Anda di halaman 1dari 25

ISLAM DAN PANCASILA

MEWUJUDKAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM BERMASYSRAKAT DAN


BERNEGARA

Dosen Pengampu : Romi Faslah M.Si

Oleh:
SAFIRA UMAR 14510116

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
MALANG
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SAW karena atas berkat, rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa sholawat serta
salam atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah diutus kemuka bumi ini sebagai
Rahmatanlil Alamin.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) Pancasila
dan Kewanegaraan dalam membahas ISLAM DAN PANCASILA: MEWUJUDKAN NILAI-
NILAI PANCASILA DALAM BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA. Dimana dalam
makalah ini diharapkan lebih membuka wawasan berpikir di bidang terkait denganya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi kita semua dan bermanfaat
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Malang, 24 Maret 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
BAB II MEWUJUDKAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM
BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA 2
2.1 Bentuk Penghayatan Pancasila 2
2.2 Nilai-Nilai dan Pedoman Dasar Pengamalan Pancasila 3
2.3 Prespektif Islam terhadap Nilai Sila-Sila yang Terkandunng dalam Pancasila 8
2.4 Bentuk- bentuk Aktualisasi Pancasila 12
2.4.1 Aktualisasi dalam Pembangunan Nasional 12
2.4.2 Aktualisasi Dasar Filsafat Negara 16
BAB III KESIMPULAN 21
3.1 Kesimpulan 21
DAFTAR PUSTAKA 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila sebagai pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa dan yang
merupakan cerminan dari jiwa bangsa Indonesia, diterima sebagai dasar negara yang mengatur
hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam
rumusan yang agak berbeda, namun dalam tiga buah konstitusi yang pernah dimiliki negara
Indonesia (yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, dalam Mukaddimah KRIS 1949, dan dalam
Makaddimah UUD Sementara 1950) Pancasila tetap tercantum di dalamnya sebagai dasar
negara. Pancasila yang selalu dikukuhkan dalam pegangan bersama saat-saat terjadi krisis
nasional dan acaman terhadap eksistensi bangsa Indonesia, merupakan bukti sejarah bahwa
Pancasila memang selalu dikehendaki oleh bangsa Indonesia sebagai dasar filsafat negara,
karena ia sebenarnya telah tertanam dalam hati bangsa Indonesia, di dalamnya terkandung
nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya, oleh karena itu ia juga merupakan dasar filsafat
negara yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.

Jika diperhatikan secara mendalam, suatu bangsa dapat hidup dan berkembang dengan
integritas dan kepribadian yang kuat, apabila memiliki suatu pandangan hidup yang dimengerti,
dihayati, dan diamalkan oleh pendukung-pendukungnya atau warga-warganya, apabila
dirumuskan dari sifat-sifat fundamental serta nilai-nilai luhur yang merupakan jiwa bangsa,
tercermin ke luar sebagai kepribadian bangsa dan terjabar dengan bahasa yang jelas sehigga
dapat dimengerti oleh warga bangsa. Dengan demikian diharapkan, pandangan hidup yang
mengandung nilai-nilai luhur tersebut bermanfaat untuk hidup sehari-hari dan diamalkan
dengan cara yang benar.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan apa saja bentuk Pengahayatan Pancasila?
2. Jelaskan bagaimana Nilai-nilai dan Pedoman Dasar Pengamalan Pancasila?
3. Jelaskan bagaimana prespektif Islam terhadap nilai sila-sila yang terkandunng dalam
Pancasila?
4. Jelaskan apa saja bentuk- bentuk aktualisasi Pancasila?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan apa saja bentuk Penghayatan Pancasila
2. Menjelaskan bagaimana Nilai-nilai dan Pedoman Dasar Pengamalan Pancasila
3. Menjelaskan bagaimana prespektif Islam terhadap nilai sila yang terkandung dalam
Pancasila
4. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk aktualisasi Pancasila
BAB II
MEWUJUDKAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM BERMASYARAKAT DAN
BERNEGARA

2.1 Bentuk Penghayatan Pancasila

Penghayatan Pancasila secara sistematik ini dimulai dari pemikiran tentang jiwa bangsa
Indonesia sampai dapat dinyatakan sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia yang merupakan
fungsi dan kedudukan Pancasila, yakni:

1. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa Indonesia


Menurut Darmodiharjo (1981) (dalam Margono, 2012:22) Pancasila sebagai
jiwa bangsa Indonesia lahir bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia. Bakry
(2010:295) dalam bukunya mengungkapkan bahwa Pancasila sebagai jiwa bangsa
Indonesia merupakan sumber daya bangsa Indonesia.
2. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia
Bakry (2010:296) Ciri-ciri khas yang merupakan perwujudan jiwa bangsa
inilah yang disebut kepribadian bangsa, dan kepribadian bangsa Indonesia adalah
Pancasila. Margono (2012:21) Pancasila adalah kepribadian bangsa yang digali dari
nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan budaya bangsa
Indonesia.
3. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
Ditinjau dari segi materinya Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai
luhur yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yang di yakini kebenarannya dan
menimbulkan tekad bangsa untu mewujudkannya. Kepribadian bangsa yang menjelma
sebagai pandangan hidup ini secara langsung dapat juga menentukan tujuan hidup bagi
bangsa Indonesia. (Bakry, 2010)
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia telah mampu
mempersatukan bangsa yang pluralis dan multikultural serta memberikan petunjuk
dalam mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. (Margono, 2012:19)
4. Pancasila sebagai sarana tujuan hidup bangsa Indonesia
Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan dunia dan kebahagiaan sempurna.
Kebahagiaan hidup yang ingin dicapai dengan Pancasia adalah kebahagiaan hidup yang
selaras serasi dan seimbang, baik dalam manusia pribadi, dalam hubugan manusia
dengan masyarakat, dalam hubungan daam hubungan manusia dengan alam semesta,
dalam hubungan manusia dengan Tuhannya sekaligus dalam menciptakan tata
masyarakat adil dan makmur atas dasar pertimbangan hikmat Tuhan dan kebijaksanaan
bangsa Indonesia. (Bakry, 2010:297)
5. Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia
Untuk menyesuaikan pandangan hidup terhadap tujuan hidup yang ingin
dicapai Pancasila, maka cara pelaksanaan dan pengamalan Pancasila itu sendiri yang
merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia. Dengan berpedoman Pancasila berarti
juga memelihara nilai-nilai luhur yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia yang
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan meneruskan ke generasi berikutnya
dengan menyesuaikan perkembangan masyarakat modern. (Bakry, 2010:298)
Pancasila sebagai pandangan hidup secara langsung berfungsi sebagai pedoman
dan petunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam segala kegiatan dan aktivitas dalam
segala bidang. (Margono, 2012:19)

2.2 Nilai-Nilai dan Pedoman Dasar Pengamalan Pancasila


1) Nilai-nilai Luhur Pancasila

Menurut Prof. Notonagoro, salah seorang pemikir Indonesia yang mengembangkan


Pancasila secara kefilsafatan membagi nilai menjadi tiga kategori. Pembagian ini
menempatkan segi kegunaan sebagai asas pertama tentang nilai, yakni:

1. Nilai material, yaitu segala yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
2. Nilai vital, yaitu segala sesutau yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas..
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai
kerohanian dibedakan atas empat macam:
a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal manusia (cipta), misal pertanyaan-
pertanyaan di bidang ilmiah.
b. Nilai kebaikan yang bersumber pada unsur kehendak manusia (karsa), misal hidup
sejahtera, menyumbang yang terkena bencana lam.
c. Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (rasa), misal menikmati
hasil karya seni, menikmati pemandangan alam
d. Nilai religius, merupakan nilai Ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang
tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia
terhadap adanya Tuhan. Nilai religi itu berhubungan dengan nilai penghayatan yang
bersifat transendental, dalam usaha manusia manusia untuk memahami arti dan
makna dunia. (Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1993:23)

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tergolong nilai kerohanian, tetapi nilai
kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan kata lain: Pancasila
tergolong nilai kerohanian itu di dalamnya terkandung pula nilai-nilai lain secara lengkap dan
harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran (logik), nilai kebaikan, nilai keindahan,
maupun nilai religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan sila-sila Pancasila yang sistematik-
hierarkis, yang di mulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai dengan sila Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (Bakry, 2010:303)

Bakry (2010:305) dalam bukunya memaparkan nilai-nilai yang terandung dalam sila-
sila Pancasila merupakan sekumpulan kesatuan nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya
atau sudah dinyatakan benar, yang kemudian dijabarkan dalam Pedoman Pengamalan
Pancasila.

