Anda di halaman 1dari 17

Berbagi Laporan Silvikultur (INVENTARISASI DAN ANALISIS POTENSI

DARI PRODUKTIVITAS TEGAKAN DI UNIVERSITAS HASANUDDIN


MAKASSAR

ABSTRAK
Hutan merupakan komunitas tumbuhan yang paling produktif melalui proses fotosintesis
dengan bantuan energi matahari yang menghasilkan bahan organik. Tingginya produktivitas
primer hutan dimungkinkan karena pohon-pohonnya tinggi dengan tajuk yang besar menjulang
ke atas serta berfungsi mengantarkan air dan unsur hara dari tanah ke daun. Dalam usaha untuk
melestarikan hutan, maka prinsip dan cara teknis serta praktek lapang silvikultur perlu diketahui.
Praktek lapangan silvikultur ini dilaksanakan di tegakan jati yang terletak di sekitar
fakultas Sastra Universitas Hasanuddin,Makassar. Praktek silvikultur ini bertujuan untuk
mengetahui dalam mengukur potensi tegakan diantaranya adalah derajat kekerasan penjarangan
dan bonita, serta pertimbangan dalam melakukan penjarangan atau tindakan silvikultur lainnya
pada tegakan jati yang diamati.
Kegiatan praktek lapang ini diawali dengan menentukan lokasi dan membuat
plot.Pembuatan plot bertujuan untuk memberikan batas pengukuran dan untuk memudahkan
dalam melakukan penaksiran. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran keliling pohon, sudut
tinggi bebas cabang, dan sudut tinggi total. Pohon-pohon yang telah diukur diberi tanda dengan
cara memberikan nomor-nomor pada pohon tersebut. Setelah semua data diperoleh, dilakukan
perhitungan secara matematis dengan menggunakan rumus.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Silvikultur adalah ilmu yang berkaitan dengan semua perlakuan terhadap hutan dalam
upaya permudaan, pemeliharaan, dan pemanenan hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta
perlindungan terhadap hutan sebagai penyangga kehidupan khususnya tanah, air, dan satwa liar.
Dari berbagai literatur silvikultur didefinisikan sebagai :
1. Ilmu dan seni dalam membangun dan memelihara hutan;
2. Aplikasi dari silvika dalam memberikan perlakuan terhadap hutan;
3. Teori dan praktek untuk membuat, mengatur komposisi, struktur, dan pertumbuhan hutan.
Di sini silvikultur bukan hanya merupakan elemen teknis namun juga merupakan
landasan pokok untuk mencapai tujuan. Silvikultur selalu diperlukan dalam pengelolaan
meskipun hutan dibiarkan tak tersentuh dan tumbuh berkembang secara alami karena
perkembangan hutan secara alami mungkin dilakukan setelah mempertimbangkan implikasi
silvikulturnya kalau hutan tersebut dibuka dan dimanfaatkan.
Di lain pihak, dengan adanya pemanfaatan kayu dari hutan alam atau dalam upaya
pengembangan hutan tanaman maka silvikultur berperan dalam mengatur, mengarahkan
tebangan, permudaan, dan pemeliharaan. Seiring dengan meningkatkanya kesadaran dan fakta
bahwa hutan berperan penting sebagai penyangga kehidupan seperti terjadinya pemanasan global
maka penggunaan silvikultur dalam pengelolaan menjadi keharusan agar kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia dapat dipertahankan.
Pengelolaan hutan dewasa ini semakin meningkat, merupakan ancaman kerusakan yang
dapat mengakibatkan kemunduran kualitas, serta produktivitas hutan itu sendiri. Semakin
tertekannya hutan alam dalam pengelolaannya maka yang digalakkan pengelolaan hutan tanaman
yang diharapkan dapat mencakupi keperluan industri-industri perkayuan. Dalam usaha untuk
melestarikan hutan, maka prinsip dan cara teknis serta praktek lapang silvikultur perlu diketahui.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu menentukan potensi suatu
tegakan dan dapat mengukur diameter, tinggi, LBDS dan menghitung volume tegakan jati
(Tectona grandis).
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana
potensi suatu tegakan dan mengetahui rumus-rumus dalam mengukur potensi tegakan
diantaranya adalah derajat kekerasan penjarangan dan bonita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Bonita
Kualitas tempat tumbuh adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang berhubungan erat
dengan produktivitas kayu yang dapat dihasilkan, sedangkan bonita adalah ukuran yang
digunakan untuk indeks kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita sering didasarkan pada
hubungan antara rata-rata peninggi dengan umur tegakan (Wahyuni, S, 2011).
Kualitas tempat tumbuh (site quality) dari jenis satu tegakan pohon dinyatakan sebagai
