Anda di halaman 1dari 25

I.

HEART FAILURE
A. Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang disebabkan oleh
kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada ejeksi dan
pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi mampu memompa darah secara cukup ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung kongestif atau
Congestive heart failure (CHF) merupakan suatu keadaan patofisiologi jantung dimana
terjadi abnormalitas fungsi jantung sehingga gagal memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala
klinis akibat kelainan struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan
pengisian ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal
jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas dan retensi
cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini mempengaruhi
kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (Hunt et al., 2009).
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang
pasien memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung ( nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai/tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti
paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istirahat (Siswanto et al., 2015).
B. Etiologi
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling sering
menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau berkurangnya
kontraktilitas otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler
dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Tabel 2.3. Penyebab Gagal Jantung
Jantung kiri primer Jantung kanan primer
Penyakit jantung iskemik Gagal jantung kiri
Penyakit jantung hipertensi Penyakit pulmonari kronik
Penyakit katup aorta Stenosis katup pulmonal
Penyakit katup mitral Penyakit katup trikuspid
Miokarditis Penyakit jantung kongenital
Kardiomiopati (VSD,PDA)
Amyloidosis jantung Hipertensi pulmonal
Embolisme paru masif
Gagal output rendah Gagal output tinggi
Kelainan miokardium Inkompetensi katup
Penyakit jantung iskemik Anemia
Kardiomiopati Malformasi arteriovenous
Amyloidosis Overload volume plasma
Aritmia
Peningkatan tekanan pengisian
Hipertensi sistemik
Stenosis katup
Semua menyebabkan gagal
ventrikel kanan disebabkan
penyakit paru sekunder

Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :

1. Penyakit Jantung Koroner


Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel
kiri (Doughty dan White, 2007).

2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui
mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri
menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang
nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001).

3. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan
oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Kardiomiopati
terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan
salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated
cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan
ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip et al., 2001; Camn et al., 2007).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis kardiomiopati yang
bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas
pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan
hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow).
Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan
diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari
jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan
adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi
saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat
menyebabkan keadaan ini ialah amiloidosis, sarcoidosis, hemokromasitomatosis dan
penyakit resktriktif lainnya.

4. Kelainan Katup Jantung


Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan
gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan
preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung
memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi
ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif (Lip et al., 2001).
5. Aritmia
Artial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu
adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. Aritmia tidak hanya
sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Camn et al., 2007).
6. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita
belum ada fakta yang konsisten (Lip et al., 2001).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu,obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001; Camn et
al., 2007).

7. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis ),
hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung.Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektrolit
dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
8. Hipertiroid
Pasien dengan hipertiroidisme menunjukkan tanda dan gejala yang banyak
berhubungan dengan jantung dan sistem kardioaskuler (Biondi et al., 2002).
Hipertiroidisme berhubungan dengan palpitasi, takikardi, mudah lelah dan sesak
ketika beraktivitas, peningkatan tekanan darah, dan dapat mengakibatkan atrial
fibrilasi. Perubahan juga terjadi pada fungsi jantung seperti peningkatan kontraktilitas
otot jantung, peningkatan denyut jantung ketika istirahat, dan peningkatan cardiac
output. Cardiac output dapat meningkat hingga 50-300% dibanding seseorang yang
normal. Hal ini merupakan efek dari kombinasi peningkatan denyut jantung ketika
istirahat, peningkatan kontraktilitas, peningkatan fraksi ejeksi, dan peningkatan
volum darah serta terjadinya penurunan pada systemic vascular resistance (SVR)
(Klein dan Ojamaa, 2001). Pada pasien dengan hipertiroidisme yang berat dan kronik,
terjadinya sinus takikardi dan atrial fibrilasi dapat menyebabkan disfungsi ventrikel
kiri dan gagal jantung (Klein, 2005).

