Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi cacing pada manusia sering mengakibatkan gangguan pada system


kulit manusia. Infeksi cacing secara garis besar dapat di bagi menjadi 3 golongan
besar, yakni nematodes (Human nematodes, animal namatodes), trematodes, dan
cestodes. Masing-masing golongan ini memiliki siklus hidup yang berbeda-beda.
Cacing ini dapat berdapatasi dengan baik dan memiliki siklus hidup di manusia,
baik dari level larva hingga dewasa dapat hidup di host manusia. Manifestasi
kutaneus dari penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing ini dapat bervariasi
tergantung pada siklus dari cacing tersebut yang dapat dibagi menjadi : penetrasi
(jika jaringan kutan), invasive (atau akut), dan kronik (atau fokal).
Cutaneous larva migrans merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh
migrasi larva cacing tambang ke dalam kulit. Larva tersebut menginfeksi manusia
sebagai host yang disebabkan oleh kontak manusia pada tanah yang
terkontaminasi dengan larva tersebut. Larva menembus lapisan epidermis kulit
lalu bermigrasi 1-2 cm per hari. Tanda awal adalah papul yang gatal yang
bermigrasi menjadi konfigurasi serpiginosa. Cutaneous larva migrans juga
dikenal sebagai creeping eruption yang disebabkan oleh cacing tambang, cacing
yang paling sering menginfeksi adalah Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
caninum. Dermatosis terjadi disebabkan oleh larva yang dapat menembus kulit
dan kemudian berjalan melalui epidermis.
Cutaneous larva migrans tersebar secara luas tetapi paling umum di
temukan pada daerah tropis dan subtropis, terutama Amerika Serikat bagian
tenggara, Karibia, Afrika, Amerika tengah dan Amerika Selatan, India, dan Asia
Tenggara. Kontak dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi dapat
menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi dapat dicegah dengan menghindari
kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi. Larva menembus kulit
manusia dan bermigrasi sampai beberapa sentimeter per hari, biasanya berada
antara stratum germinativum dan stratum korneum. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya reaksi inflamasi eosinofilik secara lokal. Kebanyakan larva tidak dapat
berkembang lebih lanjut atau menyerang ke bagian yang lebih dalam dari kulit,
dan larva akan mati setelah beberapa hari atau beberapa bulan.
Pemeriksaan laboratorium seperti peningkatan eosinofil, IgE total, dan titer
antibodi filarial jarang membantu. Biopsi kulit juga tidak disarankan karena
parasit sering berada diluar lesi yang tak terlihat. Diagnosis cutaneous larva
migrans berdasarkan temuan klinis, dapat didiagnosis secara klinis ketika terjadi
creeping eruption, Jika tak tampak maka biopsi kulit diperlukan untuk melihat
secara histopatologi seperti larva yang terperangkap pada kanal folikel, stratum
korneum, atau dermis, dan juga infiltrat eosinofilia. Pemeriksaan kerokan kulit
pasien dapat mengetahui larva tersebut hidup atau mati jika diperiksa dengan
mikroskop cahaya serta menggunakan minyak mineral.
Berbagai cara telah digunakan untuk pengobatan cutaneous larva migrans,
Salah satu metode adalah nitrogen cair yang digunakan untuk menghancurkan
larva. cryotherapy dengan cairan nitrogen tidak dianjurkan karena larva biasanya
terletak beberapa sentimeter dari luar lesi yang tak terlihat dan sangat sulit
menemukan posisi yang tepat pada larva. Beberapa hal menunjukkan larva dapat

