Anda di halaman 1dari 63

1

PENGARUH PENCAMPURAN KAPPA DAN IOTA


KARAGENAN TERHADAP KEKUATAN GEL DAN
VISKOSITAS KARAGENAN CAMPURAN

Oleh:
EKO PEBRIANATA
C03499030

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
RINGKASAN
2

EKO PEBRIANATA. C03499030. Pengaruh Pencampuran Kappa dan Iota


Karagenan Terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Karagenan Campuran.
Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kombinasi pencampuran antara


kappa dan iota karagenan dengan berbagai perbandingan terhadap kualitas
karagenan campuran terutama viskositas dan kekuatan gel. Penelitian ini dibagi
menjadi dua tahapan yaitu tahap pertama dan tahap kedua.
Tahap pertama untuk menghasilkan kappa dan iota karagenan, kappa
karagenan dihasilkan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii. Adapun tahapan
proses dalam menghasilkan kappa karagenan yaitu ekstraksi dengan alkali,
penyaringan I, pengendapan dengan KCl 1 %, penyaringan II dan pengeringan
dengan menggunakan drum dryer. Iota karagenan dihasilkan melalui ekstraksi
rumput laut Eucheuma spinosum. Tahapan proses untuk menghasilkan iota
karagenan yaitu ekstraksi dengan alkali, penyaringan I, pengendapan dengan
etanol (alkohol 96 %), penyaringan II dan pengeringan dengan menggunakan
drum dryer. Nilai rata-rata rendemen yang dihasilkan dalam tahap pertama ini
adalah 35,56 % untuk kappa karagenan dan 25,09 % untuk iota karagenan. Nilai
rata-rata viskositas kappa karagenan sebesar 88,50 cps dan iota karagenan sebesar
154 cps, sedangkan nilai rata-rata kekuatan gel kappa karagenan dan iota
karagenan berturut-turut adalah 334,40 g/cm2 dan 88,46 g/cm2.
Tahap kedua penelitian ini adalah mengkombinasikan kappa dan iota
karagenan dengan berbagai perbandingan (1 : 1, 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4, 2 : 1, 2 : 3, 3 : 1,
3 : 2, 4 : 1) kemudian dilakukan analisa viskositas dan kekuatan gel karagenan
campuran tersebut. Nilai kekuatan gel tertinggi diperoleh pada pencampuran
kappa karagenan dan iota karagenan dengan perbandingan 4 : 1 (kappa : iota)
dengan nilai 328,7 g/cm2 dan terendah dengan perbandingan 1 : 4 (kappa : iota)
dengan nilai 96,28 g/cm2. Nilai viskositas tertinggi karagenan campuran yaitu
perbandingan 1 : 3 dan 1 : 4 (kappa:iota) dengan nilai yang sama yaitu 137,5 cps
sedangkan nilai viskositas terendah diperoleh dari pencampuran 4 : 1
(kappa : iota) dengan nilai 90,25 cps. Pada umumnya nilai viskositas karagenan
campuran masih berada dalam standar yang ditetapkan FAO dan FCC yaitu
minimal 5 cps (centipoise).
Nilai kekuatan gel pada pencampuran menurun seiring dengan sedikitnya
proporsi kappa karagenan dalam campuran dan sebaliknya, sedangkan nilai
viskositas pada pencampuran menurun dengan banyaknya proporsi karagenan
dalam campuran dan sebaliknya.

PENGARUH PENCAMPURAN KAPPA DAN IOTA


KARAGENAN TERHADAP KEKUATAN GEL DAN
VISKOSITAS KARAGENAN CAMPURAN
3

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan


pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
EKO PEBRIANATA
C03499030

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Doa serta salam senantiasa tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas berkat rahmat dan ridho
Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
4

Pengaruh Pencampuran Kappa dan Iota Karagenan terhadap Kekuatan


Gel dan Viskositas Karagenan Campuran. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu
Dr.Ir. Linawati Hardjito, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
dana penelitian dan pengarahannya selama penyusunan skripsi ini. Ucapan terima
kasih juga penulis ucapkan kepada bapak Dr.Ir. Joko Santoso, M.Si dan ibu Dra.
Ella Salamah, M.Si sebagai dosen penguji, ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik itu secara moril
maupun materiil sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga
kebaikan yang telah diberikan ini mendapat balasan dari Allah SWT. Amin
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik demi penyempurnaannya, penulis terima dengan tangan
terbuka. Akhir kata, penulis mengharapkan Skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, Januari 2006

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1982 di Tebing


Tinggi (Sumatera Selatan) yang merupakan anak kedua dari
tiga bersaudara dari pasangan Bapak Amir Hamzah dan Ibu
Mega Wirni. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun
1985 di TK Bhayangkari Tebing Tinggi (Sumatera Selatan).
Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikannya di SDN
5

02 Lahat dan kemudian melanjutkan ke SLTPN 03 Lahat


pada tahun 1993.
Pada Tahun 1999 penulis lulus dari SMAN 03 Lahat dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)
dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten dosen mata kuliah
Dasar-dasar Mikrobiologi Akuatik pada tahun ajaran 2002/2003, dan juga aktif
pada organisasi Fisheries Diving Club (FDC) - FPIK, Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Cabang Bogor, Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia
(HIMAPIKANI), dan Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) IPB. Selain
itu juga aktif mengikuti berbagai seminar dan pelatihan baik itu skala nasional
maupun internasional.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
1. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
6

2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4


2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma ...................................................... 4
2.2 Karagenan ............................................................................................. 6
2.3 Komposisi dan Struktur Kimia Karagenan .............................................. 7
2.3.1 Kappa karagenan .......................................................................... 7
2.3.2 Iota karagenan............................................................................... 8
2.4 Sifat-sifat Dasar Karagenan .................................................................... 9
2.4.1 Kelarutan ...................................................................................... 9
2.4.2 Viskositas ..................................................................................... 11
2.4.3 Pembentukan gel........................................................................... 12
2.4.5 Stabilitas ....................................................................................... 13
2.5 Proses Pembuatan Karagenan ................................................................. 14
2.5.1 Penyiapan bahan baku................................................................... 14
2.5.2 Ekstraksi ....................................................................................... 14
2.5.3 Filtrasi .......................................................................................... 15
2.5.4 Pemisahan karagenan.................................................................... 15
2.5.5 Pengeringan dan penepungan ........................................................ 16
2.6 Spesifikasi Mutu Karagenan ................................................................... 16
2.7 Kegunaan Karagenan.............................................................................. 17
3. METODOLOGI .......................................................................................... 19
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 19
3.2 Bahan dan Alat Penelitian....................................................................... 19
3.2.1 Bahan............................................................................................ 19
3.2.2 Alat .............................................................................................. 19
3.3 Metode Penelitian.................................................................................. 20
3.3.1 Tahap pertama ............................................................................ 20
3.3.2 Tahap kedua................................................................................ 20
3.4 Prosedur Analisis................................................................................. 22
3.4.1 Rendemen (FMC Corp. 1977)........................................................ 22
3.4.2 Viskositas (Marine Colloids 1977 dalam Mukti 1977) ................... 22
3.4.3 Kekuatan gel (Marine Colloids 1977 dalam Mukti 1977) .............. 22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 24
4.1 Perbedaan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum ................... 24
4.2 Penelitian Tahap Pertama ....................................................................... 25
4.2.1 Proses pembuatan karagenan............................................................ 26
4.2.2 Rendemen........................................................................................ 31
4.2.3 Viskositas ........................................................................................ 32
7

4.2.4 Kekuatan gel.................................................................................... 34


4.3 Penelitian Tahap Kedua .......................................................................... 35
4.3.1 Viskositas karagenan campuran...................................................... 36
4.3.2 Kekuatan gel karagenan campuran ................................................. 38
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 43
5.2 Saran ...................................................................................................... 44
6. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 45
LAMPIRAN ...................................................................................................... 52

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Sifat-sifat karagenan...................................................................................... 10
2. Daya kestabilan karagenan dalam berbagai pelarut ........................................ 14
3. Spesifikasi kemurnian karagenan................................................................... 17
4. Perbedaan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum .......................... 25
5. Aplikasi karagenan di berbagai produk.......................................................... 42
8

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman
1. Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii
(www.surialink.com/abc_euchuema/1/45.htm) .............................................. 5
2. Morfologi rumput laut Eucheuma spinosum (www.iptek.net.id) .................... 6
3. Struktur molekul kappa karagenan (Tojo dan Prado 2003)............................. 7
4. Struktur molekul iota karagenan (Tojo dan Prado 2003) ................................ 8
5. Mekanisme pembentukan gel (Rees 1969 di dalam Glicksman 1983) ........... 12
6. Diagram alir proses pembuatan kappa dan iota karagenan (Modifikasi dari
Purnama 2003) .............................................................................................. 21
7. Grafik pembacaan kekuatan gel pada Recorder Curd Tension Meter ............. 23
8. Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii............................................... 24
9. Morfologi rumput laut Eucheuma spinosum .................................................. 25
9

10. Diagram batang nilai rata-rata rendemen kappa dan iota karagenan ............... 31
11. Diagram batang nilai rata-rata viskositas kappa dan iota karagenan ............... 33
12. Diagram batang nilai rata-rata kekuatan gel kappa dan iota karagenan........... 35
13. Diagram batang nilai rata-rata viskositas karagenan campuran ...................... 36
14. Diagram batang nilai rata-rata kekuatan gel karagenan campuran .................. 39

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Hasil analisis penelitian tahap pertama ........................................................... 53
2. Hasil analisis viskositas karagenan campuran ................................................. 54
3. Hasil analisis kekuatan gel karagenan campuran............................................. 55
10

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perairan Indonesia memiliki potensi rumput laut yang sangat besar, baik
itu dilihat dari segi keanekaragaman hayati maupun potensi produksinya. Potensi
rumput laut dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat,
dimana rumput laut sudah lama digunakan sebagai makanan dan obat terutama
oleh masyarakat pesisir di negara-negara Asia-Pasifik. Akan tetapi belum semua
potensi rumput laut yang ada dimanfaatkan secara maksimal. Daerah-daerah
penghasil utama rumput laut di Indonesia adalah laut Bali, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, NTB, NTT, Jawa Barat, D.I.
Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu dan Lampung (Munaf 2000). Produksi
rumput laut kering di Indonesia sekitar 50.000 ton senilai US$ 25 juta per tahun
(Beritasore 2005).
Pembeli terbanyak rumput laut Indonesia adalah Singapura dan Hongkong.
Setelah diolah kemudian negara-negara tersebut mengekspor ke Amerika Serikat,
Perancis dan Denmark. Harga pasaran dunia untuk produk dari Indonesia masih
rendah. Hal ini disebabkan karena kualitas rumput laut yang diolah masih belum
sesuai dengan standar mutu internasional. Kandungan air rumput laut Indonesia
masih tinggi, dan masih tercampur dengan benda pengotor seperti pasir, karang,
dan ranting kecil (Angka dan Suhartono 2000). Nilai jual rumput laut akan lebih
tinggi jika diekspor tidak dalam bentuk bahan mentah rumput laut kering tetapi
dalam bentuk hasil olahan, contohnya karagenan.
Rumput laut dikalangan ilmuwan dikenal dengan nama algae atau alga,
dan berdasarkan ukurannya dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu
mikroalga dan makroalga. Alga dapat dikelompokkan menjadi empat kelas, yaitu
alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau biru (Cyanophyceae), alga coklat
(Phaepohyceae) dan alga merah (Rhodophyceae) (Winarno 1990).
Penelitian yang dilakukan oleh Van Bosse (1913 1928) melaporkan bahwa
sekitar 555 jenis spesies rumput laut tumbuh di perairan Indonesia (Basmal 2001).
Rumput laut yang telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan ada 61 jenis dan 21
jenis diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional (Anggadiredja
11