C. Klasifikasi
New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasi gagal jantung berdasarkan gejala
dan aktivitas fisik.
Tabel 2.4. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional
NYHA

Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari


hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan
istirahat, tetapi aktivitas sehari hari menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas
fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang
lebih ringan dari aktivitas sehari hari menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa
adanya kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat.
Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan akan semakin
meningkat.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut dan
gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit jantung
sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan afterload dan
memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa ada
kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam keadaan istirahat atau
aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.

D. Patofisiologi
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa
berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik,
overload volume, ataupun kasus herediter seperti kardiomiopati. Kondisi-kondisi tersebut
menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien
masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini
disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury
ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1)
Aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)
peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal
dengan cara retensi cairan dan garam (Lily et al., 2002).
Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan
baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus, dan arkus aorta, kemudian akibar
rangsangan tersebut akan memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di
cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH)
dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus
sehingga reabsorbsi air meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi
simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar
angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam
melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Beberapa mekanisme ini dapat
mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan pasien dengan
gejala yang asimptomatik. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi
dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada
gagal jantung kongestif yang lebih lanjut. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan
berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan
remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simtomatik (Crawford et al.,
2012).
Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung
seperti (1) mekanisme Frank-Starling , (2) neurohormonal (3)ventricular hipertrofi dan
remodeling. Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic volume (ESV)
sehingga volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan
meregangkan ventrikel kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat
untuk meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac output (CO)
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme kompensasi ini mempunyai
batas. Pada kasus CHF dengan penurunan kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak
mampu memompa semua darah sehingga end diastolic volume (EDV) meningkat dan
tekanan ventrikel kiri juga meningkat dimana tekanan yang ini akan ditransmisi ke atrium
kiri, vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan menyebabkan edema paru
(Crawford et al., 2012).
Penurunan CO akan merangsang sistem simpatis sehingga meningkatkan
kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan CO meningkat. Penurunan
CO juga merangsang renin angiotensin sistem dan merangsang vasokonstriksi vena dan
menyebabkan venous return meningkat (preload increase) dan akhirnya stroke volume
meningkat dan CO tercapai. Penurunan CO juga meningkatkan ADH dan merangsang
retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan CO. Hormon aldosterone juga
meningkat untuk meningkatkan retensi garam dan cairan untuk meningkatkan venous
return tubuh. Tetapi stimulasi neurohormonal yang kronik akan menyebabkan efek yang
tidak diinginkan seperti edema (Lily et al., 2002).