peninggi untuk umur tertentu yang disebut pohon persatuan luas, luas bidang dasar setinggi dada,
dan rata-rata tinggi bidang dasar. Kondisi ini berlaku pada suatu daerah yang keadaan tanahnya
mirip dengan daerah yang akan dibangun hutan tanaman industri (HTI), dimana mempunyai
penentuan umur baku tegakan. Hasil menyeluruh ini ditabulasikan untuk memudahkan
mengetahui volume kayu yang dihasilkan oleh peninggi pada umur tertentu. Parameter tersebut
disusun sedemikian rupa dengan melawan umur tegakan, sehingga didapat indeks bonita. Umur
tegakan yang digunakan dalam penyusunan indeks bonita adalah umur tegakan saat melakukan
penjarangan, yaitu 5, 10, 20, 25, , 105 tahun dan hubungan peninggi dengan umur tegakan
berdasarkan grafik disebut kelas bonita (Arief, 2001).
Menurut Poerwowidodo (1990), penyusunan kelas-kelas bonita perlu memperhatikan
umur baku. Jika korelasi antara peninggi dan umur tegakan linier positif, maka semakin tua suatu
tegakan berarti memberikan mutu site yang makin tinggi. Pada tegakan terlalu tua (>80 tahun),
hubungan peninggi dan umur cenderung tidak lagi linier, sehingga memberikan mutu site terlalu
tinggi. Penilaian mutu site pada tegakan terlalu muda (<30 tahun) sering memberikan mutu site
terlalu rendah. Hal ini berpeluang terjadinya gejolak pada kelas-kelas bonita setiap kali diadakan
pengukuran ulang. Sebenarnya, peninggi sebagai alat ukur seharusnya mampu dijadikan
pengukuran akurat bagi media dan pada lingkungan yang sama pula. Dengan kata lain, jika
peninggi digunakan untuk mengukur produktivitas suatu kelas bonita pada pengukuran kapan
saja akan menghasilkan nilai yang sama pula (Arief, 2001).
Menurut Colie (1946) pertumbuhan tanaman jati sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, salah satu faktor yang amat penting adalah kondisi tanah. Penelitian Siswanto (1997)
menunjukkan persentase kelerengan tanah mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan nilai
bonita tanaman jati, dimana pada kondisi lahan yang datar tanaman jati cenderung tumbuh lebih
baik. Penelitian kualialitas tempat tumbuh berdasarkan sifat-sifat tanah lebih memberikan
keuntungan, karena penilaian kualitas tempat tumbuh ini tidak perlu harus menunggu adanya
tegakan. Sedang dalam perencanaan pengembangan hutan jati penilaian kualitas tempat tumbuh
sebelum hutan tersebut digunakan sangat perlu (Shvoong, 2010).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan faktor peninggi mempunyai beberapa
kelemahan, antara lain: 1) Mensyaratkan kehadiran tegakan hutan, 2) Mensyaratkan kondisi
tertentu dari tegakan dan 3) Khusus untuk jati menurut Haeruman (1965) penilaian terlalu rendah
pada tegakan muda dan terlalu tinggi pada tegakan tua (Arief, 2001).
B. Penjarangan
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan manusia
pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan. Tujuannya menciptakan keseimbangan antara
kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan ekonomi untuk memperoleh hasil yang
maksimal di kemudian hari. Dalam silvikultur ada beberapa konsep dasar tentang penjarangan
yang diungkapkan dalam beberapa pustaka sebagai berikut (Nurkin, B, 2012) :
Penjarangan merupakan tindakan pemeliharaan mengatur ruang tumbuh dengan cara
mengurangi kerapatan tegakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas pohon (Direktorat
Jendral Pengusahaan Hutann, 1990). Penjarangan merupakan tindakan pengurangan jumlah
batang per satuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi
persaingan antarpohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalamn tegakan. Pada umumnya,
untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pada umur 3-4 tahun, sedangkan
pada jenis yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun
(Nurkin, B, 2012).
Penjarangan hutan adalah suatu tindakan silvikultur terhadap tegakan hutan tanaman
yang bertujuan untuk memperoleh tegakan tinggal sehat, kualitas kayu yang baik pada akhir
daur, sehingga hasil/produksi penjarangan hutan bukan merupakan tujuan utama tetapi
merupakan hasil antara dari tindakan silvikultur. Tujuan dari kegiatan penjarangan adalah
memelihara pohon-pohon yang terbaik pada suatu tegakan dengan memberi ruang tumbuh yang
cukup bagi tegakan tinggal sehingga pada akhir daur akan diperoleh tegakan hutan yang
memiliki massa kayu yang besar dan berkualitas tinggi. Untuk menghindari tumbuhnya tunas air
