PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Spermatozoa adalah sel gamet jantan yang merupakan sel yang sangat
terdeferensiasi, satu-satunya sel yang memilki jumlah sitoplasma yang terperas dan
nyaris habis. Strukturnya sangat khusus untuk mengakomodasikan fungsinya. Fungsi
spermatozoa ada dua, yaitu mengantarkan material genetis jantan ke betina dan
fungsi kedua adalah mengaktifkan program perkembangan telur (Djuhanda, 1981).
Spermatozoa umumnya dihasilkan di dalam organ reproduksi jantan, testis,
yang secara khusus memproduksi spermatozoa. Sel spermatozoa masak juga sangat
terspesialisasi, dirancang untuk mengemban 3 fungsi spesifik. Pertama, spermatozoa
harus mampu menggapai sel telur hewan betinanya. Berarti spermatozoa harus
mobile, suatu sifat yang pada kebanyakan kasus diperoleh karena adanya ekor atau
flagellum yang memungkinkan spermatozoa berenang, hal ini juga didasarkan pada
theory kompetisi sperma yang mengharuskan sperma mampu berenang untuk survive
menuju telur (Simons, 2011). Beberapa kelompok hewan seperti Arthropoda,
spermatozoa tidak motil: mobilitas diperoleh lewat gerakan ameboid dan bukan oleh
flagella. Fungsi kedua spermatozoa adalah mempenetrasi telur pada saat kedua gamet
bersentuhan dan mengaktivasi sel telur. Kedua aksi ini memulai tingkat pertama
proses pembuahan. Spermatozoa mengandung organel-organel terspesialisasi secara
spesifik, yang dirancang untuk proses ini. Tugas ketiga, spermatozoa harus
mengantarkan dan menyumbangkan kromosom intinya pada telur, setelah kedua
gamet berinteraksi (Soeminto, 2010).
Analisis kualitas sperma dibutuhkan sebagai informasi penting untuk
pembudidayaan guna peningkatan kualitas fertilisasi pada hewan budidaya (Bozkurt,
2011). Analisis sperma meliputi volume, konsentrasi, motilitas dan morfologi.
Volume sperma yang normal pada sekali ejakulasi saja minimal adalah 2 ml. Jika
kurang dari jumlah tersebut, maka disebut aspermia yang berarti tidak ada semen.
Konsentrasi sperma pada ejakulat yang normal paling sedikit adalah 20 juta/ml. Bila
kurang, disebut oligozoosperma, atau jika tidak ditemukan sama sekali pada cairan
ejakulat disebut azoospermia. Motilitas sel sperma, yang normal, baik yang lemah
dan cepat adalah lebih dari 50 % atau >25% sel sperma bergerak cepat, jika kurang
disebut asthenozoospermia (Yatim, 1992)
Hewan uji yang digunakan adalah ikan nilem (Osteochillus hasselti) dengan
alasan karena ikan nilem mudah didapatkan, ukuran tidak terlalu besar, murah, sehat
dan produk telurnya relatif tinggi. Pemeriksaan sperma ikan nilem ini dapat
diaplikasikan terhadap spesies lain, misal pada ikan mas, ikan paus, atau pada clasiss
clasiss lain (Partodiharjo, 1990).
Analisis sperma yang dimaksud meliputi pemeriksaan jumlah milt yang dapat
distriping dari seekor ikan jantan masak kelamin, kekentalan sperma, warna, bau,
jumlah spermatozoa hidup, jumlah spermatozoa mati, viskositas, motilitas, morfologi
(ukuran dan bentuk kepala, ukuran ekor, berbagai penyimpangan) (Yatim, 1992).
Sistem genital ikan nilem berfungsi untuk perkelaminan, organ utamanya
adalah gonad. Gonad jantan disebut dengan testis dan sepasang yang didalamnya
terbentuk spermatozoid. Tiap-tiap testis berhubungan dengan ductus diferentia yang
pendek, kemudian bagian belakangnya bersatu dan bermuara di porus urogenital
(Djuhanda, 1981).
Testis ikan nilem berbentuk memanjang atau berlobi. Spermatozoa dari testis
lewat ductules efferentes masuk kedalam ductus longitudinal testis. Ductus ini
berkelok-kelok (konvoluntes) dan ujung anteriornya sering ditetapkan sebagai
epididimis (Jamieson, 1991). Bagian posteriornya mengalami dilatasi
(membesar) membentuk vesikula seminalis. Kedua vesikula seminal masuk kedalam
sinus urogenital dan langsung berhubungan dengan kloaka lewat suatu jendela
(orifisae) pada ujung papilla urogenital (Soeminto, 2002).