Gambar 2.2. Patofisiologi Gagal Jantung


Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress menyebabkan
dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolik untuk mengatasi afterload yang
meningkat. Maka otot ventrikel akan menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan
wall stress namun peningkatan kekakuan dinding hipertrofi menyebabkan tekanan
diastolik ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke atrium kiri,
vaskular pulmonal. Chronic volume overload seperti pada mitral regurgitasi atau aorta
regurgitasi akan merangsang miosit memanjang. Maka radius chamber ventrikel
meningkat dan dinamakan eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti
hipertensi atau aorta stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan
concentric hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan
wall stress tetapi pada waktuyang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi
ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban hemodinamik pada otot jantung akan
menurunkan fungsi jantung sehingga gejala gagal jantung yang progresif akan timbul.
Ketika beban kerja yang berlebihan dikenakan pada jantung dengan tekanan darah
sistolik meningkat (kelebihan tekanan), peningkatan volume diastolik (volume overload),
atau kehilangan miokardium, normalnya sel-sel miokard akan hipertrofi dalam upaya
untuk meningkatkan kekuatan kontraktil daerah normal. Pada perubahan berikutnya
dalam biokimia, elektrofisiologi, dan fungsi kontraktil mengakibatkan perubahan
mekanis fungsi miokard. Laju kontraksi melambat, waktu untuk mengembangkan
ketegangan meningkat puncak, dan relaksasi miokard tertunda. Penebalan dinding
ventrikel membatasi tingkat pengisian ventrikel (disfungsi diastolik), yang diperparah
dengan peningkatan denyut jantung karena memperpendek durasi pengisian ventrikel.
Kekuatan kontraksi miokard pada akhirnya berkurang karena hilangnya sel dan
berlanjutnya hipertrofi, yang menyebabkan perubahan ventrikel dan volume. Proses
dilatasi ruang atau hipertrofi dikenal sebagai remodeling jantung.
Setelah fase kompensasi awal, peningkatan volume Intracavitary biasanya
dikaitkan dengan pengurangan lebih lanjut dalam fraksi ejeksi ventrikel (progresif
disfungsi sistolik) dan akhirnya dengan kelainan pada sirkulasi perifer dari aktivasi
berbagai mekanisme kompensasi neurohormonal. CHF berikutnya ditandai dengan
berkurangnya respon kontraksi untuk meningkatkan volume (rata Frank-Starling kurva)
dan berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF). Respon neurohormonal yang
abnormal menyebabkan peningkatan tonus simpatik sistemik dan aktivasi sistem renin-
angiotensin. Produksi angiotensin meningkat, menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Peningkatan resistensi arteri perifer membatasi curah jantung selama latihan. Peningkatan
kadar angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal,
meningkatkan retensi natrium dan sehingga menyebabkan retensi cairan dan edema
perifer.
Kegagalan pompa miokard dan CHF tidak selalu terkait erat pada waktunya.
Pasien seringkali awalnya asimtomatik, dengan tanda dan gejala CHF berkembang hanya
setelah beberapa bulan kegagalan miokard dan penurunan fraksi ejeksi. Curah jantung
tidak meningkatkan cukup selama latihan, tapi bisa normal saat istirahat selama periode
ini. Walaupun pasien mungkin tanpa gejala atau sedikit gejala saat istirahat, dengan fraksi
ejeksi tidak berubah, perubahan dalam pembuluh darah perifer terjadi dengan perlahan-
lahan naik resistensi perifer saat berolahraga. Kinerja Latihan perlahan-lahan menjadi
terbatas karena pembuluh darah perifer tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme
meningkat dari melatih otot-otot rangka.
Meskipun mekanisme yang tepat dimana respon hemodinamik dan faktor
neurohormonal berinteraksi untuk menyebabkan pemburukan klinis progresif dalam CHF
tidak diketahui, kelainan hemodinamik dan neurohormonal yang meningkatkan stres
dinding jantung dapat menyebabkan morfologi perubahan sel miokard, dan remodeling
struktural jantung. Dilatasi rongga ventrikel dan perubahan bentuknya akhirnya dapat
menyebabkan regurgitasi mitral. Peningkatan tekanan jantung dan volume juga dapat
memicu iskemia miokard, terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang
mendasarinya (CAD). Pada hipertrofi miokard dapat meningkatkan kebutuhan metabolik
jantung dan dapat meningkatkan risiko iskemia pada pasien dengan CAD. Konsentrasi
tinggi dari norepinefrin dan angiotensin II dapat memberi efek toksik langsung pada sel
miokard. Aktivitas tinggi dari saraf dan sistem renin-angiotensin simpatik dapat memiliki
efek elektropsikologi merugikan dan dapat menyebabkan aritmia jantung-khususnya
mematikan pada pasien dengan ketidakseimbangan elektrolit (Crawford et al., 2012).
Telah diketahui bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatik dapat meningkatkan
kontraksi miokardium dan heartrate. Hal ini untuk memicu peningkatan cardiac output.
Aktivasi saraf simpatik juga akan menyebabkan pelapasan renin, retensi natrium, dan
vasokontriksi sehingga akan meningkatkan preload dan aktivasi mekanisme frank
starling. Respon ini memiliki pengaruh yang baik terhadap tubuh dalam rentang waktu
yang singkat, namun akan menyebabkan pengaruh yang buruk dalam rentang waktu yang
lama. Hal ini disebabkan karena peningkatan afterload karena konstriksi pembuluh darah
akan menyebabkan kegagalan stroke volume. Sistem simpatik akan menyebabkan
perubahan metabolisme miokardium dan katekolamin mungkin merupakan suatu hal
yang bersifat toksis terhadap cardiomyocyte. Peningkatan aktivitas adrenergic dan
penurunan aktivitas vagal dapat meningkatkan aktivitas listrik yang tidak stabil pada
jantung.selain itu, aktivasi sistem simpatik juga dapat menyebabkan redistribusi aliran
darah regional dan menyebabkan perubahan struktur pembuluh darah (Camn et al.,
2007).