hidup pada suhu -21 oC selama lebih dari 5 menit. Alasan lain bahwa cryotherapy

tidak disukai yaitu dapat terjadinya ulserasi kronis jika prosedur tersebut tidak
dilakukan dengan baik.
Pengobatan pada penyakit ini memerlukan pengobatan yang berulang.
Terapi topikal yang dapat digunakan adalah thiabendazole atau albendazole 10 %
karena larva dapat bermigrasi di luar lesi yang tak terlihat dan lokasi yang tidak
dapat ditentukan serta efek samping yang diberikan maka dari beberapa literatur
menyebutkan bahwa eksisi atau cryotherapy tidak dianjurkan dilakukan.
Meskipun memiliki efek samping, penelitian di Pakistan menunjukkan bahwa
efektivitas cryotherapy yang dikombinasikan dengan albendazole memberikan
angka keberhasilan terapi lebih tinggi (100%) dibandingkan penggunaan
albendazole sendiri (22%). (10) Pada wanita hamil yang menderita cutaneous
larva migrans penggunaan antelmintik tidak dianjurkan, sehingga penggunaan
cryotherapy merupakan terapi yang paling aman digunakan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Istilah ini digunakan pada kelainan kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan
kucing. 1
Pada beberapa sumber lain menyebutan dengan nama Creeping
eruption, creeping verminous dermatitis, sandworm eruption, plumberss
itch, duck hunters itch. Semua nama ini lebih ditunjukan ada gejala yang
timbul (gatal dan creeping dermatitis) yang dapat juga disebabkan oleh
beberapa jenis parasite yang lain. 2

B. EPIDEMIOLOGI
Cutaneus larva migrans (CLM) terdistribusi secara luas dan hampir
dapat ditemukan di wilayah tropic dan sub tropic, terutama bagian
tenggara Amerika Serikat, Caribia, Africa, Amerika tengah dan selatan,
India dan Asia tenggara. Beberapa aktivitas dapat meningkatkan resiko
infeksi, terutama yang berhubungan dengan tanah yang terkontaminasi
dengan kotoran hewan, seperti bermain di lapangan, berjalan tanpa alas
kaki di pantai, dan pekerjaan di bawah tanah yang harus dilakukan dengan
posisi merangkak.
Selain itu pekerja yang yang dalam kesehariannya terutama pekerja
di bidang pertanian yang tidak menggunakan sepatu memiliki resiko yang
2,4
lebih besar terkena CLM. Selain itu, juga dilaporkan kasus juga terjadi
pada daerah timur tengah. Dimana tempat yang panas dan kelembapan
yang cukup merupakan tempat yang baik baik persebaran infeksi cacing
ini. 6
C. ETIOPATOGENESIS
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang
binatang anjing dan kucing., yaitu Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum. Di Asia Timur umumnya disebabkan oleh
gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Enchinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia maxiales, dan
Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa
jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly.
Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidupya.
Nematoda hidup pada hospes, ovum terdapat pada kotoran
binatang dan karena kelembapan berubah menjadi larva yang mampu
mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan
tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal, setelah beberapa jam atau hari
akan timbul gejala di kulit.1,2. Namun dalam case report yang dilakukan
oleh Michael Arter disebutkan bahwa larva mungkin dapat dorman selama
beberapa bulan setelah infeksi.7

Gambar 1. Cutaneous larva migrans dorman


Michael et all. Dalam tulisannya menjelesakan mengenai cutaneous
larva migrans yang terjadi pada bayi di Adelaide Hill, Australias.
Disebutkan dalam tulisan tersebut bahwa di daerah tersebut tidak pernah
dilaporkan adanya kasus cutaneous larva migrans.Namun timbulnya kasus
ini pada 2010 menimbulkan hipotesis bahwa selain anjing dan kucing, ada
kemungkinan hewan semacam tupai dan kaki seribu sebagai sumber dari
larva nematode.8

Gambar 2. Cutaneus Larva Migrans pada bayi8

Manusia dapat terinfeksi dari parasite ini ketika berkativitas di


lingkungan yang terkont bagian yang lebih dalam dan akan mati dalam
beberapa hari dan bulan.2
Infeksi bakteri juga dapat terjadi dalam berapa kasus. Hal ini
diakibatkan dari hasil garukan yang dilakukan oleh pasien sendiri. Biasanya
terjadi pada orang dengan status ekonomi yang rendah dan sebagai
penyebab dari morbiditas.6

D. GEJALA KLINIS
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas.
Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni
lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3
mm, serta panjang 15-20 cm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul
yang eritomatosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di
kulit selama beberapa jam atau hari.1
Gambar 4. Cutaneus Larva Migrans2

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang


berkelok-kelok, polisiklik, serpinginosa, menimbul, dan membetuk
terowogan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya
lebih hebat pada malam hari. Selain itu juga dapat menimbulkan lesi
vesicular dan bula. 1,2