1. Sila pertama dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, terkandung nilai-nilai
religius, antara lain:
a. Keyakian terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-Nya
Yang Maha Sempurna
b. Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjalankan semua perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya.
c. Kepercayaan adanya nilai-nilai suci dari ajaran agama yang harus ditaati demi
kebahagiaan hidup manusia
d. Nilai ketuhanan sebagai nilai religius meliputi dan menjiwai kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan
2. Sila kedua dengan rumusan Kemanusiaan yang adil dan beradab, terkandung
niali-nilai kemanusiaan antara lain:
a. Pengakuan terhadap adanya harkat dan martabat manusia dengan segala hak
asasinya.
b. Perlakuan adil terhadap sesama dengan memperlakuakn dan memberikan
sesuatu yang telah menjadi haknya.
c. Manusia beradab dengan cipta, rasa, karsa dan keyakinan sebagai landasan
bertindak sesuai niali-nilai hidup manusiawi.
d. Nilai kemanusiaan diliputi dan dijiwai ketuhaan serta meliputi dan menjiwai
persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
3. Sila ketiga dengan rumusan Persatuan Indonesia, terkandung nilai-nilai persatuan
dan kebangsaan, antara lain:
a. Persatuan sekelompok manusia yang menjadi warga negara Indonesia dengan
dasar cita-cita hidup bersama.
b. Bangsa Indonesia adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia.
c. Semangat keBhinneka Tunggal Ikaan suku bangsa memberikan arah dalam
pembinaan keesatuan bangsa.
d. Nilai persatuan diliputi dan dijiwai ketuhanan dan kemanusiaan, meliputi dan
menjiwai kerakyatan dan keadilan.
4. Sila keempat dengan rumusan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan, terkandung nilai-nilai
kerakyatan antar lain:
a. Kedaulatan negara di tangan rakyat dipimpin oleh hikmat kebijaksaan
berlandaskan penalaran yans sehat.
b. Manusia Indonesia sebagai warga negara mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama.
c. Musyawarah mufakat dalam kenegaraan oleh wakil-wakil rakyat demi
kebersamaan dengan dasar kekeluargaan.
d. Nilai kerakyatan diliputi dan jiwai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, serta
meliputi dan memjiwai keadilan.
5. Sila kelima dengan rumusan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
terkandung nilai keadilan sosial, antar lain:
a. Keadilan dalam kehidupan sosial meliputi semua bidang kehidupan nasional
untuk seluruh rakyat Indonesia.
b. Cita-cita masyarakat adil makmur, material dan spiritual, merata bagi seluruh
rakyat Indonesia.
c. Keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta cinta kemajuan dan
pembangunan yang selaras serasi dan seimbang.
d. Nilai-nilai keadilan sosial diliputi dan dijiwai oleh sila ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, dan kerakyatan.
2) Pedoman Dasar Pengamalan Pancasila

Perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dituangkan dalam hukum


dasar Negara yang merupakan penjelmaan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan
pengamalan Pancasila dalam kenegaraan yang sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai Pancasila.
(Bakry, 2010:291)

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 merupakan kerangka dasar, memberi petunjuk


nyata dan jelas wujud pengamalan kelima sila dan wujud pengaktualisasian Pancasila.
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila itu dituangkan dalam rumusan sederhana
dan jelas, yang mencerminkan suara hati manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila yang
mampu secara terus-menerus meggelorakan semangat, sehingga pedoman itu dapat diresapi,
dihayati, dan diamalkan. (Laborarorium Pancasila IKIP Malang, 1993:63)

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antar pemeluk
agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan yang Yang Maha Esa.
d. Mengembangkan saling hormat-menghormati kemerdekaan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
e. Menghargai setiap bentuk ajaran agama, dan tidak boleh memaksakan suatu
agama dan kepercayaan kepada orang lain. (Bakry, 2010:316)
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab:
a. Mengakui dan memeperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Yang Maha Esa.
b. Memandang persamaaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia
antara sesama manusia tanpa membedakan suku keturunan dan kedudukan
sosial
c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tepa selira dan tidak
semena-mena terhadap orang lain.
d. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-
kegiatan kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan.
e. Merasa sebagai bagian dari seluruh umat manusia dan karena itu berkewajiban
mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-
bangsa lain. (Bakry, 2010:316)
3. Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia, sehingga sanggup dan rela berkorban
untuk kepentingan negara dan bangsa, apabila diperlukan.
c. Bangsa sebagai bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia dalam rangka
memelihara ketertiban dunia.
d. Mengembangkan rasa persatuan dan kesatuan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika
dalam memajukan pergaulan hidup bersama. (Bakry, 2010:317)
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan
perwakilan.
a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan,
hak dan kewajiban yang sama.
b. Keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih diadakan
musyawarah, dan keputusan musyawarah diusahakan secara mufakat, diliputi
oleh semangat kekeluargaan.
c. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah dan
melaksanakannya dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab.
d. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan hati nurani yang luhur, dengan
mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, serta tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain.
e. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,
serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. (Bakry, 2010)
5. Sila keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
a. Menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial
dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
b. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
c. Bersikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
d. Memupuk sikap suka memberi pertolongan kepada orang lain yag
membutuhkan, tidak menggunakan hak milik untuk pemerasan, bergaya hidup
mewah dan perbuatan lainnya yang berkepentingan umum.
e. Memupuk sikap bekerja keras dan menghargai karya orang lain yang
bermanfaat, serta berusaha bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata
dan kesejahteraan bersama. (Bakry, 2010:318)

