PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan infeksi
HIV maka angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi. Tuberkulosis paru
merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV.
Infeksi HIV merupakan faktor resiko untuk berkembangnya TB melalui mekanisme
berupa reaktivasi infeksi laten, progresiviti yang cepat pada infeksi primer atau
reinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) (Fauci, 2008).
Menurut WHO tahun 2002 terdapat 8,8 juta kasus baru Tuberkulosa (TB)
dan 3,9 juta adalah kasus yang disertai dengan infeksi Human Imunodefisiensi
(HIV). Tahun 1992 WHO telah menyatakan TB sebagai global emergency, setiap
tahun sekitar 4 juta kasus kasus baru TB yang menular ditambah dengan kasus yang
tidak menular. Pada saat yang sama diseluruh dunia terdapat setiap hari HIV
menular pada 2000 anak dibawah 15 tahun, HIV memperburuk infeksi TB dengan
1
meningkatkan reaktifasi dan mempercepat progresifitas TB. Meningkatknya kasus
HIV akan meningkatkan transmisi dan proliferasi MTB pada pasien yang sudah
mengalami infeksi sebelumnya. (WHO 2009 ; Mulyadi & Fitrika, 2010)
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh tentang
hubungan antara penyakit HIV dengan penyakit TB.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana konsep dasar penyakit HIV ?
2. Bagaimana konsep dasar penyakit TB ?
3. Bagaimana hubungan antara penyakit HIV dan penyakit TB ?
C. Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memahami tentang penyakit HIV
2. Memahami tentang penyakit TB
3. Memahami hubungan antara penyakit HIV dan penyakit TB.
2
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT
2. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Virus dibawah
oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini
virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi
dengan hibridisasi insitu dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
3
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV
di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV (Amin,
2009).
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun
secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level steady-state.walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas
netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan
virus. Virus dapat menghidar dari netralisasi antibodi dengan melakukan adaptasi
pada amplop-nya. Termasuk kemampuan mengubah situs glikosilasinya, akibatnya
konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi
tidak dapat terjadi (Amin, 2009).
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6
minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk setelah infeksi akut
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selam 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-progressor) (Amin, 2009).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis,
infeksi jamur, herpes, dan lain-lain (Amin, 2009).
3. Cara Penularan
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik.
Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan
seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks,
jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering
4
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok
manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
1) Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua
golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap
HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara
anogenital.
2) Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah
kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang
mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan
narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar
secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang
dari 1%.
Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-
negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi
melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV
lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
5
2) Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk
penularan dengan resiko rendah.
6
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Penularan
HIV adalah melalui kontak heteroseksual dan homoseksual, darah dan produk darah
dan oleh ibu yang terinfeksi ke bayi baik melalui intrapARVum, perinatal atau air
susu ibu. Faktor resiko potensial pada tuberkulosis adalah individu yang mengalami
ko-infeksi HIV, dimana terjadi supresi imunitas seluler. (Amin, 2009)
3. Patogenesis Tuberkulosis
Patogenesis dari infeksi M. tuberculosis dibagi menjadi 2 bagian besar
yakni infeksi primer (primary infection) dan infeksi post primer (post primary
infection) (Kumar, 2006).
a. Infeksi primer (primary infection)
Infeksi pertama dari M. tuberculosis dikenal dengan infeksi primer.
Dalam satu jam dapat mencapai paru-paru, basil dapat melewati limfonodus
pada hilum paru-paru dan beberapa masuk ke dalam aliran darah (Kumar,
2006).
Reaksi awal meliputi respons eksudatif dan infiltrasi granulosit-
granulosit neutrofil. Ini dengan cepat digantikan oleh makrofag-makrofag
yang akan mencerna kuman tersebut dan mengangkutnya ke dalam kelenjar
limfe regional. Secara umum, ada 4 kemungkinan besar terhadap nasib M.
tuberculosis tersebut yakni, (1) dibunuh oleh sistem imun, (2) dapat
bermultifikasi dan menyebabkan TB primer, (3) dapat menjadi dormat dan
asimptomatik, (4) dapat berproliferasi sesudah periode laten (reaktivasi
penyakit). Selain itu, terdapat 4 hal yang dapat terjadi khususnya pada
infeksi primer, yakni : (Innes, 2007)
1) Menyebar dari focus primer ke hilus dan kelenjar limfe mediastinum
membentuk kompleks primer (primary complex), pada banyak kasus
sembuh secara spontan.
