Anda di halaman 1dari 11

PENGAMATAN VIRUS PADA BAKTERI DENGAN METODE PLAQUE

Oleh :
Nama : Isna Fitriana
NIM : B1A015024
Kelompok :4
Rombongan :I
Asisten : Suryadi

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus adalah satu set dari satu atau lebih molekul genom berupa asam nukleat
(RNA atau DNA). Virus biasanya dibungkus oleh selubung pengaman berupa protein
selubung atau lipoprotein. Virus hanya dapat memperbanyak diri dalam sel inang
hidup yang sesuai, dengan cara memanfaatkan metabolisme, materi, dan energi dari
sel inang tersebut. Virus merupakan unit elemen submikroskopis yang masih
menunjukkan tanda kehidupan. Virus dapat juga didefinisikan sebagai organisme
aseluler, karena virus tidak mempunyai organel-organel penyusun sel
(Pelczar & Chan, 2008). Virus juga bersifat virulen dan hanya mampu hidup pada
organisme yang hidup. Bentuk virus ada yang poligonal, bulat, seperti huruf T, dan
lain-lain. Contoh virus berbentuk T adalah bakteriofag. Virus ini menyerang bakteri
epidemik, misalnya Escherichia coli (Sardjito, 2008).
Menurut Haq et al. (2012), bakteriofag berasal dari kata bacteria dan phagus
(bahasa Yunani). Kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bakteriofag
merupakan virus yang menyerang bakteri. Bakteriofag adalah virus yang
menggandakan dirinya sendiri dengan menginfeksi bakteri. Struktur bakteriofag terdiri
atas kepala yang berbentuk heksagonal, leher, dan ekor. Bagian dalam kepala
mengandung dua pilinan DNA, bagian leher berfungsi menghubungkan bagian kepala
dan ekor, dan bagian ekor berfungsi untuk memasukkan DNA virus ke dalam sel
inangnya. Bakteriofag mempunyai asam nukleat double-stranded DNA, ada juga
beberapa mempunyai asam nukleat single-stranded DNA dan virus RNA. Bakteriofag
memiliki kapsid yang berbentuk polyhedral dan diselubungi oleh protein. Secara
sederhana, bakteriofaga tersusun dari molekul asam nukleat yang dikelilingi lapisan
protein yang disebut kapsid. Kapsid dibentuk oleh banyak subunit yang identik satu
sama lainnya yang disebut sebagai kapsomer. Beberapa faga juga mmemiliki lipida
dan struktur pendukung seperti ekor dan ujung yang tajam (seperti jarum suntik untuk
menginjeksikan asam nukleat ke inang) (Ariyanti, 2018). Struktur Bakteriofag adalah
sebagai berikut :
1. Kepala, berisi DNA atau RNA dengan bagian luar diselubungi kapsid.
2. Beberapa Virus, dibagian luar kapsid masih terdapat selubung dari lipid dan
karbohidrat yang disebut sampul (Envelope), keberadaan sampul ini ada kaitannya
dengan keganasan virus.
3. Isi tubuh, tersusun atas materi genetik atau molekul pembawa sifat keturunan terdiri
atas DNA atau RNA.
4. Ekor, Sebagai alat untuk menempelkan diri ke sel hospes (inangnya). Ekor virus
berupa tabung bersumbat yang dilengkapi benang/serabut (Ganeca Exact).
Berdasarkan siklus hidup yang dimiliki, terdapat 2 jenis bakteriofag yaitu lytic
dan lysogenic bacteriophage. Ciri virus bakteriofag yang dapat digunakan sebagai
terapi adalah memiliki kapabilitas dasar sebagai lytic phages, yaitu menginfeksi dan
membunuh sel bakteri dengan melisiskan bakteri. Lysogenic phages merupakan jenis
virus yang berintegrasi dengan asam nukleat bakteri terinfeksi, yang pada saat ini jenis
faga tersebut belum dapat digunakan sebagai terapi, karena akan mengalami fase
dorman di dalam sel pejamu, dapat menghambat bakteriofag jenis yang sama masuk,
serta seringkali memiliki gen toksik didalam genomnya (Putra et al., 2012).
Bakteriofag jenis lytic phages mampu melisiskan sel bakteri melalui tahapan
adsorpsi dan injeksi, replikasi, packaging, completion, dan disrupsi sel membran.
Tahapan adsorpsi dan injeksi, bakteriofag berikatan dengan reseptor pada permukaan
sel bakteri yang biasanya berupa rangkaian protein atau gula. Sebagian besar
bakteriofag bersifat spesifik terhadap reseptor tersebut, namun ada sejumlah kecil
bakteriofag disebut dengan polyvalent phages yang memiliki potensi untuk
menginfeksi berbagai macam spesies bakteri. Spesifisitas sel target yang tinggi
merupakan sebuah keuntungan, karena bila digunakan sebagai terapi infeksi bakteri,
faga tidak akan menyerang flora normal ataupun sel tubuh manusia. Pasca terjadi
adesi, DNA bakteriofag diinjeksikan ke dalam sitoplasma bakteri. DNA tersebut
menjadi mRNA yang tugasnya membentuk bagian-bagian dari virus untuk proses
replikasi. Komponen-komponen bakteriofag telah lengkap, asam nukleat hasil
replikasi akan masuk ke dalam kapsid (tahap packaging), dan akan digabungkan
dengan komponen lainnya seperti bagian leher dan ekor (tahap completion).
Bakteriofag yang telah terbentuk secara sempurna akan keluar dari bakteri dengan
menggunakan enzim holin dan endolisin, yang diproduksi melalui pengkodean DNA
bakteriofag. Lisin berfungsi sebagai hidrolase peptidoglikan, sedangkan holing
membentuk lubang pada membran sel, sehingga mempermudah lisin untuk menembus
