TURASIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Turasih
NIM I353124011
RINGKASAN
TURASIH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
xi
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr
Scanned by CamScanner
xiii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Pemilik Ilmu, yang
telah memberikan rahmat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi dengan
di Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Salam dan
keselamatan semoga senantiasa tercurah kepada Rasul Muhammad SAW
pembawa mukjizat pengetahuan bagi dunia. Pertama-tama, penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada ketua komisi
pembimbing Dr. Lala M. Kolopaking dan anggota komisi pembimbing Dr.
Ekawati Sri Wahyuni yang telah mencurahkan waktu memberikan bimbingan,
arahan, dan koreksi hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah
membalas segala amal kebaikan yang lebih banyak. Ucapan terima kasih dan
penghargaan juga penulis sampaikan kepada ketua program studi Sosiologi
Pedesaan sekaligus penguji luar komisi, Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada
seluruh narasumber dan informan di Dataran Tinggi Dieng yang telah banyak
membantu memberikan data dan informasi hingga tesis ini dapat berbentuk dan
semoga menjadi karya tulis yang bermanfaat. Penulis juga mengucapkan syukur
dan terima kasih kepada yayasan bhakti Tanoto Foundation yang telah
memberikan beasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Dengan ketulusan dari lubuk hati yang paling dalam, rasa syukur dan
terimakasih penulis haturkan untuk orang tua Bapak Salimi dan Ibu Surati yang
tidak henti-hentinya memberikan dukungan sehingga penulis dapat tumbuh,
berkembang, dan berkarya. Semoga Allah memberikan kebaikan yang tidak
terputus kepada Bapak dan Ibu, memberikan umur yang panjang dan berkah.
Pencapaian ini secara khusus penulis dedikasikan untuk setiap ketulusan
perjuangan kedua orang tua yang telah berusaha begitu keras untuk memutus
rantai kebodohan. Terima kasih dan syukur juga penulis sampaikan kepada suami
tercinta, Dhamar Kuncoro, yang telah begitu sabar mengingatkan bahwa setiap
proses harus dilewati dengan baik, sabar, dan ikhlas. Kepada anak pertamaku,
Anugrah Setyo Kuncoro, terima kasih telah menemani dan menyemangati dalam
setiap langkah. Juga kepada Bapak Ibu mertua, Bapak Agus Suranto dan Ibu
Endang Sriyanti yang juga dengan tulus memberikan dukungan doa, semangat,
dan kasih bagi penulis. Kepada adikku Nurhayati, cahayaku, terima kasih selalu
menjadi tolak ukur yang baik dari setiap perjuanganmu menimba ilmu.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan SPD 2013
Genap, Joni Trio Wibowo, Anton Wijonarno, dan Iwansyah yang berjuang
bersama hingga akhir. Pada akhirnya tidak ada yang lebih layak disampaikan
kecuali rasa syukur dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
berkontribusi hingga selesainya tesis ini. Semoga karya tulis ini menjadi ilmu
yang bermanfaat, menjadi sebuah sarana tafakur atas maha luasnya ilmu Allah di
muka bumi.
Turasih
xiv
xv
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Perubahan Iklim 5
Kerentanan Sektor Pertanian Terhadap Perubahan Iklim 6
Konsep Adaptasi 8
Konsep Kerentanan 9
Kelembagaan Lokal Adaptasi Perubahan Iklim 11
Petani dan Etika Subsitensi 13
Strategi Penghidupan Rumah Tangga 14
Kerangka Pemikiran 17
3 METODOLOGI 19
Metode Penelitian 19
Lokasi dan Waktu Penelitian 20
Unit Analisis dan Subjek Penelitian 20
Jenis Data 21
Pengolahan dan Analisis Data 21
DAFTAR PUSTAKA 80
LAMPIRAN 84
RIWAYAT HIDUP 99
xvii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Suhu Bulan Basah (BB) - Bulan Kering (BK) Rata-Rata
Bulanan Tahun 2009-2014 Stasiun Geofisika Banjarnegara 84
2 Data Klimatologi/Hujan Stasiun Geofisika Banjarnegara 85
3 Data Suhu Rata-rata Bulanan Stasiun Geofisika Banjarnegara
Bulan Mei 2009-Juli 2014 86
4 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kecamatan Batur
Tahun 1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012, 2013 87
5 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Periode Bulan Januari
Desember Tahun 1990 2014 88
6 Skor Lima Modal yang Diakses Rumah Tangga Petani
Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan 90
7 Indikator Terpilih Penilaian Kerentanan Rumah Tangga Petani
Terhadap Perubahan Iklim 91
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
dan kualitas air (10%), dan pengelolaan sumber daya alam (5%).
