Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH EVOLUSI

“EVOLUSI MIKROORGANISME”
Dosen Pengampu : Dian Rachmawati, M.Si.

Kelompok 1
Nonik Yuliana (2224170025)
Maulida Nur Avianti (2224170026)
Mutiara Sasi Arroya (2224170027)
Hesti (2224170031)
Ismayuroh (2224170036)
Anggita Rizki Setiani (2224170098)
Kelas 7C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2020
EVOLUSI MIKROORGANISME

Evolusi mikroorganisme mengacu pada perubahan secara genetik yang


terjadi pada mikroorganisme dari waktu ke waktu. Salah satu contohnya adalah
bakteri yang semakin kebal terhadap antibiotik. Mikroorganisme (mikroba)
merupakan organisme yang berukuran sangat kecil dan sebagian besar adalah
organisme uniseluler (Fifendy & Biomed, 2017). Mikroorganisme umumnya
berukuran kecil. Namun beberapa diantaranya berukuran cukup besar seperti
jamur merang, jamur tiram dan sebagainya. Oleh karena itu pengertian
mikroorganisme lebih sesuai untuk organisme yang memiliki struktur sel
sederhana yaitu prokariotik dan eukariotik yang belum memiliki diferensiasi sel
dengan baik, belum memiliki organ dengan bentuk dan fungsi yang spesifik
(Hidayat, 2018).
Ciri-ciri mikroorganisme dapat diketahui dari morfologi dan struktur
anatominya. Umumnya mikroorganisme memiliki ciri:
a. Terdiri dari satu sel (uniseluler), seperti pada bakteri, ragi, dan
mikroalga (Ismail, 2019)
b. Bentuk dapat berupa filamen atau serat, seperti pada fungi dan
mikroalga (Ismail, 2019)
c. Mampu memproduksi bahan kimia yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Mikroorganisme patogen) (Campbell, et. al.,
2008).
Mikroorganisme sangat tinggi keragamannya. Variasi mikroorganisme
tersebut dapat digolongkan dalam mikroorganisme aseluler, uniselular, dan
multiselular. Mikroorganisme yang termasuk dalam aselular adalah virus.
Sedangkan uniselular adalah bakteri yang merupakan organisme prokariot dan
khamir yang merupakan organisme eukariot. Adapun multiselular adalah
cendawan (Hidayat, 2018).

1
A. REPRODUKSI VIRUS DALAM KEHIDUPAN SEL
1. Struktur virus
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel
organisme bilogis (Samsuri, et. al., 2018). Virus adalah mikroorganisme aselular
yang tidak dapat bereproduksi atau melakukan aktivitas metabolisme di luar sel
inang. Virus ditemukan pertama kali pada tahun 1800an melalui penelitian
penyakit mosaik tembakau yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman tembakau
menjadi terhalang dan daunnya bertotol. Virus yang menginfeksi tanaman
tembakau tersebut dikenal sebagai tobacco mosaic virus (TMV). Selain TMV
sejak saat itu dikenal pula berbagai jenis virus lain yang strukturnya beragam dan
dapat diamati menggunakan mikroskop elektron. Virus terkecil memiliki ukuran
diameter 20 nm dan virus terbesar hanya beberapa ratus nm saja, hampir tidak
bisa diamati menggunakan mikroskop cahaya.

Struktur tubuh virus (Campbell, 2008)

Struktur virus corona (Cuffari, 2020)

2
Sebuah partkel virus terdiri atas genom, kapsid, dan amplop/selubung
virus.

a. Genom virus dapat terdiri dari DNA beruntai ganda, DNA beruntai
tunggal, RNA beruntai ganda, atau RNA beruntai tunggal tergantung jenis
virusnya. (Genome virus corona adalah RNA).
b. Virus memiliki cangkang yang menyelubungi genom virus, disebut kapsid.
Bentuk kapsid ini beragam dan bergantung tipe virusnya. Kapsid ini
tersusun atas sub unit protein disebut kapsomer. (Masing-masing
komponen genom virus dikemas menjadi nukleokapsid heliks yang
dikelilingi oleh lapisan ganda lipid).
c. Beberapa jenis virus memiliki struktur yang dapat membantu virus
menginfeksi inang, disebut amplop virus. Amplop virus mengandung
protein dan glikoprotein dari virus. Namun tidak semua virus memiliki
amplop (Campbell, et. al., 2008). (Selubung virus virus corona biasanya
terdiri dari tiga protein yang meliputi protein membran (M), protein
amplop (E), dan protein lonjakan (S)).

2. Evolusi Virus

Virus tidak benar-benar sesuai dengan definisinya mengenai organisme


hidup. Virus yang diisolasi tidak aktif secara biologis, tidak mampu mereplikasi
gen-gennya atau meregenerasi suplai ATP-nya sendiri. Akan tetapi virus memiliki
program genetik yang tertulis dalam bahasa universal kehidupan. Bagaimana virus
bermula? Virus telah ditemukan menginfeksi setiap bentuk kehidupan dimana
tidak hanya bakteri, hewan dan tumbuhan, melainkan juga arkea, fungi, alga dan
protista lain. Karena bergantung pada sel untuk perbanyakan diri, virus mungkin
bukanlah keturunan dari bentuk kehidupan pra-sel, melainkan berevolusi setelah
sel-sel pertama muncul, mungkin berkali-kali (Campbell, et. al., 2008).
Kebanyakan ahli biologi molekuler memiliki hipotesis bahwa virus
bermula dari potongan asam nukleat selular yang telanjang yang berpindah dari
satu sel ke sel yang lain, mungkin melalui permukaan sel yang cedera. Evolusi
gen-gen pengode protein kapsid mungkin telah memfasilitasi infeksi sel yang tak