lapisan luar bakteri yang merupakan lapisan peptidoglikan (Putra et al., 2012).
Bakteriofag T4 adalah sebuah virus litik fage yang termasuk kedalam familia
Myoviridae, ditandai dengan ekor kontraktil dan menggunakan Escherichia coli
sebagai inangnya. Virion T4 memiliki panjang tubuh 1.200 Å, lebar kepala 860 Å,
dan panjang ekor 1000 Å yang mengandung tabung pusat kaku dikelilingi oleh
selubung kontraktil. Bagian ujung distal ekor terdapat multiprotein pelat dasar yang
memiliki serabut ekor enam panjang dan enam pendek yang melekat ( Fokine et al.,
2013). Virus ini terdiri dari kepala, ekor, dan enam serabut ekor, dan terdiri dari sekitar
50 protein. Mesin kemasan terletak di antara kepala dan ekor. Genom T4 dikemas
dengan kecepatan 2000 bp / detik dan menghasilkan kekuatan hingga 80 kilo Newtons,
yang membuat mesin molekul ini salah satu yang paling kuat yang dikenal sampai saat
ini (Rao & Feiss, 2008). Menurut Kamran et al, (2013) pembentukan plaque karena
lisisnya dinding sel Escherichia coli oleh bakteriofag T4 dapat dipengaruhi oleh
perbedaan fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan bakteri dapat dibagi menjadi fase lag,
log, stasioner, dan fase kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase
stasioner, plaque yang dibentuk oleh bakteriofag jauh lebih banyak jika dibandingkan
pada fase lag dan fase kematian.
Menurut Campbell (2004) ada dua macam cara virus menginfeksi sel hospes,
yaitu :
a. Infeksi secara litik
Infeksi secara litik melalui fase-fase sebagai berikut ini:
1. Fase adsorpsi dan infeksi
Faga akan melekat atau menginfeksi bagian tertentu dari dinding sel hospes,
daerah itu disebut daerah reseptor.
2. Fase replikasi (fase sintesa)
DNA faga mengadakan replikasi (menyusun DNA) menggunakan DNA
hospes sebagai bahan, serta membentuk selubung protein, maka terbentuklah
molekul DNA baru virus yang lengkap dengan selubungnya.
3. Fase pembebasan virus (faga-faga baru)/ fase lisis.
Sesudah faga dewasa, sel hospes akan pecah (lisis), sehingga keluarlah virus
atau faga yang baru. Jumlah virus baru ini dapat mencapai sekitar 200.
b. Infeksi secara lisogenik
1. Fase adsorpsi dan infeksi
Faga menempel pada tempat yang spesifik. Virus melakukan penetrasi pada
hospes kemudian mengeluarkan DNA ke dalam tubuh hospes.
2. Fase penggabungan
DNA virus bersatu dengan DNA hospes membentuk profaga yang memiliki
sebagian besar gen yang berada dalam fase tidak aktif, tetapi sedikitnya ada
satu gen yang selalu aktif.
3. Fase pembelahan
Bila sel hospes membelah diri, profaga ikut membelah sehingga dua sel anakan
hospes juga mengandung profaga di dalam selnya. Hal ini akan berlangsung
terus-menerus selama sel bakteri yang mengandung profaga membelah.
Plaque merupakan “jendela” pada lapisan sel inang yang hidup menyebar pada
permukaan media agar. Plaque dapat dilihat apabila partikel virus (bakteriofaga)
dicampur dengan lapisan tipis inang bakteri yang ditumbuhakan dalam media agar
(Kusnadi & Ahmad, 2003). Metode plaque diperkenalkan pada tahun 1952 oleh
Rennato Dulbecco. Plaque adalah uji virologis yang diperkenalkan untuk menghitung
dan mengukur infektivitas bakteriofag. Uji plaque digunakan untuk melihat dan
mencatat kematian sel dalam kultur sel yang terinfeksi. Ketika satu sel terinfeksi oleh
satu virus maka akan menyebar dan menginfeksi sel sekitarnya. Uji plaque lebih akurat
bila pada konsentrasi rendah, karena tidak memakan waktu dan tekniknya mudah
(Atlas, 1997). Perkembangan plaque untuk mengukur infektivitas virus hewan pada
sel monolayer rentan telah mengarahkan adaptasi pada metode ini untuk mempelajari
senyawa anti virus (Siminoff, 1960).
Metode plaque merupakan metode standar yang digunakan untuk menentukan
konsentrasi virus dalam hal dosis infeksi. Metode plaque digunakan untuk menentukan
jumlah unit pembentuk plaque dalam sampel virus yang merupakan salah satu ukuran
kuantitas virus. Uji ini didasarkan pada metode mikrobiologi dilakukan dalam cawan
petri. Metode plaque diperkenalkan pada tahun 1952 oleh Rennato Dulbecco sebagai
uji virologis yang digunakan untuk menghitung dan mengukur infektifitas bakteriofag.
Apabila satu sel terinfeksi oleh satu virus maka akan menyebar dan menginfeksi ke sel
di sekitarnya. Uji plaque sering digunakan karena tidak memakan waktu lama dan
biaya yang besar, serta tekniknya tidak terlalu sulit (Atlas, 1997). Kekurangan metode
plaque adalah tidak dapat mendeteksi jenis virus yang ada pada media NA atau tidak
dapat mengetahui jenis bakteriofag yang memiliki siklus hidup lisogenik (Suryati,
2007).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya virus yang
melisiskan sel bakteri yang terlihat dari zona jernih atau adanya Plaque yang
terbentuk di dalam media Luria Bertani yang telah diinokulasi sampel dan bakteri
Escherichia coli.

