Sebuah wacana 16 tahun yang lalu yang sudah merupakan pertanda bahwa Indonesia harus siap
untuk menghadapi kenyataan seperti yang terjadi saat ini. Ternyata sampai saat ini bangsa kita
masih belum siap untuk hal itu. Bangsa kita masih menjadi pengekor kebijakan ekonomi luar
negeri, kita terlena dengan gegap gempita reformasi politik, kita lupa infrastruktur ekonomi,
bahkan kita kalah oleh China yang sudah sangat siap memenangkan pertarungan ekonomi di
masa mendatang.
Dunia pendidikan di Indonesia pada akhir 90-an dan awal 2000-an, 10 tahun terakhir gegap
gempita melakukan perubahan paradigma pendidikan yang semula TEACHING menjadi
LEARNING, yang semula teacher centered menjadi student centered. Kurikulumpun terjadi
perubahan, dari Kurikulum 1994 menjadi Suplemen Kurikulum 1999, kemudian menjadi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004), menjelma lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP-2006) seiring terbitnya Permen Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Istilah berubah, metode berubah, peraturan berubah, gurupun harus juga berubah. Tapi siapkah
kita kemarin-kemarin untuk berubah mengantisipasi itu? Benarkan keprofesionalan kita adalah
hasil kesiapan yang benar-benar siap? Bukan sekedar pengekor sebagai penumpang terakhir di
gerbong paling akhir.
Paradigma pertama, kata Mendiknas, adalah HAK BELAJAR. Wajib belajar sembilan tahun
bergeser menjadi hak belajar sembilan tahun. “Masyarakat, warga bangsa, punya hak untuk
menuntaskan sembilan tahun itu. Kalau itu menjadi hak maka kita semua, pemerintah, negara,
harus menyiapkan mulai dari sarana, prasarana, dan bisa kita jamin bahwa siapapun bisa
menuntaskan sembilan tahun untuk belajar,” katanya.
Jika perubahan paradigma yang pertama lebih menjurus ke arah personal (guru dan siswa), maka
pergeseran paradigma kedua lebih menjurus ke arah lembaga (instansi dan sekolah). Jika
kemarin-kemarin mungkin juga sampai sekarang dan yang akan datang kita dikejar dengan
merubah cara-cara kita memberikan pelayanan pembelajaran (kita dituntut untuk profesional
sebagai guru), maka ke depan lembaga kita (SMP Negeri 3 Krian) akan dikejar untuk
memberikan layanan-layanan sesuai pergeseran paradigma pendidikan di Indonesia.
Di sinilah masalahnya! Kita sebagai manusia yang sudah sangat menikmati zona nyaman,
kadang tidak mau mengambil resiko dengan wacana-wacana baru. Wacana baru yang
melahirkan teori-teori barupun kadang tidak dianggap (disepelekan). Jika hal tersebut masih
terjadi, kondisi yang terjadi adalah kita tetap berada pada posisi pengekor sebagai penumpang
terakhir di gerbong paling akhir. Tidak pernah berdiri di depan! Seandainyapun kita berhasil
atau berada pada predikat A, itupun karena fasilitas bukan kualitas. Mampukah kita berdiri di
depan sebagi pelaku bukan peniru, sebagai pelopor bukan sebagai pengekor?