2) Langsung meluas dari focus primer menjadi tuberculosis primer
yang progresif.
3) Menyebar ke pleura menjadi tuberkulosis pleura dan efusi pleura.
4) Menyebar dalam aliran darah: sedikit basil pada paru, tulang, renal,
infeksi urogenital sering berbulan-bulan atau beberapa tahun
7
belakangan, menyebar secara besar-besaran menjadi TB milier dan
meningitis.
Interaksi dengan limfosit T, dengan perkembangan imunitas selular
dapat ditunjukan 3-8 minggu setelah infeksi awal oleh reaksi positif pada
kulit pada injeksi intradermal protein dari basil (PPD). Reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi, menghasilkan nekrosis jaringan
dan pada tingkat ini patologi klasik dari tuberkulosis dapat dilihat. Lesi
granulomatosa yang terdiri dari massa putih seperti keju di bagian sentral
area nekrosis disebut nekrosis kaseosa, dikelilingi oleh sel epiteloid dan
giant sel langhans, kedua sel berasal dari makrofag. Limfosit hadir dan di
situ terjadi bermacam-macam derajat fibrosis. Sesudah itu, area nekrosis
kaseosa disembuhkan sama sekali dan mengeras (Kumar, 2006).
8
3 tahun kedepan Infeksi post primer yang berkaitan
dengan reaktifasi penyakit.
C. HIV-TB
1. Epidemiologi
Pasien HIV memiliki kemungkinan 20-37 kali lipat akan memiliki TB
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki infeksi HIV. TB adalah salah satu
penyebab utama kematian pada pasien HIV secara global. Dari 1,7 juta orang yang
meninggal karena TB tahun 2009, 400.000 di antaranya adalah pasien HIV. Dari
9,4 juta kasus TB yang baru ditemukan tahun 2009, 1,2 juta di antaranya adalah
pasien HIV. Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu daerah, semakin tinggi juga
prevalensi koinfeksi HIV-TB pada penderita HIV di daerah tersebut (Wisharilla,
2012).
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh pasien TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin.
19,20
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaaan
HIV hanya diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang
diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV. Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru
tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya :
a. ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB/TB kronik
2. Diagnosis
Diagnosis TB pada pasien dengan level CD4 yang sudah diketahui.
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru
adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan
pemeriksaan CD4. Gambaran penderita TB-HIV dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
9
Infeksi dini (CD4>200/mm3) Infeksi lanjut (CD4<200/mm3)
10
Pneumonia Nyeri retrosternal saat menelan Candidiasis oral
(rekurens/tidak) (candidiasis esofageal)
11
Pilihan yang
Populasi target Catatan
direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT atau TDV + 3TC (atau Merupakan pilihan panduan
FTC) + EFV atau NVP yang sesuai untuk sebagian
besar pasien.
Gunakan FDC jika tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan
NVP EFV pada trimester pertama
TDF bias merupakan
pilihan
Ko-infeksi AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera
HIV/TB (FTC) + EFV setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan.
Ko infeksi TDF + 3TC (FTC) + EFV Pertimbangkan pemeriksaan
HIV/Hepatitis B atau NVP HBsAg terutama bila TDF
kronik aktif merupakan panduan lini
pertama. diperlukan
Tabel 4. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang
belum pernah mendapat terapi ARV (Ajmala, 2013).
Pada penderita yang sudah menerima ARV bila kemudian terjangkit TB,
maka regumen harus disesuaikan agar cocok dengan OAT yang dipilih itu. Setelah
terapi TB lengkap, maka ARV dapat diteruskan atau diganti tergantung keadaan
klinis dan imunologis penderita. Waktu yang optimal untuk memulai ARV dalam
kaitannya dengan awal terapi TB belum jelas (Wulandari, 2010).
Prioritas utama pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV adalah memulai
terapi TB, diikuti dengan kotrimoksasol dan ARV (Ajmala, 2013).
a. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
12
Bila belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapa segera dimulai.
Jika pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan Tbnya sampai
dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk
pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan
oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.
b. Pengobatan pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB
dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur
rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV. Hal ini penting
karena ada kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, antara lain
interaksi obat (rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal
pengobatan ARV, IRIS atau perlu subtitusi obat ARV.