3
cedera. Kandidat untuk sumber muasal genom virus mencakup plasmid dan
transposon. Plasmid merupakan molekul DNA kecil melingkar yang ditemukan
pada bakteri dan eukariota uniseluler yang disebut khamir. Plasmid terdapat
terpisah dari genom sel, dapat bereplikasi secara mandiri dari genom, dan
terkadang ditransfer dari sel ke sel. Transposon adalah segmen DNA yang dapat
berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam genom sebuah sel. Dengan
demikian, plasmid, transposon dan virus memiliki kesamaan ciri yang penting:
semuanya merupakan unsur genetik yang bisa berpindah (mobile genetic
elements) (Campbell, et. al., 2008).
Yang konsisten dengan pandangan tentang potongan potongan DNA yang
ulang alik dari sel ke sel adalah hasil pengamatan bahwa genom virus bisa
memiliki lebih banyak kesamaan dengan genom inangnya daripada dengan genom
inangnya daripada dengan genom virus yang menginfeksi inang lain. Bahkan
sejumlah gen virus pada dasarnya identik dengan gen inang. Di sisi lain,
sekuensing terbaru terhadap banyak genom virus telah menunjukan bahwa
sekuens genetik dari sejumlah virus cukup mirip dengan sekuens pada virus-virus
yang tampaknya berkerabat jauh. Misalnya, sejumlah virus hewan memiliki
kemiripan sekuens dengan virus tumbuhan. Kemiripan genetik ini mungkin
mencerminkan persistensi kelompok-kelompok gen virus yang diunggulkan oleh
seleksi alam selama evolusi awal virus dan sel-sel eukariotik yang berperan
sebagai inang (Campbell, et. al., 2008).
Debat tentang asal muasal virus telah disegarkan kembali baru-baru ini
oleh laporan tentang mimivirus, virus terbesar yang pernah ditemukan. Mimivirus
merupakan virus DNA beruntai-ganda dengan kapsid ikosahedral yang
berdiameter 400nm. (Awal namanya merupakan kependekan dari mimicking
microbe, mikroba peniru, karena ukuran virus itu setara dengan bakteri kecil).
Genom mimivirus mengandung 1,2 juta basa (sekitar 100 kali lebih banyak
daripada genom virus influenza) dan diperkirakan mengandung 1000 gen. Akan
tetapi, aspek yang paling mengejutkan dari mimivirus mungkin adalah sebagian
gennya yang tampaknya mengodekan produk-produk yang sebelumnya dianggap
sebagai ciri khas genom sel. Produk-produk tersebut antara lain berupa protein
yang terlibat dalam translasi, perbaikan DNA, menggulungan DNA, dan sintesis

4
polisakarida. Para peniliti yang mendeskripsikan mimivirus berpendapat bahwa
virus tersebut kemungkinan besar berevolusi sebelum sel pertama dan kemudia
mengembangkan hubungan eksploitas dengan sel-sel. Sejumlah ilmuan yang lain
tidak setuju. Mereka mempertahankan pendapat bahwa virus berevolusi lebih
belakangan daripada sel. Selain itu, virus tidak lebih efisien dalam meraup gen
dari inangnya. Hubungan evolusi yang terus berlanjut antara virus dan genom sel
inangnya merupakan keterkaitan yang menjadikan virus sistem percobaan yang
sangat bermanfaat dalam biologi molekular. Pengetahuan tentang virus juga
memiliki banyak penerapan praktis, sebab virus memiliki dampak yang sangat
besar terhadap semua organisme karena kemampuannya menyebabkan penyakit
(Campbell, et. al., 2008).

3. Reproduksi virus
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi
selorganisme biologis. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material
hidupdengan menginvasi dan mengendalikan sel makhluk hidup karena virus
tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. Istilah virus
biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel eukariota
(organisme multisel dan banyak jenis organisme sel tunggal), sementara istilah
bakteriofaga digunakan untuk jenis yang menyerang jenis-jenis sel prokariota
(bakteri dan organisme lain yang tidak berinti sel). Biasanya virus mengandung
sejumlah kecil asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya)
yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiriatas protein, lipid,
glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus baik protein yang digunakan
untuk memuat bahan genetik, maupun protein yang dibutuhkan dalam daur
hidupnya. Virus adalah peralihan antara mahluk hidup dan mahluk tak hidup.
Sampai sekarang masih belum bisa ditentukan apakah virus termasuk kedalam
mahluk hidup atau virustermasuk kedalam benda mati, ada juga yang berpendapat
bahwa virus adalah peralihan antar mahluk hidup dan benda mati (Jawetz dalam
Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).
Salah satu sifat virus yang hampir-hampir membuatnya dianggap sebagai
makhluk hidup adalah kemampuannya dalam memperbanyak diri (reproduksi).

5
Virus akan memperbanyak diri dalam sel atau jaringan yang masih hidup. Virus
tidak dapat memperbanyak diri dalam sel yang sudah mati. Virus memperbanyak
diri dengan cara menyuntikkan materi genetik (DNA atau RNA) ke dalam sel
target, materi genatik virus itu akan diterjemahkan oleh sel target untuk
menghasilkan bagian-bagian tubuh virus baru. Proses penerjemahan materi
genetik hanya dapat dilakukan oleh sel-sel yang masih hidup, sedangkan sel mati
tidak mampu melakukan proses tersebut. Virus-virus yang bereproduksi dalam sel
akan menyebabkan sel tersebut lisis (pecah) karena aktivitas virus baru yang telah
terbentuk. Virus-virus yang memperbanyak diri juga menyebabkan timbulnya
beragam penyakit dalam tubuh tumbuhan, hewan, dan manusia. Agar suatu virus
dapat bereplikasi, protein virus harus disintesis oleh peralatan penyintesis protein
milik sel penjamu. Oleh sebab itu genom virus harus mampu menghasilkan
mRNA yang dapat berfungsi. Telah diindentifikasi berbagai mekanisme yang
memungkinkan mRNA virus berkompetisi dengan mRNA sel untuk menghasilkan
protein virus dalam jumlah yang cukup. Sifat unik multiplikasi virus adalah segera
setelah berinteraksi dengan sel penjamu, virion penginfeksi menjadi rusak dan
infektivitas-nya hilang. Fase dalam siklus pertumbuhan ini dinamakan periode
gerhana (eclipse periode), durasinya beragam bergantung pada virus maupun sel
penjamu, dan diikuti oleh suatu interval terjadinya akumulasi cepat partikel virus
progeni yang infeksius. Periode gerhana sebenarnya merupakan salah satu
aktivitas sintetis yang kuat karena sel diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
“pembajak virus. Pada sebagian kasus, segera setelah asam nukleat virus
memasuki sel penjamu, metabolisme sel diarahkan secara ekslusif untuk
mensintesis partikel virus baru, dan selanjutnya sel tersebut akan dihancurkan.
Pada kasus lain, proses metabolik sel penjamu tidak berubah secara signifikan,
meskipun sel tadi mensintesis protein dan asam nukleat virus, sel tidak dimatikan
(Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).
Setelah disintesisnya asam nukleat dan protein virus komponen-komponen
tersebut dirangkai untuk membentuk virion infeksius baru. Kisaran virus infeksius
yang dihasilkan per sel-nya sangat bervariasi, darijumlah yang sedikit hingga
lebih dari 100.000 partikel. Durasi siklus replikasi virus juga sangat beragam,
mulai dari 6-8 jam (picornavirus) hingga lebih dari 40 jam (beberapa hervesvirus).