Gambar 5. Cutaneus larva migrans dengan lesi vesicular dan bula. 2

Tempat predileksi adalah di tungkai, telapak kaki, pinggang


panggul, pundak, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha, juga bagian
tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Satu
lesi yang muncul juga dapat berhubungan beberapa saluran tempat
masuknya cacing tersebut.1,3,4
Selain itu ditemukan beberapa temuan klinis lainya, seperti
foliculitis yang disebakan infeksi cacing. Pasien sering mengeluhkan gatal
dan adanya tanda creeping eruption. Folikulitis ini dapat terjadi pada 20-100
folikel dan dapat berupa papul dan pustul, sering terjadi pada beberapa
bagian tubuh saja seperti area pantat. Folikulitis ini juga dapat diikuti atau
tidak diikuti dengan adanya tanda-tanda serpiginious yang khas pada
cutaneus larva migrans.2

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Special Test. Tetap harus ditemukan adanya tanda-tanda creeping
eruption, dan riwayat terpapar atau riwayat berpergian ke daerah yang
mungkin dapat menularkan infeksi cacing ini. Penegakan dari folikulitis
cacing harus berdasarkan adanya penemuan klinis berupa pruritus folikulitis
yang disertai creeping eruption. Di lain pihak, terkadang perlu adanya
pemerikasaan histologis yang akan menenumkan nematoda yang terperangkap
di canal folikel, stratum corneum, maupun lapisan dermis disertai dengan
adanya infiltrat eosinophilic.
Anand et all menyebutkan dalam Journalnya yang berjudul Cutaneues
Larva Migrans: Diagnosis on Fine Needle Aspiration. Penulis melakukan
pemeriksaan sitologi dalam menegegakkan Cutaneus larva migrans. Dimana
ditemukan adanya cacing refracile yang panjang dengan kutikula yang tebal,
dikelilingi neurtophil dan histiosit. Penulis juga menyebutkan bahwa
penemuan eosinophil dan peningkatan Immunoglobulin E memang langka.

Gambar 6. Refractile parasite (MCG, 40x)9


Gambar 7. Inflamsi dermal dan subcutaneus (H&E, 10x)9

Gambar 8. Eosinophilic dan Neutrophilic infiltration (H&E,40x)9

F. DIAGNOSIS
Berdasarkan bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang
yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel
di atasnya.1

G. DIAGNOSA BANDING
Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan scabies,
pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti penyakit
ini. Bila melihat bentuk yang polisiklik sering dikacaukan dengan
dermatofitosis. Pada permulaan lesi berupa papul, karena itu sering diduga
insects bite. Bila invasi larva yang multiple timbul serentak, papul-papul lesi
dini sering menyerupai herpes zoster stadium permulaan.1
Selain itu juga pada pekerja di bidang pertanian dapat dipikirkan
beberapa diagnosis banding yang lain seperti tinea, leishmaniasis, dermatitis
kontak, erythema chronicum migrans, migratory myasis, larva currens,
gnathostomiasis, dan loaiasis. 4

H. PENGOBATAN
Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum
luas, misalnya tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 50 mg/kg
BB/hari, sehari 2x, diberikan berturut-turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3
gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Obat ini
sukar didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah. Eyster
mencobakan pengobatan topical solution tiabendazol dalam DMSO dan
ternyata efektif. Demikian pula pengobatan dengan suspense obat tersebut
secara oklusi selama 24-48 jam telah dicoba oleh Davis dan Israel.1
Obat lain ialah abendazol, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal,
diberikan 3 hari berturut-turut. Sumber lain menyebutkan dalam 5-7 hari. 1,3
Dapat juga diberikan single dose Ivermectin (200/kg BB) dapat membunuh
migrasi larva secara efektif dan mengurangi gatal secara cepat. Topikal
thiabendazole 10% cream, meskipun kurang efektif, namun dapat menjadi
terapi alternative pada anak-anak untuk mencegah adanya efek potensial dari
terapi sistemik.
Nesama et all menyebetukan juga bahawa kombinasi dari obat topical dan
sistemik terkadang dibutuhkan juga dalam pengobatan cutaneous larva
migrans.3,6Cara terapi ialah dengan cryotheraphy yakni menggunakan CO2
snow (dry ice) dengan penekanan 45 sampai 1, dua hari berturut-turut.
Penggunaan N2 liquid juga dicobakan. Cara beku dengan menyemprotkan
kloretil sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak
mengetahui secara pasti di mana larva berada, dan bila terlalu lama dapat
merusak jaringan sekitarnya.
Pengobatan cara lama dan sudak ditinggalkan adalah dengan preparat
atimon.1 Neseema et all menyebutkan dalam penelitian nya bahwa pengobatan
cutaneous larva migrans yang menggunakan kombinasi terapi anatara
albendazole (400 mg selama 7 hari) dan liquid nitrogen (1 sesi) lebih
berkhasiat dalam pengobatan. 6
I. KOMPLIKASI
Dari beberapa penelitian, juga didapatkan beberapa penemuan lain
yang berhubungan dengan keadaan sistemik, seperti wheezing, batuk,
urtikaria, peripheral eosinophilia (Loefneer Syndorome, larva dapat
penetrasi hingga bagian paru-paru menyebabkan pulmonary eosinophiilia
dan batuk lama), infiltrat pada paru-paru, peningkatan imunoglobulin E
yang mana ditemukan pada beberapa pasien yang terdiagnosis cutaneus
larva migrans.2,3,5