Kegiatan/program adaptasi perubahan iklim yang paling dominan adalah pada
jenis adaptasi terencana (48%), diikuti oleh jenis adaptasi antisipatif (37%), dan
adaptasi otonom (14%). Kegiatan/program adaptasi perubahan iklim masih
didominasi oleh kegiatan adaptasi dengan dimensi kapasitas adaptif (73%), diikuti
aksi adaptasi (24%) dan pembangunan berlanjut/lestari (2%).
Pada sektor pertanian, kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim di
Indonesia dirancang dengan masih menitikberatkan pada komoditas padi sawah
dataran rendah. Pembahasan mengenai petani dataran tinggi maupun petani
komoditi selain padi sawah di Indonesia masih sangat minim. Peta jalan (road
map) strategi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim tahun 2011-
2014 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (2010) lebih membahas upaya
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang sifatnya teknis dengan penekanan
pada komoditi padi sawah. Padahal pengaruh perubahan iklim dinyatakan oleh
Kementerian Pertanian (2011) bersifat multidimensional mulai dari sumberdaya,
infrastrukur pertanian, sistem produksi pertanian, aspek ketahanan dan
kemandirian pangan, serta kesejahteraan masyarakat petani pada umumnya.
Artinya petani komoditi non-padi yang dalam penelitian ini dispesifikkan pada
petani dataran tinggi layak dikaji untuk mengetahui tingkat kerentanannya
terhadap perubahan iklim sehingga bisa memperkaya dan melengkapi dasar
kebijakan bagi upaya menghadapi tantangan dan peluang perubahan iklim yang
lebih komprehensif.
Penelitian ini melihat bagaimana petani melakukan strategi adaptasi dalam
menghadapi perbahan iklim dan apakah strategi adaptasi tersebut dapat menjadi
strategi penghidupan yang berkelanjutan dengan pembahasan yang dititikberatkan
pada petani dataran tinggi. Selama ini dataran tinggi banyak dimaknai sebagai
wilayah yang tertinggal atau dalam terminologi Li (2002) dataran tinggi disebut
sebagai daerah pedalaman yang terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui
perjalanan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran yang rendah yang
telah lama dan terus berlangsung. Tjondronegoro (2008) menjelaskan bahwa
dataran tinggi disebut sering disebut sebagai tanah marjinal yang merupakan suatu
hasil keterpaksaan, penduduk yang membangun masyarakat disana relatif baru
dan sering lebih mobile. Disebutkan pula bahwa pelapisan sosial penduduk di
tanah marjinal tidak semantap daerah persawahan dan tingkat kesenian tidak
terlalu unggul. Pendapat yang serupa telah dipaparkan sebelumnya oleh Hefner
(1999) yang menyebutkan bahwa masyarakat pegunungan (dataran tinggi)
memiliki struktur longgar, serba kabur pelapisan sosialnya, dimana ikatan-ikatan
antar individu sangat longgar. Masyarakat dataran tinggi kurang memiliki
pembatasan kelas sosial yang ketat sebagaimana masyarakat daerah padi sawah.
Asumsi bahwa masyarakat dataran tinggi adalah bodoh dan terisolasi dipegang
oleh agen pembangunan yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan
pembangunan yang diterapkan di wilayah tersebut. Dinamisme, produktivitas,
pengetahuan serta kreativitas masyarakat dataran tinggi sering diabaikan dalam
program pembangunan pemerintah.