B. TUJUAN
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah object glass, mikroskop
cahaya, bilik hitung (haemositometer), kertas tissue, cavity slide, cover glass, spuit
injeksi tanpa jarum, pipet tetes, tusuk gigi, hand counter, stopwatch, pipet tetes,
micrometer, beaker glass 50 ml dan well plate.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Milt Ikan Nilem (O.
hasselti ) larutan eosin, NaCl fisiologis/larutan ringer dan aquades.
B. Metode
A. Hasil
a. Parameter Makroskopis
1. Volume : 0,5 ml
2. Viskositas :
Tabel 1. Akumulasi Data Pengamatan Viskositas Rombongan III
K1 K2 K3 K4 K5
7 menit 7 menit 6 menit 7 menit
Viskositas 3 menit
24detik 43detik 48detik 30detik
3. Bau : Amis
4. Warna : Putih Susu
5. pH :8
b. Parameter Mikroskopis
1. Motilitas
Tabel 2. Akumulasi DatabPengamatan Motilitas Spermatozoa Rombongan III
Rata-
K1 K2 K3 K4 K5
rata
Presentase
sperma motil 40 100 50 80 30 60
(%)
Presentase
sperma non 60 0 50 20 70 40
motil (%)
.
. . .
.. .
. .
. .
. . . .
. . .
. . .
Gambar 1. Bilik Hitung Haemocytometer
3. Morfologi Spermatozoa
2.A 2. B
Keterangan:
Gambar 2 (A) : Mikroskopis Morfologi Spermatozoa Ikan Perbesaran 400x
Gambar 2 (B) : Skematis Morfologi Spermatozoa Ikan
Keterangan Gambar :
1. Kepala sperma
2. Leher sperma
3. Ekor sperma
B. Pembahasan
Volume milt yang didapatkan adalah 0,5 mL. Volume diukur dengan cara
menghisap sperma yang keluar dengan spuit injeksi. Menurut Higginson DM (2012),
ukuran spermatozoa pada ikan teleostei berkisar 40-60 m, dengan produksi
spermatozoa yang cukup tinggi dan rata-rata volume milt yang dihasilkan satu ekor
ikan nilem 0,5 ml dengan jumlah spermatozoa 3,331011. Volume normal milt pada
ikan nilem sekali diejakulasi sekitar 2,0 sampai 3,0 ml, ada juga yang sampai 4,5 ml.
Jika volume kurang dari 1 ml, ada kemungkinan ganguan prostate dan vesicula
seminalis yang merupakan penghasil utama plasma milt (Simmons LW, 2011).
Volume yang didapatkan kurang dari 1 mL, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
mulai dari kesehatan ikan, kualitas testis ikan, pengambilan sperma dan cara striping
terhadap ikan. Kesehatan, fisiologis dan kualitas testis ikan juga mempengaruhi
produksi sperma. Cara pengambilan sperma juga mempengaruhi volume yang
didapat. Jika pengambilannya tidak benar, maka sperma tidak akan masuk ke spruit
injeksi, mungkin akan jatuh ke lantai atau darah terambil bersama sperma. Cara
striping juga mempengaruhi hasil yang didapatkan, jika benar dan tepat, maka
sperma akan keluar dengan banyak. Jika salah, hanya sedikit saja yang terambil atau
ikan mengalami pendarahan sehingga darah bercampur dengan sperma menyebabkan
sulit untuk diambil dan dilakukan penelitian (Maria, 2006).
Bau sperma yang teramati adalah amis, tidak busuk, normal. Berdasarkan
referensi, bau sperma yang normal adalah khas, tajam, tidak busuk. Bau itu berasal
dari oksidasi spermin yang dihasilkan prostat. Milt yang berbau busuk diduga
disebabkan oleh suatu infeksi. Dalam keadaan normal, milt mencair dalam 60 menit
pada suhu kamar. Bau yang tidak khas mani, prostate tidak aktif atau ada gangguan.
Mungkin gangguan itu pada saluran atau kelenjar sendiri. Bau busuk oleh adanya
infeksi (Yatim, 1992).
Sperma ikan nilem yang diamati menunjukkan pH 8. Berdasarkan referensi,
Milt yang normal mempunyai pH antara 7,2-7,8. pH lebih dari 8 menunjukkan
adanya radang akut kelenjar kelamin atau epididymis. pH kurang dari 7,2
menunjukkan adanya penyakit kronis pada kelenjar atau epididymis. pH rendah
sekali menunjukkan adanya gangguan atau aplasia pada vesicular seminalis atau
ductus ejaculatorius. pH dapat berubah satu jam sesudah ejakulasi (Yatim, 1992).
Maka, milt yang diamati dapat dikatakan normal.