1992). Rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan dijadikan sebagai
bahan komoditi ekspor yaitu Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, Sargassum dan
Hypnea (LIPI 2000). Salah satu bentuk hasil olahan rumput laut yang paling
potensial dan bernilai ekonomis tinggi yaitu polisakarida alga, dan salah satunya
adalah karagenan (Satari 1996).
Karagenan merupakan salah satu hasil ekstrak rumput laut yang cukup
penting. Karagenan adalah suatu zat yang dihasilkan oleh rumput laut dari kelas
Rhodophyceae dan umumnya berbentuk tepung. Dalam industri, peranan
karagenan tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan agar-agar maupun
algin, terutama pada industri farmasi. Berdasarkan sifat-sifatnya, karagenan dapat
digunakan sebagai pengemulsi, penstabil, pengental dan bahan pembentuk gel
(Food Chemical Codex 1981). Karagenan dalam industri makanan dan minuman
biasa digunakan sebagai dietic food dalam bentuk jeli. Susu kental manis dan
yoghurt menggunakan karagenan sebagai pensuspensi, sedangkan dalam industri
milk-gel (puding, custard, minuman kaleng) dan antacid-gel berfungsi sebagai
gelling agent, demikian pula dalam water-gel, fish dan meat-geal dan gel
pengharum ruangan berfungsi sebagai pembentuk gel. Pengunaan lain dari
karagenan adalah sebagai binder pada pasta gigi, sebagai bodying agent pada
cream lotion dan saus tomat, dan sebagai penstabil lemak dalam makanan ternak
(Anggadiredja et al. 1993). Penggunaan karagenan akan bertambah makin luas
dan makin banyak di masa yang akan datang, sehingga permintaan terhadap
produksi rumput laut ini akan terus meningkat di masa mendatang.
Karagenan dapat dibedakan menjadi kappa, iota dan lambda karagenan.
Kappa dan iota karagenan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam
air dan bersifat thermoreversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk
gel kembali jika didinginkan, sedangkan lambda karagenan tidak dapat
membentuk gel. Gel yang terbentuk dari kappa karagenan berwarna agak gelap
dan mempunyai tekstur mudah retak, sedangkan gel yang terbentuk dari jenis iota
berwarna lebih jernih dibandingkan kappa dan mempunyai tekstur empuk dan
elastis (Fardiaz 1989). Adanya perbedaan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan
ester sulfat pada karagenan menyebabkan terjadinya perbedaan antara lain
kekuatan gel, tekstur, sineresis dan sinergisitas. Kappa memiliki tipe gel yang
12

rigid atau mudah pecah yang dicirikan dengan tingginya sineresis, yaitu adanya
aliran cairan pada permukaan gel, sedangkan iota mempunyai gel yang bersifat
elastis, bebas sineresis dan reversible. Perbedaan ini dapat diatasi melalui seleksi
rumput laut, proses ekstraksi dan proses pencampuran karagenan serta melalui
pencampuran karagenan dengan berbagai gum seperti locust bean gum dan konjac
(http://docencia.izt.uam.mx/epa/quim_alim/tareaz/carragenina.pdf).
Selain itu, sifat rigid yang dihasilkan pada gel kappa karagenan meningkat
sesuai dengan peningkatan konsentrasi ion kalium, sedangkan penambahan ion
kalsium akan membuat gel dari kappa karagenan memiliki sifat rigid namun rapuh
atau mudah pecah. Hal ini dapat dikontrol atau dihilangkan dengan mencampur
bahan yang tidak sineresis seperti iota karagenan. Kombinasi iota karagenan
dengan kappa karagenan dapat meningkatkan elastisitas gel dan mencegah
sineresis (Novianti 2003).
Pada skala industri, pemisahan karagenan dari ekstraknya dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu presipitasi dengan alkohol, pengeringan dengan drum
(drum drying) dan dengan cara pembekuan. Proses yang lazim digunakan adalah
cara pertama dan kedua (Glicksman 1983). Sampai saat ini ekstraksi karagenan
masih menjadi masalah dan memerlukan banyak penelitian untuk dapat
menghasilkan tepung karagenan dengan mutu yang sesuai dengan standar yang
ditentukan. Mutu tepung karagenan yang rendah menyebabkan turunnya harga
jual. Oleh karena itu, untuk merangsang pengembangan industri karagenan di
Indonesia maka perlu dilakukan usaha untuk merancang suatu proses pembuatan
karagenan yang optimal sehingga diperoleh karagenan yang berkualitas dengan
proses produksi yang efisien. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan
pencampuran antara kappa dengan iota yang diekstraksi dari rumput laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum untuk melihat mutu yang
dihasilkan terutama kekuatan gel dan viskositasnya.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pencampuran
antara kappa dan iota karagenan dengan berbagai perbandingan terhadap kekuatan
gel dan viskositas karagenan campuran tersebut.
13

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma


Alga merah jenis Eucheuma cottonii telah diubah namanya menjadi
Eucheuma alvarezii (Doty, 1985), karena karagenan yang dihasilkan adalah fraksi
kappa karagenan maka jenis ini secara taksonomi dirubah namanya menjadi
Kappaphycus alvarezii (Doty 1986 dalam Atmadja et al. 1996). Nama daerah
cottonii umumnya lebih dikenal dalam dunia perdagangan nasional dan
internasional. Alga merah penghasil iota karagenan yang diperoleh dari Eucheuma
spinosum diubah namanya menjadi Eucheuma denticulatum (Doty 1978; Glenn
dan Doty 1990).
Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Doty dan Santos (1986) yang
dikutip Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Spesies : Eucheuma alvarezii Doty
Kappaphycus alvarezii (doty) Doty
Eucheuma spinosum
Ciri fisik dari Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii adalah
mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogineus (lunak seperti tulang
rawan), warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Penampakan thalli
bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus
runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus,
percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling
berdekatan ke daerah asal (pangkal). Kappaphycus alvarezii tumbuh melekat ke
substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua
tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri-ciri khusus mengarah ke
arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Cabang-cabang tersebut
tampak ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk. Menurut Doty
14

(1973) thallus Kappaphycus alvarezii berbentuk bulat, transparan, lunak seperti


tulang rawan, warna hijau, coklat atau ungu kemerah-merahan. Permukaan thallus
licin kadang-kadang terdapat tonjolan yang merupakan setengah lingkaran bola.
Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang tidak beraturan, tumbuh di bagian
yang muda maupun yang tua. Diameter thallus ke arah ujung kelihatan sedikit
lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya. Thallus mengembung atau
membentuk bulatan jika terdapat bekas luka sebagai regenerasi cabang (Doty
1973).
Eucheuma spinosum memiliki bentuk thallus bulat tegak, dengan ukuran
panjang 5 30 cm, transparan, warna coklat kekuningan sampai merah keunguan.
Permukaan thallus tertutup oleh tonjolan yang berbentuk seperti duri-duri runcing
yang tidak beraturan, duri tersebut ada yang memanjang seolah-olah berbentuk
seperti cabang. Percabangan thallus tumbuh pada bagian yang tua ataupun muda
dan tidak beraturan. Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
spinosum berturut-turut disajikan pada Gambar 1 dan 2.

M.S. Doty drawings; I.C. Neish photos - Length of bar ca. 10 cm.

Gambar 1 Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii


(www.surialink.com/ abc_eucheuma/1/45.htm).
15

Gambar 2 Morfologi rumput laut Eucheuma spinosum (www.iptek.net.id)

2.2 Karagenan
Karagenan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi
rumpu laut merah dengan menggunakan air atau larutan alkali pada temperatur
tinggi (Glicksman 1983). Istilah carrageenan berasal dari bahasa sehari-hari
Bangsa Irlandia, yaitu Carraign yang berarti little rock. Di Irlandia penggunaan
rumput laut untuk ekstraksi gel telah dikenal sejak tahun 1810. Pada masa lalu
biasanya hanya Chondrus crispus yang digunakan sebagai penghasil utama
karagenan, tapi sekarang dari spesies Gymnogongrus, Eucheuma, Ahnfeltia, dan
Gigartina sudah banyak digunakan (Guiry 1995).
Rumput laut Rhodophyceae beberapa diantaranya mengandung karagenan.
Carragenophyte adalah kelompok penghasil karagenan dari kelompok
Rhodophyceae. Kelompok ini antara lain adalah Chondrus, Gigartina dan
Eucheuma. Dalam penggunaannya karagenan dapat berbentuk garam dengan
sodium, kalsium dan potasium (Aslan 1991). Pencampuran karagenan dengan ion
kalium akan menghasilkan dua komponen utama yaitu lambda karagenan sebagai
fraksi terlarut dan kappa karagenan sebagai fraksi tidak terlarut. Fraksi terlarut
tidak akan membentuk gel (Towle 1973). Berdasarkan kandungan sulfatnya, Doty
(1987) membedakan karagenan menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang
mengandung sulfat kurang dari 28 % dan iota karagenan dengan kandungan sulfat
lebih dari 30 %. Istini dan Zatnika (1991) membagi karagenan ke dalam tiga jenis
yaitu : lambda-, iota- dan kappa-karagenan. Iota karagenan diekstraksi dari
16

Eucheuma spinosum, lambda karagenan dari Chondrus crispus dan kappa


karagenan diekstraksi dari Kappaphycus alvarezii.
Di Indonesia spesies yang menjadi sumber karagenan adalah Kappaphycus
alvarezii dan Eucheuma spinosum (Mubarak 1991). Karagenan berfungsi sebagai
penstabil, pengental, pengemulsi, tablet kapsul, plester. Karagenan banyak
digunakan pada produk pangan dan non pangan. Kurang lebih 80 % produksi
karagenan digunakan pada industri makanan, farmasi dan kosmetik. Pada produk
pangan, karagenan banyak digunakan untuk membentuk gel dalam selai, sirup,
saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan bumbu dan sebagainya. Senyawa
ini banyak digunakan untuk mengentalkan bahan bukan pangan seperti odol,
shampo, dan hasilnya digunakan juga untuk industri tekstil dan cat (Angka dan
Suhartono 2000).

2.3 Komposisi dan Struktur Kimia Karagenan


2.3.1 Kappa karagenan
Kappa karagenan tersusun dari ikatan 1,3 D-galaktosa-4 sulfat. Rasio
D-galaktosa, 3,6 anhidro-D-galaktosa dan gugus ester sulfat adalah 5 : 6 : 7
(Towle 1973). Secara teoritis kandungan 3,6 anhidro-D-galaktosa pada karagenan
adalah 35 % (Moirano 1977). Kappa karagenan mengandung lebih dari 34 % 3,6-
anhidro-D-galaktosa dan 25 % ester sulfat (Anonim 1977). Struktur molekul
kappa karagenan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur molekul kappa karagenan (Tojo dan Prado 2003)

Kappa karagenan jika dimasukkan ke dalam air dingin akan membesar


membentuk sebaran kasar yang memerlukan pemanasan sampai 70 oC untuk
melarutkannya. Suhu pembentukan gel dan kualitas gel dipengaruhi oleh
17

konsentrasi, jumlah dan adanya ion-ion logam seperti K+, NH4+, Ca++, Sr++ dan
Ba++. Secara umum karagenan membentuk gel yang keras pada suhu antara 45 oC
dan 65 oC dan meleleh kembali jika suhu dinaikkan sampai 10 20 oC dari suhu
yang telah ditetapkan tadi. Gel yang lebih lemah terbentuk jika terdapat ion NH4+,
Ca++, Sr++ dan Ba++. Kappa karagenan mempunyai tipe gel yang rigid atau mudah
pecah dicirikan dengan tingginya sineresis, yaitu adanya aliran cairan pada
permukaan gel. Aliran ini berasal dari pengerutan gel sebagai akibat
meningkatnya gumpalan pada daerah penghubung. Sineresis tergantung pada
konsentrasi kation-kation yang ada dan harus dicegah dalam jumlah yang berlebih
(Anonim 1977). Gel yang terbentuk dari kappa karagenan berwarna agak gelap
dan mempunyai tekstur mudah retak (Fardiaz 1989)

2.3.2 Iota karagenan


Iota karagenan diisolasi dari Eucheuma spinosum mengandung kira-kira
30 % 3,6 anhidro-D-galaktosa dan 32 % ester sulfat. Iota mempunyai gel yang
bersifat elastis, bebas sineresis dan reversible (Anonim 1977). Gel yang terbentuk
berwarna lebih jernih dibandingkan jenis kappa karagenan dan mempunyai tekstur
empuk dan elastis (Fardiaz 1989). Molekul iota karagenan ditandai dengan adanya
4-sulfat ester pada setiap residu D-galaktosa dan gugusan 2-sulfat ester pada
setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Struktur molekul iota karagenan dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur molekul iota karagenan (Tojo dan Prado 2003).

Iota karagenan mempunyai sifat larut dalam air dingin dan larutan garam
natrium. Di dalam larutan garam kation lain seperti K+ dan Ca2+ tidak dapat larut
dan hanya menunjukkan pengembangan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu jenis dan konsentrasi kation, densitas karagenan, suhu, pH, adanya ion
18

penghambat dan yang lainnya. Larutan iota karagenan stabil pada lingkungan
elektrolit kuat seperti NaCl 20 25 % (Angka dan Suhartono 2000).
Iota karagenan dapat bercampur dengan pelarut polar seperti alkohol,
propilen glikol dan gliserin, tetapi tidak dapat bercampur dengan pelarut organik
(non polar). Viskositasnya bergantung pada konsentrasi dan akan menurun dengan
meningkatnya suhu. Perubahan tersebut bersifat reversible, dimana penurunan
suhu dapat meningkatkan viskositas. Viskositas larutan karagenan tidak
dipengaruhi oleh kation monovalen, sedangkan kation divalen cenderung
menurunkan viskositas pada konsentrasi tinggi dan meningkatkan viskositas pada
konsentrasi rendah. Seperti yang tercantum diatas bahwa larutan iota karagenan
bersifat reversible, artinya bila larutan dipanaskan kembali maka gel akan kembali
mencair (Angka dan Suhartono 2000).

2.4 Sifat-sifat Dasar Karagenan.


Sifat-sifat yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas,
viskositas, pembentukan gel dan reaktifitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut
sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam
polimer karagenan. Karagenan biasanya mengandung unsur berupa garam sodium
dan potasium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat karagenan. Detail
sifat-sifat karagenan dicantumkan dalam Tabel 1.