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan pada acara praktikum ini adalah pipet ukur 1 ml, filler,
botol steril, mikropipet, tip, Eppendorf, Syringe, filter 0,45 µm, tabung reaksi,
drugalsky, wrapping, cawan petri, labu Erlenmeyer, pembakar Bunsen, sentrifugator,
dan inkubator.
Bahan yang digunakan pada acara praktikum ini adalah media Luria Bertani
semi solid, akuades, alkohol, isolate Escherichia coli cair, dan Phospat Buffer Saline
(PBS).

B. Metode

B.1. Pengkayaan Bakteriofag


1. Sampel kotoran sapi sebanyak 1 gram disiapkan.
2. Sampel kotran sapi diencerkan ke dalam 9 ml akuades.
3. Sampel kotoran sapi masing-masing kelompok diambil 10 ml, dan dimasukkan
kedalam labu Erlenmeyer secara aseptis.
4. Isolat cair Escherichia coli sebanyak 10 ml dan ditambahkan media Luria
Bertani sebanyak 20 ml tiap kelompok.
5. Sampel diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 37o
B.2. Isolasi Bakteriofag dan penghitungan plaque
1. Sampel dimasukkan kedalam tabung Eppendorf masing-masing 1 ml, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 2000 rpm selama 5 menit.
2. Supernatan diambil menggunakan mikropipet dan dimasukkan kedalam flask
milipore yang berisi kertas saring.
3. Supernatan disaring menggunakan filter 0,45 μm ke botol steril sebagai filtrat
bakteriofag.
B.3. Inokulasi filtrat dan penghitungan plaque
1. Filtrat diencerkan bertingkat hingga 10-5, dengan memindahkan filter 0,1 ml
filtrat bakteriofag ke eppendorf berisi 0,9 ml Phospat Buffer Saline (PBS)
sebagai pengenceran 10-1.
2. Dua pengenceran terakhir diambil 0,1 ml untuk dipindahkan ke Eppendorf baru
berisi 0,5 ml Escherichia coli.
3. Eppendorf yang berisi filtrat dan Escherichia coli pada 2 pengenceran terakhir
dicampur dengan media Luria Bertani semi solid dan dituang ke cawan petri.
4. Media diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37o C.
5. Plaque yang terbentuk pada media diamati, dan dihitung jumlahnya serta
dimasukkan kedalam rumus.
Menghitung jumlah plaque yang terbentuk dengan rumus sebagai berikut :