dan serangan hama/penyakit, pada tegakan muda dilakukan penjarangan dengan derajat
penjarangan lemah dengan frekuensi sesering mungkin (Nurkin, B, 2012).
Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang mungkin
bisa dilakukan, ini tergantung pada jarak tanam, kesuburan tanah dan perawatan. Pelaksanaan
penjarangan sendiri didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis
yaitu jumlah pohon persatuan luas ideal, penjarangan sistematik, penjarangan seleksi rendah, dan
penjarangan tajuk (Sharoon, C, 2011).
Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang ideal adalah dilakukan
dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering mungkin. Sebab penjarangan yang terlalu
keras akan menyebabkan ruang tumbuh yang terlalu terbuka yang mengakibatkan tanaman
menjadi lunglai, sedangkan penjarangan yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi
kurang optimal pertumbuhannya (Sharoon, C, 2011).
Adapun tujuan pelaksanaan penjarangan adalah untuk memacu pertumbuhan dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas tegakan agar diperoleh tegakan hutan dengan massa kayu
dan kualitas kayu yang tinggi sehingga dapat memberikan penghasila yang tinggi selama daur.
Jadi pada dasarnya tujuan kegiatan ini untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi
individu-individu terpilih dan menghilangkan individu yang cacat atau tidak terpilih (Sharoon, C,
2011).
Dasar pertimbangan dilakukannya penjarangan adalah bahwa diameter merupakan fungsi
dari kerapatan. Tegakan yang rapat lazimnya ruang tumbuhnya terbatas, sehingga rerata diameter
relatif lebih kecil. Sebaliknya bila ruang tumbuh terlalu besar, banyak ruangan yang kosong,
percabangan pohon tidak teratur, sehingga total hasilnya kurang menguntungkan (Sharoon, C,
2011).
C. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)
Ada empat kategori tingkat atau derajat kekerasan penjarangan, yaitu : sangat lemah,
lemah, agak keras, dan keras. Penciri atau indikator dari penjarangan sangat lemah adalah
dimulai pada pohon-pohon tertekan yang pasti akan mati secara alami. Indikator dari
penjarangan lemah adalah dilaksanakan pada pohon-pohon tertekan yang dan beberapa dari
pohon codominan. Indikator dari penjarangan agak keras adalah dilaksanankan pada pohon-
pohon codominan dan penjarangan keras dicirikan oleh beberapa pohon dominan yang jarak
tumbuhnya tidak teratur juga ikut ditebang (Wanggai, F, 2009).
Kekerasan penjarangan dinyatakan dengan derajat kekerasan penjarangan,
yaitu perbandingan antara rata-rata jarak antarpohon dengan tingginya, pohon peninggi. Atau
merupakan suatu angka yang ditentukan berdasarkan perbandingan (dalam persen) yang tepat
antra jarak antar pohon rata-rata dan tinggi pohon. Angka perbandingan ini kemudian dinyatakan
sebagai S%. Makin besar angka perbandingan ini, maka makin besar pula intensitas penjarangan
tegakan. Umur dan bonita tegakan dengan demikian menentukan S% (Anonim, 2013).
Berdasarkan S % (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam
persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per ha dalam tegakan).
S % optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat
penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S % optimal diperlukan data pertumbuhan pohon
pada setiap umur tegakan. Besarnya S % pada akhir penjarangan beragam menurut jenis,
umumnya berkisar antara 15-35 % (Sharoon, C, 2011).
Wolff Von Wulfing juga telah menyusun tabel yang mengutarakan S% untuk berbagai
kelas umur dan bonita. Perubahan S% dalam tegakan jati penting untuk menetukan frekuensi
penjarangan. Untuk mengukur S% dengan cepat dari suatu petak percobaan jati Ferguson
membuat nomogram yang member hubungan antara luas petak percobaan, jumlah batang per
petak percobaan dan jumlah batang per ha dan S%, dengan demikian dapat dilihat dengan cepat
perubahan- perubahan dalam kekerasan penjarangan, baik oleh pertumbuhan tegakan sendiri
maupun oleh kerusakan (Aldren, 2011).
D. Kerapatan
Kerapatan menggambarkan besarnya ruang yang di tempati pohon-pohon di dalam
tegakan dan dinyatakan sebagai ruang yang ditempati oleh batang. Karena itu jumlah pohon
persatuan luas lahan (biasanya hektare), atau N/ha menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan.
Parameter lain kerapatan tegakan adalah LBDS (luas bidang dasar) per hektare (Nurkin, B,
2012).