6
Tidak semua infeksi akan menghasilkan keturunan virus baru. Infeksi produktif
terjadi pada sel permisif dan menghasilkan virus infeksius baru. Infeksi abortif
gagal menghasilkan progeni infeksius, baik karena sel penjamu bersifat
nonpermisif dan tidak mampu menunjang ekspresi semua gen virus maupun
karena virus penginfeksi bersifat defektif, tidak memiliki beberapa gen fungsional
virus. Infeksi laten dapat terjadi, dengan menetapnya genom virus, tidak
diekspresikannya atau hanya diekspresikannya sedikit gen virus, dan bertahan
hidupnya sel yang terinfeksi. Pola replikasi dapat bervariasi untuk satu jenis virus,
bergantung pada jenis sel penjamu yang diinfeksi (Suprobowati, O.D. & Iis K.,
2018).
4. Tahapan-Tahapan Siklus Reproduksi Bakteriofag
Perhatikan cara Bakteriofaga bereproduksi pada gambar berikut:

Daur Litik Bakteriofaga


Sumber: (Biological Science dalam Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).

Litik atau virulen, bila fage litik menginfeksi sel dan sel tersebut
memberikan tanggapan dengan cara menghasilkan virus-virus baru dalam jumlah
yang besar, yaitu pada masa akhir inkubasi. Sel ini akan pecah atau mengalami
lisis yang akan melepaskan fage-fage baru untuk menginfeksi sel-sel inangnya.
 Daur Litik
a. Fase adsorbsi (penempelan), pada fase ini, awalnya ditandai dengan
adanya ujung ekor menempel atau melekat pada dinding sel bakteri.
Penempelan tersebut dapat terjadi apabila serabut dan ekor virus melekat

7
pada dinding sel bakteri. Virus menempel hanya pada tempattempat
khusus, yakni pada permukaan dinding sel bakteri yang memiliki protein
khusus yang dapat ditempeli protein virus. Menempelnya protein virus
pada protein dinding sel bakteri itu sangat khas, mirip kunci dan gembok.
Virus dapat menempel pada sel-sel tertentu yang diinginkan karena
memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor.Setelah menempel, virus
mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur) sehingga terbentuk
lubang pada dinding bakteri atau inang.
b. Fase injeksi (penetrasi), selubung (seludang) sel berkontraksi yang
mendorong inti ekor ke dalam sel melalui dinding dan membran sel,
kemudian virus tersebut menginjeksikan DNA ke dalam sel bakteri.
Namun demikian, seludang protein yang membentuk kepala dan ekor fage
tetap tertinggal di luar sel. Setelah menginjeksi kemudian akan terlepas
dan tidak berfungsi lagi. Seperti pada gambar berikut ini:

Gambar Mekanisme infeksi virus pada bakteri


Sumber: (Biological Science dalam Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).

1) Penetrasi sel inang oleh bakteriofaga


2) Seludang ekor memendek intinya menembus ke dalam sel, dalam DNA
virus disuntikkan ke dalam sel
3) Fase sintesis, DNA virus yang telah diinjeksikan yang mengandung enzim
lisozim ke dalam akan menghancurkan DNA bakteri, sehingga DNA virus
yang berperan mengambil alih kehidupan. Kemudian DNA virus

8
mereplikasi diri berulang-ulang dengan cara menggandakan diri dalam
jumlah yang banyak, selanjutnya melakukan sintesis protein dari ribosom
bakteri yang akan diubah manjadi bagian-bagian kapsid seperti kepala,
ekor, dan serabut ekor.
4) Fase perakitan, bagian-bagian kapsid kepala, ekor, dan rambut ekor yang
mula-mula terpisah selanjutnya dirakit menjadi kapsid virus kemudian
DNA virus masuk ke dalamnya, maka terbentuklah tubuh virus yang utuh.
5) Fase litik, ketika perakitan telah selesai yang ditandai dengan terbentuknya
tubuh virus baru yang utuh. Virus ini telah mengambil alih perlengkapan
metabolik sel inang bakteri yang menyebabkan memuat asam nukleat
virus dari pada asam nukleat bakteri. Setelah sekitar 20 menit dari infeksi
awal sudah terbentuk 200 Bakteriofaga yang telah terakit dan sel bakteri
itu pun meledak pecah (lisis) dan melepaskan fage-fage baru/virus akan
keluar untuk mencari atau menginfeksi bateri-bakteri lain sebagai
inangnya, begitu seterusnya dan memulai lagi daur hidup tersebut
(Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).

c. Tenang atau lisogenik, tipe ini tidak mengalami lisis (selnya pecah), jadi
asam nukleatnya dibawa dan direplikasikan di dalam sel-sel bakteri dari
satu generasi ke generasi yang lain, namun bisa secara mendadak menjadi
virulen pada suatu generasi berikutnya dan menyebabkan lisis pada sel
inangnya.

