Anda di halaman 1dari 8

KEPERAWATAN SISTEM NEUROBEHAVIOUR

MENGIDENTIFIKASI MEKANISME AFASIA


DAN GANGGUAN KESADARAN

KELOMPOK 4 :
1. AGUNG PRASSTIA A. (151.0001)
2. ASMAUL HUSNA (151.0005)
3. DEDY PERMANA P. (151.0008)
4. DHIRA AYU P. (151.0009)
5. FERNANDA WIKE W. (151.0018)
6. IMELDA SANDY W. (151.0023)
7. IRIANI WAHYUNI L. (151.0024)
8. NOVELDA FEBRIANTI (151.0037)
9. NOVI TRIYAS DIYANTO (151.0038)
10. RARA AYU ANJANI (151.0043)
11. RISKA UTAMA (151.0047)
12. TIARA NOVIYANTI U. (151.0052)
13. YOHANA NOVITASARI S. (151.0058)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


2016/2017
AFASIA
A. DEFINISI
Pengertian tentang aphasia, masing-masing ahli memberikan
batasan yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya sama. Seperti yang
dikemukakan:
1. Wood (1971) mengatakan bahwa aphasia merupakan parsial or
complete loss of ability to speak or to comprehend the spoken word
due to injury, disease. Or maldevelopment of brain. (Kehilangan
kemampuan untuk bicara atau untuk memahami sebagaian atau
keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang diakibatkan
karena adanya gangguan pada otak) (3,4,5).
2. Wiig dan Semel (1984) bahwa Aphasia as involving those who have
acquired a language disorder because of brain damage resulting in
impairment of language comprehension formulation, and use.
(Mereka yang memiliki gangguan pada perolehan bahasa yang
disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan
pengguanaan bahasa) (3,4).
Jadi pengertian aphasia secara umum berkaitan dengan disorder of
brain, injury of the brain. Gangguan bahasa aphasia dikelompokkan kepada
masalah receptive dan ekspresive (5,6,7).
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh
kerusakan otak. Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa
(disebut juga disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan
berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia
(4,5)
.
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh
walaupun biasanya terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada
gangguan lainnya. Tercakup di dalam afasia adalah gangguan yang lebih
selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau gangguan menulis
(agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar atau
ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung
(akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium.
Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau muncul sendiri (6,7).

B. ETIOLOGI
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat
timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal,
temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area
Broa, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya.
Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan
orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur
(4,5,6,7,8,9,10)
.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan
oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya.
Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia
juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid
untuk penanganan nyeri kronis (5,6).

C. KLASIFIKASI
Tabel 1. Klasifikasi Afasia (2)
Bentuk Komprehensi Komprehensi
Ekspresi Repetisi Menamai Menulis Lesi
Afasia verbal membaca
Ekspresi Tak Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Frontal Inferior
(Broca) lancar terpelihara posterior
Reseptif Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Temporal
(Wermicke) Superior
Posterior (Area
Wernicke)
Global Tak Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Fronto temporal
lancar
Konduksi Lancar Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Fasikulus
terpelihara arkualtus, girus
supramarginal
Nominal Lancar Relatif Terpelihara Terganggu Bervariasi Bervariasi Girus angular,
terpelihara temporal
superior
posterior
Transkortikal Tak Relatif Terpelihara Terganggu Bervariasi Terganggu Peri sylvian
motor lancar terpelihara anterior
Transkortikal Lancar Terganggu Terpelihara Terganggu Terganggu Terganggu PerisylvianPost
sensorik erior

Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang


mendasarkan kepada (4,5,6,7,8,9):
1. Manifestasi klinik
a. Afasia tidak lancar atau non-fluent
b. Afasia lancar atau fluent
2. Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
a. Sindrom afasia peri-silvian
1) Afasia Broca (motorik, ekspresif)
2) Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
3) Afasia konduksi
b. Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
1) Afasia transkortikal motorik
2) Afasia transkortikal sensorik
3) Afasia transkortikal campuran
c. Sindrom afasia subkortikal
1) Afasia talamik
2) Afasia striatal
d. Sindrom afasia non-lokalisasi
1) Afasian anomik
2) Afasia global
3. Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

D. PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak.
Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer
kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60%
orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia,
sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.(2,3,6,7,8)
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak,
atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.(2,3)
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan
(2,4,5)
.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area
sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan
mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu
bahasa (2,4,5).
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan
bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan
afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus
arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke (3.4).
GANGGUAN KESADARAN

A. DEFINISI

Gangguan kesadaran adalah suatu kesadaran dimana seseorang


sadar penuh atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen
yang dapat dinilai dari suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu
sendiri dan isinya. Isi kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi
cortex cerebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu
rangsangan. Pasien dengan gangguan kesadaran biasanya tampak sadar
penuh, namun tidak dapat merespon dengan baik beberapa rangsangan-
rangsangan, seperti membedakan warna, raut wajah, mengenali bahasa
atau simbol, sehingga sering kali dikatakan bahwa penderita tampak
bingung.