2.4.1 Kelarutan
Air merupakan pelarut utama bagi karagenan. Kelarutan karagenan di dalam
air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu, ada tidaknya ion, tipe ion yang
berhubungan dengan polimer, ada tidaknya senyawa organik yang larut dalam air
dan garam (Towle 1973).
Kelarutan karagenan dikaitkan dengan struktur molekulnya, kelarutan
karagenan terutama dikendalikan oleh derajat hidrofiliknya, yaitu gugus ester
sulfat dan unit galaktopiranosa yang berlawanan dengan unit 3,6 anhidro-D-
galaktosa yang bersifat hidrofobik (takut air) (Towle 1973).
Lambda karagenan tidak mempunyai gugus 3,6 anhidro-D-galaktosa dan
mengandung ester-sulfat dalam jumlah tinggi sehingga dapat larut dalam air
dingin. Kappa dan iota karagenan memiliki gugus hidrofilik ester-sulfat dalam
19

jumlah yang lebih rendah dan mengandung anhidrogalaktosa yang bersifat


hidrofobik dalam jumlah yang lebih tinggi sehingga tidak larut dalam air dingin
kecuali dalam bentuk garam natrium (Towle 1973). Disamping larut dalam air,
karagenan juga mempunyai sifat larut dalam media cair lainnya, misalnya dalam
susu panas, sukrosa panas, dan larutan garam. Kappa dan iota karagenan dapat
larut dalam susu dingin bila digunakan secara bersama-sama dengan suatu
senyawa fosfat seperti tetrasodium pirofosfat (TSPP). Sifat inilah yang digunakan
dalam pembuatan puding susu karagenan (Glicksman 1983). Diantara semua
karagenan, jenis lambda larut sangat baik di dalam cairan susu dingin. Di dalam
susu panas semua karagenan dilaporkan larut (Angka dan Suhartono 2000). Daya
larut karagenan dalam berbagai pelarut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat-sifat karagenan.


Karakteristik Kappa Iota
ester sulfat 25 30 % 28 35 %
3,6-anhidro-galaktosa 28 35 % -
Kelarutan air panas larut pada >70 oC larut pada >70 oC
air dingin larut Na+ larut Na+
susu panas larut larut
susu dingin + kental kental
Tetrasodium
Pyrophosphate
(TSPP)
larutan gula larut (panas) susah larut
larutan garam tidak larut tidak larut
pelarut organik tidak larut tidak larut
Gel pengaruh kation membentuk gel kuat membentuk gel kuat
dengan K+ dengan Ca2+
tipe gel kuat dan rapuh dengan elastis dan kohesif tanpa
sineresis sineresis
Stabilitas pH netral dan basa stabil stabil
asam (pH 3,5) terhidrolisis terhambat dengan panas
sinergitas dengan locust bean gum tinggi tinggi
stabilitas thawing tidak stabil stabil
Sumber : Glicksman (1983).

Bahan terlarut lain seperti gula dan garam menurunkan kelarutan karagenan
dalam air. Kappa dan lambda-karagenan larut dalam larutan panas sukrosa pekat
(sampai dengan 60 %), sedangkan iota hanya sedikit larut. Dalam larutan garam
sampai 25 % lambda dan iota larut, sedangkan kappa mengendap. Pada
konsentrasi garam di atas 25 % ketiga jenis karagenan tersebut mengendap
20

(Guiseley et al. 1980). Salah satu jenis garam untuk mengendapkan kappa-
karagenan adalah KCl (Rees 1969).
Untuk melarutkan karagenan secara sempurna tanpa terjadi gumpalan, harus
dilakukan pengadukan yang efektif. Kurang efektifnya pengadukan akan
meningkatkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kelarutan yang sempurna,
tetapi dengan pemanasan kelarutan karagenan lebih cepat dan sempurna (Anonim
1985).

2.4.2 Viskositas
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid
dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi
absorbsi dan pengembangan koloid. Pada prinsipnya pengukuran viskositas
adalah mengukur ketahanan gesekan lapisan molekul cairan yang berdekatan.
Viskositas yang tinggi dari suatu materi disebabkan karena gesekan internal yang
besar sehingga cairannya mengalir (Glicksman 1969 dalam Marlinah 1992).
Viskositas hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : konsentrasi,
temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, teknik perlakuan, keberadaan
hidrofilik koloid dan keberadaan elektrolit dan nonelektrolit. Selain itu berat
molekul karagenan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
viskositas suatu cairan, dimana semakin tinggi BM, viskositas akan semakin
tinggi. Begitu sebaliknya, semakin rendah BM karagenan maka akan semakin
rendah viskositasnya (Marine Colloids FMC Corp. 1977).
Viskositas meningkat secara eksponensial dengan konsentrasi. Sifat ini
berlaku pada polimer linear yang mempunyai beberapa gugus dan sebagai akibat
meningkatnya konsentrasi interaksi antara rantai-rantai polimer (Anonim 1985;
Stanley 1987).
Viskositas larutan karagenan akan turun oleh peningkatan suhu. Perubahan
tersebut berbentuk eksponensial dan bersifat reversible jika pemanasan dilakukan
pada pH sekitar 9 dan tidak berlangsung dalam waktu yang lama sehingga terjadi
degradasi secara thermal (Towle 1973; Guiseley et al. 1980). Pendinginan iota
dan kappa karagenan akan meningkatkan viskositas, khususnya jika mendekati
suhu pembentukan gel (gelling point) dan adanya kation K+ dan Ca2+ karena mulai
21

terjadi interaksi antar rantai-rantai polimer. Oleh karena itu, biasanya pengukuran
o
viskositas dilakukan pada suhu tinggi (misalnya 75 C) untuk mencegah
terjadinya pembentukan gel (Guiseley et al. 1980).
Karagenan dapat membentuk larutan yang sangat kental dengan struktur
makromolekulnya yang linear atau tidak bercabang dan bersifat polielektrolit.
Adanya gaya tolak-menolak dari grup-grup ester sulfat yang bermuatan sama,
yaitu negatif, disepanjang rantai polimer, menyebabkan molekul ini kaku dan
tertarik kencang. Karena sifat hidrofilik tersebut polimer dikelilingi oleh lapisan
molekul-molekul air yang diam. Hal inilah yang menentukan nilai viskositas
karagenan. Menurut Moirano (1977) semakin kecil kandungan sulfat maka nilai
viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya meningkat.

2.4.3 Pembentukan gel


Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena atau
pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga
dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau
mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain,
tergantung pada jenisnya. Gel mungkin mengandung sampai 99,9 % air. Gel
mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Pembentukan kerangka tiga dimensi oleh double helix akan mempengaruhi
pembentukan gel. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu
pembentukan gel mengakibatkan polimer karagenan menjadi random coil
(acak). Tetapi bila suhu diturunkan, maka larutan polimer akan membentuk
struktur tiga dimensi (Rees 1969 dalam Glicksman 1983). Mekanisme
pembentukan gel disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Mekanisme pembentukan gel (Rees, 1969 di dalam Glicksman,


1983).
22

Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada
saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus
3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini bersifat reversible, artinya gel akan mencair
bila dipanaskan dan apabila didinginkan akan membentuk gel kembali. Adanya
perbedaan jumlah, tipe dan posisi sulfat serta adanya ion-ion akan mempengaruhi
proses pembentukan gel. Ion monovalen yaitu K+, NH4+, Rb+ dan Cs+ membantu
pembentukan gel. Kappa karagenan membentuk gel yang keras dan elastis. Dari
semua karagenan, kappa karagenan memberikan gel yang paling kuat. Iota
karagenan merupakan pembentuk gel air yang lemah, iota membentuk gel yang
kuat dan stabil bila ada ion Ca2+ (Anonim 1985). Ion Na+ dilaporkan menghambat
pembentukan gel karagenan jenis kappa dan lambda (Angka dan Suhartono 2000).
Karakteristik gel beberapa karagenan dapat dilihat pada Tabel 1.

2.4.5 Stabilitas
Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih, tetapi pada pH yang rendah
stabilitasnya akan menurun bila terjadi peningkatan suhu (Glicksman 1983).
Karagenan kering dapat disimpan dengan baik selama 1,5 tahun pada suhu kamar
dengan pH 5 6,9, karena selama penyimpanan pada pH tersebut tidak terjadi
penurunan kekuatan gel.
Kappa karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai pembentuk
gel pada pH rendah. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan
glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk
membentuk gel. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah (Moirano 1977).
Karagenan akan mengalami depolimerisasi secara perlahan-lahan selama
penyimpanan. Dua sifat penting karagenan yaitu kekuatan gel dan reaktivitas
dengan protein dipengaruhi oleh proses polimerisasi ini. Meskipun demikian,
tetap tidak terdeteksi adanya penurunan kekuatan gel selama lebih dari satu tahun
penyimpanan (A/S Kobenhavns Pektinfabrik 1978). Stabilitas karagenan pada
berbagai tingkat keasaman dapat dilihat pada Tabel 2
23

Tabel 2 Daya kestabilan karagenan dalam berbagai pelarut.


Stabilitas Kappa Iota Lambda
Pada keadaan pH Stabil. Stabil. Stabil.
netral dan alkali.
Pada pH asam. Terhidrolisis pada larutan Terhidrolisis dalam Terhidrolisis.
jika dipanaskan. Stabil larutan. Stabil dalam
dalam bentuk gel. bentuk gel.
Sumber : A/S Kobenhavns Pektinfabrik (1978).

2.5. Proses Pembuatan Karagenan


Pembuatan tepung karagenan dari alga laut secara umum terdiri dari
penyiapan bahan baku, proses ekstraksi, penyaringan, pengendapan dan
pengeringan produk.

2.5.1 Penyiapan bahan baku


Rumput laut yang baru dipanen, dibersihkan dari kotoran dan karang yang
melekat dengan menggunakan air laut kemudian dijemur selama lebih kurang
2 - 3 hari, atau setelah dijemur satu hari dibilas kembali menggunakan air laut
kemudian dijemur lagi sehingga kering. Selama penjemuran diusahakan agar tidak
terkena hujan atau embun karena akan menurunkan mutu karagenan yang
dihasilkan (Fardiaz 1989).

2.5.2 Ekstraksi
Sebelum dilakukan ekstraksi rumput laut kering dicuci dengan air tawar.
Proses pencucian ini dilakukan tidak terlalu lama, hanya sampai kotoran yang
melekat terlepas dari rumput laut. Jika pencucian terlalu lama maka akan
mengakibatkan terjadinya lisis pada dinding sel, sehingga karagenan keluar dari
rumput laut. Selanjutnya dilakukan pemotongan bahan kemudian dilakukan
ekstraksi menggunakan larutan alkali panas (Fardiaz 1989).
Ekstraksi karagenan biasanya dilakukan dengan air panas pada suhu
90 100 oC dan pH alkalis (di atas pH 7). Air ditambahkan antara 7 hingga 40
kali berat rumput laut kering. Jenis basa yang digunakan adalah NaOH atau
Ca(OH)2 (Angka dan Suhartono 2000).
Dawes et al. (1977) dalam Harun (1993) melakukan ekstraksi karagenan
dengan NaOH 0,06 % hingga pH ekstraksi sekitar 8,0 8,5. Ekstraksi dilakukan
24

selama 1 - 14 jam pada suhu 85 oC. Kondisi optimum dicapai pada ekstraksi
selama 3 jam yang ditunjukkan oleh rendemen, kekuatan gel, dan viskositas
optimumnya. Menurut Angka dan Suhartono (2000) jenis iota karagenan dapat
terekstrak dalam waktu 3 jam pada suhu 85 oC.

2.5.3 Filtrasi
Filtrasi dilakukan untuk memisahkan residu (serat dan kotoran lain) dari
ekstrak. Pada saat ekstraksi, larutan karagenan harus benar-benar dalam keadaan
panas, untuk menghindari terjadinya pembentukan gel (Chapman 1980).
Filtrasi biasanya dilakukan dengan filter press dengan bantuan filter aid
seperti diatomae, perlite, celite 545 dan sejenisnya (McCandless dan Richer 1972;
Dawes et al. 1977; Mukti 1987).

2.5.4 Pemisahan karagenan


Karagenan dapat dipisahkan dari filtratnya dengan cara presipitasi dengan
alkohol, pengeringan drum (drum drying) dan dengan cara pembekuan (Food
Chemical Codex 1981).
Filtrat karagenan merupakan campuran antara air, karagenan dan benda-
benda asing lainnya yang berukuran sangat kecil. Menurut Overbeek dan Jong
(1949) dalam Luthfy (1988), karagenan dapat dipisahkan dari air dan zat-zat
lainnya dengan menambahkan zat tertentu misalnya alkohol, garam-garam dan
aseton. Zat-zat tersebut berfungsi untuk memisahkan karagenan dengan cara
pembentukan polimer sehingga terjadi agregasi yang menyebabkan
penggumpalan/pengendapan. Pemisahan karagenan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan metoda gel-press, KCl press, pembekuan menggunakan KCl atau
presipitasi oleh alkohol (Ceamsa 2001).
Penambahan garam sampai 25 % dalam larutan panas akan menyebabkan
lambda- dan iota-karagenan larut, sedangkan kappa karagenan dapat mengendap
(Guiseley et al. 1980 dalam Luthfy 1988). Menurut Dea (1979) pada konsentrasi
garam yang rendah, inti kapiler elektrik dapat mengecil, sedangkan pada
konsentrasi garam yang lebih tinggi koloid akan melepaskan air sehingga terjadi
pengendapan. Menurut cP Kelco ApS (2000) pengunaan KCl untuk pemisahan
karagenan cukup baik dilakukan pada konsentrasi 1,5 - 2,0 %.
25

Pemisahan karagenan dengan alkohol merupakan cara yang paling banyak


dilakukan (Stoloff 1962 dalam Luthfy 1988; Towle 1973; Dawes et al. 1977;
Mhsigeni dan Semesi 1977; Pamungkas, 1987; Mukti 1987). Alkohol yang
digunakan dibatasi oleh Food Chemical Codex (1981) berupa metanol, etanol atau
isopropanol. Alkohol yang digunakan sekitar 1,5 - 4,0 kali volume filtrat (Towle
1973), dengan demikian alkohol yang digunakan sekitar 80 - 200 kali bobot bahan
baku. Oleh karenanya, cara ini relatif mahal dan untuk menghemat pengunaan
alkohol diperlukan unit destilasi alkohol. Karagenan yang dipisahkan dengan cara
ini memiliki mutu yang paling baik karena relatif murni (Glicksman 1983).