13
Panduan ARV pada
Panduan ARV Pilihan terapi ARV
saat TB muncul
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau Teruskan
dengan 2 NRTI + NVP. Triple NRTI
dapat dipertimbangkan digunakan
selama 3 bulan jika NVP dan EFV
tidak dapat digunakan
Lini kedua 2 NRTI + Pls Mengingan rifampisin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan
LPV/r, dianjurkan menggunakan
panduan OAT tanpa rifampisin. Jika
rifampisin perlu diberikan maka
pilihan lain adalah menggunakan
LPV/r dengan dosis 100 mg/200 mg
dua kali sehari. Perlu memantau
fungsi hati ketat jika menggunakan
rifampisin dan dosis ganda LPV/r
Tabel 6. Panduan ARV bagi ODHA yang kemudian muncul TB aktif
(Ajmala, 2013).
14
antara toksisitas ARV, terapi TB dan kotrimoksazol termasuk ruam, dan disfungsi
hati, dan pemantauan efek samping lainnya (WHO, 2010).
15
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan
status ekonomi menengah kebawah dan sanitasi kesehatan yang kurang
ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan
penderita TB paru yang lain.
2. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan denganpenyakit yang di
rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, lesi pada kulit,
diare, keringat malam, nyeri abdomen, kelemahan, nafsu makan menurun dan
suhu badan meningkat (demam) mendorong penderita untuk mencari
pengonbatan.
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-
obat. Keadaan atau penyakit penyakit yang pernah diderita oleh penderita
yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi
pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
4. Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga yang mengidap HIV atau tuberkulosis paru
yang menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.
5. Riwayat psikososial
Riwayat pergaulan, penyalahgunaan obat terlarang, sex bebas, depresi karena
masalah keluarga atau sosial, kehilangan pekerjaan dan penghasilan,
perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis, pernah
punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain
6. Status mental dan spiritual
Kondisi marah atau pasrah, denial, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl,
hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori,
16
gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi. Keyakinan pada Tuhan,
motivasi, ibadah dan mekanisme koping.
7. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal
dirumah yang sumpek. Penderita HIV seringkali ditemukan mempunyai
riwayat mengkonsumsi alcohol, penggunaan obat terlarang, pergaulan
bebas.
b) Pola nutrisi dan metabolik
Pada pasien HIV dengan TB paru biasanya terjadi penurunan absorpsi zat
gizi, peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh, mengeluh anoreksia,
nafsu makan menurun, perurunan berat badan, gangguan pencernaan .
c) Pola eliminasi
Klien HIV dengan TB paru rentan mengalami diare dan infeksi saluran
kemih.
d) Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya kelemahan fisik kerena penurunan imunitas, batuk, sesak
napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas. Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahatPola
hubungan dan peran
e) Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) bias jadi mengalami gangguan karena infeksi virus.
f) Pola persepsi dan konsep diri
Pada penderita HIV seringkali mempunyai harga diri rendah karena isolasi
social ditambah dengan nyeri dan sesak napas yang diakibatkan gejala TB
paru biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa khawatir klien tentang
penyakitnya hingga menimbulkan depresi dan memungkinkan
meningkatkan resiko suicide.
17
Klien HIV dengan TB paru akan mengalami perasaan terisolir karena
penyakit menular .
g) Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita HIV dengan TB paru akan mengalami perubahan pola
reproduksi dan seksual akan berubah karena penyakit menular seksual
yang dideritanya serta kelemahan fisik yang dialaminya.
h) Pola penanggulangan stress
Penderita HIV dengan TB paru semakin meningkat stressornya. proses
pengobatan yang lama > 6 bulan lamanya bahkan bisa bertambah.
Penurunan kepatuhan terapi dapat terjadi dengan adanya kejenuhan akan
terapi
i) Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya
aktifitas ibadah klien.
8. Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem sistem tubuh
a) Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun kering,
gatal, rash atau lesi, petekie positif, edem muka, terdapat lesi pada
integumen.
b) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
Inspeksi : adanya tanda tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan
napas yang tertinggal, suara napas melemah, epsitaksis.
Palpasi : Fremitus suara meningkat
Perkusi : Suara ketok redup(dullness)
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan
yang nyaring.
Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
c) Sistem pengindraan
Pada klien HIV dengan TB paru untuk pengindraan dapat terjadi gangguan
yang disebabkan oleh infeksi virus : nyeri periorbital, fotophobia
18
d) Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang mengeras., hipotensi,
edem perifer, dizziness.
e) Sistem gastrointestinal
Ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, nafsu makan menurun/disfagia,
anoreksia, berat badan turun disertai diare kronis.
f) Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan
sehari hari yang kurang meyenangkan: focal motor deifisit, lemah, tidak
mampu melakukan ADL.
g) Sistem neurologist
Sakit kepala, gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
h) Sistem genetalia
Lesi atau eksudat pada genital,
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh,
kerusakan kulit
2. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas oleh
sekret sputum
3. Intoleransi aktifitas berhunubgan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, peningkatan
sputum/ batuk, intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi dengan nyeri lesi di mulut, penurunan nafsu
makan, dan efek medikasi, infeksi (, nausea dan vomiting, gangguan menelan).