Kerapatan tegakan bukanlah merupakan penentuan ukuran volume langsung. Pada


penentuan kerapatan tegakan menghendaki tambahan informasi tentang tegakan sebelum volume
dapat ditaksir. Ada beberapa macam cara menentukan kerapatan tegakan antara lain (Anonim,
2011) :

- Metoda Okuler
Para rimbawan Eropa mempertahankan kerapatan maksimal yang selaras dengan pertumbuhan
maksimal dengan estimasi okuler penutupan tajuk dan perkembangan tajuk.

- Metoda Tabel Hasil Normal


Metode tabel hasil normal ini dikembangkan dari tegakan seumur yang merupakan dasar untuk
mengukur kerapatan tegakan. Disini, metode tabel hasil normal memberikan nilai rata-rata
banyak karakteristik tegakan untuk tegakan mempunyai stok penuh, seumur, dan murni pada
umur dan kualitas tempat tumbuh sama. Kerapatan suatu tegakan tertentu dengan metode ini
dinyatakan sebagai hubungan luas bidang dasar, jumlah pohon, atau volumenya dengan nilai
tabel hasil normal untuk umur dan indeks tempat tumbuh yang sama.

- Metode Indeks Kerapatan Tegakan Reineke


Metode ini digunakan untuk menjadi alat untuk pengelolaan tegakan intensif untuk mengatur
kerapatan tegakan. Indeks kerapatan tegakan selalu dinyatakan sebagai jumlah pohon. Metode
ini bebas untuk mempertimbangkan pengaruh tempat tumbuh dan umur, dan dengan mudah
diperoleh dengan menggunakan sudut Bitterlich atau baji Bruce untuk pengukuran luas bidang
dasar (LBDS) dan dengan pencatatan diameter pohon yang dihitung pada setiap titik. Metode ini
memberikan ukuran kerapatan yang tidak bergantung pada jenis.

BAB III
METODE PRAKTEK LAPANG

A. Waktu dan Tempat


Kegiatan praktek lapang Silvikultur ini dilaksanakan pada Sabtu 2 November 2013, pukul
10.00 selesai. Kegiatan ini bertempat di Hutan Tegakan Jati, Fakultas Sastra, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktek lapang Silvikultur adalah sebagai berikut
:
1. Meteran Roll
2. Tali Rapia
3. Pita meter
4. Abney Level
Sedangkan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Alat Tulis Menulis
2. Tally sheet

C. Prosedur Kerja
Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu:
1. Membuat 2 plot segi empat dengan tali rafiah seluas 10 x 10 meter.
2. Untuk mengukur sudut tinggi total pohon, tentukan terlebih dahulu jarak pengamat ke pohon,
kita dapat melihat sudutnya dengan menggunakan abney level dan jarak yang digunakan yaitu 15
meter dan tinggi pengamat sampai mata yaitu 1,65 cm.
3. Untuk mengukur sudut tinggi bebas cabang, tentukan terlebih dahulu tajuk pertamanya dan
kemudian diukur sama seperti mengukur sudut tinggi total.
4. Mengukur keliling dengan cara pita meter dilingkarkan ke batang setinggi dada.
5. Setelah pengukuran, maka selanjutnya menghitung TBC, TT, VTT, dan VTBC.
6. Mencatat hasil yang diperoleh di tally sheet.