2.5.5 Pengeringan dan penepungan.


Karagenan basah hasil presipitasi alkohol atau hasil pengendapan dengan
garam-garam kemudian dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan oven
atau penjemuran (Glicksman 1983). Karagenan kering tersebut kemudian
ditepungkan, diayak, distandarisasi dan dicampur, kemudian dikemas dalam
wadah yang tertutup rapat (Guiseley et al. 1980).
Tepung karagenan berwarna putih sampai coklat kemerah-merahan
(Food Chemical Codex 1981). Melalui pembesaran (mikroskop), tepung
karagenan berupa serat-serat pendek (hasil presipitasi oleh alkohol) atau berupa
remahan halus (hasil drum drying) dengan bobot jenis rata -rata 1,7 g/cm3
(Guiseley et al. 1980).

2.6 Spesifikasi mutu karagenan


Di Indonesia belum ada standar mutu karagenan tetapi secara internasional
telah dikeluarkan spesifikasi mutu karagenan sebagai persyaratan minimum yang
diperlukan bagi suatu industri pengolahan baik dari segi teknologi maupun dari
segi ekonomi yang meliputi kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut
(Doty 1986). Secara internasional spesifikasi kemurnian karagenan dikeluarkan
oleh Food Agriculture Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC) dan
European Economic Community (EEC) seperti tercantum pada Tabel 3.
26

Tabel 3 Spesifikasi kemurnian karagenan.


Spesifikasi FAO FCC EEC
Zat volatile (%) maks 12 maks 12 maks 12
Sulfat (%) 15 40 18 40 15 40
Viskositas pada larutan 1,5 % min 5 cps min 5 cps min 5 cps
Abu (%) 15 40 maks 35 15 40
Abu tidak larut asam (%) - maks 1 maks 2
Logam berat:
Pb (ppm) maks 10 maks 10 maks 10
As (ppm) maks 3 maks 3 maks 3
Cu + Zn (ppm) - - maks 50
Zn (ppm) - - maks 25

Kehilangan karena pengeringan (%) - maks 12 -


Sumber: A/S Kobenhvsn Pektifabrik (1978).

2.7 Kegunaan karagenan


Berdasarkan sifat-sifatnya karagenan digunakan sebagai pengemulsi,
penstabil, pengental dan bahan pembentuk gel (Food Chemical Codex 1981).
Pengelmulsi adalah bahan yang berfungsi untuk memperoleh pendispersian yang
merata dari dua atau lebih bahan yang saling tak dapat larut, misalnya bahan yang
dapat mendispersikan krim susu dalam susu skim. Penstabil adalah bahan yang
mempertahankan sistem emulsi, sedangkan pengental adalah bahan yang dapat
meningkatkan viskositas suatu sistem dan bahan pembentuk gel berfungsi untuk
memberikan tekstur gel (Bjerre-Petersen 1973). Kemampuan karagenan tersebut
disebabkan oleh sifat-sifat karagenan antara lain kemampuan membentuk gel,
viskositas dan reaktivitas terhadap protein seperti telah diuraikan pada bagian
terdahulu.
Dengan penambahan garam potasium kekuatan gel akan terus meningkat.
Hasil ekstraksi yang halus digunakan dalam berbagai pengolahan, diantaranya
hand lotion, mineral emulsion, susu coklat, cream stabilizer, pasta gigi, sirup obat
batuk, bubuk untuk puding penstabil es krim dan sebagainya. Ekstrak karagenan
dan garam potasium digunakan untuk sirup es krim dan pelapis tablet dalam
farmasi (Chapman 1970).
Karagenan dalam industri makanan dan minuman biasa digunakan sebagai
dietetic food dalam bentuk jelly. Susu kental manis dan yoghurt menggunakan
karagenan sebagai pensuspensi, sedangkan dalam industri milk-gel (puding,
custard, minuman kaleng) dan antacid-gel berfungsi sebagai gelling agent,
27

demikian pula dalam water-gel, fish dan meat-gel dan gel pengharum ruangan
berfungsi sebagai pembentuk gel. Penggunaan lain dari karagenan adalah sebagai
binder pada pasta gigi, sebagai bodying agent pada cream lotion dan saus tomat,
dan sebagai penstabil lemak dalam makanan ternak (Anggadiredja et al. 1993).
28

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor untuk proses ekstraksi karagenan, sedangkan analisis mutu
karagenan dilakukan di Laboratorium Agricultural Products Processing Pilot plan
Project (AP4) dan Laboratorium Pilot Plant Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian


3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu
bahan utama dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum yang telah dikeringkan, berasal
dari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu dengan umur panen sekitar 45 hari.
Bahan kimia untuk proses ekstraksi adalah NaOH 0,5 %, kalium klorida (KCl),
etanol (alkohol 96 %), dan aquades.

3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat yang digunakan
selama proses pembuatan karagenan yaitu hot plate yang menggunakan magnetic
stirrer dan dilengkapi dengan pengatur suhu, timbangan analitik, pisau, kertas pH,
kertas aluminium foil, labu erlenmeyer, gelas ukur, pemanas air, saringan dari
kain blacu, saringan dengan ukuran 60 mesh, stirrer, spatula, cawan petri, drum
dryer, stop watch, dan baskom.
Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu spatula, pisau, gelas ukur,
timbangan analitik, botol kaca, cetakan, lemari pendingin (lemari es), water bath,
kantong plastik, viscosimeter brookfield untuk mengukur viskositas, curd tension
meter model M-301 AR untuk mengukur kekuatan gel.
29

3.3 Metode Penelitian


Penelitian dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama dilakukan untuk
menghasilkan kappa karagenan dan iota karagenan. Penelitian tahap kedua adalah
mengkombinasikan kappa dan iota karagenan dengan berbagai perbandingan
(1 : 1, 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4, 2 : 1, 2 : 3, 3 : 1, 3 : 2, 4 : 1) untuk selanjutnya dianalisis
viskositas dan kekuatan gelnya.

3.3.1 Tahap pertama


Rumput laut yang telah dikeringkan, ditimbang sebanyak 50 g, kemudian
dicuci bersih dan dipotong sampai diperoleh ukuran bahan lebih kurang 25 mm.
Setelah itu dilakukan ekstraksi menggunakan aquades sebanyak 40 kali dari berat
rumput laut kering yang telah dibersihkan dan ditambahkan basa (NaOH 1,0 %)
sampai diperoleh pH 8 9, dengan waktu ekstraksi selama 3 jam pada suhu 90 oC.
Hasil ekstraksi yang diperoleh disaring dengan menggunakan kain blacu dua lapis.
Filtrat hasil penyaringan diendapkan dengan larutan KCl 1 % yang telah
dihomogenkan sebelumnya, sebanyak satu kali volume pelarut selama 30 menit
untuk karagenan jenis kappa, untuk karagenan jenis iota pengendapan dilakukan
dengan etanol (alkohol 96 %) selama 15 menit, kemudian disaring kembali
menggunakan kain saring ukuran 200 mesh. Karagenan berupa ampas yang
diperoleh dari hasil penyaringan, dikeringkan dengan menggunakan drum dryer
(dengan suhu sekitar 80 oC). Diagram alir proses pembuatan karagenan disajikan
pada Gambar 5.

3.3.2 Tahap kedua


Penelitian selanjutnya yaitu mengkombinasikan antara kappa dan iota
karagenan dengan berbagai perbandingan (1 : 1, 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4, 2 : 1, 2 : 3, 3 : 1,
3 : 2, 4 : 1). Karagenan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik
dengan berat sesuai dengan perbandingan tersebut. Selanjutnya kappa dan iota
karagenan dihomogenkan kemudian dianalisis viskositas dan kekuatan gelnya.
30

Rumput Laut
(50 g kering dan bersih)

Pencucian

Pemotongan

Ekstraksi
Suhu: 90 oC
Waktu: 3 jam
Jumlah air: 40 x rumput laut kering
Jenis Basa: NaOH 1 % (pH 8,0 - 9,0)

Penyaringan I
(Kain blacu 2 lapis
Ampas

Pemisahan Kappa Karagenan Pemisahan Iota Karagenan


KCl 1 % Etanol
sebanyak 1 x volume pelarut sebanyak 2 x volume pelarut

Penyaringan II Penyaringan II
(Saringan 300 mesh) (Saringan 300 mesh)
Air dan molekul Air dan molekul
dengan BM kecil dengan BM kecil

Pengeringan Pengeringan
(Drum Dryer) (Drum Dryer)

Tepung karagenan Tepung karagenan

Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan kappa dan iota karagenan


(Modifikasi dari Purnama 2003).
31

3.4 Prosedur Analisis


3.4.1 Rendemen (Marine Colloids FMC. Corp. 1977)
Rendemen karagenan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio
antara berat karagenan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering.

Berat karagenan kering


Rendemen = x 100%
Berat rumput laut kering

3.4.2 Viskositas (Marine Colloids FMC. Corp 1977 dalam Mukti 1987)
Larutan karagenan dengan konsentrasi 1,5 % dipanaskan dalam bak air
(water bath) sambil diaduk secara teratur sampai mencapai suhu lebih kurang
75 oC. Spindel terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 75 oC kemudian dipasangkan
ke alat ukur viscosimeter brookfield. Posisi spindel dalam larutan panas diatur
sampai tepat, viscosimeter dihidupkan dan suhu larutan diukur. Ketika suhu
larutan mencapai 75 oC, termometer dikeluarkan dan nilai viskositas diketahui
dengan pembacaan viscosimeter pada skala 1 sampai 100. Pembacaan dilakukan
setelah satu menit putaran penuh. Hasil bacaan digandakan sesuai dengan spindel
yang digunakan dengan kecepatan 60 rpm. Hal ini berfungsi untuk menyatakan
viskositas mutlak dalam satuan centipoises (cps).

3.4.3 Kekuatan gel (Gel Strength) (Marine Colloids 1977 dalam Mukti 1977)
Larutan karagenan 1,5 % dipanaskan dalam bak air (water bath) dengan
pengadukan secara teratur sampai suhu 75 oC. Larutan panas dimasukkan ke
dalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 oC selama 2
jam. Gel dalam cetakan ditempatkan ke dalam alat ukur kekuatan gel (curd
tension meter), kemudian alat diaktifkan sampai dengan batang penekan plunger
menembus permukaan gel. Pembacaan dilakukan melalui grafik recorder seperti
disajikan pada Gambar 7.
Kekuatan gel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
F
Kekuatan Gel = x 980 dyne/cm2
S
Keterangan : F = tinggi kurva
S = luas permukaan plunger
32

Pada penelitian ini satuan kekuatan gel dyne/cm2 dikonversikan menjadi g/cm2
X .10 2
X dyne/cm2 = g/cm2
9.8
(1 g = 980,78 dyne)

Derajat invasi

Garis normal

Grafik

Waktu (detik)

Gambar 7 Grafik pembacaan kekuatan gel pada Recorder Curd Tension


Meter.
33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perbedaan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum


Kappaphycus alvarezii termasuk dalam kelas Rhodopyceae (alga merah).
Nama daerah cottoniii umumnya lebih dikenal dalam dunia perdagangan nasional
dan internasional, sedangkan Eucheuma spinosum dikenal dengan nama ilmiah
Eucheuma denticulatum dan Eucheuma muricatum atau disebut juga agar-agar
patah tulang yang merupakan nama daerah.
Pengamatan di laboratorium meliputi pengamatan visual terhadap warna dan
keadaan thallus rumput laut dalam keadaan basah. Adapun perbedaan antara
kedua jenis tersebut disajikan dalam Tabel 4. Secara anatomi tanaman rumput laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum tidak mempunyai akar dan daun.
Struktur tanaman secara keseluruhan terdiri dari batang utama, cabang-cabang dan
ranting-ranting. Tiap cabang mempunyai banyak ranting dan membentuk suatu
rumpun tanaman yang disebut thallus. Morfologi rumput laut Kappaphycus
alvarezii dan Eucheuma spinosum penelitian ini berturut-turut disajikan dalam
Gambar 8 dan Gambar 9.

Gambar 8 Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii.


34

Gambar 9 Morfologi rumput laut Eucheuma spinosum.