J. PREVENTIF
Dapat dicegah dengan menghidari kontak kulit langsung dengan
tanah yang terkontaminasi kotoran hewan.2 Ketika mengunjungi negara
tropis, terutama wilayah pantai dan area berpasir, area lembab, disarankan
menggunakan sepatu yang menutup seluruh bagian kaki. Serta
menghindari duduk dan tidur di area berpasir meskipun menggunakan
handuk sebagai alas.3

K. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan cutaneous larva migrans sangat baik.
Pada dasarnya merupakan suatu penyakit self limiting. Manusia
merupakan tempat end-host bagi parasit ini dan lesi akan bertahap hilang
dalam 4-8 minggu namun dalam beberapa kasus juga dapat selama 1
tahun.3
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. Ibnu
Usia : 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tikung Yaden
Tanggal Periksa : 05 Mei 2017
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Gatal-gatal
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
- Onset : 1 minggu yang lalu
- Lokasi : Kaki kanan
- Kronologis :Pasien mengeluhkan gatal-gatal sejak 1
minggu di kaki kanan. Terdapat bintil-bintil kemerahan di kaki
yang memanjang dan berkelok-kelok pada daerah yang gatal.
Selain gatal, bintil-bintil tersebut kadang terasa panas. Awalnya
bintil berjejer kurang dari 2 cm dan semakin bertambah
panjang setelah digaruk. Pasien juga merasakan seperti ada
yang berjalan di kaki nya dan jika di garuk terasa pedih. Pasien
merasa gatal sekali sehingga mengganggu aktivitas pasien dan
keluhan gatal dirasakan terus-menerus. Pasien juga
mengeluhkan pusing berputar dan mual sudah sejak 3 hari.
Muntah (-), BAB dan BAK dalam batas normal.
- Faktor memperberat: (-)
- Faktor memperingan: (-)
- Gejala penyerta : Keluhan gatal disertai dengan rasa nyeri
dan panas.
c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
- Keluhan gatal yang sama : 1 tahun yang lalu
- Vertigo : 6 bulan yang lalu
- Lipoma : 6 bulan yang lalu
- Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
- Keluhan yang sama dengan pasien : disangkal
- Asma : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri. Pasien bekerja sebagai pekerja
bangunan dan secara rutin setiap hari. Pasien mengaku jarang
memakai alas kaki saat bekerja.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum / kesadaran : sedang / komposmentis
b. Tanda vital : TD = 110/70; N = 88x/menit; RR = 20x/mnt;
S = tidak dilakukan pengukuran
c. Berat Badan = 64 kg; Tinggi Badan = 165 cm
d. Status Generalis
o Kepala : dalam batas normal
o Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
o Hidung : napas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
o Telinga : simetris, discharge (-/-)
o Mulut : bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)
o Thoraks : bentuk normal, simetris, retraksi (-),
ketinggalan gerak (-)
o Cor/Pulmo : dalam batas normal
o Abdomen : dalam batas normal
e. Status Lokalis (Dermatologis)
o Regio cruris dextra
Efloresensi: Kanalikuli berkelok-kelok menimbul,
diameter 2-3 mm, dengan permukaan eritem.