Gambar 2.3. Proses patofisiologi gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Kerusakan pada myocyte dan matriks ekstraseluler akan menyebabkan perubahan ukuran dan fungsi
ventrikel kiri dan terjadi remodeling. Perubahan ini akan menyebabkan instabilitas elektrik dan proses
sistemik sehingga mengakibatkan efek terhadap jaringan dan organ serta kerusakan lebih parah pada
jantung (Camn et al., 2007).

Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal jantung untuk
membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk memompakan darah ke organ
organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1) mekanisme Frank-Straling, (2) neurohormonal,
dan (3) remodeling dan hipertrofi ventrikular.
1. Mekanisme Frank-Starling
Meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan volume ventricular end-
diastolik.Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik, berarti ada peningkatan peregangan
dari serat otot jantung, lebih optimal pada filamen aktin dan miosin, dan resultannya
meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme
Frank-Starling mencocokan output dari dua ventrikel.
Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu mendukung cardiac
output. Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang sedang
beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end-diastolic dan
mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung
mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang
berlebihan. Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung adalah ketegangan
dari dinding ventrikular.Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan
dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah.
Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen
otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi
jantung.
2. Neurohumeral
a. Sistem saraf adrenergic
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung dikenali
oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian dihantarkan ke
medulla melalui nervus IX dan X, kemudian mengaktivasi sistem saraf
simpatis, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin
(NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan
kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.
b. Sistem renin angiotensin aldosterone
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi system renin-
angiotensin aldosteron berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai macula
densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu
peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah
empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin-converting enzyme
akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe1, aktivasi
reseptor angiotensin I aka nmengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel,
sekresi aldosterone dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan
menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan
bradikinin.
c. Stres oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron,
agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis
factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit,
proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi
sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO.
Remodelling dan hipertrofi ventrikular
Model neurohormonal yang telah dijelaskan diatas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel
kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting
pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit
pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri.
Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan
meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang
overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau
stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara
parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit
jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik.
Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel,
sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara
seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit
jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik.
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam
perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan
relaksasi jantung.

E. Manifestasi klinis
Tempat kongestif tergantung dari ventrikel yang terlibat :
1. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat
tekanan akhir diastolik dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastolik dalam ventrikel
kiri meningkat.
Tanda dan gejala:
Dyspneu: akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas,
dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang.
Ortopnea: kesulitan bernapas saat berbaring
Paroximal nokturna dyspneu (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan
posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur)
Batuk: biasa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa dalam
jumlah banyak kadang disertai banyak darah.
Mudah lelah: akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme.
Kegelisahan: akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
Gambar 2.4. Pola Remodeling Ventrikel
2. Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel
kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun tanpa didahului oleh adanya gagal
jantung kiri. Tanda dan gejala:
Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen.
Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam rongga
abdomen.
Nokturna: rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal didukung
oleh posisi penderita pada saat berbaring.
Lemah: akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan
produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
Bendungan pada vena perifer (jugularis)
Gangguan gastrointestinal (perut kembung, anoreksia dan nausea) dan asites.
Perasaan tidak enak pada epigastrium.

3. Gagal Jantung Kongestif


Bila gangguan jantung kiri dan jantung kanan terjadi bersamaan.Dalam keadaan
gagal jantung kongestif, curah jantung menurun sedemikian rupa sehingga terjadi
bendungan sistemik bersama dengan bendungan paru. Tanda dan gejala: Kumpulan
gejala gagal jantung kiri dan kanan.

F. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Kriteria Framingham adalah kriteriaepidemiologi yang telah digunakan secara
luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor, kriteria minor dapat diterima jika
kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti
hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,atau sindroma nefrotik.