𝑃𝐹𝑈 ′ 𝑠 𝑃𝑙𝑎𝑞𝑢𝑒
=
𝑚𝑙 𝑑𝑖𝑙𝑙𝑢𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑥 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel Hasil Pengamatan Virus Bakteri dengan Metode Plaque


Kel. Plaque 10-2 PFU’s/ml Plaque 10-3 PFU’s/ml

1 0 0

2 0 0

3 0 0

4 64,17 x 103 0

5 11,17 x 103 7x104

6 26 x 103 0

Berdasarkan tabel Hasil Pengamatan Virus Bakteri dengan Metode Plaque,


hasil perhitungan jumlah plaque rombongan I dengan pengenceran 10-2 dan
pengenceran 10-3 pada kelompok 1, 2 dan 3 yaitu 0, kelompok 4 didapatkan pada
pengenceran 10-3 sebesar 64,17 x 103 PFU’s/ml dan pada pengenceran 10-2 adalah 0.
Kelompok 5 pada pengenceran 10-3 didapatkan 11,17 x 103 PFU’s/ml pada
pengenceran 10-2 didapatkan nilai sebesar 7 x 10-4, kelompok 6 didapatkan hasil 26 x
103 PFU’s/ ml dan pada pengenceran 10-3 tidak mendapatkan hasil (0). Terbentuknya
sejumlah plaque mencerminkan jumlah faga yang menginfeksi dan melisiskan sel
inang. Hasil yang didapat oleh kelompok 4, 5 dan 6 sesuai dengan prinsip pengenceran
seperti yang dikatakan oleh Ferdias (1992) dan Wateson & Hornes (2009) yang
menyatakan bahwa semakin banyak jumlah pengenceran yang dilakukan, semakin
sedikit jumlah mikroba yang tumbuh. Namun pada kelompk 1, 2 dan 3 bahkan pada
pengenceran 10-2 tidak ada satupun yang menunjukkan plaque.

Gambar 1. Plaque Pengenceran 10-2


Hasil Pengamatan Virus Bakteri dengan Metode Plaque yang ditunjukkan
Gambar 1 adalah positif. Hal ini menunjukkan bakteri yang telah terinfeksi bakteriofag
akan lisis dan membentuk plaque (zona bening). Konsentrasi bakterofag yang teramati
dapat terlihat dari plaque yang terbentuk pada media. Plaque merupakan “jendela”
pada lapisan sel inang yang hidup menyebar pada permukaan media agar. Plaque dapat
dilihat apabila partikel virus (bakteriofaga) dicampur dengan lapisan tipis inang bakteri
yang ditumbuhakan dalam media agar (Kusnadi & Ahmad, 2003).
Plaque tersebut terlihat bening yang menandakan adanya zona kerusakan sel.
Setiap plaque berasal dari satu partikel faga sama seperti setiap koloni berasal dari satu
sel bakteri. Satu plaque berasal dari satu partikel virus sehingga seluruh partikel virus
yang terdapat pada plaque tersebut seharusnya juga memiliki sifat genetik yang sama.
Faga melekat ke sel yang peka rangsangan pada lokasi spesifik di dinding sel bakteri.
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif dan terdapat bagian yang peka
terhadap rangsangan, yaitu komponen protein dan lipopolisakarida yang melapisi
lapisan selaput sebelah luar termasuk peptidoglikan. Faga tertentu atau sekelompok
faga akan melekat ke reseptor spesifik dan faga berbeda akan melekat ke reseptor yang
berbeda. Ketidaksesuaian hasil dengan pustaka tersebut bisa saja disebabkan oleh
kesalahan yang terjadi saat proses praktikum, baik pada saat melakukan pengenceran,
maupun pada saat penghomogenan suspensi dengan media di cawan petri yang tidak
steril pada pengenceran 10-3 sehingga terjadi kontaminasi. Hal ini menyebabkan
tumbuhnya bakteri lain selain dari suspensi air kloset sehingga jumlah mikroba yang
tumbuh lebih banyak, selain itu dapat juga disebabkan kurangnya kecermatan dan
ketelitian pengamatan dan penghitungan jumlah plaque oleh praktikan, sehingga
kemungkinan zona yang bukan plaque dianggap sebagai plaque yang menyebabkan
jumlah plaque lebih banyak dari sebenarnya (Oliveira et al., 2009).
Uji Sampel kotoran sapi yang digunakan untuk mengetahui adanya virus
bakteri (Bakteriofag) adalah kotoran sapi. Kotoran sapi ini mengandung banyak sekali
mikroba yang berasal dari tubuh sapi, salah satunya adalah bakteri Escherichia coli.
Escherichia coli merupakan bakteri flora normal pada saluran pencernaan manusia.
Keberadaannya di lingkungan perairan menjadi indikator pencemaran oleh kotoran
sapi. Bakteri Escherichia coli juga merupakan inang untuk bakteriofag (virus bakteri).
Bakteriofag selalu berdampingan dengan inangnya agar tetap mempertahankan
keberlangsungan hidup (Sihombing, 2000).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Bakteriofag merupakan virus yang menginfeksi bakteri dan dapat menyebabkan
lisisnya sel inang. Metode plaque digunakan untuk menghitung dan mengukur
partikel virus yang dapat melisiskan bakteri dengan melihat zona bening yang
terbentuk.
2. Pengamatan virus dengan metode plaque mendapatkan hasil 64,17 x 103
PFU’s/ml pada pengenceran 10-2 dan 0 pada pengenceran 10-3. Hasil ini
membuktikan bakteri yang telah terinfeksi bakteriofag akan lisis dan membentuk
plaque (zona bening). Konsentrasi bakterofag yang teramati dapat terlihat dari
plaque yang terbentuk pada media.