D. RESUME
Pasien laki-laki berusia 31 tahun datang ke poli umum puskesmas
toboali dengan keluhan gatal di kaki sejak 1 minggu SMRS. Pasien
mengaku gatal dirasakan sepanjang hari sehingga menggangu
aktivitasnya. Gatal bertambah berat saat berkeringat. Keluhan gatal
disertai dengan rasa nyeri dan panas. Pada pemeriksaan status
dermatologis, didapatkan kanalikuli berkelok-kelok menimbul,
diameter 2-3 mm, dengan permukaan eritem.

E. DIAGNOSIS KERJA
Creeping Eruption / Cutaneus Larva Migrans

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Skabies
2. Tinea pedis
3. Strongiloidiasis
4. Dermatitis alergika

G. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Mencari larva dari ujung ruam

H. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis
- Edukasi tentang creeping eruption, perjalanannya dan
pengobatannya.
- Anjuran untuk tidak menggaruk bila gatal.
- Mengenakan alas kaki untuk mencegah kontak langsung
dengan tanah yang tercemar kotoran binatang.
- Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari area
aktivitas manusia.
- Pemantauan efek samping pengobatan.

2. Farmakologis
- Albendazol 400 mg 1x1 tab selama 3 hari
- Cetirizine 1x10 mg
- Antasida 3x 1 tab ac
- Ibuprofen 400 mg 3x1 tablet selama 3 hari

I. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Ad bonam
2. Ad fungsionam : Ad bonam
3. Ad sanationam : Ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Puskesmas Toboali terletak di Kecamatan Toboali dengan luas wilayah
kerja 1.460,36 km2. Kecamatan Toboali secara administratif terbagi menjadi 11
Desa/Kelurahan yaitu Rias, Teladan, Tanjung Ketapang, Toboali, Kepoh, Rindik,
Kaposang, Gadung, Bikang, Jeriji dan Serdang. Secara Geografis Kecamatan
Toboali berbatasan dengan Kecamatan Air Gegas di sebelah Utara dan Barat,
Selat Bangka di sebalah Selatan, Selat Gaspar dan Tukak Sadai di sebelah Timur.
Lokasi yang berbatasan dengan laut tersebut menjadikan 5 dari 11 desa di
Kecamatan Toboali merupakan desa pesisir. Sedangkan mata pencaharian
penduduk di wilayah kerja Puskesamas Toboali cukup beragam, petani, nelayan
dan industri adalah mata pencaharian terbayak di wilayah kerja Puskesmas
Toboali.
Pada rentang waktu antara Januari 2017 s/d Mei 2017 terdapat 5 kasus
baru Cutaneus Larva Migrains di Puskemas Toboali yang terdiri dari 3 pasien
anak dan 2 pasien dewasa.
Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap pasien laki-laki pada
tanggal 5 Mei 2017 di Puskesmas Toboali. Pada anamnesis didapatkan, Pasien
mengeluhkan gatal-gatal sejak 1 minggu di kaki kanan. Terdapat bintil-bintil
kemerahan di kaki yang memanjang dan berkelok-kelok pada daerah yang gatal.
Selain gatal, bintil-bintil tersebut kadang terasa panas. Awalnya bintil berjejer
kurang dari 2 cm dan semakin bertambah panjang setelah digaruk. Pasien juga
merasakan seperti ada yang berjalan di kaki nya dan jika di garuk terasa pedih.
Beberapa hari kemudian keluhan tersebut bertambah dan membentuk terowongan
yang berkelokan. Pada pemeriksaan fisik dermatologis, tampak adanya papul
eritematous, jumlah multiple, konfigurasi linear dan serpiginosa membentuk
terowongan, dengan distribusi bilateral. Berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaann fisik dermatologis, maka diagnosis banding yaitu, cutaneous larva
migrans, skabies, tinea korporis, strongyloidiasis, dan dermatitis alergika.
Cutaneous larva migrans merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh
migrasi larva cacing tambang ke dalam kulit. Larva tersebut menginfeksi manusia
sebagai host yang disebabkan oleh kontak manusia pada tanah yang
terkontaminasi dengan larva tersebut. Selama berada dilapisan kulit tersebut, larva
akan berjalan setelah hari ke-4 membentuk terowongan pada kulit memberikan
gambaran papul eritematous dengan konfigurasi linear dan/atau serpiginosa
bermigrasi 1-2 cm per hari. Tanda awal adalah papul yang gatal yang bermigrasi
menjadi konfigurasi yang berkelok-kelok. Larva yang menembus kulit yang
masih utuh akan hidup dilapisan dermis dan terkadang berada dilapisan atas
dermis selama 1 sampai 3 bulan dan mati karena tidak mampu bertahan dan
melajutkan siklus hidup pada host manusia.. Bahkan pada beberapa penelitian
dikatakan bahwa larva dapat bertahan selama lebih dari satu tahun.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pada
kasus cutaneous larva migrans adalah pemeriksaan histopatologi. Diharapkan
hasil dari pemeriksaan histopatologi pada cutaneous larva migrans didapatkan
adanya larva pada canal folikel, stratum korneum, atau lapisan dermis, bersamaan
dengan infiltrasi eosinofil. Pemeriksaan histopatologi tidak harus selalu dilakukan
dikarenakan diagnosis sudah dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Scabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu/tungau/mite
Sarcoptes scabiei varian hominis yang memiliki siklus kehidupan sepenuhnya
berada di dalam epidermis. Gejala berupa pruritus dengan distribusi lesi dan
riwayat epidemiologi yang khas. Pruritus muncul biasanya pada malam hari
setelah 4-6 minggu masa inkubasi. Lesi dapat ditemukan pada sela-sela jari,
pergelangan tangan, sisi telapak tangan, siku, aksila, lipatan-lipatan tubuh,
skromtum, penis, labia dan areola pada wanita. Gambaran patogmonis berupa
terowongan berdinding tipis yang berkelok-kelok dan/atau linear dengan panjang
1-10mm, disebabkan perpindahan kutu pada stratum korneum, dan terdapat
vesikel pada salah satu ujung yang berdekatan dengan kutu yang sedang menggali
terowongan, dan dikelilingi eritema ringan. Pemeriksaan kerokan kulit digunakan
untuk mengidentifikasi adanya kutu, telur atau scybala (feces).
Tinea pedis merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur
yang lokasinya berada di kaki. Gejala klasik dari tinea corporis adalah berbentuk
lesi plak eritematous aktif, berbatas tegas seperti cincin atau serpiginosa.
Strongyloidiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang
(round worm) dengan manusia sebagai satu-satunya host untuk berkembang-biak.
Selama fase infeksi, manifestasi terhadap kulit umumnya muncul yaitu berupa
erupsi urtikaria atau larva currens. Larva currens merupakan lesi pruritus dengan
konfigurasi serpiginosa. Berbeda dengan cutaneous larva migrans, kecepatan
migrasi dapat mencapai 5-10 cm perjam dan menghilang setelah beberapa jam.
Penegakkan diagnosa berdasarkan karakteristik gambaran klinis. Ditemukannya
larva pada feses, isi usus halus, dan cairan tubuh lainnya dapat menegakkan
diagnosa. Biopsi kulit umumnya gagal untuk menemukan adanya larva, namun
pada pemeriksaan ini akan ditemukan adanya gambaran purpura dan lesi petikie
dengan hiperinfeksi.
Dermatitis alergika merupakan kelainan kulit yang berupa eczema papul,
vesikel, dan rasa gatal. Gambaran lesi berupa papul konfluen, vesikel, erosi, dan
krusta, dan terdapatnya rasa gatal. Penyakit ini ditegakkan berdasarkan adanya
riwayat terpapar alergen, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
patch test, tes provokatif, dan photopatch test.
Tabel 1. Diagnosa Banding