B. ETIOLOGI
1. Lesi supratetorial
Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh
kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan
kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan
vaskularisasi dan edema yang diakibatnya. Proses ini menjalar secara
radial dari proses lesi kemudian kearah rostro-kaudal sepanjang batang
otak.
2. Gejala
Gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalanan proses tersebut
yang dimulai dengan :
Gejala neurologik vokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan
bertambah berat dapat timbul sindroma biensefalon, sindroma
meseinfalon bahkan sindroma pontomeduler dan deserebrasi oleh
kenaikan tekanan intakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di
kolongfalks serebri, herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus
temporalis melalui insisura tentori.
3. Lesi infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena
kerusakan ARAS baik oleh proses interinsik pada batang otak maupun
oleh proses eksterinsik.
4. Gangguan difus (gangguan metabolik)
Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral
dan hampir selalu Simetrik. Selain itu gejala neuroligiknya tidak dapat
dilokalisir pada suatu susunan anatomik tertentu pada susunan saraf
pusat. Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama
akibat kekurangan O2, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah
serta pengaruh berbagai macam toksin.
5. Kekurangan O2
Otak yang normal memerlukan 3.3cc O2/100 gram otak/menit
yang disebut cerebral metabolic rate for oxigen (CMR O2). CMR O2
ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada
kejang-kejang dapat menimbulkan gangguan fungsi otak ketika CMR
menurun. Pada CMR O2 kurang dari 2.5cc/100gram otak/menit akan
mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2cc
O2/100gram akan terjadi koma.
6. Glukosa
Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100gram otak
memerlukan 5.5mrg glukosa/menit. Menurut Hinwich pada
hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada cerebrum dan kemudian
progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Pada hipoglikemi,
dapat terjadi penurunan atau gangguan kesadaran.
7. Gangguan sirkulasi darah
Untuk mencukupi keperluan dan glukosa, aliran darah ke otak
memegang keperluan penting bila aliran darah ke otak berkurang maka
glukosa darah juga akan berkurang.
8. Toksin
Gangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari
penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau akibat dari infeksi.

C. MENILAI KESADARAN
1) Cara penilaian kesadaran secara kualitatif:
a. Komposmentis: kesadaran penuh dan bereaksi secara optimal
terhadap seluruh rangsangan.
b. Apatis: keadaan penurunan kesadaran yang paling ringan dan
tampak acuh tak acuh.
c. Delirium: keadaan dimana terjadinya salah tafsir terhadap stimulus
yang disertai oleh rasa takut, ofensif, curiga, dan aditasi. Biasanya
terjadi pada pengkonsumsi alkohol.
d. Letargi: penumpulan kesadaran yaitu dimana tingkat kesadaran
penderita masih bangun tetapi kesadaran diri menurun ditandai
dengan perlambatan reaksi psikologik dan biasanya sering
mengantuk.
e. Somnolen: mengantuk dan mata cenderung menutup, tetapi masih
dapat dibangunkan dengan perintah dan masih dapat menjawab
pertanyaan walaupun sedikit bingung dan gelisah.
f. Stupor: kedaan penurunan kesadaran yang lebih dalam
dibandingkan somnolen dan lebih ringan dari koma. Dimana
penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri maupun
suara keras, tetapi kembali tidak sadar ketika tidak dirangsang lagi.
g. Semi koma: keadaan penurunan kesadaran yang ditandai dengan
mata tertutup meskipun dirangsang dengan kuat dan hanya dapat
melakukan gerakan motorik hanya gerakan primitif.
h. Koma: penurunan kesadaran yang paling rendah dan ditandai
dengan tidak responsifnya terhadap rangsang, tidak dapat
membuka mata, bicara maupun reaksi motorik.

2) Cara Penilaian Seaca Kuantitatif

Glasgow coma scale (GCS)

E(4): eye opening

a. E4- membuka mata sendiri dengan baik (spontan)


b. E3- membuka mata jika ada rangsangan suara (dipanggil)
c. E2- membuka mat jika ada rangsang nyeri
d. E1- tidak membuka mata terhadap segala rangsangan

M(6): Motoric Response

a. M6- bekerja sesuai perintah (gerakan normal)


b. M5- dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit (raba)
c. M4- gerakan tidak teratur pada saat rangsangan nyeri tetapi
tidak dapat melokalisir letaknya (withdrawal)
d. M3- menjauhi rangsangan nyeri, dengan gerakan fleksi
e. M2- pada saat dirangsang, ekstensi spontan
f. M1- tidak ada gerakan terhadap rangsangan
g. Mx- tidak dapat dinilai

V(5): Verbal Response

a. V5- berorientasi baik (bicara normal)


b. V4- bingung (bisa membentuk kalimat tetapi kacau)
c. V3- bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kaliamat
d. V2- mengeluarkan suara tapi tidak ada arti (groaning)
e. V1- tidak bersuara

Keterangan:
a. Skor 15: kompos mentis
b. Skor 11-14: letargi
c. Skor 8-11: stupor atau sopor
d. Skor <8: koma

Anda mungkin juga menyukai