2.3 Prespektif Islam Terhadap Nilai Sila-Sila Yang Terkandunng Dalam Pancasila
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Kahin dan Dahm (dalam Hamid, 2001:57) mengungkapkan bahwa konsep Ketuhanan
Yang Maha Esa tidak lain adalah apa yang disebut dengan tauhid demikian antara lain
berbunyi Keputusan Muktamar Nahdatul Ulama ke-26 di Situbondo pada tahun 1984. Tafsir
ini tidak dimaksud untuk menafikan hak hidup agama-agama lain yang diatur di Indonesia.
Karena tauhid itulah keyakinan yang terdalam dan yang paling awal dari semua agama-
agama yang ada di dunia.

Dalam Al-Quran juga dijelaskan mengenai ke-Esaan Allah SWT yang tertuang dalam
surat Al-Anbiya (21) ayat 25:



..

dan tidak pernah mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka
sembahlah olehmu sekalian akan aku..." ( QS. al-anbiya (21): 25)

Akidah ke-Esan Tuhan (tauhid) tersebut tidak tergoyahkan meskipun kita tahu masing-
masing umat punya cara keberagaman yang berbeda:







)(

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah
kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah
dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk
patuh (kepada Allah) (QS. Al-Hajj )22(: 34)
Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT, meski dengan idiom yang
berbeda tetapi menjadi inti keimanan setiap umat meskipun dengan tata cara dan tempat ibadah
yang berbeda-beda:

...



..


..dan Sekiranya tidak ada pembelaan Allah atas keganasan sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah. (QS. al-Hajj (22): 40).

Sedangkan menurut Masudi (2013:33-35) mengungkapkan bahwa semua agama, pada


dasarnya dan pada mulanya, mendoktrinkan keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa
(tauhid). Perbedaannya, jika harus disebut demikian, adalah dalam penyebutannya dan
kelugasan konseptualisasinya. Yang pasti semua agama meyakinin bahwa segala sesuatu
berawal dari yang esa yang satu yang maha baik, yang maha segalanya. Islam mengidentifikasi
nama-nama agung itu dengan sebutan al-asmaal-husna (nama-nama nan indah):

...
...
Bagi tuhan nama-nama nan indah, maka panggilah dia dengan nama-nama nan indah
itu. (QS.. al-Araf (7):180)

...
...
Katakanlah (Muhammad): Serulah Allah atau serulah Yang Maha Pengasih (Ar-
Rahman).Dengan nama mana saja kamu dapat menyeru, bagi-Nya tersedia nama-
nama nan indah (QS. Al-Isra )17(: 110)

2. Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap

Menurut Masudi (2013:37-40) dalam bukunya ia menjelaskan bahwa dari kata-kata


manusia, kemanusiaan adalah sesuatu yang terkait dengan hakikat manusia, apa dan siapanya.
Yang hendak ditegaskan dengan perinsip kemanusiaan ini sila kedua pancasila) adalah bahwa
hakikat dan martabat manusialah yang harus dijadikan acuan moral dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan-kebijakan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Dalam Al-Quran menegaskan bahwa pada dasarnya manusia dititahkan dimuka bumi
sebagai khalifah (wakil) Allah SWT:

..
..

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. al-Baqarah (2): 30).

Dalam salah satu hadis Rasulullah menegaskan yang artinya: bahwa Allah menciptakan
manusia atas gambarnya (bukhari-Muslim) Ayat senada juga termaktub dalam taurat, kita
perjanjian lama:

Maka allah menciptakan manusia atas gambar-Nya; menurut gambar Allah


diciptakan-Nya manusia; laki-laki perempuan (kitab kejadian: 1/27)

Di lain pihak secara material-jasmaniah manusia adalah makhluk yang tercipta dari
tanah, sementara secara spiritual-batiniah dari ruh yang ditiupkan oleh Allah dari diri-nya:

) (





) (

)(

"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati
air yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;
(tetapi) kamu sediki sekali bersyukur." ( QS. as-sajdah (32): 7-9).