Alasan Deskripsi
No Diagnosis Definisi Gambar
Diagnosis Lesi
1 Cutaneous larva Tampak lesi Cutaneous Larva Tampak
migrans pruritus disertai migrans papul
bengkak merupakan eritematous,
kemerahan pada kelainan kulit jumlah
kulit yang yang disebabkan multiple,
berkelok-kelok. oleh migrasi konfigurasi
Awalnya kedua larva cacing lineardan
tangan dan paha tambang ke serpiginosa
pasien terasa dalam kulit. membentuk
bengkak, panas terowongan,
dan merah tanpa dengan
adanya distribusi
gambaran bilateral.
kelokan
didapatkan
setelah pasien
pulang bertani.
Beberapa hari
kemudian
keluhan tersebut
bertambah dan
membentuk
kelok-kelokan
2 Scabies Lesi dapat Scabies Tampak
ditemukan pada merupakan papul
sela-sela jari, penyakit kulit dengan
pergelangan yang disebabkan ekskoriasi
tangan, sisi oleh dan krusta,
telapak tangan, kutu/tungau/mite jumlah
siku, aksila, Sarcoptes multiple,
lipatan-lipatan scabiei varian konfigurasi
tubuh, hominis yang linear
skromtum, memiliki siklus membentuk
penis, labia dan kehidupan terowongan,
areola pada sepenuhnya dengan
wanita. berada di dalam distribusi
Gambaran epidermis bilateral
patogmonis
berupa
terowongan
berdinding tipis
yang berkelok-
kelok dan/atau
linear dengan
panjang 1-
10mm,
disebabkan
perpindahan
kutu pada
stratum
korneum, dan
terdapat vesikel
pada salah satu
ujung yang
berdekatan
dengan kutu
yang sedang
menggali
terowongan,
dan dikelilingi
eritema ringan
3 Tinea Pedis Adanya rasa Tinea Pedis Tampak
gatal yang merupakan plak
dialami pasien kelainan kulit eritematous,
dan terdapat yang disebabkan disertai
lesi yang oleh infeksi central
bentuk jamur yang healing dan
serpiginosa lokasinya berada terdapat
di kaki pustula atau
vesikel pada
bagian
tepinya,
jumlah
multiple dan
konfigurasi
annular

4 Strongyloidiasis Lesi berupa Strongyloidiasis Tampak lesi


erupsi urtikaria merupakan berupa
atau larva infeksi yang erupsi
currens yaitu disebabkan oleh urtikaria
merupakan lesi cacing gelang dengan
pruritus dengan (round worm) konfigurasi
konfigurasi dengan manusia serpiginosa.
serpiginosa. sebagai satu-
satunya host
untuk
berkembang-
biak. Selama
fase infeksi,
manifestasi
terhadap kulit
umumnya
muncul yaitu
berupa erupsi
urtikaria atau
larva currens
1
2

5 Dermatitis Adanya rasa Dermatitis Adanya lesi


Alergika gatal yang alergika berupa
dialami pasien merupakan papul
dan terdapat lesi kelainan kulit konfluen,
yang berbentuk yang berupa vesikel,
papul. eczema papul, erosi, dan
vesikel, dan rasa krusta, dan
gatal terdapatnya
rasa gatal