5. Harga diri rendah berhubungan dengan isolasi sosial
6. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan resiko tinggi penulranan
penyakit , kecemasan, isolasi social
7. Koping individu inefektif: depresi berhubungan dengan kecemasan terhadap
penyakitnya, harga diri yang rendah
19
8. Pola nafas inefektif berhubungan dengan gas tidak dapat berdifusi dengan baik,
sesak
9. Nyeri akut berhubungan dengan infiltrasi cairan ke rongga pleura, sesak
10. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membrane alveolar
kapilng
11. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan kepatuhan
terapi
C. Rencana Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan
Keperawatan Intervensi Rasional
kriteria hasil
1 Resiko tinggi Pasien akan bebas a. Observasi tanda-tanda a. Untuk mengetahui fungsi
infeksi infeksi vital vital tubuh
berhubungan oportunistik dan b. Monitor tanda-tanda b. Untuk pengobatan dini
dengan komplikasinya. infeksi baru.
penurunan Kriteria hasil: c. Gunakan teknik c. Mencegah pasien terpapar
kekebalan a. Tak ada tanda- aseptik pada setiap oleh kuman patogen yang
tubuh tanda infeksi tindakan invasif. Cuci diperoleh di rumah sakit.
(imunosupresi) baru tangan sebelum
b. Lab tidak ada memberikan tindakan.
infeksi d. Anjurkan pasien
oportunis, metoda mencegah d. Mencegah bertambahnya
c. Tanda vital terpapar terhadap infeksi
dalam batas lingkungan yang
normal, patogen.
d. Tidak ada luka e. Kumpulkan spesimen
atau eksudat. untuk tes lab sesuai e. Meyakinkan diagnosis
order. akurat dan pengobatan
f. Kolaborasi pemberian
antibiotik f. Mempertahankan kadar
darah yang terapeutik
20
2 Intoleransi Pasien a. Monitor respon a. Respon bervariasi dari
aktivitas berpartiisipasi fisiologis terhadap hari ke hari
berhubungan dalam kegiatan aktivitas
dengan Kriteria hasil : b. Berikan bantuan b. Mengurangi kebutuhan
kelemahan, bebas dyspnea dan perawatan yang energi
pertukaran takikardi selama pasien sendiri tidak
oksigen, aktivitas. mampu
malnutrisi, c. Jadwalkan perawatan c. Ekstra istirahat perlu jika
kelelahan. pasien sehingga tidak karena meningkatkan
mengganggu kebutuhan metabolik
isitirahat.
21
5 Harga diri Pasien a. BHSP a. Klien dapat mempercayai
rendah berhub mengungkapkan perawat
ungan dengan perasaan yang b. Bantu pasien b. Mengeksplorasi perasaan
isolasi sosial berkaitan dengan mengungkapkan klien
harga diri dan perasaan rendah
mengungkapkan dirinya
penerimaan diri c. Bantu pasien c. Klien dapat
Kriteria hasil: mengidentifikasi mengidentifikakasi
a. Koping positif perasaan rendah perasannya
b. Harga diri dirinya
meningkat d. Bantu klien d. Meningkatkan
memotivasi diri dan kepercayaan diri klien
memunculkan
perasaan positif
b. Dukung interaksi yang e. Membangun koping
positif dengan keluraga efektifdan
keluarga klien dan beri meningkatkan
penjelasan tentang penerimaan klien dalam
AIDS keluarga
6 Ketidakefektif Keluarga atau a. BHSP a. Keluarga mempercayai
an koping orang penting lain perawat
keluarga mempertahankan b. Bantu keluarga b. Membantu keluarga
berhubungan suport sistem dan mendiskusikan mengetahiu dampak yang
dengan cemas adaptasi terhadap dampak penyakit merisaukan
tentang perubahan akan pasien dan perasaan
keadaan yang kebutuhannya mereka
orang dicintai. Kriteria hasil : c. berikan informasi c. Meluruskan persepsi
pasien dan yang jelas dan ringkas keluarga akan kondisi
keluarga kepada keluarga klien dan asumsi-asumsi
berinteraksi tentang kondisi klien yang memberatkan klien
dengan cara yang
konstruktif
22
d. berikan dukungan d. Empati perawat sebagai
emosianal kepada wujud ketulusan
keluarga perawatan
e. berikan informasi e. Membantu keluarga cara
yang adekuat tentang merawat klien dengan
cata merawat klien benar dan terhindar dari
resiko tertular