B. Saran

Pengamatan harus dilakukan dengan teliti, agar tidak keliru dalam menentukan
ada tidaknya Plaque, keaseptisan merupakan hal penting yang harus diperhatikan
dalam praktikum, dan sebaiknya digunakan juga metode pendeteksian virus yang lain
selain metode Plaque
DAFTAR REFFERENSI

Ariyanti, T. 2018. The Use of Bacteriophage for Detection and Biocontrol of


Foodborne Pathogen. WARTAZOA. Indonesian Bulletin of Animal and
Veterinary Sciences, 28(1), 33-40.
Atlas, R. M. 1997. Principles of Microbiology. WMC Brown, London.
Campbell, N. A. 2004. Biologi. Erlangga, Jakarta.

Ferdias, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


Haq, Irshad U.l., W. N. Chaudhry, M. N. Akhtar., S. Andleeb and I. Qadri. 2012.
Bacteriophages and Their Implications on Future Biotechnology: a review.
Virology Journal, 9 (9): 1-12.
Kamran, M.T., Xiuling, J., Imran, T, Hassani, T.M., Samreen, Z., dan Wei, Y. 2013.
Different Phase Escherihia coli Effect on T4 Bacteriophage Lysis and
Production. International Journal of applied and Natural science (IJANS),
2(5): 73-76.

Kusnadi., S.N dan Ahmad., M. 2003. Mikrobiology (common textbook). UPI Press,
Bandung.
Oliveira A, Sillankorva S, Quinta R, Henriques A, Sereno R, dan Azeredo J. 2009.
Isolation and characterization of bacteriophages for avian pathogenic E. coli
strains. Journal of Applied Microbiology. 106: 1919–1927

Pelczar, M. J. and E. C. S. Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press.

Putra, Bayushi Eka dan A. Karuniawati. 2012. Bakteriofag sebagai potensi baru tata
laksana infeksi bakteri resisten. J Indon Med Assoc. 62: 113-117.
Rao, V. B. dan Feiss,M. (2008). The bacteriophage DNA packagingmotor. Annu Rev
Genet 42 : 647-681.
Sardjito, R. 1993. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara, Jakarta.
Sihombing, D. T. H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan.
Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian IPB.

Siminoff, Paul. 1960. A plaque suppression method for the study of antiviral
compounds. The upjohn company, Michigan.

Suryati, 2007. Prosedur Diagnostik Dengan Metode Klasik Dan Metode Molekuler.
Fakultas perikanan dan ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Wasteson, Y, and Hornes, E. 2009. Pathogenic Escherichia Coli Found in Food.


International Journal Of Food Microbiology. 12: 103-114.

Anda mungkin juga menyukai