Gambar Daur Lisogenik

9
Sumber: (Biological Science dalam Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).

 Daur Lisogenik
Pada daur ini juga mengalami fase yang sama dengan daur litik, yaitu
melalui fase adsorbsi dan fase injeksi. Selanjutnya, akan mengalami fase-fase
berikut.
a. Fase penggabungan, karena DNA bakteri terinfeksi DNA virus, hal
tersebut akan mengakibatkan benang ganda berpilin DNA bakteri menjadi
putus, selanjutnya DNA virus menyisip di antara putusan dan menggabung
dengan benang bakteri. Dengan demikian, bakteri yang terinfeksi akan
memiliki DNA virus.
b. Fase pembelahan, karena terjadi penggabungan, maka DNA virus
menjadi satu dengan DNA bakteri dan DNA virus menjadi tidak aktif
disebut profage. Dengan demikian, jika DNA bakteri melakukan replikasi,
maka DNA virus yang tidak aktif (profage) juga ikut melakukan replikasi.
Misalnya, apabila DNA bakteri membelah diri terbentuk dua sel bakteri,
maka DNA virus juga identik membelah diri menjadi dua seperti DNA
bakteri, begitu seterusnya. Dengan demikian jumlah profage DNA virus
akan mengikuti jumlah sel bakteri inangnya.
c. Fase sintesis, dalam keadaan tertentu jika DNA virus yang tidak aktif
(profage) terkena zat kimia tertentu atau terkena radiasi tinggi, maka DNA
virus akan menjadi aktif kemudian menghancurkan DNA bakteri dan
memisahkan diri. Selanjutnya, DNA virus tersebut mensintesis protein sel
bakteri (inangnya) untuk digunakan sebagai kapsid bagi virus-virus baru
dan sekaligus melakukan replikasi diri menjadi banyak.
d. Fase perakitan: kapsid-kapsid dirakit menjadi kapsid virus yang utuh,
yang berfungsi sebagai selubung virus. Kapsid baru virus terbentuk.
Selanjutnya, DNA hasil replikasi masuk ke dalamnya guna membentuk
virus-virus baru.
e. Fase litik, fase ini sama dengan daur litik. Setelah terbentuk bakteri virus
baru terjadilah lisis sel. Virus-virus yang, terbentuk berhamburankeluar sel
bakteri guna menyerang bakteri baru. Dalam daur selanjutnya virus dapat

10
mengalami daur litik atau lisogenik, demikian seterusnya (Suprobowati,
O.D. & Iis K., 2018).

Hubungan antara fase litik dan lisogenik

Gambar Hubungan Fase litik dan lisogenik pada virus


Sumber: (Biological Science dalam Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).

Gambar diatas memperlihatkan bahwa virus dalam keadaan lingkungan


tertentu pada saat mengalami fase lisogenik dapat berpindah ke fase litik. Hal itu
terjadi apabila virus fage menginfeksi bakteri, tetapi sel bakteri tersebut
mempunyai daya tahan atau daya imun yang kuat, maka virus tersebut tidak dapat
bersifat virulen (virus menyebabkan lisis atau pecah). Pada saat lingkungannya
berubah dan menyebabkan daya tahan sel bakteri berkurang, maka keadaan
lisogenik akan dapat berubah menjadi litik atau lisis, sehingga profage akan
berubah menjadi virulen. Dengan demikian, bakteri akan pecah (lisis) karena
terbentuknya virus-virus baru.
Semua faga memiliki kromosom yang terbungkus kapsid yang tersusun
dari fagencoded protein. Untuk banyak jenis fag, kapsid dilekatkan pada struktur
ekor yang juga terbuat dari protein yang disandikan dengan fag. T4 dan P1
mengandung DNA beruntai ganda linier genom tertutup dalam kapsid dan
menempel pada ekor. Genom T4 adalah 172 kb, sedangkan P1 adalah faga yang
lebih kecil dengan genom 90 kb. T4 kapsid adalah memanjang icosahedron T4
memiliki struktur ekor yang sangat rumit termasuk kerah di bagian bawah kepala

11
dan inti ekor yang kaku dikelilingi selubung kontraktil. Inti dan sarungnya
menempel pada pelat dasar heksagonal. Dilekatkan juga pada tail tail dan pin
enam serat ekor yang berkerut. P1 juga memiliki kapsul icosahedral, ekor dengan
selubung kontraktil, a pelat dasar, dan serat ekor. Saya berisi genom DNA
beruntai ganda linier 48,5 kb, kapsid, dan ekor. Kapsid selesai lagi berbentuk
seperti icosahedron sedangkan ekornya adalah tabung fleksibel tipis yang
ujungnya di bagian kerucut kecil dan satu ekor serat. M13 berisi genom DNA
beruntai tunggal melingkar dari 6407 nukleotida yang dikelilingi oleh lima protein
yang disandikan dengan faga. Kromosom M13 dilapisi (Suprobowati, O.D. & Iis
K., 2018).
Pengaruh Virus Terhadap Sel Inang
Virus yang berhasil menginfeksi suatu sel akan memiliki beberapa pengaruh
bentuk antara lain:
a. Abortive infections; pada keadaan ini, virus gagal bereplikasi pada
selinang yang dimasukinya dan tidak menimbulkan pengaruh apapun
padasel inang.
b. Cytolytic infections: sel terinfeksi virus akan menjadi lisis dan
melepaskanbanyak virus infektif.
c. Persistent infections: virus menetap dalam sel inang untuk waktu
yanglama. Virus ini dapat menjadi produktif (aktif bereplikasi), laten
ataumenyebabkan transformasi sel inang (menjadi sel kanker misalnya).
Menurut Suprobowati, O.D. & Iis K., (2018), terdapat dua cara inang
dalam mencegah dan atau mengeliminasi virus yaitu: Nonspecific defenses (prior
to infection) yang mencakup anatomicalbarriers, viral inhibitorsyang terdapat pada
cairan dan jaringan tubuh danfagositosis. Setelah infeksi virus dapat terjadi
demam, radang (edema, akumulasi lekosit, hipertermia lokal, reduced oxygen
tension dan perubahan metabolisme sel). Semua keadaan ini bertujuan untuk
mengurangi atau menghambat replikasi virus.Faktor lain adalah interferon yang
diproduksi sel terinfeksi yang akan bereaksidengan sel lain (yang belum atau tidak
terinfeksi). Interferon ini bekerja dengan cara mengaktifkan RNA endonuclease
yang bekerja mendegradasi mRNA dan menyebabkan fosforilasi eIF2 yang
berperan penting dalam menghentikan sintesa protein pada sel. Specific host