D. Analisis Data
Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur dan analisis
datanya adalah sebagai berikut :
1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi ke diameter,
dengan rumus :

Diameter = k/
Keterangan :
K : keliling
: 3,14
2. Menghitung tinggi bebas cabang dengan menggunakan rumus :
tan tbc x jp + tp
Keterangan :
tbc : sudut tinggi bebas cabang menggunakan abney level
jp : jarak pengamat ke pohon, yaitu 15 meter
tp : tinggi pengamat sampai mata, yaitu 1,65 meter
3. Menghitung tinggi total dengan menggunakan rumus :

tan tt x jp + tp
Keterangan :
tt : sudut tinggi pohon menggunakan abney level
jp : jarak pengamat ke pohon, yaitu 15 meter
tp : tinggi pengamat sampai mata, yaitu 1,65 meter
4. Menghitung luas bidang dasar pohon (LBDS) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

LBDS = d2
Keterangan :
LBDS : Luas bidang dasar
: 3,14
d : Diameter
5. Menghitung volume tinggi total dan volume tinggi bebas cabang (TBC) dengan menggunakan
rumus :

VT.Tot = LBDS T.Tot f


Keterangan :
VT.Tot : Volume tinggi total
LBDS : Luas bidang dasar
T.Tot : Tinggi total
f : Angka bentuk (0,8)

VTBC = LBDS TBC f


Keterangan :
VTBC : Volume tinggi bebas cabang
LBDS : Luas bidang dasar
TBC : Tinggi bebas cabang
f : Angka bentuk (0,8)
6. Menentukan kurva kelas diameter yang terdiri dari jangkauan data (J), banyaknya interval kelas
(K), panjang kelas (P) dan batas interval kelas. Adapun rumus-rumusnya adalah sebagai berikut :

J = d maksimal d minimal
K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)
P = J/K
7. Menghitung kerapatan individu dan kerapatan LBDS. Adapun rumus-rumusnya adalah sebagai
berikut :

Kerapatan individu = Jumlah pohon / luas areal

Kerapatan LBDS = jumlah LBDS/ luas areal

Dimana N adalah jumlah seluruh pohon dan n adalah jumlah plot dalam suatu area yang diukur.
8. Menghitung peninggi pohon dengan menggunakan rumus :

H = jumlah pohon tinggi / jumlah peninggi

9. Menentukan Bonita tegakan dengan cara melihat tabel bonita.


10. Menghitung derajat kekerasan penjarangan (S%)

11. Menghitung riap tahunan rata-rata yang terdiri dari volume rata-rata, volume total dan MAI.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Kurva Kelas Diameter Pohon
i.Jangkauan Data (J)
J = d maksimal d minimal
J = 0.267 0.039 = 0.227
ii.Banyaknya Interval Kelas (K)
K = 1 + 3,3 log (N)
K = 1 + 3,3 log (101)
= 1 + 3,3 (2.004)
= 7,614
iii.Panjang Interval Kelas
P = J/K
P = 0.227/7.614
= 0.029

Tabel Interval Kelas


Kelas Frekuensi
0.039 0.069 1
0.070 0.099 2
0.100 0.129 7
0.130 0.159 16
0.160 0.189 33
0.190 0.219 29
0.220 - 0.249 11
0.250 0.279 2

2.Kerapatan
a. Kerapatan Individu
Jumlah Pohon :
- Plot 1 = 28 pohon
- Plot 2 = 33 pohon
- Plot 3 = 24 pohon
- Plot 4 = 16 pohon
Kerapatan Individu = 101 pohon/ 0,8 ha
= 126,25 pohon/ha
b. Kerapatan LBDS
Jumlah LBDS :
- Plot 1 = 0.785 m2
- Plot 2 = 0.875 m2
- Plot 3 = 0.561 m2
- Plot 4 = 0.412 m2