23
dengan baik, RR dalam batas c. Berikan kesempatan c. Untuk memperlancar
sesak (nyeri) normal klien untuk pernapasan dan
beristirahat diantara menghindari keletihan
tindakan
d. Berikan o2 sesuai d. Meningkatkan intake O2
program
e. Ajarkan teknik e. Menurunkan ansietas dan
relaksasi yang sesuai rasa nyeri secara hipnotik
f. Kolaborasi pemberian f. Menurunkan/
analgesik menghilangkan nyeri
secara farmakologis
9 Nyeri akut Klien melaporkan a. Kaji nyeri yang a. Mengetahui skala nyeri
berhubungan nyeri berkurang dirasakan klien klien
dengan b. Berikan posisi b. Meningkatkan
infiltrasi cairan senyaman mungkin kenyamanan klien
ke rongga c. Kolaborasi pemberian c. Menurunkan/menghilang
pleura, sesak analgetik kan rasa nyeri secara
farmakologis
10 Gangguan Klien dapat a. Pantau tanda-tanda a. Mengetahui kondisi klien
pertukaran gas mempertahankan vital klien
berhubungan ventilasi yang b. Auskultasi paru b. Mendeteksi adanya
dengan adekuat setiap 4 jam krepitasi
kerusakan Kriteria hasil: c. Kolaborasi c. Meningkatkan intake O2
membrane RR < 25x/menit pemberian o2
alveolar kapiler Sianosi (-)
Hipoksia (-)
11 Kurang Pengetahuan klien a. Kaji pengetahuan a. Mengetahui persepsi klien
pengetahuan meningkat klien tentang
berhubungan Kriteria hasil: penyakitnya dan
dengan proses Klien dapat kepatuhan terapi
penyakit dan menjelaskan
24
kepatuhan pentingnya b. Jelaskan pentingnya b. Meningkatkan
terhadap terapi kepatuhan terapi kepatuhan terhadap pengetahuan klien
dan dampak bila terapi, keuntungan
tidak patuh dan dampak
Klien mematuhi ketidakpatuhan
terapi yang c. Beri kesempatan klien c. Mengetahui penyebab
diprogramkan untuk ketidakpatuhan
mengungkapkan
alasan ketidakpatuhan
d. Libatkan keluarga d. Meningkatkan peran
dalam memonitor keluarga dalam perawatan
pelaksanaan terapi klien
klien
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV dan M. tuberculosis keduanya merupakan patogen intraseluler yang
saling berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinis, maupun seluler. Progresivitas
TB menjadi aktif sejak awal paparan lebih besar pada ODHA dibandingkan dengan
pada non ODHA.
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderita penderita
yang mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum produktif dan berat
badan turun harus dicurigai TB. Namun gejala gejala tersebut ( demam, keringat
malam, berat badan turun, kelelahan) dapat juga disebabkan oleh AIDS (AIDS
Waisting Syndrome ), infeksi Mycoyacterium Avium Complex (MAC), infeksi
Citomegalovirus (CMV), keganasan atau infeksi oportunistik lainnya.
Panduan obat yang ditetapkan WHO untuk lini pertama adalah yang
mengandung dua Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) ditambahkan
dengan satu Non Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Prioritas
utama pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV adalah memulai terapi TB, diikuti
dengan kotrimoksasol dan ARV.
B. Saran
Setelah kita belajar tentang konsep teori penyakit HIV yang disertai TB
beserta asuhan keperawatannya, diharapkan bisa menambah wawasan kita
mengenai penyakit tersebut, selain itu diharapkan dapat lebih memahami apa yang
harus kita lakukan di lapangan apabila kita menemui pasien yang memiliki seperti
ciri-ciri penyakit di atas, atau pasien yang sudah didiagnosa penyakit tersebut.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amin Z, Bahar A. 2009. Tuberculosis paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi S, Alwi I,
Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5.
Jilid III. Jakarta: InternaPublishing; p. 2231-8
Fauci AS, Lane HC. 2008. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
WHO. 2010. Treatment of tuberculosis Guidelines. 4th ed. Geneva: WHO press;.
Hal: 67.
27