12
defenses: meliputi antiviral antibodi yang berperan mencegah adsorpsi ke sel
target dan cytotoxic T-lymphocyte yang mampu mengenali sel terinfeksi
(virallyinfected cells) dan menghancurkannya sehingga mengurangi atau
mengeliminasi produksi virus.
Virus tidak bisa memperbanyak diri pada sel yang sudah mati. Hal ini
dikarenakan virus memperbanyak diri dengan cara menyuntikkan materi genetik
yaitu DNA atau RNA ke sel target, materi genetik virus tersebut akan
diterjemahkan oleh sel target untuk menghasilkan bagian-bagian tubuh virus baru.
Proses penerjemahan inilah yang dapat dilakukan oleh sel yang masih hidup saja.
Virus yang bereproduksi dalam sel akan menyebabkan sel tersebut lisis atau pecah
karena terbentuknya virus baru. Virus yang memperbanyak diri juga
menyebabkan timbulnya beberapa penyakit dalam tubuh hewan, tumbuhan, dan
manusia. Terdapat dua cara virus bereproduksi virus pada sel inang, yaitu melalu
siklus litik dan lisogenik (Suprobowati, O.D. & Iis K., 2018).

B. SEL PERTAMA YANG ADA DI BUMI


1. Evolusi Prokariot

Ahli astronomi, geologi, dan biologi menyatakan bahwa usia bumi kira-
kira 4,5 milyar tahun. Pada masa itu suhu di bumi jauh lebih tinggi dari pada
suhu bumi saat ini. Kondisi bumi masih labil, merupakan kabut yang berpilin
pada porosnya dan kemudian secara bertahap dalam waktu yang sangat lama
berangsur-angsur bumi semakin padan dan kemudian mendingin dan menjadi
planet bumi yang kita diami saat ini. Suhu di atmosfer bumi saat itu juga sangat
berbeda dengan suhu pada saat ini. Konon diyakini bahwa saat itu suhu bumi di
atas 1000 C, di mana air akan berbentuk uap air. Kegiatan vulkanik mengeluarkan
gas-gas beracun seperti hydrogen, ammonia, metana, karbondioksida, dan
nitrogen, serta senyawa hidrokarbon lainnya. Akibat dari suhu yang sangat tinggi
adalah, sama sekali tidak ada oksigen bebas di udara
Beberapa ahli biologi berpendapat bahwa kehidupan di bumi berasal dari
bahan kimawi yang pada saat itu berlimpah di atmosfer bumi. Senyawa kimia
tersebut membentuk senyawa kompleks yang mampu membelah diri dan
bermetabolisme sendiri. Akan tetapi muncul pula pendapat bahwa kehidupan

13
tidak dapat terjadi secara spontan dari bahan tak hidup. Tetapi pada saat itu
banyak aktivitas vulkanik, petir, hujan meteor dan radiasi sinar ultra violet yang
sangat kuat karena belum adanya lapisan ozon, memungkinkan terjadinya reaksi-
reaksi kimia yang sangat luar biasa dalam kurun waktu yang sangat lama. Itulah
penyebab tahap awal kelahiran sel biologis.
Pada tahun 1920-an, A.I. Oparin dari Rusia dan J.B.S. Haldane dari
Inggris membuat hipotesis tentang bumi primitif. Atmosfer bumi dan lautan
purbakala pada masa itu memang jauh berbeda dengan kondisi bumi saat ini.
Menurut Oparin dan Haldane, pada masa itu banyak terjadi petir dan hujan
meteorit yang memungkinkan terjadinya penggabungan molekul sederhana
menjadi molekul yang lebih kompleks. Atmosfer bumi pada masa itu belum
memiliki lapisan ozon, sehingga radiasi sinar ultra violet dapat menembus
atmosfer bumi primitif sehingga memungkinkan terbentuknya molekul kompleks
yang dapat membelah diri dan melakukan metabolisme.
Pada tahun 1953, Stanley Miller dan Harold Urey menguji hipotesis
Oparin-Haldane melalui eksperimentasi di laboratorium. Kondisi percobaan
disesuaikan dengan atmosfer bumi primitif. Atmosfer bumi dalam model Miller-
Urey ini, terdiri atas gas-gas H2O, H2, CH4 (metana), dan NH3 (metana). Gas-gas
ini dimasukkan ke dalam tabung lalu dipanaskan bersama dengan air. Dengan
bantuan loncatan bunga api listrik dan radiasi UV, gas-gas tersebut akan bereaksi
membentuk molekul organik sederhana seperti HCN dan HCHO (formaldehid).
Di samping itu juga terbentuk senyawa-senyawa organik seperti asam amino,
gula, asam lemak, dan nukleotida.

14
Model percobaan Harold Urey dan Stanley Miller

(Adaptasi dari Campbell 2003)

Molekul DNA dan RNA merupakan molekul yang dihasilkan secara


abiotik. Molekul ini kemudian membentuk koaservat , yaitu tetesan yang stabil
yang cenderung bergabung dengan dengan sendirinya. Koaservat ini merupakan
kumpulan makromolekul yang dikelilingi oleh molekul air, dan dapat menyerap
substrat dari lingkungannya dan dapat melepaskan hasil reaksi metabolisme.
Koaservat ini dikenal sebagai “protobiont” (proto=awal; bios= kehidupan). Jadi
protobiont merupakan kumpulan molekul organik yang memiliki sejumlah ciri
biologis, antara lain memiliki DNA dan RNA
Protobiont berkembang menjadi protoplasma dan kemudian berkembang
menjadi sel prokariot awal. Prokariot merupakan sel yang mendominasi atmosfer
bumi pada masa itu dan dapat hidup di berbagai tempat serta sangat mudah
berkembang biak. Prokariot dapat hidup di air panas, air dingin, air asin, asam,
basa, di dalam tanah, dan pada sel lainnya. Kehadiran prokariot yang melimpah
ruah di bumi selama milyaran tahun merupakan awal dari kehidupan di bumi kita.
Prokariot berevolusi terus menerus, hingga menimbulkan keanekaragaman
metabolisme dan cara makan. Sebagian besar prokariot ini berukuran
mikroskopik, namun demikian, dampaknya bagi kehidupan sejak dahulu hingga
saat ini, sangat luar biasa. Prokariot sangat berperan dalam merombak bahan-

15
bahan dari organisme yang sudah mati dan mengembalikan unsur kimia ke
lingkungan (saprofit), ada yang menyebabkan penyakit (pathogen), ada yang
bersifat parasit.

C. BAKTERI DAN ARKAEBAKTERIA ADALAH PROKARIOT

Istilah bakteria atau bakteri umumnya digunakan dalam biologi sebagai


acuan prokariot, namun demikian, bakteri maupun arkhaea secara struktural
dikelompokkan sebagai prokariot. Sebagian besar prokariot bersifat uniseluler,
tetapi ada beberapa spesies yang membentuk kumpulan atau koloni; bahkan ada
beberapa prokariot yang menunjukkan kecenderungan adanya pembagian tugas
antara dua jenis atau lebih yang telah terspesialisasi sehingga menjadi koloni
sejati. Sel prokariot memiliki tiga bentuk umum yaitu: bentuk kokus (bola),
bentuk basil (batang), bentuk spiral. Ketiga bentuk ini merupakan tahap penting
dalam identifikasi prokariot.

Bentuk umum sel prokariot

(Keeton 1980; Life 1979)

1. Cara Prokariot Memperoleh Energi

Secara umum ada dua macam cara memperoleh energi yaitu autotrof yaitu
hanya memerlukan senyawa anorganik CO2 sebagai sumber karbon dan heterotrof
yaitu memerlukan senyawa organic sebagai sumber karbon untuk menyusun
senyawa organik lain. Berdasarkan cara memperoleh energi sebagai nutrisi pokok,
maka prokariot dikelompokkan menjadi:
a. Fotoautotrof : sel fotosintetik yang memanfaatkan energi cahaya dan

16
CO2 untuk mensintesis senyawa organik lain.
b. Kemoautotrof: memerlukan CO2 sebagai sumber karbon dan
mendapatkan energi dengan cara mengoksidasi bahan anorganik. Energi
kimia diperoleh dari H2S, amoniak (NH3), dan ion Fero (Fe2+), contohnya
bakteri Sulfur genus Sulfolobus.
c. Fotoheterotrof: menggunakan cahaya untuk menghasilkan ATP tetapi
juga menggunakan senyawa karbon organik dari senyawa lainnya.
d. Kemoheterotrof: memerlukan molekul organik untuk sumber energi dan
karbon misalnya: prokariot, protista, fungi, hewan, dan tumbuhan tertentu
Sebagian besar prokariot adalah kemoheterotrof, misalnya prokariot
pengurai atau Saproba yang menyerap nutrient dari sisa bahan organik,
prokariot parasit yang menyerap nutrient dari cairan tubuh inang yang
masih hidup.
Cara makan prokariot juga mengalami evolusi, sehingga ada bakteri yang
untuk pertumbuhannya memerlukan media yang mengandung 20 jenis asam
amino, senyawa organik, dan vitamin, misalnya Lactobacillus. Ada bakteri yang
memerlukan medium yang mengandung glukosa, misalnya Escherichia coli.
Kemoheterotrof merupakan cara makan yang unik, karena hampir setiap molekul
organik dapat berubah menjadi bahan makanan. Ada jenis bakteri yang mampu
memetabolisme minyak bumi, sehingga bakteri ini dapat dimanfaatkan untuk
membersihkan tumpahan minyak.
2. Evolusi Cara Makan Prokariot

Evolusi cara makan prokariot memegang peranan penting dalam


perubahan lingkungan bumi purbakala. Pada awalnya banyak prokariot yang
bersifat parasit, karena lautan purbakala pada masa itu kaya akan bahan organik
sebagai nutrisi bagi prokariot.Prokariot ini dapat dikatakan hidup sebagai parasit.
Seiring dengan kemampuan berkembang biak prokariot, maka lautan purba
dengan cepat dipenuhi oleh sel-sel prokariot, dan banyak pula sel-sel yang mati.
Bahan organik pada sel- sel mati ini kemudian diuraikan oleh prokariot saprofit .
Hasil penguraian ini adalah bahan-bahan anorganik yang dikembalikan ke
lingkungan. Evolusi cara makan ini dikuti dengan evolusi metabolisme, sehingga
muncul keanekaragaman prokariot.

17
Pada beberapa jenis prokariot awal, terdapat pigmen penyerap cahaya
matahari (UV). Sinar UV ini sangat berbahaya bagi sel yang tumbuh di
permukaan air. Namun prokariot fotosintetik ini memiliki alat metabolik untuk
menggunakan H2O yang berlimpah sebagai pengganti H2S. Hidrogen digunakan
untuk mereduksi CO2. Hasil fotosintesis adalah glukosa dan oksigen. Prokariot
fotosintetik ini adalah sianobakteria awal. Sianobakteria berevolusi antara 2,5-
3,4 milyar tahun bersama prokariot lainnya. Banyaknya oksigen yang dihasilkan
oleh sianobakteria ini kemudian mengubah lingkungan bumi awal. Bumi yang
semula tanpa oksigen menjadi banyak mengandung oksigen. Saat itu lautan
menjadi jenuh dengan oksigen bebas yang terakumulasi di permukaan laut.
Sebagian oksegen bereaksi dengan besi terlarut menjadi oksida besi lalu
mengendap. Hingga suatu saat ketika besi terlarut habis, maka O 2 dibebaskan ke
atmosfer.

Perubahan secara bertahap menyebabkan atmosfer bumi menjadi kaya


akan oksigen. terjadilah revolusi oksigen. Atmosfer yang kaya oksigen ini
menyebabkan kepunahan prokariot anaerob yang tak dapat beradaptasi dengan
lingkungan baru. Namun ada prokariot anaerob lain yang dapat bertahan hidup
dalam habitat yang aerob hingga saat ini yaitu anaerob obligat. Di samping itu
muncul sel prokariot yang bersimbiosis dengan prokariot aerob, lalu terjadilah
evolusi antara simbion tersebut yang kemudian berkembang menjadi eukariot.
3. Bakteri adalah Prokariot
Bakteri merupakan organisme yang memiliki bentuk yang sangat
sederhana dan dapat hidup pada kondisi lingkungan yang tidak terlalu ekstrim
seperti kelompok archaebacteria. Bakteri memiliki sifat dapat hidup dalam kondisi
anaerob dan aerob, memiliki dinding sel yang tersusun dari peptidoglikan,
memiliki pigman fotosintetik berupa bakterioklorofil, dan memiliki DNA yang
mampu menghasilkan ATP secara lebih efisien karena sistem transport
elektronnya lebih berkembang. Bakteri dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan
struktur dasarnya, yaitu bacillus (jamak, bacilli) merupakan bakteri yang
berbentuk lurus dan batang, coccus (jamak, cocci) adalah bakteri berbentuk bulat,
dan spirillus (jamak, spiral) adalah bakteri berbentuk panjang dan heliks, juga
disebut spirochetes. Bakteri spirilla umumnya tidak berhubungan dengan sel-sel

18
yang lain dan dapat berenang sendirian di lingkungannya. Bakteri spirilla
memiliki struktur yang kompleks di dalam membran selnya yang
memungkinkannya untuk bergerak memutar sehingga terlihat seperti pembuka
botol yang dapat membantu mendorong tubuhnya untuk bergerak. Beberapa
bakteri yang berbentuk batang dan bakteri yang berbentuk bulat akan membentuk
koloni, yaitu melekat antara ujung dengan ujungnya setelah mengalami proses
pembelahan dan membentu rantai. Beberapa koloni bakteri berubah menjadi
struktur yang terikat, tumbuh memanjang, memiliki filament-filamen yang
bercabang, atau membentuk struktur tegak yang melepaskan spora, sel tubuh
tunggal yang tumbuh menjadi bakteri baru. Beberapa bakteri berfilamen mampu
bergerak meluncur, sering dikombinasikan dengan adanya rotasi di sekitar sumbu
memanjang. Ahli biologi belum menemukan bagaimana mekanisme pergerakan
bakteri.

Dinding sel bakteri adalah struktur yang penting karena struktur tersebut
yang mempertahankan bentuk sel dan melindungi sel dari keadaan bengkak dan
pecah. Dinding sel bakteri biasanya terdiri dari peptidoglikan, yaitu suatu molekul
polisakarida yang dihubungkan dengan polipeptida. Pada beberapa bakteri,
peptidoglikan dapat membentuk jaringan yang tebal dan kompleks di sekitar
permukaan luar selnya. Jaringan ini terhubung dengan rantai peptida. Pada bakteri
yang lain, lapisan tipis peptidoglikan dapat ditemukan terjepit di antara dua
membran plasma. Membran luar mengandung molekul besar lipopolisakarida, dan
melekatnya lipid dengan rantai polisakarida. Salah satu jenis bakteri yang umum
dan mudah dikenali adalah Escherichia coli (E. coli). Seorang dokter hewan dari
Jerman bernama Theodor Escherich pada tahun 1885 pertama kali
mengidentifikasi jenis bakteri ini.

Sel bakteri seperti E. coli mudah dibiakkan dalam larutan air yang
mengandung glukosa dan beberapa ion anorganik. Dalam media biakan ini, pada
suhu 37°C, massa sel berlipat ganda dan membelah dalam waktu sekitar 60 menit.
E. coli memiliki panjang sekitar 2 µ (20.000 A) dan tebal 0,8 µ (8000 A). Selnya
dikelilingi oleh dinding sel yang kaku, dengan ketebalan 100 A, mengandung
protein, polisakarida dan molekul lipid. Di dalam dinding sel ada sel sejati atau
membran plasma, yang merupakan suatu struktur lipoprotein yang berfungsi

19
sebagai pembatas molekul terhadap media di sekitarnya. Membran plasma ini,
dengan mengendalikan pintu masuk dan keluar molekul dan ion kecil,
berkontribusi pada pembentukan lingkungan internal khusus untuk protoplasma
bakteri. Sangat menarik bahwa enzim yang terlibat dalam oksidasi metabolit, dan
yang merupakan rantai pernapasan, terkait dengan membran plasma ini.

Pada sel eukariotik, enzim ini terbatas pada organel khusus dalam
sitoplasma yang disebut mitokondria. Di bawah mikroskop elektron
dimungkinkan untuk mengenali organel yang disebut nukleoid, di mana
kromosom bakteri, dibentuk oleh adanya molekul melingkar tunggal asam
deoksiribonukleat (DNA). Penting untuk diingat bahwa DNA ini, yang
panjangnya sekitar 1 mm (107 A), mengandung semua informasi genetik
organisme. Lebih jauh lagi, organel pada sel prokariotik terdapat bebas dalam
protoplasma, dan tidak dipisahkan oleh selaput inti seperti pada sel eukariotik. Di
sekitar DNA, di wilayah gelap protoplasma, terdapat 20.000 hingga 30.000
partikel, berdiameter sekitar 200 A, yang disebut ribosom yang terdiri dari asam
ribonukleat (RNA) dan protein. Partikel-partikel ini yaitu ribosom merupakan
tempat sintesis protein berlangsung. Ribosom ada dalam kelompok yang disebut
poliribosom, atau polisom, yang dibagi menjadi subunit besar dan kecil. Sel juga
diisi dengan air, molekul RNA dan protein yang berbeda (termasuk enzim) dan
berbagai molekul yang lebih kecil. Sekitar 3000 hingga 6000 jenis molekul ada di
dalam satu E. coli. Molekul DNA dalam bakteri ini mengandung informasi
genetik yang cukup untuk mengkode 2.000 hingga 3.000 protein yang berbeda.

4. Archaebacteria
(Archaea) Archaea merupakan kelompok bakteri yang berbeda dari
prokariotik lainnya, perbedaannya pada molekul RNA ribosomal 16S-nya,
morfologis, dan fisiologis. Membran Archaea berbeda dengan membran bakteri
pada umumnya karena mengandung ether yang berangkai dengan lipid dan terikat
pada gliserol. Dieter-gliserol dan tetraeter-digliseriol merupakan tipe lipid utama
yang dijumpai pada membran sel Archaea. Membran Archaea mengandung lipid-
lipid non-polar, adapun dinding selnya tidak mengandung murei. Archaea
memiliki kemampuan dalam mengatur ketebalan membran selnya. Dinding sel

20
Archaea mengandung asam muramat dan D-asam amino, dan peptidoglikan.
Beberapa spesies yang lain mungkin mengandung pseudopeptidoglikan,
polisakarida, glikoprotein atau protein. Metabolisme Archaea bervariasi, ada yang
khemoorganotrof dan adapula yang ototrof. Secara umum tipe metabolisme yang
terdapat dalam Archaea mirip dengan yang ada pada Eubacteria.
Salah satu contoh utama dari Archaea adalah kelompok bakteri
metanogenik. Kelompok bakteri tersebut mampu membentuk metana melalui
reduksi karbondioksida, bersifat anaerob obligat yang menggunakan elektron dari
oksidasi hidrogen atau senyawa organik sederhana seperti asetat dan metanol.
Bakteri metanogenik mampu mengkonversi substrat berupa CO 2, senyawa-
senyawa metil, atau asetat menjadi gas metana. Proses konversi ini digambarkan
sebagai suatu tipe respirasi anaerobik. Bakteri metanogenik tidak mampu
menggunakan senyawa karbohidrat, protein atau senyawa organik kompleks
lainnya. Seringkali kelompok bakteri ini berasosiasi dengan mikroorganisme lain
yang berperan dalam menjaga konsentrasi oksigen yang rendah dan menyediakan
karbondioksida serta asam-asam lemak. Bentuk asosiasi ini antara lain dijumpai
pada rumen. Beberapa contoh bakteri metanogenik, yaitu Methanobacillus,
Methanococcus, dan Methanosarcina. Halobacterium dan Halococcus merupakan
anggota Archaea yang memiliki kemampuan metabolisme fototrofik untuk
mensintesis ATP yang dilakukan oleh bakteri orhodopsin yang merupakan protein
membran, dan memiliki sifat halofilik ditunjukkan oleh kemampuannya tumbuh
jika tersedia sekurangnya 15% NaCl. Sulfolobus merupakan Archaea yang
berperan dalam siklus sulfur sebagai agen pengoksidasi sulfur. Sulfolobus mampu
tumbuh secara ototrofik menggunakan sulfur elemental sebagai sumber energi.
Pada umumnya Sulfolobus adalah termofilik, dengan suhu optimum 70-75°C.
Berdasarkan karakternya Sulfolobus sering dijumpai pada mata air panas dan
lingkungan yang asam.
Archaea hipertermofilik merupakan bagian terbesar dari jasad prokaryotik
termofilik yang dikenal. Keseluruhannya memerlukan senyawa sulfur tereduksi
untuk metabolisme. Dalam banyak kasus bentuk senyawa sulfur tereduksi
digunakan sebagai akseptor elektron untuk melangsungkan respirasi anaerob.
Thermoplasma merupakan prokaryota tanpa dinding sel dan mirip mikoplasma.

21
Thermoplasma merupakan jasad asidofilik, aerobik khemoorganotrof dan
termofilik. Umumnya jasad ini dijumpai pada bekas tambang batubara. Membran
selnya mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari lipid dengan empat gugus
eter, manosa, dan glukosa. Kelompok fisiologis utama Archaebacteria, yaitu:
termofilik (termasuk termoasidofilik), pereduksi sulfat, matanogenik dan halofilik
ekstrem. Kelompok-kelompok fisiologis ini tidak berhubungan dengan kedudukan
filogeninya. Pereduksi sulfat merupakan kelompok Archaea yang paling luas
sebarannya. Perhatian banyak ditujukan pada kelompok ini mengingat
kemampuannya dalam meningkatkan kandungan sulfur pada minyak bumi
sehingga saat digunakan lebih banyak sulfur yang dilepaskan ke udara, akibat
lainnya yaitu meningkatnya biaya penyulingan minyak karena sulfida yang
terbentuk akan menyebabkan komponen penyulingan mudah aus.
5. Tabel Perbedaan Bakteri dengan Archaebacteria

(Susilowati, 2019)

22
DAFTAR PUSTAKA

Albert Bruce, et.al. (1989). Molecular Biology of the Cell. New York, London:
Garland Publishing Inc.
Campbell, Reece, Mitchell. (2003). Biologi, edisi ke 5. Jakarta: Erlangga.
Campbell, A. Neil, J. B. Reece, & L. G. Mitchell. (2008). Biologi Jilid 3. Terj.
dari Biology (5th ed) oleh Manalu, W. Jakarta: Erlangga.
Cuffari, B. (2020). What are Spike Proteins?. Diakses dari https://www.news-
medical.net/health/What-are-Spike-Proteins.aspx pada 06 November 2020.

Fifendy, M. & M, Biomed. (2017). Mikrobiologi. Depok: Kencana.

Hidayat, N. (2018). Mikroorganisme dan Pemanfaatannya. Malang: UB Press.

Irianto, A. (2006). Modul 1: Kelompok-kelompok Mikroba. Universitas Terbuka.


Ismail, S. (2019). Mikrobiologi-Parasitologi. Yogyakarta: Deepublish.

Samsuri, M., A. Muqtadir, & F. Amaludin. (2018). Penerapan Teknologi


Augmented Reality Sebagai Media Pembelajaran Virus Pada Manusia
Berbasis Android. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat III. 3: 371-376.

Suprobowati, O.D. & Iis K. (2018). Virologi (Bahan Ajar Teknologi


Laboratorium Medik (TLM). Diakses dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2018/09/
Virologi_SC.pdf pada 06 November 2020.
Susilowati, R. P. (2019). Kajian Sel dan Molekuler (Hubungan Dengan Penyakit
Pada Manusia). Banyumas: Pena Persada.

Anda mungkin juga menyukai