Kriteria mayor Kriteria minor


a. Paroksismal nokturnal dyspnea a. Edema ekstremitas
b. Distensi vena leher b. Batuk malam hari
c. Ronki paru c. Dyspneu deffort
d. Kardiomegali d. Hepatomegali
e. Edema paru akut e. Efusi pleura
f. Gallop S3 f. Penurunan kapasitas vital 1/3
g. Peninggian tekanan vena jugularis dari normal
h. Refluks hepatojugular g. Takikardi (>120/menit)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darahsistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun
biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi
dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke
volume.Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan
aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas
bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas
adrenergik berlebih.Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya
sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2.Terdapat fase apneu, dimana
terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat.Hal ini merubah
komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan
hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea.

b. Jugular Vein Pressure


Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium
kanan. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu
istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan
abdomen (abdominojugular reflux positif).
c. Ictus cordis
Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi
dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan
denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
d. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi
pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat
memiliki denyut parasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole.
S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume
overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan
gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik namun
biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic.Bising pada regurgitasi mitral
dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien.
e. Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan
dari ruang intravaskuler kedalam alveoli.Pada pasien dengan edema pulmoner, rales
dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan
wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma).Jika ditemukan pada pasien yang tidak
memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu diketahui
bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan CHF kronis, bahkan
dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, hal ini disebabkan adanya
peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya
peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam
rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi
pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada efusi
pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena
adalah rongga pleura kanan.
f. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF.Jika ditemukan,
pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika
regurgitasi trikuspida terjadi.Ascites sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi
peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum.Jaundice,
juga merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic
akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan
bilirubin direct dan indirect.
g. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan
diuretic.Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada CHF dan terjadi terutama
pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan.Pada pasien yang
melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral)
dan skrotum.Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada
kulit.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung
telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati,ginjal dan lain-lain.Pemeriksaan
hitung darah dapat menunjukan anemia, karena anemia ini merupakan suatu penyebab
gagal jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk disfungsi jantung
lainnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi/Rontgen.
Pemeriksaan foto thoraks dada juga direkomendasikan sebagai pilihan
pemeriksaan diagnostik lini pertama. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi
mengenai ukuran dan ketajaman jantung. Namun pemeriksaan ini memiliki
keterbatasan. Tidak adanya kardiomegali tidak dapat menyingkirkan adanya
kemungkinan penyakit katub atau disfungsi sistolik ventrikel kiri (Camn et al., 2007).
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan bayangan hilus paru yang
tebal dan melebar, kepadatan makin ke pinggir berkurang, lapangan paru bercak-bercak
karena edema paru, pembesaran jantung, cardio-thoragic ratio (CTR) meningkat,
distensi vena paru.
b. Pemeriksaan EKG.
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer jantung (iskemik,
hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda faktor pencetus akut ( infark
miocard, emboli paru ). Beberapa pola EKG abnormal mungkin didapatkan pada
penderita CHF seperti gelombang Q abnormal, left bundle branch block, gangguan
konduksi lain, hipertrofi ventrikel atau atrium kiri, aritmia ventrikel atau atrium dimana
hal ini dapat dijadikan bahan investigasi untuk menentukan penyakit dasar yang
mendasari terjadinya CHF (Camn et al., 2007).

c. Pemeriksaan Hematologi dan Biokimia


Beberapa pemeriksaan laboratorium direkomendasikan guideline ESC sebagai
bagian dari rutinitas diagnosis pada pasien yang dicurigai menderita CHF. Pemeriksaan
tersebut diantaranya yaitu hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin,
enzim hepar, dan urinalisis. Biomarker miokardium seperti troponin T atau I merupakan
pemeriksaan penting selama fase akut infark miokard. Pemeriksaan lain yang penting
yaitu asam urat, C-reactive protein, dan thyroidstimulatinghormone. Beberapa
pemeriksaan yang penting saat followup dan setelah pemberian pengobatan tertentu yaitu
ureum, kreatinin, dan potassium (Camn et al., 2007).