Keparatan LBDS = ( LBDS Plot 1 + LBDS Plot 2 + LBDS Plot 3 + LBDS Plot 4 +
LBDS Plot 5) / Luas Area
= (0.785+0.875+0.561+0.412) m2/0,8 ha
= 3,291 m2/ha
3.Peninggi
Rata-rata 10 Pohon Tertinggi Masing-masing Plot :
Plot 1 =(27,63+26,33+26,33+26,33+24,04+24,04+23,02+23,02+23,02+23,02) m
= 246,78 m
Plot 2 =(27,63+23,07+21,55+20,84+20,84+20,17+19,52+19,52+19,52+19,52) m
= 212,18 m
Plot 3 =(20,35+18,87+18,85+18,85+17,55+17,55+17,55+16,95+16,95+16,35) m
= 180,42 m
Plot 4 =(26,31+22,06+20,37+18,88+18,20+18,02+17,56+17,56+16,38+16,38) m
= 141,58 m
Peninggi seluruh plot
= 780.96/40
= 19.52 m
4. Bonita
Umur tegakan jati (Tectona grandis) adalah 14 tahun, maka penentuan bonitanya adalah
sebagai berikut :

Bonita I = 12,8-10,7 / 15-10 Jadi Bonita I = 10,7 + 0,42


= 2,1 / 5 = 11,12 m
= 0,42 m
Bonita II = 16,4-12,6 / 15-10 Jadi Bonita II = 12,6 + 0,76
= 3,8 / 5 = 13,36 m
= 0,76 m
Bonita III = 20,0-16,6 / 15-10 Jadi Bonita III = 16,6 + 0,68
= 3,4 / 5 = 17,28 m
= 0,68 m
Bonita IV = 23,6-19,6 / 15-10 Jadi Bonita IV = 19,6 + 0,8
=4/5 = 20,4 m
= 0,8 m
Bonita V = 27-22,6 / 15-10 Jadi Bonita V = 22,6 + 0,88
= 4,4 / 5 = 23,48 m
= 0,88 m
Peninggi yang didapatkan pada seluruh plot adalah 19.52 m. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita III.
5. S% Derajat Kekerasan Penjarangan
S%= x 100
a= 100 = 100
= 100 x 0,1069
= 10,69
S% = x 100%
= 54,76%

S % Tabel :
S%1 = = = 0,26
Jadi, S % 1 = 19,1 + 0,26 = 19,36
S%2 = = = 0,16
Jadi, S % 2 = 20,4 + 0,16 = 20,56
S%3 = = = 0,28
Jadi, S % 3 = 21,3 + 0,28 = 21,58
S%4 = = = 0,34
Jadi, S % 4 = 22,6 + 0,34 = 22,94
S%5 = = = 0,48
Jadi, S % 5 = 23,8 + 0,48 = 24,28

6.Riap Tahunan Rata-Rata


- Plot 1 = 6.47 m3
- Plot 2 = 6.59 m3
- Plot 3 = 2.24 m3
- Plot 4 = 2.55 m3
Volume rata-rata =
= (6,47 + 6,59 + 2,24 + 2,55) m3/4
= 17,85/4
= 4,46 m
Volume total =
= 4,46 m3/0,8 ha
= 5,57 m3/ha
MAI =
= 5,57 m3/14 tahun
= 0,398 m3/tahun
7.Preskripsi
Dari data yang diatas maka preskripsi yang dilakukan pada 0,8 ha areal ini dilihat pada
S% tabel > S% hitung maka tegakan jati tersebut membutuhkan penjarangan. Sedangkan
berdasarkan perhitungan maka S % tabel < S% hitung yakni 21.58 % < 54.76% sehingga
kesimpulannya tegakan jati yang diamati tidak butuh dijarangi.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil inventarisasi yang didapatkan setelah melakukan pengukuran
dilapangan, maka disini kita bisa melihat kurva kelas diameternya. Untuk frekuensi pohon
terbanyak terdapat pada interval kelas diameter 0.160 0.189 meter yang dimana 33 pohon yang
memiliki diameter kisaran tersebut. Lalu pada interval kelas diameter 0.190 0.219 meter,
terdapat 29 pohon yang memiliki diameter kisaran tersebut. Sedangkan pada diameter terbesar
pada tegakan tersebut yaitu di interval kelas 0.250 0.279 meter, hanya terdapat 2 pohon saja
yang memiliki diameter pada kisaran tersebut. Hal ini dikarenakan jarak tanam yang terbilang
rapat, sehingga pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tingginya.
Jarak tanam yang rapat juga menyebabkan bentuk batang dari pohon jati berbentuk silindris.

