anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan
kedua jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik mata depan
akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun adanya gangguan
hematologi.
1. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun sikatriks.
Pada kondisi ini, adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti
retina yang mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan
mengeluarkan faktor tumbuh vaskular (misal: VEGF)2 yang oleh lapisan
kaya pembuluh darah (seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah
yang baru pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah
mengalami ruptur maupun kebocoran. KondisI ini meningkatkan
kerentanan terjadinya perdarahan bilik mata depan.
2. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada umumnya
juga melibatkan neovaskularisasi3 seperti yang telah dijelaskan pada poin
pertama.
3. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand yang
mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan faktor
anti-pembekuan. Dengan demikian terjadi proses kecenderungan berdarah.
4. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti
aspirin dan warfarin.

Gambar 2.5. Proses trauma dari arah anterior bola mata dapat mengakibatkan
distorsi dimensi antero-posterior dan ekuatorial yang mengakibatkan perubahan
tekanan intraokular mendadak dan menyebabkan ruptur pembuluh darah (Kanski,
2011)

D. EPIDEMIOLOGI
Menurut satu studi yang dilakukan di Amerika Serikat, kejadian
hifema, terutama hifema traumatik, diperkirakan sebanyak 12 kasus per
100.000 orang populasi. Anak-anak dan remaja usia 10-20 tahun memiliki
persentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%. Hifema lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 3 : 1 (Ilyas, 2009)

E. PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai
peregangan limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat
meningkatkan tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan
kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena
adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-
cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar (Ilyas,
2002).

Gambar 2.6. Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata


Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker
mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul
dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif
akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat
juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini
dapat bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan dalam kornea (Ilyas,
2002).
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya
mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular,
spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme
pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini
dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini
biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi.
Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka plasminogen akan
diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan
memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami
disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama dengan sel darah
merah dan debris peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan
trabekular dan aliran uveaskleral (Ilyas, 2002)

Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut


perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak.
Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma.
Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu
seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan
perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi daribekuan darah terjadi
terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk
regenerasi kembali (Ilyas, 2002).
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk
sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya
akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat
dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan
setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari
hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea
menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea,
yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat
dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma (Ilyas, 2002).
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis
yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul
mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari
otot siliar. Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan
berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis
traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan
pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris
walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai
mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti
miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang
dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi
lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi
perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur
koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular (Ilyas,
2002).
F. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi : (Ilyas, 2012)
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan
yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
trauma pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi
mata)
3. H i f e m a a k i b a t i n f l a m a s i ya n g p a r a h p a d a i r i s d a n
b a d a n s i l i e r , sehingga pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
(contohnya juvenile Banthogranuloma).
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).
Berdasarkan onset perdarahan, hifema diklasifikasikan menjadi :
1. Hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma pada mata
2. Hifema sekunder terjadi 2-5 hari setelah trauma pada mata
Sementara itu, berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan
menjadi :
1. Makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
2. Mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan mikroskop
Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard,
2009)) :
1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA (insidensi 58%)
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%)
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)
Gambar 2.7. Klasifikasi hifema secara skematis

G. GEJALA KLINIS
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang
berair dan nyeri kepala. Penglihatan pasien akan sangat menurun, fotofobia.
Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila
jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul
di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot
sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat
terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor pupil (Ilyas,
2012).
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena
darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini
secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat
bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler
ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat
massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi
membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat
darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan
darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea (Ilyas, 2012).
H. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan perlu diadakan
pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan (Ilyas,
2012)
1. Anamnesis
Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu
kejadian, proses terjadi trauma dan benda yang mengenai mata tersebut.
Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu, apakah dari
depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut, apakah terbuat
dari kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang dari satu jam
maka perlu ditanyakan ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata karena
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler akibat perdarahan
sekunder. Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan
apakah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya.
Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata sebelum terjadi
trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan apakah
pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan
tersebut, ambliopia, penyakit kornea atau glaukoma, riwayat pembukaan
darah atau penggunaan antikoagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lengkap. Semua hal yang
berhubungan dengan cedera bola mata ditanyakan. Dilakukan
pemeriksaan hifema dan menilai perdarahan ulang. Bila ditemukan
kasus hifema, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan
daerah orbita luar hingga lensa.
b. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen;
visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan
retina.
c. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler
okuler, glaukoma.
d. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
e. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
f. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
g. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila
TIO normal atau meningkat ringan

I. TATALAKSANA

Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak


berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada
dasarnya adalah : (Vaughan, 2000; Ilyas, 2012)
1. Menghentikan perdarahan.
2. Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3. Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita
dengan traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar
yaitu perawatan dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang
disertai dengan tindakan operasi. (Vaughan, 2000; Ilyas, 2012)

Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi


1. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30 - 45o (posisi semi
fowler). Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris
serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak
pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini sebagai
tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik
hifema. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring
kesempurnaan absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi
timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus
dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan sekunder.
Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau
perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan
dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian
pendapat di antara para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena
trauma yaitu untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema
tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan,
mempercepat absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk
maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
a. Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun
parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya :
Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema
yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik (di pasaran obat
ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan darah tidak
terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan
terjadinya perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250
mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat
timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga
imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra
okular.
b. Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan
dan kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi,
tapi meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
Pemberian midriatika dianjurkan bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis.
Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja.
c. Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox)
secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan
intraokuler. Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian
intravena urea, manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler,
walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin. Pada hifema yang penuh
dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai selama
24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas
normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea
Bila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan
dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya
masih ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.
d. Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.

Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5
hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata
maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6
hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior
perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan
selama 9 hari. Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari.
Dari keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut :
dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka
koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar
seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis.
Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut.
Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah
masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200
J. KOMPLIKASI
Pada umumnya yang perlu diwaspadai dalam menemukan kasus
hifema adalah komplikasi yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya
dibandingkan keberadaan darah di kamera okuli anterior itu sendiri.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah : (Ilyas, 2012)
1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu gluakoma
traumatik
2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik
3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder (2o hemorrhage)
4. Sinekia posterior
5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari sembilan
hari
6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan
hemosiderin pada stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total
yang umumnya disertai dengan peningkatan tekanan intraokular. Corneal
blood staining dapat menghilang, namun memerlukan waktu berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun lamanya.
7. Glaukoma kronik
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema
adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina,
katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada
tingginya hifema.
1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini
timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan
dari perdarahan primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat
daripada yang primer. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari
setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.
2. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh
tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah.
Insidensinya 20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya
darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena
unsur-unsur darah menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya
glaukoma.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar
berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran
cairan mata.
3. Hemosiderosis kornea
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk
sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan
sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris
dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema
dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat
penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea,
menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis
atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.
Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh
disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada
perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler.
Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi kadang-
kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun).
Insidensinya 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan
siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi
dan kebutaan.
4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini
akibat dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang
mendapat terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien
dengan evakuasi bedah pada hifema.Peripheral anterior synechiae anterior
synechiae terjadi pada pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang
lama, biasanya 9 hari atau lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer
berhubungan dengan iritis yang lama akibat trauma atau dari darah pada
COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian bisa menyebabkan
trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata tertutup.
5. Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.
6. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea,
uveitis. Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar
yang mungkin juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga
pada funduskopi gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan
menurunnya lebih banyak.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila
sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular
masih normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat
menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intra okular sehingga
mata terasa sakit oleh karena glaukoma. Jika hifemanya mengisi seluruh
COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra okular lebih meninggi dan
penglihatan lebih menurun lagi.

K. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam
penglihatan pasien. Fungsi penglihatan harus merupakan goal dalam
penatalaksanaan pasien dengan hifema (Ilyas, 2012).

Dalam menentukan kasus hifema perlu dipertimbangkan:

1. Kerusakna struktur mata lain


2. Perdarahan sekunder
3. Komplikasi lain: glaukoma, corneal blood staining, serta atrofi optik

Secara umum, hifema grade I memiliki kemungkinan 80% untuk


mencapai tajam penglihatan minimal 6/12. Hifema yang lebih tinggi, yakni
grade II memiliki kemungkinan 60%, sedangkan pada hifema total
kemungkinan tajam penglihatan minimal 6/12 relatif rendah, yakni sekitar
35%.
KESIMPULAN

1. Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitudaerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
(gaya-gayakontusif) yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan
bercampur denganhumor aqueus (cairan mata) yang jernih.
2. Angka kejadian dari hifema traumatic diperkirakan 12 kejadian per 100.000
Populasi,dengan pria terkena tiga sampai lima kali lebih sering daripada
wanita.
3. Klasifikasi hifema dapat dikelompokkan berdasarkan penyebab, waktu
terjadinya.Juga terdapat derajat (grade) berdasarkan tampilan klinis.
4. Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, kesalahan prosedur operasi
mata,tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah
(contohnya juvenile xanthogranuloma).
5. Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada
pembuluhdarah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan
perdarahan dalam bilik mata depan
6. Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan epifora, penglihatan
pasien kabur dan akan sangat menurun.
7. Prinsip pengobatan : menghentikan pendarahan atau mencegah pendarahan
berulang,mengeluarkan darah dari bilik mata depan, mengendalikan tekanan
bola mata,mencegah imbibisi kornea, mengatasi uveitis, mendeteksi dini
penyulit yang mungkinterjadi setelah hifema.
8. Komplikasi dari hifema adalah uveitis, glaukoma sekunder, imhibisi,
kebutaan
9. Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Sidarta. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI press
Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Jakarta : FKUI press
Ilyas, Sidarta. 2002 Trauma Tumpul Mata : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Sagung
Seto, Hal : 263-6.
Ilyas, Sidarta et al. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa
kedokteran. Ed.2. 2012. Jakarta : Sagung Seto. Hal. 266.

Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology. A systematic approach. Seventh


edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011

Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata:
Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair,
Surabaya.

Sheppard, JD. 2008. Hyphema. Diakses dari http: // emedicine. medscape.com


/article/ 1190165-overview pada tanggal 14 Januari 2013 pukul 16.00

Vaughan, Daniel, G. 2000. Trauma : Oftamologi Umum Edisi ke-14. Jakarta :


Widya Medika. Hal 380-384

Yanoff M, Duker JS. 2004. Ophtalmology. 2nd ed, p. 416-419. St Louis, MO:
Mosby

Anda mungkin juga menyukai