Tabel. 4 Perbedaan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum


Kappaphycus alvarezii Eucheuma spinosum
Thallus Penampang batang bulat dan Penampang batang bulat
permukaan thallus licin. dengan permukaan thallus
Thallus kenyal dan sedikit licin dan agak berlendir
transparan. Permukannya tertutup oleh
tonjolan-tonjolan yang
berbentuk seperti duri.
Thallus lunak/lembek, rapuh
dan transparan.
Percabangan Tidak teratur, ada yang memanjang Melingkar atau pada interval
atau melengkung seperti tanduk yang dapat diperkirakan.
dan tampak meruncing. Berselang-seling dan timbul
Percabangan ke berbagai arah. teratur pada deretan duri antar
ruas serta merupakan
perpanjangan dari duri tersebut.
Duri pada thallus Runcing memanjang, agak jarang Tumbuh berderet melingkari
dan tidak bersusun melingkari thallus dengan interval yang
thallus bervariasi sehingga membentuk
ruas-ruas thallus diantara duri.
Warna thallus Kuning, coklat kekuningan, coklat Coklat, ungu kemerah-merahan
tua.

4.2 Penelitian Tahap Pertama


Penelitian tahap pertama bertujuan untuk menghasilkan kappa karagenan
dan iota karagenan. Proses pembuatannya terbagi menjadi beberapa tahap yaitu
penyiapan bahan baku, ekstraksi dengan alkali, penyaringan I, pengendapan,
penyaringan II dan pengeringan.
35

4.2.1 Proses pembuatan karagenan


Pembuatan karagenan dimulai dengan penimbangan rumput laut kering yang
sudah dibersihkan sebanyak 50 g, setelah itu rumput laut dicuci dengan air tawar.
Proses pembersihan dan pencucian dilakukan dengan air mengalir untuk
menghilangkan benda asing seperti garam, karang, kayu ranting serta pasir yang
masih menempel pada rumput laut. Menurut Dewan Standar Nasional (SNI 01-
2690-1998), benda asing adalah semua benda yang tidak termasuk dalam rumput
laut antara lain garam, pasir, karang, kayu ranting dan rumput laut lainnya. Proses
pencucian ini dilakukan tidak terlalu lama, hanya sampai kotoran yang masih
tersisa seperti garam dan pasir terlepas dari rumput laut. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari keluarnya karagenan dari rumput laut yang disebabkan karena
terjadinya lisis pada dinding sel. Selanjutnya dilakukan pemotongan bahan dan
diiris kecil-kecil, hal ini dimaksudkan agar partikel bahan baku berukuran sekecil
mungkin sehingga permukannya luas dan senyawa yang akan diekstrak dapat
lebih mudah ditarik keluar dari bahan. Selain itu penghancuran akan memecah
sel-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang akan diekstrak
dapat dengan cepat keluar dari bahan.
Setelah pembersihan dan pencucian dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi
merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan
yang merupakan sumber komponen tersebut. Ekstraksi karagenan dilakukan
dengan air panas (40 kali berat rumput laut kering) pada suhu 85 100 oC dan pH
alkalis (di atas pH 7). Jenis basa yang ditambahkan adalah NaOH. Ekstraksi
dilakukan selama 3 jam. Proses ini dilakukan untuk menghasilkan kappa dan iota
karagenan. Menurut Angka dan Suhartono (2000) iota karagenan dapat terekstrak
dalam waktu 3 jam pada suhu 85 oC dan menurut Dawes et al. (1977) dalam
Harun (1993) iota karagenan dapat diekstraksi menggunakan NaOH hingga pH
ekstraksi 8,0 8,5 selama 1 14 jam pada suhu 85 oC. Kondisi optimum dicapai
pada ekstraksi selama 3 jam yang ditunjukkan diantaranya oleh kekuatan gel dan
viskositas optimumnya. Towle (1973) menyatakan bahwa larutan alkali
mempunyai dua fungsi yaitu untuk membantu ekstraksi polisakarida dari alga laut
dan membantu untuk mengkatalisa hilangnya gugus 6-sulfat dari unit
monomernya dengan membentuk 3,6 anhidro-D-galaktosa, sehingga menaikkan
36

kekuatan gelnya. Disamping itu kondisi alkalis juga berfungsi untuk mencegah
terjadinya hidrolisis karagenan (Guiseley et al. 1980).
Arifin (1994) menyatakan bahwa karagenan merupakan senyawa kompleks
polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-
anhidrogalaktosa, baik yang mengandung sulfat maupun yang tidak mengandung
sulfat, dengan ikatan -1,3-D galaktosa dan -1,4-3,6 anhidrogalaktosa secara
bergantian. Fraksi kappa karagenan tersusun dari (1,3) D-galaktosa 4-sulfat dan
(1,4) 3,6 anhidro-D-galaktosa. Karagenan juga ada yang mengandung
D-galaktosa 6-sulfat ester dan 3,6 anhidro-D-galaktosa 2-sulfat ester. Adanya
gugusan 6 sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karagenan, tetapi dengan
pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6 sulfat,
yang menghasilkan terbentuknya 3,6 anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian
derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah
(Winarno 1990).
Setelah diekstraksi, larutan karagenan langsung disaring dalam keadaan
panas. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembentukan gel. Untuk
memperoleh filtrat yang banyak selama penyaringan dilakukan pemerasan atau
pengepresan (Chapman 1970). Pada penyaringan ini yang akan digunakan untuk
proses selanjutnya adalah filtratnya. Penyaringan bertujuan untuk menjernihkan
campuran larutan dengan cara membuang sejumlah partikel padat atau untuk
memisahkan cairan dari bagian padat bahan pangan dengan cara menggunakan
saringan (Fellows 1992). Penyaringan adalah suatu unit proses dimana komponen
padatan tidak larut dalam suspensi padat-cair dipisahkan dari komponen cairannya
dengan melewatkan suspensi tersebut melalui suatu membran yang dapat
menahan padatan di permukaannya atau dalam struktur di dalamnya atau
keduanya. Suspensi padat-cair dikenal sebagai bubur, sedangkan cairan yang
melewati membran saringan disebut filtrat. Solid yang sudah dipisahkan dari
komponen tersebut disebut ampas (Wirakartakusumah et al. 1992).
Dalam penelitian ini saringan yang digunakan berupa kain blacu dua lapis
yang diperkirakan berukuran lebih kurang 200 mesh (terdapat 200 lubang dalam
1 cm2) (Purnama 2003). Menurut Hasran et al. (1989) dalam Muldani (1997),
larutan disaring untuk memperoleh hasil ekstraksi yang berkualitas tinggi yaitu
37

ekstrak yang terbebas dari padatan. Pada umumnya penyaringan menggunakan


saringan halus (kain berdiameter lubang 1 mm). Tanikawa (1985) mengatakan
bahwa di Jepang penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain yang berpori-
pori 1,25 mm x 1,25 mm. Dengan pori-pori kain yang sedemikian kecil hasil
penyaringan akan lebih murni dan bersih. Akan tetapi, penyaringan dengan
menggunakan pori-pori kecil tidak berarti akan meningkatkan mutu karagenan,
sebab dapat mengakibatkan karagenan yang lolos melalui pori-pori saringan
tersebut terbatas, sehingga hasil penyaringan hanya sedikit mengandung
karagenan murni.
Langkah selanjutnya setelah penyaringan I adalah pengendapan.
Pengendapan karagenan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii (fraksi kappa
karagenan) dilakukan dengan menambahkan larutan KCl 1 % sebanyak 1 kali
volume pelarut, sedangkan untuk rumput laut Eucheuma spinosum (fraksi iota
karagenan) digunakan etanol sebanyak 2 kali volume pelarut.
Kappa karagenan sensitif terhadap ion kalium dan akan membentuk gel yang
kuat dengan adanya garam kalium (Glicksman 1983). Pada penelitian ini
pengendapan iota karagenan dilakukan dengan etanol (alkohol 99 %), karena
penggunaan ion kalium sebanyak 0 1,5 % pada iota karagenan akan
memperlihatkan efek yang negatif terhadap gelnya (Anonim 1985). Ekstraksi
dengan menggunakan pelarut alkohol baik untuk semua karagenan (Harborne
1987). Untuk mendapatkan proses ekstraksi yang sempurna perlu adanya pelarut
yang sesuai dengan bahan yang diekstrak, karena suatu zat memiliki kemampuan
melarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Senyawa polar akan terpisah
dengan baik bila digunakan pelarut yang polar dan senyawa non polar akan
terpisah dengan baik bila menggunakan pelarut non polar (Nur dan Adijuwana
1989).
Fraksi iota karagenan berbeda dengan kappa karagenan karena iota
karagenan mempunyai unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Gugus sulfat dari
iota sebanyak 25 50 %, maka sensitivitas kalium menurun yang ditandai
menurunnya kemampuan membentuk gel, sifat ini menjadi ciri khas iota
karagenan (Moirano 1977).
38

Menurut Glicksman (1982) pengendapan karagenan hasil ekstraksi yang


telah mengalami filtrasi dapat dilakukan dengan alkohol. Alkohol yang dapat
digunakan adalah metanol, etanol dan isopropanol (Anonim 1991). Alkohol yang
digunakan sekitar 1,5 4,0 kali volume filtrat (Towle 1973). Penambahan
alkohol atau KCl ke dalam filtrat dapat mengendapkan karagenan dalam bentuk
serat (Moirano 1977). Garam-garam yang larut dengan alkohol atau KCl dapat
dipisahkan dari endapan karagenan. Proses pemisahan karagenan dilakukan
dengan cara disaring dan diperas (Mhsigeni dan Semesi 1977).
Purnama (2003) memisahkan karagenan dari filtrat dengan cara
pengendapan menggunakan KCl dengan konsentrasi 1,5 %, 2,0 % dan 2,5 %
sebanyak satu kali volume pelarut. Pada penelitian tersebut penurunan kekuatan
gel seiring dengan semakin meningkatnya jumlah KCl yang digunakan. Hal
tersebut menunjukkan bila anion telah jenuh berikatan karena penambahan KCl
yang semakin banyak, maka akan semakin banyak pula ion kalium yang tidak
berikatan dengan polimer karagenan. Ion yang berlebih menjadi residu dan
menyebabkan kemurnian karagenan semakin berkurang. Residu pada produk
dapat menghambat pembentukan double helix yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan gel yang kuat.
Dalam proses pengendapan karagenan dengan KCl, KCl terlebih dahulu
dilarutkan dalam air panas dengan suhu 100 oC, dimana semakin panas air maka
KCl akan semakin mudah larut sehingga penyebaran KCl dalam karagenan
merata. Pada iota karagenan pengendapan karagenan dilakukan dengan etanol
sebanyak dua kali volume filtratnya sambil diaduk-aduk, sehingga terbentuk serat
karagenan.
Hasil pengendapan iota karagenan dan kappa karagenan disaring kembali
dengan menggunakan kain blacu dua lapis. Ampas yang tidak lolos melewati pori-
pori saringan inilah yang dikeringkan pada proses selanjutnya. Penyaringan kedua
ini bertujuan mendapatkan larutan karagenan yang lebih murni lagi dan
mengurangi jumlah air dan komponen lain selain karagenan yang lolos melewati
pori-pori saringan I dan tidak dapat mengendap pada proses pemisahan seperti air,
residu K+ dari larutan garam KCl yang tidak berikatan dengan polimer karagenan
serta residu-residu lain yang berukuran yang tidak diharapkan keberadaannya.
39

Pengepresan atau pemerasan tetap dilakukan pada penyaringan II ini agar


komponen-komponen yang tidak dapat mengendap benar-benar lolos dari
saringan.
Selanjutnya, setelah penyaringan II dilakukan pengeringan. Pada penelitian
ini pengeringan menggunakan drum dryer. Menurut Moeljanto (1982)
pengeringan adalah suatu cara untuk mengurangi kadar air bahan melalui
penguapan dengan bantuan energi panas sehingga diperoleh hasil yang lebih
kering. Pengeringan pangan berarti pemindahan air dengan sengaja dari bahan
pangan, dimana pengeringan merupakan metode tertua pada pengawetan bahan
pangan.
Pengeringan dengan menggunakan drum dryer dilakukan dengan cara
melewatkan karagenan di atas rol panas sehingga menghasilkan lembaran-
lembaran tipis karagenan. Karagenan yang kontak langsung dengan rol panas
menyebabkan air dapat lebih mudah untuk menguap, sehingga kandungan air pada
karagenan lebih sedikit.
Pengeringan karagenan sebenarnya tidak hanya dilakukan dengan
menggunakan drum dryer. Karagenan basah hasil presipitasi oleh alkohol atau
hasil pelelehan dapat dikeringkan dengan menggunakan oven atau penjemuran
(Glicksman 1983). Karagenan kering tersebut kemudian ditepungkan, diayak,
distandarisasi dan dicampur, kemudian dikemas dalam wadah yang tertutup rapat
(Guiseley et al. 1980). Tepung karagenan berwarna putih sampai dengan coklat
kemerah-merahan (Food Chemical Codex 1981).
Karagenan memerlukan waktu yang cukup singkat untuk kontak dengan
panas jika pengeringan dilakukan dengan menggunakan drum dryer, dimana
semakin lama karagenan kontak dengan panas, maka rantai-rantai polimer yang
sudah terbentuk akan terdepolimerisasi menjadi lebih pendek dan apabila
depolimerisasi terus berlanjut maka rantai polimer akan semakin pendek dan
sebagian akan terdegradasi, dan selanjutnya akan mengakibatkan struktur heliks
menjadi berkurang dan kemampuan untuk membentuk gel yang kuat juga akan
berkurang.
40

4.2.2 Rendemen
Rendemen merupakan indikator efisiensi dari proses ekstraksi rumput laut.
Rendemen karagenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berat
karagenan yang terkandung dalam rumput laut kering dibagi dengan berat bahan
baku rumput laut kering dan dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi rendemen
semakin besar output yang dihasilkan. Rumput laut kering yang akan diekstraksi
sebanyak 50 g dengan volume air 2 liter. Rendemen dipengaruhi oleh spesies,
iklim, metode ekstraksi, waktu pemanenan dan lokasi budidaya (Chapman dan
Chapman 1980). Rendemen karagenan dalam penelitian ini disajikan dalam
Gambar 10.