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dermatologi, didapatkan


riwayat pasien terpapar oleh tanah saat pasien mengerjakan pekerjaannya sebagai
seorang petani dan didapatkan lesi pruritus dengan gambaran papul eritematous
konfigurasi linear dan serpiginosa yang membentuk terowongan dengan jumlah
multiple pada regio tungkai dan tangan, sehingga diagnosis klinis yang ditegakkan
pada pasien ini adalah cutaneous larva migrans.
Pasien bekerja sebagai petani dan sangat jarang menggunakan alas kaki
dan sarung tangan. Pada penelitian yang dilakukan di Manaus, Brazil tahun 2016,
Reichert F. dkk. mendapatkan angka penderita cutaneous larva migrans yang
disebabkan oleh cacing tambang lebih banyak pada kelompok yang tidak
menggunakan alas kaki (26,1%) dibandingkan kelompok yang selalu
menggunakan alas kaki saat berjalan dilingkungan bertanah dan berpasir (1,5%).
Infeksi cutaneous larva migrans bersifat self-limited dan dapat sembuh
sendiri setelah kematian larva karena tidak mampu bertahan hidup didalam tubuh
host manusia. Pengobatan diberikan oleh karena gejala pruritus yang berat dan
lama, dan meningkatnya risiko infeksi oleh karena ekskoriasi yang disebabkan
garukan. Tatalaksana gold-standard cutanous larva migrans adalah antiparasitik,
ivermectin. Pada beberapa penelitian, efektifitas ivermectin dibandingkan
albendazole menunjukkan bahwa ivermectin memiliki tingkat keberhasilan terapi
lebih tinggi (100%) dibandingkan albendazole (46%). Pemberian tiabendazole
15% memberikan angka keberhasilan terapi mencapai 98%, namun memiliki
angka keberhasilan yang kecil jika didapatkan lesi yang multipel dan terapi ini
lebih mahal. Ivermectin diberikan dengan dosis 200g/kg setiap hari selama 3
hari. Albendazole diberikan dengan dosis 400 atau 800 mg setiap hari selama 3
hari. Pemberian Tiabendazole atau albendazole 10% 3 kali sehari selama 5 hari.
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Kortikosteroid salep dan antihistamin oral dapat diberikan untuk mengurangi
gejala inflamasi dan pruritus walaupun bukan merupakan modalitas terapi utama
dalam mengobati cutaneous larva migrans. Terapi yang diberikan pada pasien ini
berupa albendazole 400 mg singledose dan chloretil spray. Penggunaan chloretil
sebagai terapi cryotherapy tidak direkomendasikan oleh beberapa sumber dimana
sangat sulit menentukan lokasi larva serta prosedur ini biasanya akan memberikan
rasa nyeri. Meskipun memiliki efek samping, penelitian di Pakistan menunjukkan
bahwa efektivitas cryotherapy yang dikombinasikan dengan albendazole
memberikan angka keberhasilan terapi lebih tinggi (100%) dibandingkan
penggunaan albendazole sendiri (22%). (10) Pada wanita hamil, penggunaan
antelmintik merupakan kontraindikasi, sehingga penggunaan cryotherapy
merupakan terapi yang paling aman digunakan. Cara penggunaan cryotherapy
(nitrogen cair dan chloretil) adalah dengan menyemprotkan nitrogen cair/chloretil
spray pada seluruh lesi selama 30-60 detik.
Prognosis pada kasus cutaneous larva migrans dari quo ad vitam, quo ad
fungtionam, dan quo ad sanactionam pada umumnya baik karena bersifat self-
limited disease.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Berdasarkan pengumpulan data yang kami peroleh, terdapat 5 kasus baru


Cutaneus Larva Migran pada rentang waktu Januari 2017 sampai
dengan Mei 2017, yang terdiri dari 3 orang dewasa dan 2 orang anak-
anak
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengobatan yang dilakukan pada Tn.
I di Puskesmas Toboali, didapatkan kesesuaian antara teori dan
pemeriksaan dan pengobatan yang dilakukan

B. SARAN

1. Memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di wilayah


kerja Puskesmas Toboali tentang penyakit Cutaneus Larva Migran
2. Memastikan ketersediaan obat penyakit Cutaneus Larva Migran di
Puskesmas Toboali
DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah, Siti. 2008. Creeping Eruption, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI. Hal 125-126
2. Mary Elizabeth Wilson.2008. Helminthic Infections, Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine Seventh Edition. McGrawHill : United
States Of America. Hal 2011-2029
3. Vano Galvan, Sergio. Gil-Mosquera et all. 2009. Case Report Cutaneous
Larva Migrans : A Case Report. Biomed Central 2:112.
4. F.Conde, Jeniifer. Feldman, Steven et all. 2007. Cutaneous Larva Migrans
in a Migrant Latino Farmworker. Journal of Agromedicine, 12:2,45-48
5. Supples, Suzanne. Gupta, Shobbit et all 2013. Creeping eruptions:
Cutaneous Larva Migrans. Journal of Community Hospital Medicine.
6. Neseema, Kapadia. Borhany, Tesneem. Forooqui, Maria. 2013. Use of
Liquid Nitrogen and Albendazole in Succesfully treating Cutaneous Larva
Migrans. Journal of the Collage of Physicians and Surgeons Pakistas 2013,
23(5) : 319-321
7. Arcer, Michael. 2009. Late Presentation of Cutaneous Larva Migrans : A
case report. Case Journal 2:7533
8. Black, Michael. Grovee, David et all. 2010. Case Series Cutaneous Larva
Migrans in infant in the Adelaide Hills. Australasian Journal of
Dermatology (2010) 51 : 281-284
9. Anand. Sowmya. 2013. Cutaneous Larva Migrans : Diagnosis on Fine
Needle Aspiration. International Journal of Recent Trends in Science and
Tecnology. 9:2

Anda mungkin juga menyukai