Manusia pertama kali diciptakan Allah adalah Nabi Adam As. Sebagai Abu Basyar
dengan siti hawa sebagai Unmul Al-Basyar. Kemudian keturunan nabi adam itu sebagai umat
yang satu (ummatu whaidah). Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 212, substansi ayat
ini mengajarkan agar manusia hidup dan berada dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan ini
manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang direalisasikan dengan berbagai
macam aktifitas serta beracam hubungan antara sesamnya kebersamaan merupakan sarana atau
ruang gerak bagi manusia dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya sendiri.
Ketergantungan inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial, oleh Aristoteles
disebutkan sebagai makhluk zon politicon. (Al Munawar, 2005:1)

Karena esensi kemanusiaan yang bersifat ilahiah itulah Allah SWT menegaskan harkat
dan martabat manusia anak cucu Adam sebagai mengatasi makhluk-makhluk lainnya:
(Masudi, 2013:40)





)(

"Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan dilautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan." (QS. Al-Isra(17): 70).

3. Sila ke tiga, Persatuan Indonesia

Dari kata-kata satu (abad, wahid dalam bahasa arab) persatuan (wahidah)
menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda, dalam satu derap langkah
bersama karena memiliki dan ingin mencapai cita-cita yang juga sama. Dalam bahasa islam
disebut dengan jamaah. (Masudi, 2013:43)

Dalam Islam nilai-nilai persatuan merupakan perintah Allah yang tertuang dalam Al-
Quran agar kaum muslimin tetap berpegang teguh kepada aturan-aturannya dan tidak
terpecah-pecah. Demikian pula perintah Allah agar kaum muslim tidak mengikuti sikap umat
terdahulu setelah datangnya petunjuk, seperti tertuang dalam ayat:


...
..
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. (QS.. Ali Imran (3):105)

Karim (2004:75-76) dalam bukunya ia menguraikan bahwa persatuan merupakan


perintah Allah SWT yang harus dipegang teguh oleh setiap manusia, baik pada saat damai
lebih-lebih pada saat berada dalam jurang perpecahan karena persatuan dipandang sebagai
kekuatan. Apabila panitia Sembilan dan BPUPKI mencantumkan perinsip persatuan dalam
Pancasila dan dijabarkan dalam UUD 1945, bukan merupakan sesuatu yang baru, karena
mereka yang duduk di dalam panitia-panitia tersebut sangat memahami bahwa di samping
persatuan merupakan perintah Allah juga merupakan kekuatan yang sangat di perlukan dalam
menuju cita-cita kemerdekaan.

Masudi (2013:43-44) dalam bukunya ia menjelaskan bahwa upaya membangun


berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang majemuk (plural) diatas bumi ini
pertama kali dirintis oleh Rasulullah SAW lebih 14 abad lalu, persisnya tahun 622 M di
Madinah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah adalah
pemerintahan atau negara yang dibangun diatas landasan penghargaan terhadap kebhinekaan
agama, tradisi dan suku. Prinsip ini tertuang dengan gamblang dalam naskah konstitusi Negara
madinah yang dikenal luas dengan sebutan piagam madinah. Petikannya, dari sirah nabawiyah
oleh ibnu katsir dan ibnu hisam, sebagai berikut:

inilah naskah perjanjian dari nabi Muhammad SAW, antara orang-orang beriman
umat Islam dari suku Quraisy dan Yastrib, serta orang-orang yang menyertainya dan yang
berjuang bersamanya: mereka adalah suatu komunitas yang manuggal; orang-orang
muhajirin dari Quarisy berhak atas tradisinya; puak auf berhak atas tradisinya; puak
saadahberhak atas tradisinya; puak al-harist berhak atas tradisinya; puak jusam berhak
atas tradisinya; puak amr bin auf berhak atas tradisinya; puakan-nubeit berhak atas
tradisinya; dan puak alal-aus berhak atas tradisinya

4. Sila Keempat, Permusyawaratan Rakyat.

Di dalam Al-Quran terdapat perintah agar manusia bermusyawarah dalam urusan,


sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syuraa (42) ayat 38):

..


...
dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan
sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka...
(QS.. Asy-Syuraa (42):38)

Terjadinya pemilihan yang bermusyawarah ketika Rasulullah menjelang wafat kaum


muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan. Fenomena itu tampak pertama kali
dalam sejarah islam dalam pertemuan saqifah. Yang diperdebatkan peserta pertemuan itu
adalah tentang khilafah atau imamah kepemimpinan Negara. Perbedaan pendapat yang
pertama dikalangan kaum muslimin setelah wafatnya Nabi Muhammad adalah perbedaan
pendapat dalam masalah immamah (kepemimpinan Negara). Sehingga ketika nabi wafat di
pilihlah Abu bakar sebagai pemimpin baru melalui musyawarah antara masyarakat muhajirin
dan Ansor. ini bukti bahwa islam mengajarkan musyawarah dalam hal pemilihan
kepemimpinan dan ini sesuai dengan bunyi sila keempat permusyawaratan dalam pancasila.
(Rais, 2001:10)

5. Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Masudi (2013:51-52) dalam bukunya ia memeparkan bahwa keadilan: berasal dari kata
al-adl (adil) yang secara harfiah berarti lurus, seimbang. Dalam fiqih, adil pertama-tama
berarti memperlakukan setiap orang secara setara, tanpa diskriminasi berdasarkan hal-hal yang
bersifat subjektif. Dalam kitab al-mufasshal fi fiqh addawah, abul qasim al-amadi menulis:

keadilan adalah konsep yang merengkuh setiap orang, atau setiap komunitas; tanpa
dipengaruhi perasaan subjektif suka tidak suka, atau faktor keturunan, atau status soal
kayamiskin, kuat lemah; intinya menakar setiap orang dengan takaran yang sama dan
menimbang dengan timbangan yang sama, sebagai manusia, hamba allah dan
ciptaanya.

Dengan kata lain, unsur pertama keadilan adalah kesetaraan perbedaan suku ras dan
semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain keanekaragaman
bahasa, budaya maupun warna kulit adalah salah satu tanda kebesaran Allah Swt




)(
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benarbenar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. ar-Rum
(30): 22)



)(


Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahuilagi Maha Mengenal. (QS. al-hujrat (49): 13).

2.4 Bentuk- bentuk Aktualisasi Pancasila


2.4.1 Aktualisasi dalam Pembangunan Nasional
a) Pancasila Moral Pembangunan

Dengan bekal penghayatan Pancasila dan dengan mengamalkannya oleh setiap manusia
Indonesia, maka gerak pembangunan yang kita lakukan bersama-sama akan berjalan lurus dan
tiba dengan selamat kepada tujuannya. Sebagai moral perjuangan, Pancasila bukan saja
berperan sebagai nilai ukur tentang baik-buruknya kebijakan serta pelaksanaan pembangunan
di semua bidang, akan tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur bagi cara dalam
melaksanakan pembangunan tersebut. (Bakry, 2010:320)

Pembangunnan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan seluruh


masyarakat Indonesia. Dalam melaksanakannya pembangunan nasional bangsa itu, pasti
mengahadapi ancaman-ancaman, tantangan-tantangan, hambatan-hambatan, dan gangguan-
gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Untuk menghadapi semuanya itu, perlu dipupuk
ketahanan nasional bangsa Indonesia, dimana Pancasila akan menjadi sumber ketahanan
nasional yang merupakan modal perjuangan dalam mencapai sasaran-sasaran pembangunan
nasional. (Bakry, 2010:323)

b) Kepemimpinan dalam Aktualisasi Pancasila

Peranan pemimpin dalam mengamalkan Pancasila menduduki tempat yang sangat


strategis dan menentukan dalam masyarakat Indonesia. Kepemimpinan yang berdasarkan
Pancasila, yaitu kepemimpinan yang memiliki jiwa Pancasila, yang memiliki wibawa dan
daya-mampu untuk membawa serta memimpin masyarakat lingkungannya ke dalam kesadaran
kehidupan kemasyarakat dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD45. (Bakry,
2010:324)

Seorang pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun dan
memebimbing asuhannya, dalam hal ini sebagai prinsip-prinsip utama kepemimpinan
Pancasila adalah sebagai berikut:

a. ing ngarso sung tulodo, yang berarti bahwa seseorang pemimpin harus mampu, lewat
sikap dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang
dipimpinnya.
b. ing madyo mangun karso, yang berari bahwa seorang pemimpin harus mampu
membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang
dibimbingnya.
c. tut wuri handayani, yang berarti bahwa seseoang pemimpin hsrus mampu
mendorong orang-orang yang diasuhya agar berani berjalan di depan dan sanggup
bertanggung jawab.

Dalam Al-Quran juga dijelaskan mengenai pemimpin yang menjadi anutan.


Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al Anbya (21) ayat 73 yang
berbunyi:



)(

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka
menyembah.( QS. Al Anbya (21) :73)

Di dalam Al-Quran surat As-Sajdah (32) ayat 24 yang berbunyi:

)(

dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami.( As-Sajdah (32):24)
2.4.2 Aktualisasi Dasar Filsafat Negara

Pengamalan objektif Pancasila adalah pelaksanaan Pancasila dalam kenegaraan, pola


pelaksanaannya dipancarkan keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang
kemudian dijemalkan dalam pasal-pasal UUD 1945.

a) Aktualisasi Fundamen Moral Negara

Dalam kesatuan organik pancasila, masing-masing sila mempunyai kedudukan dan


fungsi tersendiri, fungsi sila pertama dan kedua berfungsi sebagai kesatuan fundamnetal moral
negara atau asas moral negara.

1. Bentuk Negara Kesatuan Theis Demokratis

Pengamalan obyektif sila Ketuhanan Yang Maha Esa atau pengamalan dalam
kenegaraan mewujudkan negara berdasarkan ketuhanan. Jadi negara Indonesia bukan
negara atheis, dan bukan teokrasi, tetapi negara Theis Demokrasi, yakni negara yang
berKetuhanan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi dan menjamin semua agama. (Bakry,
2010:328)

2. Negara Memelihara Hak Asasi Manusia

Bakry (2010:328) menjelaskan pengamalan objektif sila kemanusiaan yang adil dan
beradab atau pengamalan dalam kenegaraan mewujudkan negara menjunjung tinggi dan
memelihara hak-hak asasi manusia. Dalam pemeliaraan hak asasi manusia (HAM) Pancasila
perumusanya dicantumkan dalam UUD 1945, yakni yang tersebar dalam beberapa pasal
yang diantaranya:

Hak atas kewarganegaraan, UUD 1945 pasal 26 (1)


Menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain.
Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum, UUD 1945 pasal 27 (1):
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan
Pemeritahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu degan tanpa ada
kecualinya.
Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, UUD 1945 pasal 27 (2):
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yag layak bagi
kemanusiaan.
Hak turut serta dalam bela negara, UUD 1945 pasal 27 (3):
Setiap negar berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Hak atas kebeasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, UUD 1945 pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya dengan Undang-undang.
Hak atas kemerdekaan memeluk agama, UUD 1945 pasal 29 (2):
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.

Hal ini seleras dengan firman Allah SWT dalam QS.. Al-Kafirun (109) ayat 1-6:

)( ) ( ) (
)(
) ( ) (

Katakanlah Muhammad, Wahai orang-orang yang kafir! Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan kamu
tidak pernah (pula) menyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan
untukku agamanku

Hak atas kesejahteraaan sosial dan kemakmuran rakyat, UUD 1945 pasal 33 (3):
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hak atas jaminan sosial, UUD 1945 pasal 34 (2):
Negara megembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan (Bakry, 2010:330)

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran:


)(
dan jangan kamu mencampur hak dengan yang batil, dan kamu sembunyikan yang
hak sedang kamu mengetahui(QS.. Al- Baqarah (2):42)

Dalam Islam sendiri, terdapat tiga bentuk HAM, yakni Pertama, hak dasar (hak
daruri) sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar maka bukan hanya
membuat manusia sengsara tetapi juga kehilangan eksistensinya bahkan hilang harkat
martabatnya. Contoh diantaranya adalah hak hidup, hak keamanan, hak memiliki harta
benda. Kedua, hak sekunder yakni hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat pada
hilangnya hak-hak dasar nya sebagai manusia misalnya jika seorang manusia hak nya untuk
memperoleh sandang pangan yang layak tidak dipenuhi, maka akan berakibat hilangya hak
hidup. Ketiga, hak tersier yakni hak yang tingkatnya lebih rendah dari hak primer dan
sekunder. (Ubaedillah dan Rozak, 2003:166)

Hal ini selaras dengan konsepsi Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber
utama Islam yakni dalam Al-Quran dan Hadist. Adapun implementasi dirujuk pada praktik
kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan sebutan Sunnah Rasul.
Tonggak sejarah peradaban Islam sebagai agama HAM adalah lahirnya deklarasi Nabi
Muhammad di Madinah yang bisa dikenal dengan Piagam Madinah. Pandangan inklusif
kemanusiaan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo,
deklarasi ini dikenal dengan nama deklarasi Kairo yang lahir pada 5 Agustus 1990.
(Ubaedillah dan Rozak, 2003)

b) Aktualisasi Fundamen Politik Negara


Fundamen politik negara harus dapat menjawab dari tiga sila, yaitu bagaimana
menyatukan bangsa, bagaimana cara berpemerintahan, dan bagaimana cara
menyejahterahkan rakyatnya. Ketiga sila ini berkaitan dengan masalah nasionalisme,
masalah demokrasi dan masalah ekonomi. (Bakry, 2010:332)
a. Negara Nasional Bhinneka Tunggal Ika
Pengamalan objektif sila Pesatuan Indonesia atau pengamalan dalam
kenegaraan mewujudkan adanya tiga hal, yaitu:
Adanya negara kesatuan berbentuk republik (NKRI), yang tertuang dalam pasal 1
(1) UUD 1945
Adanya sistem sosial budaya Bhineka Tunggal Ika, yang tertuang dalam pasal 32
(1) (IV) UUD 1945, di mana pemerintah menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Mewujudkan adanya sistem pembelaan negara yang berdasarkan doktrin keamanan
naional, tertuang dalam pasal 27 (2) (II) UUD 1945.
b. Kedaulatan Rakyat Musyawarah Mufakat
Bakry (2010:325) dalam bukunya memaparkan bahwa pengamalan objektif sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan dan
perwakilan ini terwujud dalam sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila. Yang
prinsip-prinsipnya diwujudkan dalam:
Negara Indonesia merupakan negara hukum, yang tertuang dalam UUD 1945 pasal
1 ayat 3.
Negara Indonesia menganut Paham Konstitusionalisme, di mana pemerintahan
Indonesia dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam konstitusi.
Supremasi Kedaulatan Rakyat, dimana kedaulatan negara yang tertinggi berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Pemerintahan yang bertanggung jawab, pemerintahan negara yang dipimpin oleh
Presiden bertanggung jawab kepada MPR sebagai penjelma seluruh rakyat
Indonesia.
Pemerintah berdasarkan Perwakilan, disamping Presiden terdapat juga DPR
sebagai wakil dari seluruh rakyat Indonesia.
Sistem Pemerintahan Presidental, Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan
dibantu oleh Menteri-menteri negara.
Pengawasan parlemen terhadap Pemerintah, DPR memiliki wewenang mengawasi
secara langsung.
c. Ekonomi Kebersamaan dan Kekeluargaan
Pengamalan objektif sila Keadilaan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
mewujudkan adanya negara membangun sistem ekonomi atas dasar usaha bersama dan
kekeluargaan untuk mencapai kesejahteraan umum. Hal-hal yang berhubungan dengan
kesejahteraan umum telah diatur dalam pasal 33 UUD 1945 yang merupakan
perwujudan demokrasi ekonomi dalam Hukum Dasar, yakni: (Bakry, 2010:340)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berasar atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang pentig bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kemudian penyelengaraan perekonomian nasional dinyatakan dalam pasal 33


(4) (IV) bahdwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasa
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. (Bakry, 2010:340)
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
1. Bentuk penghayatan Pancasila yakni meliputi Pancasila sebagai pemikiran tentang
jiwa bangsa Indonesia sampai Pancasila dapat dinyatakan sebagai pedoman hidup
bangsa Indonesia yang merupakan fungsi dan kedudukan Pancasila itu sendiri.
2. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tergolong nilai kerohanian, tetapi nilai
kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dalam penghayatan
dan pengamalannya, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 merupakan kerangka
dasar yang memberi petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan kelima sila dan
wujud pengaktualisasian nilai sila-sila Pancasila.
3. Dalam perspektif Islam nilai sila-sila yang terkandung dalam Pancasila nyatanya
selaras dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran. Hal ini dipertegas
dengan surat-surat yang terkandung dalam Al-Quran.
4. Secara garis besar terdapat bentuk aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Indonesia yakni meliputi: Aktualisasi Pancasila dalam
pembangunan Nasional dan Aktualisasi Fundamental Politik Negara yang
berdasarkan Pancasila
DAFTAR ISI

Al Munawar, Said Agil. 2005. Fiqih Hubungan antara Umat Bergama. Jakarta : Ciputat Press

Ali, Asad Said. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia

Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hamid, Tijani Abd.Qadir. 2001. Pemikiran Politik Dalam Al-Quran. Jakarta: Gema Insane
Press

Karim, M. Abdul. 2004. Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Yogyakarta:
Surya Raya

Laboratorium Pancasila IKIP Malang. 1993. Pendididkan Pancasila di Perguruan Tinggi


berdasarkan Keputusan Dikti No. 25/DIKTI/Kep./1985. Malang: Laboratorium
Pancasila IKIP Malang

Margono. 2012. Pendidikan Pancasila: Topik Aktual Kenegaraan Dan Kebangsaan. Malang:
UM PRESS

Masudi, Masdar Farid. 2013. Syarah UUD 1945 Perspektif Islam. Jakarta: PT Pustaka
Alvabert

Mulkhan, Abdul Munir. 1992. Pancasila Dasar Filsafat Negara:Prinsip-Prinsip


Pengembangan Kehidupan Beragama. Malang: UMM-PRESS

Rais, M.Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insane Press

Ubaedillah dan Rozak, abdul. 2003. Pendidikan Kewanegaraan (Civic Education) Pancasila,
Demokrasi, Ham, Dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah

Anda mungkin juga menyukai