Pada kerapatan tegakan disini didapatkan dua hasil, yaitu yang pertama kerapatan
individu yang menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Dimana kerapatan individunya
yaitu 126,25 pohon/ha. Yang kedua yaitu kerapatan LBDS yang menggambarkan integrasi antara
jumlah pohon dan luas permukaan batang dalam suatu tegakan. Kerapatan LBDS = 3,291 m2/ha.
Selanjutnya peninggi yang diperoleh pada seluruh plot adalah 19.52 meter. Maka dari
data tersebut dapat dapat dilihat bahwa tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita III.
Untuk perhitungan derajat kekerasan maka preskripsi yang dilakukan pada 0,8 ha areal ini dilihat
pada S% tabel > S% hitung jadi tegakan tersebut membutuhkan penjarangan. Namun
berdasarkan perhitungan yang diperoleh sebaliknya yaitu S % tabel < S% hitung yakni 21.58 %
< 54.76% sehingga kesimpulannya tegakan jati yang diamati tidak butuh dijarangi.

Untuk hasil riap tahun rata-rata, diperoleh MAI = 0,398 m3/tahun. Dimana MAI ini
adalah rata-rata produksi yang terakumulasi tiap tahunselama umur dari tegakan. Dengan
mengetahui MAI kita juga dapat menetapkan berapa seharusnya rotasi untuk memaksimalkan
produksi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasakan hasil yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Tegakan jati ini memiliki jarak tanam yang terbilang rapat, sehingga bentuk batang dari pohon
jati berbentuk silindris.
2. Kerapatan individu tegakan = 126,25 pohon/ha, dan kerapatan LBDS = 3,291 m2/ha.
3. Peninggi pada seluruh plot adalah 19.52 meter maka tegakan jati ini berada pada kelas bonita III.
4. Untuk derajat kekerasan penjarangan yaitu S % tabel < S% hitung yakni 21.58 % < 54.76% ,
maka tegakan jati yang diamati tidak butuh dijarangi.
5. Hasil riap tahun rata-rata, diperoleh MAI = 0,398 m3/tahun.

B. Saran
Dalam praktikum diharapkan dapat mengambil data dengan teliti, melakukan pembacaan
alat ukur dengan baik, serta mengolah data dengan benar agar data yang diperoleh lebih jelas dan
akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Aldren. 2011 . Contoh Preskipsi Silvikultur. http://aldrenp.blogspot.com/2011/04/ contoh- preskripsi-


silvikultur.html. Diakses pada Minggu, 3 November 2013.
Anonim. 2011. Metode penentuan kerapatan tegakan. http://www.silvikultur.com/
metode_penentuan_kerapatan_tegakan.html. Diakses pada Selasa, 5 November 2013.
Anonim. 2013. Penjarangan. http://www.scribd.com/doc/174540537/Pen-Jarang-An. Diakses pada
Selasa, 5 November 2013.
Arief. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sharoon, C. 2011. Penjarangan. http://chipeuw.blogspot.com/2011/01/ penjarangan/. Diakses pada
Minggu, 3 November 2013.
Shvoong. 2010. Kualitas tempat tumbuh. http://id.shvoong.com/exact-sciences/ 2089255-kualitas-tempat-
tumbuh-pohon-jati/. Diakses pada Minggu, 3 November 2013.
Wahyuni, S. 2011. Identifikasi Kualitas tempat tumbuh (bonita). IPB-Bogor Agricultural University.
Bogor. Diakses pada Selasa, 5 November 2013.
Wanggai, F. 2009. Manajemen Hutan. Grasindo. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai