Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kejahatan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala
bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur
tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang
dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki
pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau
aktivitas seksual.1
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan
demikian rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap
harinya. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa lebih dari 3/4 dari jumlah
kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan
dengan korban.2
Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena
gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin
karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu
harus melapor ke mana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di
Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami
peningkatan.3
Terkait kejahatan seksual, pemeriksaan medik untuk tujuan membantu
penegakan hukum antara lain adalah pembuatan visum et repertum terhadap
seseorang yang diduga sebagai korban suatu tindak pidana 4. Pemeriksaan
medikolegal harus mencakup sepenuhnya aspek medis dan forensik. Target dari
aspek medis adalah untuk menilai luka dan mengobati luka, mengobati potensi
penyakit menular seksual, menginisiasi krisis intervensi untuk perawatan lanjutan
dan mengedukasi tentang pengurangan risiko. Target dari aspek forensik adalah
untuk mengambil temuan yang akan mengidentifikasi pelaku dan
mendokumentasikan cedera serta mengkonfirmasi adanya kekerasan terhadap
korban.5 Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk
mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan
dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan
dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan
tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.3
Peran Perawat dalam bidang keilmuan Forensik (Forensic Nursing) pertama
kali dikenali sebagai disiplin ilmiah pada tahun 1991 oleh American Academy of
Forensic Sciences dan awalnya didefinisikan oleh Lynch sebagai: penerapan
aspek forensik perawatan kesehatan yang dikombinasikan dengan pendidikan bio /
psiko / sosial / spiritual perawat dengan tujuan Penyidikan ilmiah dan Pengobatan
trauma atau kematian korban dan pelaku kekerasan, tindak pidana dan kecelakaan
traumatis. SANE (Sexual Assault Nurse Examiner) adalah seorang perawat yang
telah terdaftar yang dilatih dalam pemeriksaan forensik korban pelecehan seksual.
Klien yang mengalami penyerangan secara seksual membutuhkan pengobatan
medis, hukum dan psikologis.6
Akhir-akhir ini dapat dilihat dalam setiap pemberitaan di media cetak
maupun elektronik yang memperlihatkan bahwa adanya peningkatan angka
kejahatan yang signifikan. Salah satunya adalah kasus pemerkosaan seorang
bocah usia 7 tahun. Warga Kota Jayapura, dihebohkan dengan penemuan
seorang bocah berusia 7 tahun dalam kondisi mengganaskan, akibat korban
pemerkosaan oleh seorang pria misterius. Bocah tersebut ditemukan di salah satu
kawasan Distrik Abepura, Kota Jayapura, Sabtu 7 Oktober 2017. Kabid Humas
Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofha Kamal membenarkan telah terjadi
peristiwa tersebut, dan telah ditangani oleh pihak Polres Jayapura Kota. Menurut
Kombes Kamal, kronologis kejadian, berawal dari ditemukannya korban bernama
bunga (nama samaran) oleh warga di sekitar kompleks di salah satu wilayah di
Distrik Abepura, bernama, Abner Herman Bemey, yang sedang melaksanakan
ibadah di rumahnya kemudian melihat Korban yang sedang berjalan.
Sesampainya disamping rumah menurut Kombes Kamal, saksi, kurang lebih
10 meter korban digogong anjing dan terjatuh (pingsan) di samping rumah.
Kemudian saksi memanggil beberapa warga untuk bersama - sama melihat
keadaan korban dan mendapatkan di bagian belakang tubuh korban penuh
dengan darah kemudian saksi Abner memanggil warga yang berada disekitar
TKP untuk membawa korban ke rumah salah satu warga. Korban selanjutnya
dibawa ke RSUD Abepura selanjutnya mendapatkan perawatan Medis oleh
Dokter Jaga RSUD Abepura.
Menurut Kombes Kamal, pihak Kepolisian dari Polsekta Abepura, yang
mendapatkan laporan tersebut, selanjutnya mendatangi lokasi korban ditemukan,
dan mengambil keterangan para saksi - saksi dan mengecek keadaan korban di
RSUD Abepura. Dari informasi sementara, korban tinggal bersama neneknya di
Distrik Abepura, Kota Jayapura karena kedua orang tuanya telah bercerai.
Sementara itu, Angraimun Arwam, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Provinsi Papua, mengecam keras kasus tersebut, menurut
Angra (panggilan akrab) pihaknya berharap pihak Kepolisian segera menangkap
pelaku pemerkosaan tersebut. Angra menegaskan, pelaku juga harus dihukum
berat atas perbuatan biadab yang dilakukan terhadap anak di bawah umur
tersebut. Terkait kondisi korban, menurut Angra, kondisi korban sudah mulai
stabil, namun masih dalam pengawasan pihak medis.
Berdasarkan kasus di atas, Pemeriksaan Serologi forensik adalah salah satu
cara yang dapat diandalkan untuk mendapatkan bukti yang jelas dan akurat
sehingga dapat di identifikasi pelaku pemerkosaan tersebut. Serologi forensik
merupakan bagian dari kriminalistik, yang meliputi semua pemeriksaan darah dan
cairan tubuh yang berkaitan dengan peristiwa kriminal kejahatan5. Penentuan jenis
dan asal cairan tubuh yang ditemukan di TKP dapat memberikan wawasan
penting ke rekonstruksi TKP dengan memeriksa hubungan antara sampel korban
dan pelaku tindak pidana yang sebenarnya. Selama lebih dari satu abad, banyak
jenis metode identifikasi cairan tubuh telah dikembangkan, seperti tes kimia, tes
imunologi, protein tes aktivitas katalitik, metode spektroskopi dan mikroskopi.
Maka berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis memaparkan analisa
kasus perkosaan & kekerasan seksual dengan penerapan Ilmu serologi forensik
untuk proses identifikasi Pelaku.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan disusunnya Makalah ini, yaitu?
1. Mengidentifikasi trace evidence dalam upaya pembuktian kasus
pemerkosaan disertai kekerasan
2. Menjelaskan tahap-tahap dalam mengumpulkan barang bukti, guna
identifikasi pelaku tindak pidana pemerkosaan disertai kekerasan
3. Menganalisa hasil pemeriksaan fisik & pemeriksaan Penunjang dalam
proses identifikasi identifikasi pelaku tindak pidana pemerkosaan disertai
kekerasan
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam Makalah ini secara umum adalah Bagaimanakah
upaya pembuktian secara hukum akan tindak pidana pemerkosaan disertai
kekerasan. Secara rinci, rumusan masalah yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Apa saja bentuk-bentuk barang bukti yang perlu dikumpulkan, guna
identifikasi pelaku tindak pidana pemerkosaan disertai kekerasan?
2. Bagaimana proses serta prosedur pemeriksaan fisik pada korban tindak
pidana pemerkosaan disertai kekerasan?
3. Bagaimanakah proses serta prosedur pelaksanaan pemeriksaan barang
bukti secara laboratoris?
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dalam penyusunan Makalah ini yaitu
1. Secara teoritis menambah wawasan penyusun dan pembaca mengenai
upaya-upaya dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan & kekerasan
seksual untuk mencari identitas pelaku tindak pidana tersebut.
2. Sebagai media maupun sumber informasi yang dapat digunakan dalam
proses belajar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nursing Forensic
Keperawatan forensik pertama kali dikenali sebagai disiplin ilmiah pada
tahun 1991 oleh American Academy of Forensic Sciences dan awalnya
didefinisikan oleh Lynch sebagai: penerapan aspek forensik perawatan kesehatan
yang dikombinasikan dengan pendidikan bio / psiko / sosial / spiritual perawat
yang terdaftar di Penyidikan ilmiah dan Pengobatan trauma atau kematian korban
dan pelaku kekerasan, tindak pidana dan kecelakaan traumatis. Ini memberikan
layanan langsung kepada klien perorangan dan layanan konsultasi kepada agen
keperawatan, medis, dan hukum, dan memberikan kesaksian pengadilan ahli di
bidang penanganan proses investigasi kematian yang ditanyakan, kecukupan
pemberian layanan, dan diagnosis khusus mengenai kondisi spesifik terkait
dengan keperawatan.6
Asosiasi Perawat Forensik Internasional (IAFN) didirikan pada tahun 1992
dan selanjutnya mendefinisikan keperawatan forensik sebagai praktik
keperawatan global, di mana sistem kesehatan dan hukum saling terkait. Hal ini,
pada dasarnya, merupakan hubungan yang kuat dengan ilmu fisik dan sosial
karena berlaku untuk proses publik atau hukum. Keistimewaan ini
menggabungkan aspek forensik perawatan kesehatan dengan penyelidikan ilmiah
dan penanganan kasus kejahatan atau pertanggungjawaban. Konsep spesialis
forensik dalam keperawatan telah memicu pengembangan inovatif dari disiplin
baru dalam ilmu forensik dan klinis yang telah direplikasi di seluruh Amerika
Serikat dan di negara lain.6
2.1.1. Perawat Pemeriksa Pelecehan Seksual
Yang dimaksudkan oleh SANE (Sexual Assault Nurse Examiner) adalah
seorang perawat yang telah terdaftar yang dilatih dalam pemeriksaan forensik
korban pelecehan seksual. Klien yang mengalami penyerangan secara seksual
membutuhkan pengobatan medis, hukum dan psikologis. Biasanya SANE bekerja
di rumah sakit atau di instalasi gawat darurat . Anggota tim lainnya termasuk
dokter, penegak hukum, pekerja sosial, orang dewasa/anak pelindung pekerja dan
terapis. Dalam pelatihan, SANE mempelajari semua aspek perawatan seksual
klien. Pekerjaan mereka itu mewawancarai korban, pengkajian fisik,
mengumpulkan barang bukti dan mendokumentasinya. Dan juga mereka
memberikan emosional support untuk klien dan keluarga.6
2.2 Corpus Delicti
2.2.1 Definisi
Corpus delicti (jamak, corpora delicti) merupakan suatu istilah dalam bahasa
Latin yang berarti badan kesaksian atau barang bukti. Hal ini merujuk pada
proses yurisprudensi dimana suatu kejahatan/kriminal harus dapat dibuktikan
sebelum seseorang terdakwa dihukum. Contohnya, seseorang tidak dapat dihukum
atas pencurian kecuali telah terbukti bahwa ada barang yang telah dicurinya.
Black's Law Dictionary (6th ed.) mendefinisikan corpus delicti sebagai fakta
yang menunjukkan suatu kejahatan memang terjadi. 8,10
Corpus delicti merupakan salah satu konsep paling penting dalam investigasi
pembunuhan. Contohnya, pada saat seseorang dinyatakan hilang dan tidak
terdapat kontak, maka hal ini akan digolongkan pada kasus orang hilang. Apabila
selama pencarian ditemukan bahwa korban telah dibunuh, maka badan bukti
atau yang menunjukkan/mengarahkan pada tindak pidana harus didapatkan untuk
menguatkan bahwa korban tersebut telah benar-benar dibunuh, sebelum
ditentukan siapa tersangkanya. Bukti paling baik dan paling mudah ditemukan
dalam kasus seperti ini adalah mayat korban itu sendiri. Meskipun begitu, pada
kasus dimana mayat tidak ditemukan atau belum ditemukan, analisis tetap dapat
dilakukan berdasarkan bukti lain maupun penelusuran motif. 10
Sebuah corpus delicti membutuhkan minimalnya dua syarat, yaitu 10:
a. Terjadinya suatu kerusakan yang spesifik.
b. Terdapat pelaku kriminal yang menyebabkan terjadinya kerusakan.
Contohnya, pada suatu pembunuhan harus terdapat individu yang mati dan
pelaku kriminal, baru benda-benda yang terdapat di sekitarnya dapat digolongkan
sebagai corpus delicti. Begitu pula pada kasus pencurian, setidaknya terdapat
barang yang hilang dan adanya upaya pencurian. Pada intinya, corpus delicti pada
kriminal merujuk pada suatu kejahatan yang dapat terungkap. Dimana terdapat
pelanggaran terhadap hukum. 10
2.2.2 Jenis-Jenis Corpus Delicti
Hal-hal yang termasuk sebagai corpus delicti adalah 9:
a. Barang bukti biologis, yaitu segala hal yang berasal ataupun diduga berasal,
dari tubuh manusia. Misalnya darah, sperma, kulit, rambut, sidik jari, bagian
tubuh manusia, ataupun yang diduga bagian tubuh manusia. Barang bukti
ini bisa merujuk kepada korban maupun pelaku.
b. Mayat/ jenazah, yaitu tubuh korban.
c. Senjata atau alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
d. Jejak atau bekas yang ditinggalkan oleh pelaku
e. Benda-benda yang terbawa maupun tertinggal di lokasi kejadian, baik milik
pelaku maupun korban.
Namun pada praktik pemeriksaan forensik, barang bukti yang bermakna
dan umum diperiksa adalah barang bukti biologis dan mayat korban. 9
2.2.3 Cara Penilaian Corpus Delicti
Pada prinsipnya ada banyak bukti fisik yang bisa dipakai oleh ahli forensik
untuk pemeriksaan. Bukti fisik itu bisa berupa percikan darah, helaian rambut,
kesan air liur, air mani, serat-serat benang pakaian, cap jari, pecahan kaca,
serpihan cat, apusan minyak, kesan tanah, debu tertentu pada tubuh maupun
pakaian korban / tersangka, kesan gigitan pada makanan serta lain sebagainya.11
Semua bukti fisik yang dijumpai baik pada korban, TKP maupun tersangka
akan saling mengaitkan diantara ketiganya tersebut. Prinsip yang digunakan
dalam pemeriksaan bukti fisik tersebut ialah Prinsip Locard yang dicetuskan
oleh Edmond Locard (1877-1966) yang seorang dokter dan juga seorang
kriminolog Perancis. 12
Prinsip Locard menyatakan bahwa setiap sentuhan akan meninggalkan
kesan / jejak. Kesan/ jejak yang dimaksudkan disini ialah bukti fisik. Locard
mengutarakan bahwa ada suatu segitiga yang mengaitkan antara korban, pelaku
dan tempat kejadian. Sehingga segitiga ini dikenal pula dengan istilah Segitiga
Locard atau Segitiga bukti fisik. 12
KORBAN

BUKTI
FISIK

PELAKU TKP

Gambar 2.2.3 Segitiga Locard


Dalam setiap kejadian tindak pidana, akan terdapat sentuhan antara korban,
pelaku dan TKP, oleh karena itu, terdapat pemindahan bukti fisik antara ketiga
tiganya. Selanjutnya bukti fisik pada korban-korban tersebut dapat dibandingkan
dengan yang ditemui pada tersangka atau TKP dengan pemeriksaan secara ilmiah.
Adanya kesamaan diantara bukti fisik yang ditemukan diantara ketiganya dapat
diyakini mengungkapkan kasus tersebut. 12
Ketika mengumpulkan spesimen untuk analisis forensik, prinsip-prinsip
berikut ini harus diperhatikan dengan baik 12:
a. Hindari kontaminasi. Pastikan spesimen tidak terkontaminasi oleh bahan
lainnya. Pakailah sarung tangan setiap saat.
b. Kumpulkan secepatnya. Berusahalah mengumpulkan spesimen forensik
secepat mungkin agar dapat diperiksa secepatnya.
c. Perlakukan dengan tepat. Pastikan spesimen dikemas, disimpan dan diantar
dengan benar. Sebagai persyaratan umum, bahan cair sebaiknya dimasukkan
dalam kulkas, yang lainnya sebaiknya dibiarkan tetap kering.
d. Berilah label dengan tepat. Semua spesimen harus dilabel dengan nama
pasien, tanggal lahir, nama petugas kesehatan, jenis spesimen, dan tanggal
serta waktu pengumpulan spesimen.
e. Pastikan keamanan. Spesimen harus dikemas untuk memastikan dalam
kondisi aman.
f. Dokumentasi pengumpulan. Merupakan suatu kebiasan yang baik untuk
membuat laporan dari seluruh spesimen yang dikumpulkan dan penjelasan
dari kapan, dan kepada siapa spesimen dialihkan.
Sangat penting diingat oleh semua ahli forensik, bahwa pada pemeriksaan
tempat kejadian perkara (TKP) ada 6 pertanyaan yang harus dipecahkan agar
sebuah persoalan dapat terungkap. Keenam pertanyaan tersebut dikenal dengan
istilah Hexameter; apa yang terjadi, siapa yang tersangkut, dimana dan kapan
terjadi, bagaimana terjadinya, dengan apa melakukannya, serta kenapa terjadi
peristiwa tersebut.
2.3. Pemerkosaan & Kekerasan seksual
Terdapat beberapa definisi kekerasan seksual, baik definisi legal, sosial,
maupun medis. Salah satu definisi yang luas mengartikan kekerasan seksual
sebagai segala jenis kegiatan atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau
tanpa persetujuan (consent) dari korban. Sedangkan definisi yang lebih sempit
menyamakan kekerasan seksual dengan perkosaan (rape), dan mengharuskan
adanya persetubuh-an, yaitu penetrasi penis ke dalam vagina.3
Pemerkosaan yang merupakan suatu bentuk tindakan pemaksaan dalam
melakukan hubungan seks diluar perkawinan yang penyebabnya dapat
dipengaruhi oleh kondisi ataupun keberadaan korban yang secara tidak langsung
mendorong pelakunya untuk melakukan kejahatan yang tidak manusiawi.7
Di Indonesia, pada umumnya definisi dan jenis kekerasan seksual yang
dianut diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya
dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Salah satu pasal utama
adalah pasal 285 tentang Perkosaan yang berbunyi, Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Sedangkan Persetubuhan dengan Wanita
di Bawah Umur diatur dalam pasal 287 ayat 1 yang berbunyi, Barang siapa
bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Dalam pasal 289 sampai
294 KUHP, juga diatur tentang perbuatan cabul sebagai salah satu kejahatan
terhadap kesusilaan; perbuatan cabul diartikan sebagai semua perbuatan yang
dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu
kehormatan kesusilaan. Selain dalam KUHP, pasal tentang kekerasan seksual
terdapat pula dalam pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak serta pasal 5 dan 8 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga.3
Pemahaman definisi dan jenis kekerasan seksual tersebut penting dimiliki
oleh seorang dokter. Tujuannya adalah untuk dapat menentukan hal-hal apa saja
yang harus diperiksa dan bukti-bukti apa saja yang harus dicari pada P3K
kekerasan seksual. Dalam pasal-pasal tersebut terkandung unsur-unsur apa saja
yang harus dipenuhi dalam upaya pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana berupa kekerasan seksual.3
2.3.1 Aspek etik dan medikolegal
Dalam melakukan P3K kekerasan seksual, terdapat beberapa aspek etik dan
medikolegal yang harus diperhatikan. Karena korban juga berstatus sebagai
pasien, dan yang akan diperiksa adalah daerah sensitif, hal utama yang harus
diperhatikan adalah3
1. Memperoleh informed consent.
Informasi tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan
dimulai dan antara lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya
untuk pengungkapan kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan
pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam
medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna
pembuatan visum et repertum. Apabila korban cakap hukum, persetujuan
untuk pemeriksaan harus diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hokum
adalah berusia 21 tahun atau lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah
menikah, tidak sedang menjalani hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal
sehat. Apabila korban tidak cakap hukum persetujuan harus diminta dari
walinya yang sah. Bila korban tidak setuju diperiksa, tidak terdapat
ketentuan undangundang yang dapat memaksanya untuk diperiksa dan
dokter harus menghormati keputusan korban tersebut.
2. Pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti)
Harus diperhatikan pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap
pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum harus dilakukan
berdasarkan permintaan tertulis (Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi
penyidik yang berwenang. Korban juga harus diantar oleh polisi penyidik
sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti dapat terjamin. Apabila
korban tidak diantar oleh polisi penyidik, dokter harus memastikan identitas
korban yang diperiksa dengan mencocokkan antara identitas korban yang
tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki korban,
seperti KTP, paspor, atau akta lahir. Catat pula dalam rekam medis bahwa
korban tidak diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari
kemungkinan kesalahan identifi kasi dalam memeriksa korban.
3. Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap
objektif-imparsial, konfidensial, dan profesional.
Objektif imparsial artinya seorang dokter tidak boleh memihak atau
bersimpati kepada korban sehingga cenderung mempercayai seluruh
pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh dilakukan adalah berempati,
dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-bukti objektif yang
didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Tetap waspada terhadap
upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false allegation) dari korban. Hindari
pula perkataan atau sikap yang menghakimi atau menyalahkan korban
atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfidensialitas
hasil pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada
yang berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada),
serta penyidik kepolisian yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan
dalam visum et repertum sesuai keperluan saja, dengan tetap menjaga
kerahasiaan data medis yang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas
dokter dalam melakukan P3K kekerasan seksual ditunjukkan dengan
melakukan pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang
umum dan mutakhir, dengan memperhatikan hak dan kewajiban korban
(sekaligus pasien) dan dokter.3
2.3.2 Pemeriksaan
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk:3
1. Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban;
2. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya,
bila mungkin;
3. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
4. Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual; dan
5. Membantu identifikasi pelaku.
2.3.3 Prinsip Pemeriksaan Korban kekerasan seksual
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban
kekerasan seksual:3
1. Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan
menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau
berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban,
serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis
yang lebih berat.
2. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama
jenis kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan.
Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi
terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal
ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap
tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh
terhadap korban saat pemeriksaan.
3. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
4. Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.
2.3.4 Langkah-langkah pemeriksaan korban kekerasan seksual:
1. Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin
terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus.
Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:
Umur atau tanggal lahir, Status pernikahan, Riwayat paritas dan/atau abortus,
Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid), Riwayat koitus
(sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi
lainnya), Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA).3
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian
kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:
What & How:
_ jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),
_ adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya, _ adanya upaya
perlawanan,
_ apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
_ adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau
setelah kejadian,
_ adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
_ apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
_ apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
_ adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
_ adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
_ penggunaan kondom, dan
_ tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah
buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.
When:
_ tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
_ apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
Where:
_ tempat kejadian, dan
_ jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat
kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
Who:
_ apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
_ jumlah pelaku,
_ usia pelaku, dan
_ hubungan antara pelaku dengan korban.3
2. Pemeriksaan fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip top-to-toe. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan
umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka
pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk life-
saving terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik,
perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan
khusus.3
Pemeriksaan fisik umum mencakup: Tingkat kesadaran, keadaan umum,
tanda vital, penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain), afek (keadaan
emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya), pakaian (apakah ada kotoran,
robekan, atau kancing yang terlepas), status generalis, tinggi badan dan berat
badan, rambut (tercabut/rontok) gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar
kedua dan ketiga), kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada
kuku yang tercabut atau patah), tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat
pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.3
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh
seperti pada Gambar 1.

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait


dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
a. Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;
b. Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
c. Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
d. Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
e. Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan;
f. Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi),
apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan
atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;
g. Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
h. Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir;
i. Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
j. Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis;
k. Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
l. Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
m. Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah
pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi
(Gambar 2). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan
robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan
robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.3
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.
Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan
bukti-bukti fi sik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat
visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu
lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan
secara detil setelah pemeriksaan selesai.3
3. Pemeriksaan penunjang
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.
Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:3
a. Pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk
mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti
darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah
atau daun-daun kering;
b. Rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal
atau mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran;
c. Kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar
pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku
korban;
d. Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari
kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks poste-rior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus
(pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual;
e. Darah; sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk mencari
tanda-tanda intoksikasi NAPZA; dan
f. Urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang
bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan,
pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara
sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim
ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.3
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Tinjauan Kasus
Sumber:
https://kumparan.com/rini-
friastuti/kronologi-pemerkosaan-
anak-7-tahun-di
jayapura#QSO0MGLebrw8rJR4.9
9
https://daerah.sindonews.com/read
/1246525/174/sadis-di-jayapura-
bocah-7-tahun-jadi-korban-
pemerkosaan-pria-misterius-
1507472683

Seorang anak perempuan


yang masih berumur 7 tahun
menjadi korban pemerkosaan yang
dilakukan oleh beberapa orang
pelaku di Distrik Abepura, Papua.
Kejadian memilukan ini terjadi
pada 7 Oktober. Meski belum
diketahui siapa saja yang tega memperkosa anak tersebut, namun Polres Jayapura
Kota sampai saat ini masih terus melakukan penyelidikan untuk menangkap
pelaku. Berikut kronologi terungkapnya kasus pemerkosaan di bawah umur
tersebut, seperti yang disampaikan Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol
Ahmad Mustofa Kamal, dalam keterangannya, Selasa (10/10):
7 Oktober Pukul 12.00 WIT
Seorang warga bernama Abner Herman Bemey yang sedang
melaksanakan ibadah di rumahnya, tiba-tiba melihat korban sedang berjalan
seorang diri ke arah BTN Wali Kota Tanah Hitam. Ketika anak tersebut berjalan
di samping rumah Abner, anak tersebut digonggongi anjing lalu pingsan. Abner
yang kaget kemudian memanggil warga lain bernama Benjamin dan Uslina untuk
melihat kondisi korban. "Mereka mendapatkan di bagian belakang tubuh korban
penuh dengan darah," ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad
Mustofa Kamal. Warga kemudian membawa anak tersebut ke rumah warga,
sebelum akhirnya melarikannya ke RSUD Abepura.
Pukul 12.20 WIT
Korban tiba di RSUD Abepura selanjutnya mendapatkan perawatan Medis
oleh Dokter Jaga RSUD Abepura. Warga yang membawa anak ini ke RS langsung
menghubungi Polsek Abepura.
Pukul 12.30 WIT
Setelah mendapatkan informasi tersebut KA SPK Polsek Abepura, Aiptu
Muh. Daud bersama 5 orang anggota lainnya, mendatangi TKP dan meminta
keterangan saksi. Polisi juga mengecek kondisi korban di RSUD Abepura dan
memastikan bahwa anak tersebut dalam kondisi stabil. Atas kejadian ini, Kamal
mengimbau kepada para orang tua untuk senantiasa waspada terhadap para
predator seksual yang berkeliaran di lingkungan sekitar tempat tinggal. Karena
dari sejumlah pemerkosaan dan pelecehan seksual pada anak, sebagian besar
dilakukan oleh orang-orang terdekat. "Pelaku pelecehan seksual kemungkinan
besar adalah seorang yang dikenal, selalu mencurigai orang dewasa yang mencoba
untuk menghabiskan waktu dengan sang anak," jelas Kamal. Apabila anak berada
di situasi yang tidak aman, ajarkan mereka untuk berkata tidak. "Selalu bangun
komunikasi yang positif dengan anak, mengetahui tanda-tanda kalau anak telah
dilecehkan secara seksual, selalu percaya naluri anda dan anak anda," kata Kamal.
3.2 Analisis Kasus
3.2.1 Identifikasi Barang Bukti
Dalam mengungkap suatu kasus tindak pidana pemerkosaan disertai
kekerasan seperti pada kasus di atas, penyidik perlu bekerjasama dengan berbagai
pihak yakni dokter & Ahli forensik (serologi Forensik) untuk mencapai
keberhasilan dari proses penyidikan. Pada kasus di atas korban ditemukan di
bagian belakang tubuh korban penuh dengan darah. Langkah pertama dalam
penanganannya adalah penyidik melakukan pengamanan terhadap TKP dan
kemudian dilakukan olah TKP oleh penyidik dibantu ahli forensik.
Olah TKP dilakukan bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan barang
bukti yang akan menjadi titik terang atau petunjuk bagi penyidik dalam
mengungkap dan menemukan pelaku pada tindak pidana pemerkosaan disertai
kekerasan tersebut. Pada Olah TKP beberapa hal yang dilakukan, yaitu
pengamatan umum, pemotretan, pembuatan sketsa, pengumpulan barang bukti,
penanganan korban, saksi, pengorganisasian olah TKP dan akhir penanganan
TKP. Tujuan dari bukti forensik adalah untuk membuktikan hubungan fisik antara
korban dan pelaku melalui bukti benda-benda yang didapatkan pada tempat
kejadian perkara. Bukti tersebut memerlukan analisis tertentu serta keterampilan
ilmiah khusus.
Keberadaan pelaku, korban dan TKP dapat mengakibatkan pertukaran
bukti jejak (prinsip Locard). Jejak biologis (seperti rambut, darah, cairan semen,
fragmen kulit dapat ditemukan pada kedua korban dan juga pelaku; misalnya,
darah korban bisa mengenai pakaian pelaku. Fragmen dari tempat kejadian
(misalnya lumpur, vegetasi) dapat menghubungkan korban dan pelaku ke lokasi
tertentu, atau mereka mungkin masing-masing telah meninggalkan jejak pakaian
atau jejak biologis di TKP.
Pemeriksaan medis untuk korban perkosaan pada umunya dilakukan
secara berurutan yaitu mulai dari Anamnesis, Pemeriksaan fisik &
Pemeriksaan Laboratorium. Pada kasus ini, pengkajian/anamnesis sangat perlu
dilakukan baik pada korban & saksi lainnya guna untuk mengetahui kronologis
suatu kejadian sehingga diperoleh titik terang atau petunjuk bagi penyidik dalam
mengungkap dan menemukan pelaku pada tindak pidana pemerkosaan disertai
kekerasan tersebut
Anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan
seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, berikut hasil
anamnesis terkait kejadian:
What & How:
a. Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),
Korban mengaku diperkosa oleh seorang dewasa yang ia tidak kenali
b. Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya, _ adanya
upaya perlawanan,
Korban diancam dan dicekik pada bagian leher kemudian melakukan
tindakan yang tidak senonoh oleh pelaku, korban sempat berusaha
melawan tetapi tidak mampu
c. Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
Setelah kejadian, korban sempat tidak sadarkan diri, dan kemudian
setelah sadar, korban berusaha minta pertolongan pada warga setempat,
namun saat itu pelaku sudah tidak ada.
d. Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum
atau setelah kejadian,
Awalnya pelaku menawarkan es kepada korban bersama teman-temannya,
saat itu yang menerima es tersebut hanya korban, teman yang lainnya
tidak menerima pemberian pelaku. Selanjutnya setelah korban menerima
pemberian es tersebut, korban diajak jalan- jalan oleh pelaku dengan
diiming-imingi akan membelikan barang lainnya. Saat itulah pelaku
mengambil kesempatan untuk melakukan pemerkosaan terhadap korban.
e. Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
Korban tidak tahu
f. Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
Korban mengeluhkan nyeri pada daerah kemaluan
g. Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
Korban mengatakan belum BAB dan BAK
h. Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
Korban tidak tahu
i. Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
Korban tidak tahu
j. Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban
sudah Buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan
sebagainya.
Korban mengatakan belum membasuh , mandi, ganti baju, dan
sebagainya, karena setelah kejadian, korban dibawa oleh warga ke RSUD
Abepura
When:
a. tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor,
Korban mengatakan sepulangnya dari sekolah
b. Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
Korban mengatakan baru pertama kali mengalami kejadian tersebut
Where:
a. tempat kejadian,
Korban mengatakan kejadian tersebut terjadi di salah satu kebun milik
warga
b. Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari
tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban)
Korban mengatakan kejadian tersebut dilakukan disemak-semak
Who:
a. apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
Korban mengatakan tidak mengenali pelaku
b. Jumlah pelaku,
Korban mengatakan ada 3 orang
c. Usia pelaku,
Korban tidak tahu
d. Hubungan antara pelaku dengan korban.
Korban mengatakan tidak memiliki hubungan keluarga atau lainnya
dengan pelaku.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik luar yang bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kekerasan fisik maupun seksual oleh pelaku, yaitu dengan
pemeriksaan pada:
1. Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani, tidak ditemukan adanya rambut pubis yang
terlepas yang mungkin berasal dari pelaku.
2. Daerah vulva, Labia mayora/minora dan kulit sekitar vulva/paha bagian
dalam (adanya perlukaan pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
3. Hymen (selaput dara) ditemukan adanya perlukaan seperti robekan, memar,
lecet, adanya perdarahan.
4. Vagina (liang senggama) ditemukan perlukaan dan adanya cairan atau lendir;,
Anus (lubang dubur) dan daerah perianal tidak ditemukan perlukaan dan
adanya cairan atau lendir
5. Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; Ditemukan beberapa luka memar &
tanda gigitan.
6. Pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk
mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti
darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian
7. Kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar
pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku
korban;
8. Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari
kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral),
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel serologi
Daerah Material Peralatan Instruksi Pengambilan
Pemeriksaan Sampel
Anus (rectum) Semen & Lubrikasi Cotton swab Menggunakan swab dan
& slide slide untuk
mikroskop mengumpulkan material.
Darah Obat-obat dan DNA Tabung Kumpulkan 10 mL darah
vena
Pakaian Material benda asing Tas kertas Pakaian harus
(contoh semen, darah, ditempatkan di dalam tas
rambut) kertas. Kumpulkan kertas
atau pakaian. Barang
basah harus dikumpulkan
secara terpisah.
Genitalia Semen Cotton swab Gunakan swab & slide
& slide untuk mengumpulkan
mikroskop material dari genitalia
eksterna, vagina &
serviks.
Rambut Membandingkan Wadah steril Potong kira-kira 20
rambut yang rambut dan letakan
ditemukan di TKP dalam wadah steril
Mulut Semen & DNA Cotton swab Oles/ swab beberapa
(korban) dan wadah bagian dari mulut dengan
steril satu atau beberapa swab.
Untuk mendapatkan
sampel oral, bilas mulut
dengan 10 mL air dan
simpan dalam wadah
steril
Kuku Kulit, darah, serat dll Tusuk gigi Gunakan tusuk gigi
(dari pelaku) steril atau untuk mengumpulkan
sejenisnya material dari bawah
atau kuku, atau kuku dapat
pemotong dipotong dengan
kuku pemotong kuku lalu
ditempatkan dalam
wadah steril
Pembalut Material asing (seperti Wadah steril Kumpulkan jika
semen, darah, dan digunakan selama atau
rambut) setelah penetrasi vagina
atau oral
Kulit Semen, saliva, darah, Cotton swab Swab bagian dimana
material asing lainnya semen didapatkan,
(rambut, rambut simpan dalam wadah
pelaku) steril
Urine Obat-obatan Wadah steril Kumpulkan 100 mL
urine
Untuk kepentingan penyidikan, selanjutnya alat bukti tersebut dikirim ke
laboratorium forensik untuk dianalisis. Barang bukti/material kimia, biologik dan
fisik yang ditemukan ditempat kejadian perkara dapat berupa: Material fisik: serat
pakaian, selimut, kain penyekap korban, tali pengikat korban dll. Selain itu
material biologik: cairan tubuh, air liur, semen/sperma, darah, rambut yang berada
di TKP. Dengan barang bukti ini diharapkan dapat diidentifikasi pelaku
pembunuhan disertai pemerkosaan tersebut.
2.4. Pemeriksaan Laboratorium Forensik
2.4.1 Pemeriksaan Cairan Mani (Semen) & Spermatozoa
Pemeriksaan cairan mani dapat
digunakan untuk membuktikan:
adanya persetubuhan melalui
penentuan ada tidaknya cairan
semen dalam vagina yang di ambil
melalui swab atau irigasi. Cairan
mani merupakan cairan agak putih
kekuningan, keruh dan berbau khas.
Gambar 2.4.1 Swab Vagina
Cairan mani saat ejakulasi kental
kemudian akibat enzim proteolitik menjadi cair dalam waktu yang singkat (10-20
menit). Dalam keadaan normal, volume cairan mani 3-5 ml ada 1 kali ejakulasi
dengan Ph 7,2-7,6.13
Cairan mani mengandung spermatozoa, sel-sel epitel dan sel-sel lain yang
tersuspensi dalam cairan yang disebut plasma seminal yang mengandung
spermion dan beberapa enzim seperti fosfatase asam. Spermatozoa mempunyai
bentuk yang khas untuk spesies tertentu dengan jumlah yang bervariasi, biasanya
antara 60 sampai 120 juta per ml. Sperma itu sendiri dalam liang vagina masih
dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam post coitus; sperma masih dapat ditemukan
tidak bergerak sampai ssekitar 24-36 jam post coitus dan bila wanitanya mati
masih akan dapat ditemukan dalam 7-8 hari.13
Pemeriksaan cairan mani dapat digunakan untuk membuktikan:
1. Adanya persetubuhan melalui penentuan adanya cairan mani dalam labia
minor atau vagina yang diambil dari forniks posterior.
2. Adanya ejakulasi pada persetubuhan atau perbuatan cabul melalui
penentuan adanya cairan mani pada pakaian, seprai, kertas tissue dll.
Teknik pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium untuk
pemeriksaan cairan mani dan sel mani dalam lendir vagina yaitu dengan
mengambil lendir vagina dengan menggunakan pipet pasteur atau diambil dengan
ose batang gelas, atau swab. Bahan diambil dari forniks posterior, bila mungkin
dengan spekulum. Pada anak-anak atau bila selaput dara masih utuh, pengambilan
bahan sebaiknya dibatasi dari vestibulum saja.13
2.4.2 Penentuan Spermatozoa (Mikroskopis)
Tanpa Pewarnaan
Untuk melihat motilitas spermatozoa. Pemeriksaan ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
Cara pemeriksaan:
Letakkan lendir vagina di atas kaca objek sebanyak 1-2 tetes, kemudian
teteskan satu tetes NaCl. Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 500
Kali. Perhatikan pergerakan spermatozoa. Sedangkan bila berasal dari bilas
vagina, buat ekstrak dalam tabung reaksi ditambahkan garam fisiologis/NaCl
secukupnya, sentrifuse 1000 rpm selama 2 menit. Endapan/pellet diperiksa
dibawah mikroskop.

Gambar 2.3.2 Spermatozoa


Hasil:
Umumnya disepakati dalam 2-3 jam setelah persetubuhan dapat ditemukan
spermatozoa yang bergerak dalam vagina. Haid akan memperpanjang waktu ini
sampai 3-4 jam. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa spermatozoa
masih dapat di temukan 3 hari, kadang-kadang sampai 6 hari pasca persetubuhan.
Pada orang mati, spermatozoa masih dapat ditemukan hingga 2 minggu pasca
persetubuhan, bahkan mungkin lebih lama lagi.13
2.4.3 Pemeriksaan bercak mani pada Pakaian
Secara Visual
Bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap dari pada sekitarnya.
Bercak yang sudah agak tua berwarna kekuningan.5
- Pada bahan sutera/nilon, batas sering tidak jelas, tetapi terlalu lebih
gelap dari pada sekitarnya
- Pada tekstil yang tidak menyerap bercak segar menunjukan permukaan
mengkilat dan translusen kemudian mengering. Dalam waktu kira-kira
1 bulan akan berwarna kuning sampai cokelat.
- Pada tekstil yang menyerap, bercak segar tidak berwarna atau bertepi
kelabu yang berangsur-angsur menguning sampai cokelat dalam waktu
1 bulan
- Dibawah sinar Ultraviolet (UV), bercak semen menunjukan flouresensi
putih. Flouresensi terlihat jelas pada bercak mani pada bahan yang
terbuat dari serabut katun. Bahan makanan, urin, sekret vagina dan
serbuk deterjen yang tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.13
2.4.4 Analisa Barang Bukti
Berbagai sampel bukti yang diperoleh seperti bercak mani, saliva dan lain
sebagainya, kemudian dilakukan pemeriksaan DNA atau yang lebih sederhana
yaitu golongan darah, untuk menentukan identitas pelaku. Setelah hasilnya telah
di dapatkan, kemudian di cocokan dengan terduga pelaku berdasarkan keterangan-
keterangan saksi. Jika hasil pemeriksaannya match dengan identitas terduga
pelaku, selanjutnya peran penyidik untuk melakukan penangkapan pada pelaku
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
2.4.5 Pemeriksaan Pria Tersangka
Untuk membuktikan bahwa seorang pria baru saja melakukan
persetubuhan dengan seorang wanita dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan
cara Lugol, yaitu kaca objek ditempelkan dan ditekankan pada glans penis
terutama pada bagian kolum, korona serta frenulum. Kemudian letakkan dengan
spesimen menghadap ke bawah diatas tempat yang berisi larutan lugol dengan
tujuan agar uap yodium akan mewarnai sediaan tersebut. Hasil positif akan
menunjukkan sel-sel epitel vagina dengan sitoplasma berwarna coklat karena
mengandung banyak glikogen. Untuk memastikan bahwa sel epitel berasal dari
seorang wanita, perlu ditentukan adanya kromatin seks (Barr Bodies) pada inti.
Dengan pembesaran besar, perhatikan inti sel epitel yang ditemukan dan cari Barr
Bodies. Ciri-cirinya adalah menempel erat pada permukaan membran inti dengan
diameter kira-kira 1 yang berbatas jelas dengan tepi tajam dan terletak pada
satu dataran fokus dengan inti.
"Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi, telah diketahui
indentitas pelaku dan pada hari Rabu 11 Oktober 2017 pelaku berhasil diamankan
saat ingin naik Kapal KM Sinabung," ungkap Kamal. Kamal menambahkan, saat
ini pelaku YK (28) diamankan di Mapolres Jayapura Kota dan masih dilakukan
pemeriksaan secara intensif oleh Penyidik Sat Reskrim Polres Jayapura Kota guna
mengungkap motif dan modus pelaku melakukan perbuatan tersebut.
Dari hasil pemeriksaan awal diketahui bahwa modus pelaku dalam
melakukan pemerkosaan tersebut adalah memberikan Es kepada anak-anak yang
sementara bermain di luar rumah. Dimana sebelum kejadian pemerkosaan, pelaku
sempat menawarkan es kepada korban APR bersama teman-temannya, saat itu
yang menerima es tersebut hanya korban, teman yang lainnya tidak menerima
pemberian pelaku.
Selanjutnya setelah korban menerima pemberian es tersebut, korban diajak
jalan- jalan oleh pelaku dengan diiming-imingi akan membelikan barang lainnya.
Saat itulah pelaku mengambil kesempatan untuk melakukan pemerkosaan
terhadap korban APR. Dan dari hasil pemeriksaan juga diketahui bahwa pelaku
melakukan pemerkosaan tidak baru kali ini saja, dari hasil pemeriksaan diketahui
bahwa pelaku telah melakukan pemerkosaan sebanyak 3 kali di tiga tempat yang
berbeda diantara pada 2015 lalu. Di Kabupaten Nabire tepatnya bulan Juni 2017
pelaku kembali melakukan tindak pidana pemerkosaan dan saat ini masih
dilakukan penyelidikan oleh Sat Reskrim Polres Biak Numfor. Selanjutnya pada
Bulan Oktober 2017, tepatnya hari Sabtu 7 Oktober 2017 pelaku kembali
melakukan pemerkosaan anak di bawah umur yang dialami oleh APR bocah
berumur 7 Tahun hingga pingsan.
Maka dari itu pelaku dapat dijerat Pasal 285 KUHP Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
3.2.2 Tindak Lanjut
Setelah pemeriksaan forensik terhadap korban selesai, dilakukan tindak
lanjut baik dari aspek hukum maupun medis. Seorang korban kekerasan seksual
sering tidak hanya membutuhkan layanan pemeriksaan untuk pembuatan visum et
repertum, tapi juga tindak lanjut medis. Tindak lanjut medis dapat mencakup
penatalaksanaan psikiatrik dan penatalaksanaan bidang obstetri-ginekologi. Tidak
jarang seorang korban kekerasan seksual mengalami trauma psikis sehingga
membutuhkan terapi atau konseling psikiatrik. Terapi tersebut dapat membantu
korban mengatasi trauma psikis yang dialaminya sehingga tidak berkepanjangan
dan korban dapat melanjutkan hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang
obstetri-ginekologi, korban kekerasan seksual mungkin memerlukan tindakan
pencegahan kehamilan serta pencegahan atau terapi penyakit menular seksual.
Apabila sudah terjadi kehamilan, korban mungkin membutuhkan perawatan
kehamilan atau terminasi kehamilan sesuai ketentuan undang-undang.
Dalam melakukan tindak lanjut, sangat penting untuk melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Koordinasi yang baik diperlukan antara
dokter pemeriksa dengan dokter yang memberikan tata laksana lanjutan agar
korban mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu, dokter juga harus
menjalin kerjasama yang baik dengan pihak polisi penyidik agar hasil
pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi pengungkapan kasus.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil berdasarkan kasus di atas, bahwa
Pemeriksaan Serologi forensik adalah salah satu cara yang dapat diandalkan untuk
mendapatkan bukti yang jelas dan akurat sehingga dapat di identifikasi pelaku
pembunuhan dan pemerkosaan tersebut sesuai dengan dugaan pelaku yang ada.
Tujuan dari bukti forensik ini adalah untuk membuktikan hubungan fisik antara
korban dan pelaku melalui bukti benda-benda yang didapatkan pada tempat
kejadian perkara. Bukti tersebut memerlukan analisis tertentu serta keterampilan
ilmiah khusus.
Keberadaan pelaku, korban dan TKP dapat mengakibatkan pertukaran bukti
jejak (prinsip Locard). Jejak biologis (seperti rambut, darah, cairan semen,
fragmen kulit dapat ditemukan pada kedua korban dan juga pelaku; misalnya,
darah korban bisa mengenai pakaian pelaku. Fragmen dari tempat kejadian
(misalnya lumpur, vegetasi) dapat menghubungkan korban dan pelaku ke lokasi
tertentu, atau mereka mungkin masing-masing telah meninggalkan jejak pakaian
atau jejak biologis di TKP.
Berbagai sampel bukti yang diperoleh seperti bercak mani, saliva dan lain
sebagainya, kemudian dilakukan pemeriksaan DNA atau yang lebih sederhana
yaitu golongan darah, untuk menentukan identitas pelaku. Setelah hasilnya telah
di dapatkan, kemudian di cocokan dengan terduga pelaku berdasarkan keterangan-
keterangan saksi. Jika hasil pemeriksaannya match dengan identitas terduga
pelaku, selanjutnya peran penyidik untuk melakukan penangkapan pada pelaku
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
4.2. Saran
Perlu sosialisasi pada masyarakat perlunya menjaga dan tidak merusak
barang bukti di tempat kejadian perkara, atau pada bagian tubuh korban agar
memudahkan pemeriksaan forensik untuk menemukan pelaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Husnayain KI, Utama WT. Tindak Kesusilaan pada Anak di Bawah Umur
The Sexual Offences in Child Under Age. 2016;5:33-40.
2. Undang-undang PDANU. Kekerasan seksual terhadap perempuan dan
urgensi undang-undang tentang kekerasan seksual. 2016;VII(22).
3. Kedokteran F, Indonesia U, Cipto R. EDUCATION Prinsip Pemeriksaan
dan Penatalaksanaan Korban ( P3K ). 2012;39(8):579-583.
4. Tahun M, Sumampouw BT, Siwu JF, Mallo JF, Billsumampouwymailcom
E. YANG MASUK BAGIAN FORENSIK RSUP PROF DR . R . D
KANDOU. 2016;1(2):29-36.
5. Ps P, Herryadi N, Rusman AA, Linasari D. ASPEK MEDIKOLEGAL
PEMERIKSAAN SELAPUT DARA PADA KORBAN DUGAAN
PERKOSAAN DI RSUP Dr . HASAN. 2017:15-16.
6. Lynch VA. Forensic nursing science: Global strategies in health and
justice. Egypt J Forensic Sci. 2011;1 (2): 69-76.
doi:10.1016/j.ejfs.2011.04.001.
7. Bhayangkara RS, Tahun M, Siwu J. HASIL VISUM ET REPERTUM
KORBAN PERKOSAAN DI. 2015;3.
8. Andreoli, T.E., et al. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2000: 1997.
9. Mawardi, H. Peranan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Perkosaan. Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional
Veteran.2008.
10. Wikipedia. Corpus Delicti. Available from: URL Google
http://en.wikipedia.org/wiki/corpusdelicti Accessed : 10 January 2012
11. Budiyanto A. Widiatmaka W. Atmadja D.S. Pemeriksaan Laboratorium
Forensik Sederhana. Dalam : Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta. 1999. H.177-196
12. Wikipedia. Identifikasi Forensik (Trace Evidance). Available from: URL
Google http://en.wikipedia.org/wiki/traceevidence Accessed : 10 January
2012.
13. Yudianto, Ahmad. Panduan praktik Serologi Forensik. Surabaya: Global
Persada Press. 2013

Anda mungkin juga menyukai