d. Ekhokardiografi.
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta anatomis yang
menjadi penyebab gagal jantung. Ekokardiografi telah digunakan secara luas, cepat,
dengan teknik non-invasif, dan aman dimana pemeriksaan ini dapat memberikan
informasi mengenai dimensi jantung, ketebalan dinding jantung dan pengukuran fungsi
sistolik dan diastolik.Penentuan LVEF merupakan kunci untuk mengukur fungsi sistolik
ventrikel kiri. Fungsi sistolik dinyatakan menurun jika didapatkan LVEF < 0,40 (Camn et
al., 2007).

G. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologi
a. Diet: Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi
diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya.
Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal
jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal
jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan.
c. Aktivitas fisik olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk
pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman
bagi pasien.
d. Istirahat :dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
e. Bepergian : hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau
lembab

2. Terapi farmakologi
a. Algoritma
Tabel 2.5. Terapi Obat menurut status fungsional pasien

b. Jenis dan tempat obat

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas .Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting
untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (Mansjoer et al., 2015).
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada beberapa aspek,
yaitu; 1)mengurangi beban kerja, 2)memperkuat kontraktilitas miokard, 3)
mengurangi kelebihan cairan, 4)melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap
penyebab, faktor-faktor pencetus dan kelainan yang mendasari (Lily et al., 2002)
Menurunkan preload
- Diuretik
- Nitrat
Obat inotropik
Tidak semua CHF terjadi gangguan kontraktilitas. Obat inotropik hanya
diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan kontraktilitas misalnya pada
pemeriksaan fisis atau pada foto toraks tampak pembesaran jantung, atau hasil
ECHO menunjukkan ejection fraction (EF) <40%.
- Digitalis (digoksin)
- -blocker
Menurunkan after-load
- Angiotensin converting enzyme (ACE)- inhibitors
- Angiotensin Resepror Blockers (ARB)
- Calcium Channel Blockers (CCB)
Mencegah remodeling
Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti ACE-inhibitors
dan ARB bermanfaat menghambat progresivitas CHF. Namun dosis yang
diberikan harus maksimal. Sebenarnya hampir semua obat antihipertensi memiliki
efek mencegah remodeling termasuk CCB, blockers dan diuretik.
Intervensi khusus
- Revaskularisasi melalui PTCA atau cABGS
Penyakit jantung Koroner masih merupakan penyebab utama CHF.
Apabila pada angiografi koroner ditemukan lesi yang cocok, maka PTCA dan
cABGS, akan memperbaiki simptom dan menghambat progresivitas.
cABGS lebih unggul daripada PTCA karena operasi bypass memberi
revaskularisasi yang lebih sempurna.
- Intervensi lain: transplantasi jantung,, Cardiomyoplasty dan ventricular
Reduction surgery semuanya merupakan prosedur operasi jantung untuk
memperbaiki prognosis pasien CHF, namun prosedur tersebut masih memiliki
risiko tinggi dan harganya mahal (Kabo, 2010).
a. Angiotensin-converting enzyme inhibitors
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup
(Siswanto et al., 2015).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab
itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Stenosis aorta berat (Ganiswama, 2003; Siswanto et al., 2015)

b. Penyekat
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi
Kontraindikasi pemberian penyekat
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit) (Ganiswama, 2003;
Siswanto et al., 2015)

c. Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
Kombinasi ACEI dan ARB (Ganiswama, 2003; Siswanto et al., 2015)
d. Angiotensin receptor blocker (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternative pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular (Siswanto et
al., 2015).
Indikasi pemberian ARB
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

e. Hydralazine dan isosorbid dinitrat


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat
dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
Gagal ginjal berat

f. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup
(Siswanto et al., 2015).

g. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi
(Ganiswama, 2003; Siswanto et al., 2015).

H. Prognosis
Tabel 2.6. Prognosis Klasifikasi New York Heart Association
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5 %
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate 10 %
physical exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal 10 % - 20 %
daily activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

Anda mungkin juga menyukai