Warna milt yang di dapatkan adalah putih susu, hal ini sesuai dengan
referensi, bahwa sperma ikan nilem yang berwarna putih susu merupakan sperma
yang sehat. Berdasarkan referensi, milt memang memiliki warna krem keputih-
putihan atau putih susu. Derajatnya keputihnya atau kekeruhannya sebagian besar
tergantung pada konsentrasi spermanya. Semakin keruh biasanya jumlah sperma per
ml milt itu semakin banyak. Milt yang berwarna hijau kekuning-kuningan biasanya
banyak mengandung kuman Pseudomonas auroginosa yang menandakan adanya
peradangan yang kronis dalam saluran reproduksinya. Milt yang berwarna merah
atau kemerah-merahan menandakan bahwa milt itu mengandung sedikit atau banyak
darah (Partodiharjo, 1990).
Viskositas pada 2 menit 7 detik menunjukan sperma sudah menggumpal. Hal
ini berbeda dengan pustaka, sebab menurut Condro (2012) menyatakan bahwa
vikositas sperma normal < 2 detik. Semakin kental sperma tersebut semakin besar
vikositasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena sperma terlalu banyak, cairannya
sedikit, gangguan liquedaction, perubahan komposisi plasma sperma dan pengaruh
obat-obatan.
Morfologi spermatozoa pada ikan berbeda dengan manusia. Manusia
memiliki spermatozoa yang berkepala lonjong (dilihat dari atas) dan piriform (dilihat
dari samping). Lebih tebal dekat leher dan menggepeng ke ujung. Kepala 4-5 mikro
meter panjang dan 2,5-3,5 mikro meter lebar. Panjang ekor seluruhnya sekitar 55
mikro meter dan tebalnya berbeda, dari 1 mikro meter dekat pangkal ke 0,1 mikro
meter dekat ujung (Almquist, 1956).
Perhitungan motilitas spermatozoa ikan nilem diperoleh jumlah spermatozoa
yang motil adalah 60%, sedangkan jumlah spermatozoa yang non motil adalah 10%.
Pengamatan motilitas menggunakan cavity slide, yaitu sejenis objek glass yang
memiliki lengkungan ditengah, sehingga pergerakan spermatozoa dapat dengan
mudah diamati. Sampel sperma diletakkan ditengah cavity slide dan ditutup cover
glass. Pengaktifan pergerakan spermatozoa dapat dilakukan dengan meneteskan air
disela-sela cover glas dengan cavity slide, karena penambahan akuades menyebabkan
osmolalitas seminal plasma menurun dan memacu pergerakan spermatozoa.
Pergerakan dapat diamati melalui mikroskop dengan perbesaran sedang (Jamieson,
1991).
Jumlah Spermatozoa per mL milt dapat dilakukan dengan bilik hitung
(haemocytometer). Penggunaan haemocytometer untuk menentukan jumlah
spermatozoa dalam milt menurut pendapat terbaru dianggap kurang praktis, karena
memerlukan sedikit keahlian dalam menghisap juga memerlukan waktu dalam
menghitung dengan mikroskop. Sperma yang diteteskan di atas kotak
haemocytometer ditutup dan dihitung, hasilnya dicatat misalnya y. Y ini adalah
jumlah sel-sel spermatozoa yang mati dan yang terlihat tidak bergerak dalam kotak-
kotak. Spermatozoa yang tidak bergerak belum tentu mati. Sukar menentukan apakah
yang terhitung adalah spermatozoa atau sampah/kotoran yang terdapat pada
haemocytometer (Partodiharjo, 1990). Hasil perhitungan jumlah spermatozoa rata-
rata adalah 59,18 x 109 spermatozoa/ml milt. Ikan tersebut termasuk kedalam
golongan highly fertile.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Sperma ikan untuk pengamatan jangan diambil dari beberapa ikan dan disatukan
dalam satu spuit injeksi tanpa jarum. Sebaiknya setiap ikan diambil spermanya
dengan masing-masing satu spruit injeksi, agar kita dapat mengetahui ikan mana
yang paling fertil.
2. Sebaiknya seluruh praktikan satu persatu mencoba pengambilan sperma, supaya
semua praktikan dapat memahami cara pengambilan spermatozoa dengan benar.
DAFTAR REFERENSI
Bozkurt, Y., Ogretmen, F., Kokcu, O., Ercin, U,. 2011. Relationship between
seminal plasma composition and sperm quality parameters of the Salmo trutta
macrostigma (Dumeril, 1858) semen: with emphasis on sperm motility. Czech
J. Anim.Sci, 56, (8): pp.355-364.
Condro, Herdianto Sapto. 2012. The Effect of Adition Honey in Dried Physiological
NaCl in Storage Process Sperm Toward Sperm Quality of Comet Fish.
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga: Surabaya.
Jamieson, Barrie GM. 1991. Fish Evolution and Sistematics : Evidence from
Spermatozoa. Cambridge University Press : Cambridge.
Soeminto. 2002. Pembentukan Ikan Jantan Homogamet (XX) lewat Ginosenis dan
Pemberian Andriol pada Ikan Nilem (Osteocillus hasselti CV). Jurnal
Permberdayaan Pedesaan 6(2) : pp. 1-6.