40 35,56
R e n d e m e n (% )

35
30 25,09
25
20
15
10
5
0
Kappa Io t a

Gambar 10 Diagram batang nilai rata-rata rendemen kappa dan iota


karagenan.

Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa kappa karagenan mempunyai nilai


rendemen lebih tinggi dibandingkan iota karagenan. Hal ini kemungkinan
disebabkan adanya perbedaan proses pemisahan dan jenis rumput laut yang
digunakan. Habitat rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
spinosum berbeda, dimana habitat Kappaphycus alvarezii banyak hidup di zona
pasang surut yang berdasar karang hingga ke zona subtidal, sering membentuk
koloni yang luas, hidup baik di perairan yang tenang maupun yang agak
bergelombang (semi terlindung) (www.iptek.net.id), sedangkan Eucheuma
spinosum habitatnya di daerah bersubstrat batu, air jernih, ada arus atau terkena
gerakan air lainnya, kadar garam antara 28 - 36% dan cukup sinar matahari
(www.iptek.net.id).
41

Selain itu proses pemisahan juga mempengaruhi rendemen karagenan.


Proses pemisahan kappa karagenan menggunakan larutan KCl 1 % sebanyak satu
kali volume pelarut. Proses pemisahan dengan menggunakan KCl menyebabkan
ketidakmurnian karagenan yang dihasilkan. Hal ini diduga terjadi karena kation
K+ dari larutan KCl akan bersenyawa dengan rangkaian polimer karagenan
sehingga akan memberikan tambahan berat pada rendemen karagenan yang
dihasilkan. Rendahnya rendemen iota karagenan yang dihasilkan diduga karena
sifat etanol yang tidak dapat mengendapkan senyawa lain selain karagenan seperti
kotoran-kotoran yang berukuran kecil dan mineral yang terdapat dalam molekul
karagenan, sehingga diperoleh karagenan yang lebih murni.
Dari hasil penelitian yang telah diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa
penggunaan etanol mempunyai kecenderungan dapat menurunkan rendemen
karagenan, meskipun karagenan dari hasil pemisahan etanol mempunyai
rendemen yang lebih rendah, tidak berarti bahwa kandungan karagenannya juga
lebih rendah. Terjadinya penurunan rendemen kemungkinan disebabkan oleh sifat
etanol yang mampu melepaskan kotoran-kotoran dan mineral yang terdapat dalam
molekul karagenan. Peningkatan rendemen karagenan pada selang tertentu
disebabkan oleh adanya proses pelepasan polisakarida dari alga laut yang semakin
sempurna sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin tinggi. Pada
penelitian ini lama, suhu, pH ekstraksi dan penyaring antara kedua ekstraksi
adalah sama, tetapi perlakuan pemisahan berbeda. Jadi, adanya perbedaan
rendemen karagenan pada penelitian ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan
pemisahan karagenan.

4.2.3 Viskositas
Viskositas (kekentalan) adalah suatu larutan yang kondisinya dapat
digambarkan sebagai larutan yang sulit dialirkan. Maksud dari pengukuran ini
adalah untuk menentukan nilai kekentalan suatu larutan yang dinyatakan dalam
centipoise (cps). Makin tinggi nilai viskositas suatu larutan maka makin tinggi
pula tingkat kekentalannya. Menurut Guiseley et al. (1980) kekentalan pada
karagenan disebabkan adanya daya tolak-menolak antar grup sulfat yang
bermuatan negatif, yang terdapat disepanjang rantai polimernya sehingga
42

menyebabkan rantai polimer tersebut kaku dan tertarik kencang. Selain itu adanya
sifat hidrofilik menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air yang tidak
bergerak. Hal tersebut akan menentukan nilai kekentalan karagenan.
Nilai rata-rata viskositas yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 88,50 cps
untuk kappa dan 154 cps untuk iota. Menurut Guiseley (1980) dalam Luthfy
(1988) viskositas larutan karagenan berkisar antara 5 800 cps yang diukur pada
konsentrasi 1,5 % dan suhu 75 oC dengan menggunakan viscometer brookfield.
Hasil pengukuran viskositas pada penelitian disajikan dalam Gambar 11.

200
V i sk o si ta s (c p s )

154
150
88,5
100

50

0
Kappa Io t a

Gambar 11 Diagram batang nilai rata-rata viskositas kappa dan iota


karagenan.

Viskositas iota karagenan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan


viskositas kappa karagenan, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh sulfat karena
sulfat dapat menyebabkan larutan menjadi kental. Adanya sulfat akan
menyebabkan terjadinya gaya tolak-menolak antar kelompok ester yang
bermuatan sama dengan molekul air yang terikat dalam karagenan. Kandungan
sulfat yang ada pada kappa lebih rendah dibandingkan iota. Kappa karagenan
mengandung sulfat 28 % atau kurang dan iota karagenan 30 % atau lebih
(Glicksman 1983), sehingga menyebabkan viskositas pada iota karagenan lebih
tinggi.
Selain kandungan sulfat peningkatan viskositas dipengaruhi juga oleh
proses pemisahan karagenan. Peningkatan viskositas kemungkinan disebabkan
oleh berkurangnya faktor penstabil pada koloid karagenan akibat adanya
penambahan alkohol. Peningkatan viskositas karagenan dengan adanya alkohol
43

juga disebabkan oleh kemampuan alkohol untuk membentuk mono dan diester
dengan sulfat (Pine et al. 1988), sehingga kandungan sulfat dalam polimer
karagenan meningkat. Jumlah sulfat yang tinggi dalam polimer karagenan akan
menyebabkan peningkatan nilai viskositas.
Viskositas karagenan akan menurun dengan adanya penambahan garam
karena kation K+ dari larutan KCl dalam karagenan akan menurunkan muatan
rantai polimer sehingga gaya elektrostatik diantara gugus sulfat berkurang.
Apabila gaya tolak-menolak antar muatan negatif dari gugus sulfat tinggi, maka
akan menyebabkan rantai molekul menegang sehingga daya tarik-menarik antar
polimer menurun dan molekul karagenan bersifat hidrofilik, selanjutnya molekul
air akan mengelilingi molekul hidrofilik tersebut dan akhirnya mengakibatkan
viskositasnya meningkat. KCl mengakibatkan gugus sulfat lepas dari rantai
polimer dan membentuk kalium sulfat dan asam sulfat.

4.2.4 Kekuatan gel


Kekuatan gel karagenan dinyatakan sebagai breaking force yang
didefinisikan sebagai beban maksimum yang dibutuhkan untuk memecahkan
matrik polimer pada daerah yang dibebani (Whyte 1980 dikutip oleh Suheti 2000).
Gel polisakarida merupakan struktur tiga dimensi yang terbentuk dari larutan
polimer. Proses pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer
sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut pada celah-
celahnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan
kekakuan. Viskositas larutan karagenan dipengaruhi oleh jumlah sulfat,
sedangkan kekuatan gel selain dipengaruhi oleh jumlah sulfat, juga dipengaruhi
oleh posisi sulfat dalam struktur molekul karagenan (Stanciof dan Stanley 1969
dalam Mukti 1987). Moirano (1977) menyatakan bahwa pembentukan gel
karagenan merupakan proses pengendapan yang melibatkan ikatan ionik antara
kation logam dengan muatan negatif dari gugus ester sulfat. Apabila grup ester
sulfat lebih banyak maka sulfat tersebut akan berikatan dengan air. Oleh karena
itu, jika kandungan sulfat pada karagenan tinggi, maka struktur tiga dimensi yang
terbentuk akan banyak menyerap air. Sebaliknya, apabila kandungan 3,6 anhidro-
D-galaktosa besar maka kekuatan gelnya akan menjadi lebih tinggi.
44

Kappa karagenan mempunyai kekuatan gel yang lebih tinggi dibanding


iota karagenan dikarenakan kandungan sulfat yang ada pada iota lebih tinggi,
dimana tingginya kadar sulfat menyebabkan putusnya ikatan 3,6 anhidro-D-
galaktosa sehingga kekuatan gelnya menurun. Tingginya kadar sulfat
menyebabkan viskositas karagenan meningkat dan konsistensi gelnya menurun.
Nilai rata-rata kekuatan gel dalam penelitian ini adalah 334,40 g/cm2 untuk kappa
dan 88,46 g/cm2 untuk iota. Data disajikan dalam Gambar 12.

400
334,4
Kekuatan Gel (g/cm2)

350
300
250
200
150 88,46
100
50
0
Kappa Iota

Gambar 12 Diagram batang nilai rata-rata kekuatan gel kappa dan iota
karagenan.

Kation yang biasa digunakan untuk mengimbas pembentukan gel antara


lain adalah K+, Rb+, Cs+ dan NH+ (Towle 1973). Kation K+ dapat berfungsi
sebagai bahan pengikat antar rantai polimer karagenan dengan memperkuat
struktur tiga dimensi sehingga polimer tersebut akan mempertahankan bentuknya
jika dikenai tekanan, sedangkan larutan alkohol dapat mengikat sulfat untuk
membentuk mono dan diester sulfat, sehingga kandungan sulfat dalam polimer
karagenan meningkat dan menyebabkan turunnya kekuatan gel karagenan.

4.3 Penelitian Tahap Kedua


Penelitian tahap kedua adalah mengkombinasikan kappa karagenan
dengan iota karagenan dengan berbagai perbandingan dan selanjutnya dilakukan
analisis mutu karagenan yaitu viskositas dan kekuatan gel.
45

4.3.1 Viskositas karagenan campuran


Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Pada
prinsipnya pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan cairan dua
lapisan molekul yang berdekatan. Viskositas yang tinggi dari suatu materi
disebabkan karena gesekan internal yang besar sehingga cairannya mengalir
(Glicksman 1969 dalam Marlinah 1992). Viskositas hidrokoloid dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu : konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat,
teknik perlakuan, keberadaan hidrofilik koloid, tipe dan berat molekul karagenan
serta keberadaan elektrolit dan non elektrolit (Marine Colloids FMC Corp. 1977).
Nilai viskositas hasil dari penelitian ini disajikan pada Gambar 13.

160
136,5 137,5 137,5
140 129 127,5
118 119
120 112
Viskositas (cps)

100 90,25

80

60

40

20

0
1:1 1:2 1:3 1:4 2:1 2:3 3:1 3:2 4:1
Perbandingan (kappa : iota)

Gambar 13 Diagram batang nilai rata-rata viskositas karagenan campuran.

Hasil pengukuran viskositas dengan menggunakan viscosimeter brookfield


menunjukkan bahwa viskositas iota karagenan dari rumput laut jenis Eucheuma
spinosum lebih tinggi dibandingkan dengan kappa karagenan dari rumput laut
jenis Kappaphycus alvarezii. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaaan
3,6-anhidro-D-galaktosa 2-sulfat. Kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa karagenan
bersifat hidrofobik, akibatnya karagenan yang lebih banyak mengandung 3,6-
anhidro-D-galaktosa lebih sukar larut dan viskositasnya lebih kecil. Viskositas
larutan karagenan terutama disebabkan oleh sifat karagenan sebagai polielektrolit.
46

Gaya tolakan antar muatan negatif di sepanjang rantai polimer, yaitu gugus sulfat,
mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer
tersebut diselimuti molekul air yang terimobilisasi, hal tersebut menyebabkan
larutan bersifat kental yang juga berarti viskositas larutan tinggi. Semakin tinggi
kandungan sulfat dalam karagenan, maka viskositasnya semakin tinggi pula
(Moirano 1977). Dari komponen penyusunnya dimana kandungan sulfat iota
karagenan lebih tinggi daripada kappa karagenan maka viskositas iota lebih tinggi
daripada kappa karagenan (Doty 1987). Sesuai dengan pernyataan Percival and
Mc Dowel (1967) dalam Suryaningrum et al. (1991) semakin kecil kandungan
sulfatnya semakin kecil pula nilai viskositasnya tetapi konsistensi gelnya semakin
meningkat. Hal ini disebabkan karena keberadaan sulfat akan menyebabkan gaya
tolak menolak antara grup sulfat yang bermuatan negatif sehingga rantai polimer
akan tertarik kencang. Jadi, semakin kecil kandungan sulfatnya maka gaya tolak
menolaknya juga semakin kecil. Pada kappa karagenan gugusan 6-sulfat ester
dapat dihilangkan dengan pemberian alkali, sehingga terjadi transeliminasi
gugusan 6-sulfat yang menghasilkan terbentuknya 3,6-anhidro-D-galaktosa.
Gugusan 2-sulfat ester pada iota karagenan tidak dapat dihilangkan dengan
perlakuan tersebut. Iota karagenan sering memiliki gugusan 6-sulfat ester yang
menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan
pemberian alkali (Moirano 1977 dalam Winarno 1990). Selain itu dilihat dari
kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa karagenan, dimana kappa karagenan
memiliki 3,6-anhidro-D-galaktosa yang bersifat hidrofobik, akibatnya karagenan
yang lebih banyak mengandung 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih sukar larut dan
viskositasnya lebih kecil.
Proses pembuatan kappa karagenan menggunakan KCl, dimana KCl
merupakan salah satu garam yang dapat larut dalam karagenan. Adanya garam-
garam yang terlarut dalam karagenan akan menurunkan muatan rantai polimer.
Penurunan muatan ini menyebabkan gaya tolakan antar gugus sulfat berkurang,
sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas
larutan menurun. Proses pembuatan iota karagenan menggunakan etanol, dimana
viskositasnya lebih tinggi dari kappa karagenan. Pembuatan karagenan dengan
menggunakan etanol menghasilkan karagenan yang lebih murni dan akan
47

menyebabkan konsentrasi karagenan lebih tinggi, tetapi hubungannya tidak selalu


linier. Menurut Fardiaz (1989), antara viskositas dan konsentrasi selalu tergantung
satu sama lainnya. Umumnya pada konsentrasi rendah, viskositas suatu
hidrokoloid akan menurun, sedangkan pada konsentrasi tinggi viskositasnya akan
meningkat.
Menurut Guiseley et al. (1980) dalam Luthfy (1988) garam-garam
anorganik dapat menurunkan viskositas karagenan dengan cara menurunkan
tolakan elektrostatik diantara gugus sulfat. Penurunan tolakan elektrostatik
diantara gugus sulfat disebabkan oleh kation-kation dari garam anorganik
menurunkan muatan rantai polimer (Black et al. 1965 dalam Luthfy 1988).
Viskositas karagenan dari kombinasi kappa karagenan dan iota karagenan dengan
berbagai perbandingan berada di atas standar viskositas yang ditetapkan oleh FAO
dan EU (E 407) yaitu minimal 5 cps, dimana karagenan dinyatakan aman dengan
mutu food grade, jika mempunyai viskositas tidak kurang dari 5 cps pada
konsentrasi 1,5 % dan 75 oC (US Food and Nutrition Board 1981 dalam Stanley
1987).

4.3.2 Kekuatan gel karagenan campuran


Kekuatan gel karagenan dinyatakan sebagai breaking force yang
didefiniskan sebagai beban maksimum yang dibutuhkan untuk memecahkan
matrik polimer pada daerah yang dibebani (Whyte 1980 dikutip oleh Suheti 2000).
Kemampuan membentuk gel adalah sifat penting kappa dan iota karagenan.
Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan tipe
karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat
pembentukan hidrokoloid. Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi gel karagenan
yaitu letak gugus sulfat pada struktur molekulnya (Towle 1973). Semakin berat
beban yang diperlukan maka kekuatan gel yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Kemampuan membentuk gel merupakan salah satu sifat karagenan yang menjadi
dasar penggunaannya pada berbagai industri. Menurut Fardiaz (1989),
pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai
polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya
jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan
48

membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari
satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel memiliki sifat
seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Menurut Chapman dan Chapman (1980) dan Glicksman (1983),
Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada saat
larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-
D-galaktosa. Proses ini bersifat reversible, artinya gel akan mencair bila
dipanaskan dan apabila didinginkan maka akan membentuk gel kembali
(Glicksman 1983). Kappa karagenan sensitif terhadap ion kalium dan akan
membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium (Glicksman 1983).
Pada penelitian ini diperoleh data hasil analisis kekuatan gel menggunakan
alat ukur curd tension meter yang disajikan dalam Gambar 14.

350 328,77

300
Kekuatan gel (g/cm2)

250 226,61
207,29 204,08
200 171,9
144,55
150
104,33 112,37
96,28
100

50

0
1:1 1:2 1:3 1:4 2:1 2:3 3:1 3:2 4:1
Perbandingan (kappa : iota)

Gambar 14 Diagram batang nilai rata-rata kekuatan gel karagenan


campuran.

Pada Gambar 14 terlihat bahwa peningkatan penambahan kappa karagenan


akan meningkatkan kekuatan gel karagenan campuran. Hal ini disebabkan karena
kappa karagenan mempunyai kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan iota
karagenan. Perbedaan ini disebabkan karena adanya gugus 3,6-anhidrogalaktosa-
2-sulfat pada Eucheuma spinosum yang menyebabkan gel bersifat elastis
(Chapman and Capman 1980). Gel yang bersifat elastis ini apabila dikenai
tekanan akan sulit untuk mempertahankan bentuknya, sehingga nilai kekuatan
gelnya akan rendah.
49

Kappa karagenan membentuk gel yang keras dan elastis serta berwarna
agak gelap. Dari semua karagenan, kappa karagenan memberikan gel yang paling
kuat. Jenis iota membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+ (Angka dan
Suhartono 2000). Adanya kekakuan dalam rantai seperti jumlah, tipe dan posisi
sulfat mempunyai pengaruh yang penting pada pembentukan gel. Kekakuan
dalam rantai mempunyai pengaruh menghambat pembentukan dan pengumpulan
double helix yang selanjutnya menurunkan kekuatan gel (Glicksman 1983).
Adanya perbedaaan struktur molekul ini menyebabkan perbedaaan kekuatan gel
yang terkandung, dimana kappa karagenan mengandung gugusan 6-sulfat, dapat
menurunkan daya gelasi dari karagenan, tetapi dengan pemberian alkali mampu
menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat yang menghasilkan
terbentuknya 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman
molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1990). Pada iota
karagenan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan
gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Gugusan 2-
sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya
kappa karagenan (Winarno 1990).
Diagram batang rata-rata analisis kekuatan gel kombinasi kappa karagenan
dengan iota karagenan ditampilkan pada Gambar 14. Hasil analisis kekuatan gel
menunjukkan bahwa kombinasi yang memiliki kekuatan gel tertinggi adalah 4 : 1
(kappa : iota), akan tetapi nilai kekuatan gel kombinasi ini tetap berada di bawah
nilai kekuatan gel kappa karagenan yang dianalisis. Perubahan nilai kekuatan gel
kappa karagenan terhadap nilai kekuatan gel karagenan campuran, juga
mengakibatkan perubahan penampakan gel karagenan, dimana gel karagenan
campuran warnanya sedikit jernih dan sedikit elastis jika dibandingkan dengan
penampakan gel kappa karagenan yang keras atau rigid.
Adanya penurunan kekuatan gel ini disebabkan karena bercampurnya
kappa karagenan dengan iota karagenan, dimana seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa iota karagenan mempunyai gel yang elastis. Gel yang elastis
ini apabila dikenai tekanan akan sulit untuk mempertahankan bentuknya, sehingga
nilai kekuatan gelnya akan rendah. Selain itu, gugusan ester sulfat pada iota
karagenan lebih tinggi dibandingkan pada kappa karagenan dapat mempengaruhi
50

kekuatan gel pada kombinasi ini. Letak gugus sulfat pada struktur molekul
karagenan sangat berpengaruh terhadap kemampuan karagenan untuk membentuk
gel, sehingga makin sedikit kappa karagenan yang dicampur maka akan
mengakibatkan penurunan kekuatan gel. Jika dilihat dari viskositasnya, viskositas
yang tinggi akan meningkatkan elastisitas gel. Kombinasi dari iota karagenan dan
kappa karagenan yang memiliki viskositas terendah dan kekuatan gel yang
tertinggi adalah 4 : 1 (kappa : iota). Pada penelitian ini viskositas tidak selalu
berbanding terbalik terhadap kekuatan gel, ini diduga karena adanya pengaruh
pencampuran iota karagenan dengan kappa karagenan, dimana keduanya memiliki
sifat gel yang berbeda. Kappa karagenan memiliki tipe gel yang rigid atau mudah
pecah dicirikan dengan tingginya sineresis, yaitu adanya aliran cairan pada
permukaan gel, sedangkan iota mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas
sineresis dan reversible, serta pembentuk gel air yang lemah (Anonim 1977).
Karagenan campuran ini menghasilkan gel dari yang rigid atau mudah pecah
sampai gel yang elastis dan sedikit elastis. Berdasarkan dari hasil penelitian ini,
maka karagenan campuran ini kemungkinan dapat di aplikasikan ke berbagai
produk, adapun aplikasi kappa, iota dan karagenan campuran di dalam produk
disajikan dalam Tabel 5.
51

Tabel 5 Aplikasi karagenan di berbagai produk.


Manfaat Kappa Iota Karagenan
karagenan karagenan Campuran
Beer clarification
Bumbu salad
Susu kedelai
Water gel
Yoghurt
Selai
Puding
Minuman buah-buahan
Sirup
Restructured product
Processed meat
Pasta
Pizza
Imitation milk
Air-freshener gel
Saus barbeque
Dessert gel
Filled and skim milk
Thickening agent
Whipping cream
Dulce de Leche (susu campuran)
Kue tar buah
Coklat susu
Es krim
Mousse
Pasta gigi
Ice milk
Kornet sapi
Bir dan anggur
Jeli
Gel rendah kalori
Krim aerosol
Susu coklat
Keju
Jeli rendah gula
Gel ikan
Tomato aspics
Sumber :
htpp://www.gelymar.com
http://www.FMC Biopolymer.com
http://docencia.izt.uam.mx/epa/quim_alim/tareas/carragenina.pdf.
52

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Perbedaan penampakan antara rumput laut Kappaphycus alvarezii dan
Eucheuma spinosum adalah adanya duri yang tumbuh melingkari thallus dengan
interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus diantara duri pada
Eucheuma spinosum, sedangkan pada Kappaphycus alvarezii durinya memanjang,
agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Selain itu, percabangan pada
Kappaphycus alvarezii tidak teratur, ada yang memanjang atau melengkung
seperti tanduk dan meruncing, percabangan pada Eucheuma spinosum melingkar.
Kappaphycus alvarezii digunakan untuk menghasilkan kappa karagenan dan
Eucheuma spinosum digunakan untuk menghasilkan iota karagenan.
Dari hasil penelitian diperoleh kappa karagenan dengan rendemen 35,56 %
dan iota karagenan 25.09 %. Nilai rata-rata viskositas kappa karagenan adalah
88,50 cps dan iota karagenan 154 cps, sedangkan kekuatan gel rata-rata kappa
karagenan adalah 334,40 g/cm2 dan iota karagenan adalah 88,46 g/cm2.
Pencampuran antara kappa karagenan dengan iota karagenan, dilihat dari
segi proses sudah cukup optimal, dimana nilai viskositas masih berada dalam
standar yang ditetapkan FAO dan FCC, sedangkan nilai kekuatan gel yang
diperoleh cukup tinggi. Akan tetapi, nilai kekuatan gel pada pencampuran ini
menurun dibandingkan dengan nilai kekuatan gel kappa, semakin sedikit
konsentrasi iota karagenan yang dicampurkan pada kappa karagenan maka akan
semakin meningkatkan kekuatan gelnya dan sebaliknya. Begitu juga dengan
viskositasnya, semakin banyak konsentrasi iota karagenan yang dicampurkan
pada kappa karagenan maka akan semakin meningkat viskositasnya dan
sebaliknya.
Nilai kekuatan gel tertinggi diperoleh pada pencampuran antara kappa
karagenan dengan iota karagenan dengan perbandingan 4 : 1 (kappa : iota) dan
yang terendah adalah dengan perbandingan 1 : 4 (kappa : iota) dengan nilai
berturut-turut 328,77 g/cm2 dan 96,28 g/cm2. Nilai viskositas karagenan campuran
yang tertinggi adalah dengan perbandingan 1 : 3 dan 1 : 4 dengan nilai yang sama
yaitu 137,5 cps dan viskositas karagenan campuran yang terendah adalah
53

perbandingan 4 : 1 dengan nilai 90,25 cps. Viskositas semua perbandingan masih


berada dalam standar yang ditetapkan FAO dan FCC yaitu nilai standar viskositas
karagenan adalah minimal 5 cps (centipoise).

5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka disarankan untuk melakukan
pengukuran karakteristik mutu karagenan campuran dengan metode ekstraksi
yang sama. Adapun karakteristik mutu karagenan tersebut antara lain kadar abu,
kadar abu tidak larut asam, kadar logam, kandungan zat volatil. Selain itu, perlu
juga dilakukan ekstraksi iota karagenan dengan menggunakan larutan pemisah
yang mengandung kation Ca2+. Perlu juga dilakukan penelitian aplikasi karagenan
campuran terhadap water gel, minuman buah-buahan, restructured product, pizza,
imitation milk, air-freshener gel, dessert gel, filled and skim milk, thickening
agent, dulce de leche (susu campuran), kue tar, mousse, pasta gigi, jeli, gel rendah
kalori, jeli rendah gula, gel ikan dan tomato aspics.
54

DAFTAR PUSTAKA

Aslan LA. 1991. Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Penerbit Kanisius.

Anggadiredja TJ. 1992. Etnobotany and Etnopharmacology Study of Indonesian


Marine Macro Algae. Jakarta: Study Report BPP Technology.

Anggadiredja J, Zatnika A, Sujatmiko W, Imail S, Moor Z. 1993. Teknologi


Produk Perikanan dalam Industri Farmasi; Potensi dan Pemanfaatan
Makro Alga Laut. Makalah Stadium General Teknologi dan Alternatif
Produk Perikanan dalam Industri Farmasi. Bogor: Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor.

Anggraini R. 2004. Perencanaan produksi karagenan skala pilot plant [skripsi].


Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

[BBD] Bank Bumi Daya. 1991. Rumput Laut di Indonesia. Seaweed In Indonesia.
Jakarta.

Arifin M. 1994. Penggunaan kappa karagenan sebagai penstabil (stabilizer) pada


pembuatan fish meat loaf dari ikan tongkol (Euhthynnus sp) [skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Atmadja WS, Kadi A Sulistijo, Rahmaniar. 1996. Pengenalan Jenis Algae Merah
(Rhodophyta). Dalam Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia.
Jakarta: Puslitbang Oseanologi, LIPI.

[Anonim]. 1977. Carrageenan. USA: Marine Colloids Division, FMC.


Corporation. 1-35 P.

[Anonim]. 1985. Carrageenan. Denmark: The Copenhagen Pectin Factory Ltd.


1-44 P.

[Anonim]. 1991. Prosiding Temu Karya Ilmiah Teknologi Pasca Panen Rumput
Laut. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 172p.

A/S Kobenhavns Pektinfabrik. 1978. Carrageenan. Denmark: Lille Skensved.

Basmal J. 2000. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pascapanen dan


Industri Rumput Laut dalam Laporan Forum Rumput Laut. Pusat Riset
Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal 14-21.
55

Bjerre-Petersen E, Crishtensen J, dan Hemmingsen P. 1973. Furcellaran. Di


dalam Whistler R.L. (ed). Industrial Gums. New York: Academic Press.

Chapman VJ. 1970. Seaweed and Their Uses. Second Edition. London: Meutheun
and Co. Ltd.

Chapman VJ, Chapman DJ. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition.
London: Methuen and Co. Ltd.

Copenhagen Pectin A/S. 1999. Product Specification for GENU Carrageenan.


Denmark: A Division of Hercules Incorporated. Dk-4623 Lille
Skensved.

Ceamsa. 2001. Gelation In Carrageenan: Technical Information. Spanyol:


http://Ceamsa.com.

cP Kelco ApS. 2000. Gelling Mechanism of Carrageenan. Denmark:


http://cPKelco.com

------------. 2000. Molecular Structure of Carrageenan. Denmark.


http://cPKelco.com

Dawes CJ, Stanley NF, Stancioff DJ. 1977. Seasonal and reproductive aspect of
plant chemistry, and I-carrageenan from floridean Eucheuma
(Rhodophyta, Gigartinales). Bot. Mar. 20: 137.

Dawson EY. 1966. Marine Botany : An Introduction. New York: Holt : Rinehart
and Winston.

Dea ICM. 1979. Interaction of Polysaccarides in Food. London: Butterworths


Publishing Co. Hal 229-246.

[DSN]. 1998. Standar Nasional Indonesia Rumput Laut (SNI 01-2690-1998).


Jakarta.

Doty MS. 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan-Sea Grant Advisory


Report. UNIHI Seagrant A.273-02.

Doty MS, Santos GA. 1978. Carrageenan from tetrasporic and cystocarpic
Eucheuma species. Aquatic Botany. 4: 143-149.

-----------1985. Eucheuma alvareezii sp (Gigartinales, Rhodophyta) from


Malaysia. Dalam : Abbot IA, Noris JN. Eds. Taxonomy of Economic
Seaweeds. California: Sea Grant College Program: 37v-45.

-------------. 1986. Biotechnological and Economic Approaches to Industrial


Development Based on Marine Algae in Indonesia. Summ. Rep.
Workshop on Marine Algae Biotechnology.
56

-------------. 1987. The Production and Uses of Eucheuma Dalam : Studies of


Seven Commercial Seaweeds Resources. Ed. By : M.S. Doty, J.F.
Caddy and B. Santelices. FAO Fish. Tech. Paper No. 281 Rome. Pp
123-161.

Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Bogor:


Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. Washington: National Academic


Press. Hal 74-75.

Fellows P. 1992. Food Processing Technology Principle and Practice. Oxford


England: Eilis Hordwoad.

Glicksman M. 1982. Functional properties of hydrocolloids. Di dalam Glicksman


M (ed). Food Hydrocolloids. Boca Raton Florida: Vol I. CRC Press Inc.

------------. 1983. Seaweed extracts. Di dalam Glicksman M (ed). Food


Hydrocolloids Vol II. CRC Press, Boca Raton, Florida.

Glenn, EP, Doty MS. 1990. Growth of the seaweeds Kappaphycus alvarezii, K.
striatum and Eucheuma denticulatum as affected by environment in
Hawaii. Aquaculture. 84:245-255.

Guiseley KB, Stanley NF, Whitchouse PA. 1980. Carrageenan. Di Dalam


Whistler RL (ed). Handbook of Water Soluble Gums and Resins. New
York: McGraw Hill Book Co.

Guiry MD. 1995. http://seaweed.ucg.ie/Seawed Uses General /Carrageenan.html.


1995-7 Michael D. Guiry/revired 1 September 1997. Printed on Nov.
11th. 2000.

----------------. 1995. http://seaweed.ucg.ie/Seawed Uses General


/Carrageenan.html. Referensi: J.R. Stein and C.A. Pjorden (1984).
Causative and Beneficial Algae in Human Disease Conditions : a review.
Physocologia 23 : 485-501. 1995-7 Michael, D. Guiry/Revised 1
September 1997. Printed. On Nov, 11th. 2000.

Harun RR. 1993. Pengaruh konsentrasi KOH dan lama perendaman terhadap
rendemen dan mutu karagenan dari Eucheuma cottonii [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Harborne JB. 1984. Phytochemical Methods : A Guide to Modern Techniques of


Plants Analysis. Second Edition New York : Chapman and Hall.

Hidayat H. 2004. Rumput Laut: Meracik Rezeki Dari Tepung Karaginan.


http://www.forek.or.id/detail.php?rubrik=peluang&beritaID=2161.
57

Http:// www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/rumput_Laut/pemasaran.htm

Http://www.gelymar.com/presentacion.htm

Http://www. FMCbiopolymer.com

Http://www.beritasore.com/ekuin4.06.05.05.html

Http://www.surialink.com/ abc_eucheuma/1/45.htm

Http:// www.iptek.net.id

Istini S, Zatnika A. 1991. Gum Semirefine Carrageenan dari Rumput Laut Jenis
Eucheuma cottonii. Prosiding Temu Karya Ilmiah Teknologi Pasca
Panen Rumput Laut.

LIPI. 2000. Rumput Laut. http://www.warintek.net/rumputlaut.htm.

Luthfy S. 1988. Mempelajari ekstraksi karagenan dengan metoda semi refined


dari Eucheuma cottonii [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Marlinah A. 1992. Studi berbagai perlakuan pemisahan karagenan pada ekstraksi


alga laut (Eucheuma cottonii) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan,
Institut Pertanian Bogor.

Marine Colloids FMC. Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph


Number One. Marine Colloid Division FMC Coorporation. USA:
Springfield, New Jersey.

McCandless EL, Richer S. 1972. 14C Studies of Carrageenan Synthesis. Sapporo:


Proc. Seaweed. Int. Symp VII.

Moirano AL. 1977. Sulfated Polysaccharides. Di Dalam Graham HD (ed). Food


Colloid. Westport, Connecticut : The AVI Publishing Company Inc. Hal
347-381.

Moeljanto R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Mubarak H, Soegiarto A, Sulistijo, Atmaja WS. 1978. Rumput Laut (Algae):


Manfaat, Potensi dan Usaha Budidaya. Jakarta: LON-LIPI. Hal: 161.

Mubarak H, Wahyuni IS. 1981. Percobaan budidaya rumput laut Eucheuma


spinosum di perairan Pacitan dan kemungkinan pengembangannya. Bull.
Penelitian Perikanan Vol. 1 No. 2. 93p
58

Mubarak H, Ilyas S, Ismail W, Wahyuni IS, Hartati ST, Pratiwi E, Djangkaru Z


dan Arifudin R. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Badan
Litbang Pertanian, Puslitbangkan, IDRC-INFIS.

Mubarak H. 1991. Potensi Produksi Karaginofit Indonesia. Jakarta: Temu Karya


Ilmiah Teknologi Pascapanen Rumput Laut Balai Penelitian Perikanan
Laut Slipi.

Mukti EDW. 1987. Ekstraksi dan analisa sifat fisika kimia karagenan dari rumput
laut jenis Eucheuma cottonii [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Muldani M. 1997. Penanganan bahan baku dan pengolahan agar-agar kertas di


desa Mancahagar Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut. Jawa
Barat. Laporan Praktek Lapangan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Munaf DR. 2000. Rumput Laut. http://www.ristek.go.id. 16 Februari 2003.

Mhsigeni KE, Semesi AK. 1977. Studies on carrageenan from economic red algae
genus Eucheuma in Tanzania. Bot. Mar. 20: 239-242.

Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Bogor:
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Novianti L. 2003. Pemanfaatan kombinasi tipe kappa dan iota karaginan setengah
jadi (semi refined carrageenan) sebagai pengental dan stabilisator pada
formula krim kulit [skripsi]. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan, Universitas Indonesia.

Overbeek JTG, de Jong HG. 1949. Sols of macromolecular colloids with


electrolytic nature. Dalam Colloid Science. New York: Elsevier
Publishing Co, Inc.

Pamungkas KT. 1987. Mempelajari hubungan antara umur panen dengan


kandungan karagenan dan kimianya [masalah khusus]. Bogor: Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Pine SH, Hendrikson JB, Cran DJ, Hammond GS. 1988. Organic Chemistry.
Diterjemahkan oleh Rochyati J, Sasanti W Purbo-Hadiwidjoyo. Terbitan
Keempat. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hal: 617.

Purnama RC. 2003. Optimasi proses pembuatan karagenan dari rumput laut
Eucheuma cottonii [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
59

Rees D. 1969. Structure Confirmation, and Mechanism in the Formation of


Polysaccharide Gels and Network. In Advances in Carbohydrate
Chemistry and Biochemistry. New York: Academic Press. 24: 267-331.

Stanley N. 1987. Production, Properties and Uses of Carrageenan, pp. 116-146.


In FAO, 1987.

Satari R. 1996. Potensi Pemanfaatan rumput laut. Dalam Pengenalan Jenis-jenis


Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi, LIPI.

Sembiring SI. 2002. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) sebagai bahan
baku dalam pembuatan permen jelly [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Suheti E. 2000. Pengaruh penambahan KCl (kalium klorida) terhadap mutu dodol
rumput laut. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.

Sukmadinata T. 2001. Peluang Pemasaran Rumput Laut dan Produk Olahannya


di Pasar Lokal dan Ekspor dalam Laporan Forum Rumput Laut. Pusat
Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal 37-56.

Stoloff I. 1962. Algal Classification-an Aid to Improved Industrial Utilization.

Suryaningrum TD, Suwarno T, Soekarto, Putro S. 1991. Kajian sifat-sifat mutu


komoditi rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma
spinosum. Jurnal Penelitian Pasca Panen. 68: 13-24.

Snapshot Solutions. 1996. An Introduction to Carrageenan. http://phile and


port.org/amer.

Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Japan: Koseisha Koseikaku Co. Ltd.

Towle GA.1973. Carrageenan. Dalam Whistler RL (ed). Industrial Gums. New


York: Academic Press.

Tojo E, Prado J. 2003. Chemical composition of carrageenan blends determined


by IR spectroscopy combined with a PLS multivariate calibration
method. Carbohydrate Research 338: 1309-1312

Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Wirakartakusumah A, Subarna M, Anwar, Dahrul S, Isyana BS. 1992. Petunjuk


Laboratorium Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Bogor: Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
60
61

Lampiran 1 Hasil analisis penelitian tahap pertama.


Analisa Ulangan Kappa Rata-rata Iota Rata-rata
Rendemen (%) 1 37,96 35,56 24,70 25,09
2 33,16 25,48
Viskositas (cps) 1 87,00 88,50 158,00 154,00
2 90,00 150 ,00
Kekuatan Gel 1 339,23 334,40 78,59 88,46
(g/cm2) 2 329,58 104,33
62

Lampiran 2 Hasil analisis viskositas karagenan campuran.


Perbandingan Ulangan Viskositas Rata-rata (cps)
(kappa : iota) (cps)
1:1 1 130 129,00
2 128
1:2 1 143 136,50
2 130
1:3 1 145 137,50
2 130
1:4 1 140 137,50
2 135
2:1 1 110 112,00
2 114
2:3 1 125 127,50
2 130
3:1 1 118 118,00
2 118
3:2 1 120 119,00
2 118
4:1 1 90 90,25
2 90,5
63

Lampiran 3 Hasil analisis kekuatan gel karagenan campuran.


Perbandingan
Ulangan Kekuatan gel (g/cm2) Nilai rata-rata (g/cm2)
(kappa : iota)
1:1 1 168,69 171,90
2 175,12
1:2 1 72,15 104,33
2 136,51
1:3 1 88,24 112,37
2 136,51
1:4 1 72,15 96,28
2 120,42
2:1 1 233,04 226,61
2 220,17
2:3 1 152,59 144,55
2 136,51
3:1 1 207,29 207,29
2 207,29
3:2 1 200,86 204,08
2 207,29
4:1 1 329,58 328,77
2 327,97

Anda mungkin juga menyukai