Yuliati (2011) menyatakan bahwa pertanian dataran tinggi tidak memiliki
daya tahan ekologis yang mantap seperti yang terjadi pada sistem pertanian
sawah. Sawah merupakan sistem pertanian yang sungguh-sunguh
berkesinambungan, memiliki kemampuan untuk dikelola secara intensif dalam
3
Rumusan Masalah
Kolopaking (2012) menyebutkan bahwa peranan iklim dalam
pembangunan telah berkembang sejak dekade 1970-an hingga saat ini dengan
pola pendekatan yang berbeda-beda. Pada dekade 1970-1990 pembangunan
menggunakan sistem sentralistik melalui pengembangan pusat-pusat produksi
serta revolusi hijau dengan strategi penyuluhan untuk pertanian. Masa ini disebut
4
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Iklim
Perubahan iklim dalam penelitian ini mengacu pada IPCC (2007) yang
mendefinisikan perubahan iklim sebagai sesuatu yang dapat berdasarkan
perubahan pada arti iklim maupun sifat-sifatnya yang berlangsung dalam waktu
yang panjang yaitu beberapa dekade atau bahkan lebih panjang lagi. Perubahan
iklim merupakan perubahan dari waktu ke waktu baik karena variabilitas alami
maupun karena aktivitas manusia (anthropogenic). Perubahan iklim jelas terjadi
ditandai oleh kenaikan rata-rata suhu global dan permukaan laut, mencairnya salju
dan terjadinya kenaikan permukaan laut.
6
Pada awal tahun 2010 diperkirakan sekitar 1,2 juta ha tanaman padi musim
tanamnya mundur selama 10-30 hari akibat El Nino tahun 2009. Perubahan iklim
juga menyebabkan perubahan pola tanam, pada lahan kering tanaman beresiko
terkena kekeringan pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau lebih cepat,
tanaman juga rentan beresiko terkena angin kencang pada bulan Januari-Februari.
Perubahan iklim juga menyebabkan berkurangnya musim tanam karena
perubahan iklim global di kawasant tropis menyebabkan udara semakin kering
atau panas sehingga musim bertanam menjadi semakin pendek. Dampak
selanjutnya penduduk miskin di berbagai wilayah tropis akan mengalami bencana
rawan pangan. Selain itu dampak negatif lain yang disebabkan oleh perubahan
iklim adalah menurunnya luas produksi, penurunan kualitas produksi, peningkatan
hama dan penyakit tanaman, yang akhirnya berdampak bagi kerugian ekonomi
petani. Tingginya curah hujan menyebabkan petani hortikultura merugi.
Konsep Adaptasi
IPCC (2001) mendefinisikan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai
penyesuaian pada alam maupun sistem kehidupan manusia dalam rangka
merespon pergerakan iklim dan dampaknya yang merugikan atau mengurangi
peluang manfaat. Adaptasi tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa tipe yaitu
adaptasi antisipatif dan reaktif, adaptasi privat dan publik, serta adaptasi terencana
dan otonomi.
Smit dan Wandel (2006) menjelaskan bahwa dalam beberapa bidang ilmu,
adaptasi dimaknai sebagai respon terhadap resiko yang berhubungan dengan
bencana lingkungan dan kerentanan manusia atau kapasitas adaptifnya. Pada
pembahasan perubahan iklim, analisis adaptasi memiliki tujuan yang bermacam-
macam. Pendekatan adaptasi memperhitungan kerusakan yang diakibatkan oleh
skenario iklim jangka panjang dengan atau tanpa ajusmen. Analisis adaptasi
terhadap perubahan iklim berkembang mengikuti kesadaran terhadap perubahan
iklim itu sendiri. Tujuan utama dalam analisis adaptasi perubahan iklim adalah
untuk mengestimasi derajat dampak skenario perubahan iklim dapat dihadapi
dengan upaya mitigasi (pencegahan) atau adaptasi. Adaptasi bertujuan untuk
mengurangi dampak negatif perubahan iklim atau menyadari dampak positif
untuk menghindari bahaya.
Analisis adaptasi dapat dilakukan dengan menelaah penerapan praktek
adaptasi melalui investigasi terhadap kapasitas dan kebutuhan adaptif di suatu
wilayah atau komunitas dengan tujuan untuk mengidentifikasi maksud inisiatif
adaptasi atau memperbaiki kapasitas adaptasi. Hal ini memungkinkan untuk
mengidentifikasi dan mengembangkan strategi adaptasi khusus yang sesuai
dengan kebutuhan komunitas. Tujuan analisis adaptasi ini bukan untuk
memberikan skor terhadap upaya adaptasi atau pun kerentanan, juga bukan untuk
mengkuantifikasi dampak adaptasi. Fokus analisis adaptasi di tingkat komunitas
lebih untuk mendokumentasikan bagaimana sistem atau pengalaman komunitas
mengubah kondisi dan bagaimana proses pengambilan keputusannya yang
mungkin mengakomodasi aktivitas adaptasi atau memperbaiki kapasitas adaptif.
Analisis adaptasi ini lebih menekankan identifikasi pengalaman empiris
komunitas dibanding menggunakan variabel yang sudah ada. Identifikasi meliputi
pengalaman dan pengetahuian anggota komunitas terhadap kondisi mereka
9
Konsep Kerentanan
tangga akan melakukan strategi-strategi yang berbeda berdasarkan aset dan status
aksesnya terhadap aset tersebut.
Ellis (2000) menyatakan bahwa pengertian livelihood berbeda dengan
pendapatan (income), namun demikian keduanya berkaitan erat karena
pendapatan merupakan hasil dari livelihood yang paling dapat diukur. Ellis
membagi income ke dalam tiga kelompok yaitu: (1) Farm income; (2) Off-farm
income; (3) Non-farm income. Farm income merupakan pendapatan yang
dihasilkan dari pertanian baik berasal dari lahan milik sendiri maupun lahan sewa
dan bagi hasil. Off-farm income yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian,
sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan
lain-lain. Non farm income yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar
kegiatan pertanian yang meliputi upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian,
usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya:
sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh
migran yang pergi ke luar negeri.
A B C D E F
Livelihood Acces modified In context of Resulting in Composed of With Effects
platform by on
Assets Institution
Natural Rules and
capital customs
Physical Land tenure
capital Market in
Livelihood
Human practice
strategies
capital
Financial
capital
Social
capital
Gambar 4 Kerangka kerja untuk analisa kebijakan mikro pada livelihood pedesaan
dapat digunakan pada skala yang berbeda-beda baik individu, rumah tangga,
organisasi kekerabatan, desa, daerah, atau bahkan negara. Berdasarkan kerangka
kerja Scoones tersebut penghidupan yang berkelanjutan dapat dinilai pada level-
level yang berbeda sesuai interaksi berbagai aspek. Kerangka kerja Scoone dapat
dilihat pada Gambar 5 Scoones membagi strategi penghidupan menjadi tiga yaitu:
(1) strategi intensifikasi/ekstensifikasi pertanian; (2) strategi diversifikasi
pendapatan; (3) strategi migrasi. Oleh Scoones disebutkan bahwa rumah tangga
dapat melakukan kombinasi kegiatan dan pilihan-pilihan yang dibuat untuk
mencapai kesejahteraan. Strategi tersebut meliputi cara-cara rumah tangga
merangkai berbagai kegiatan untuk memperoleh pendapatan, cara-cara
memanfaatkan berbagai aset, pilihan aset untuk invesatsi dan bagaimana rumah
tangga mempertahankan aset serta pendapatannya. Kerangka kerja Scoones
tercantum pada gambar 5.
Kerangka Pemikiran
Asumsi dasar dari penelitian ini adalah: petani dataran tinggi telah dan
sedang melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi, di sektor pertanian
dampak besar yang dirasakan adalah perubahan siklusmusim kemarau dan
penghujan, dan perubahan curah hujan. Kedua perubahan ini akan menimbulkan
potensi tingginya kegagalan panen, selain itu petani akan kesulitan untuk
menentukan waktu memulai bercocok tanam karena ketidakpastian musim
kemarau dan musim hujan.
Perubahan iklim dalam penelitian ini mengikuti pengertian IPCC (2007)
bahwa perubahan iklim termasuk variabilitas iklim alami dan perubahan yang
disebabkan faktor manusia (antrophogenic) seperti pertumbuhan penduduk dan
aktivitas manusia. Pada sektor pertanian perubahan iklim dapat dicirikan dari
perubahan temperatur dan kejadian iklim ekstrem. Kejadian perubahan iklim
memberikan dampak bagi kehidupan pada aspek fisik dan ekologi, ekonomi, dan
sosial. Dampak tersebut mempengaruhi rumah tangga dan komunitas berdasarkan
lima aset yang dikuasai meliputi aset alam, aset manusia, aset keuangan, aset fisik,
dan aset sosial. Akses terhadap aset aset tersebut mempengaruhi strategi adaptasi
yang dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi dalam menghadapi
perubahan iklim. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani di
Dataran Tinggi Dieng dipengaruhi oleh lingkungan internal dan lingkungan
eksternal. Lingkungan internal meliputi lingkungna fisik yaitu pengelolaan lahan
dan pemukiman, serta lingkungan sosial yang meliputi nilai/norma, interaksi
sosial, dan sistem ekonomi. Lingkungan eksternal terdiri dari dua hal yaitu proses
kebijakan dan intervensi eksternal dalam proses-proses pembangunan yang terjadi
di Dataran Tinggi Dieng.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi dalam
menghadapi perubahan iklim mengarah pada adaptasi yang direncanakan
(planned adaptation) (Boer dan Kolopaking 2010 dalam Kolopaking 2011).
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi berkaitan dengan
kerentanan mereka terhadap dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Diperkirakan petani dataran tinggi memiliki strategi adaptasi yang berkaitan
dengan tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan dilihat
berdasarkan tingkat keterpaparan (exposure), tingkat sensitivitas (sensitivity), dan
kapasitas adaptif (adaptive capacity). Keberhasilan strategi adaptasi yang
dilakukan oleh rumah tangga petani dapat menjadi pendukung bagi penguatan
kelembagaan adaptasi petani di tingkat lokal dan mendukung keberlanjutan
strategi penghidupan pada rumah tangga petani. Keberlanjutan strategi
penghidupan dapat terjadi apabila strategi adaptasi perubahan iklim yang telah,
sedang, dan akan dilakukan oleh rumah tangga petani dapat melihat aspek
pengurangan resiko terhadap perubahan iklim dan dapat meningkatkan peluang
dari kejadian yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Gambaran mengenai alur
kerangka berpikir penelitian ini tercantum pada Gambar 6.
18
Alam
Fisik Keuangan
Kerentanan
Keterpaparan (exposure) Strategi penghidupan
Sensitivitas (sensitivity) berkelanjutan
Kapasitas Adaptif (adaptive Mengurangi resiko
capacity) Meningkatkan peluang
Keterangan:
Mempengaruhi
Saling terkait
METODOLOGI
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-interpretatif yang dikuatkan
dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif mengandalkan grounded research
dan fenomenologi untuk melihat interpretasi-konstruktif dari tineliti mengenai
pemaknaan atas fenomena perubahan iklim yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng.
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didukung dengan melakukan
wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara terstruktur.
Wawancara mendalam berguna untuk memperoleh data/infomasi tentang
pengalaman, pendapat-reflektif, perasaan, pemaknaan/pemahaman subjektif k
atas berbagai hal terkait dengan proses-proses adaptasi yang terjadi pada petani
dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim. Juga memperoleh data
bagaimana upaya adaptasi tersebut dilakukan supaya bisa melembaga dan mampu
mendukung kebijakan di tingkat daerah. Sumber data/informasi dalam hal ini
adalah resource persons (tokoh masyarakat, pemerintah desa, panutan
masyarakat) yang bertindak atas nama dirinya sendiri maupun atas nama
masyarakat luas (menceritakan apa yang terjadi pada masyarakat dimana resource
person menjadi bagiannya). Prinsip penelitian fenomenologi yang dipilih sebagai
teknik kajian untuk memahami proses pengorganisasian/perencanaan strategi
adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani di dataran tinggi.
Wawancara mendalam akan digunakan untuk menggali informasi dari tineliti
(subjek/orang yang diteliti). Tineliti menceritakan pandangannya dan pendapatnya
tanpa intervensi dan interpretasi sedikitpun dari peneliti.
Wawancara terstruktrur (structured interview) mengacu pada situasi ketika
seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap
responden dengan kategori jawaban tertentu/terbatas (Fontana dan Frey 1997).
Peneliti menyediakan sedikit ruang bagi variasi jawaban, kecuali jika
menggunakan metode pertanyaan terbka (open-ended question) yang tidak
menuntut keteraturan. Jawaban untuk setiap pertanyaan dicatat berdasarkan skema
kode (coding scheme). Penggunaan wawancara terstruktur adalah untuk
meminimalisasi kesalahan-kesalahan. Dalam setting wawancara terstruktur hanya
ada sedikit kelenturan (flexibility) terkait dengan cara pertanyaan seharusnya
disampaikan atau bagaimana jawaban diberikan. Wawancara terstruktur dengan
kuesioner ini dilakukan untuk menilai kerentanan rumah tangga petani terhadap
perubahan iklim.
Unit analisis utama dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani di
Desa Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang terletak di Dataran
Tinggi Dieng. Rumah tangga dikelompokkan berdasarkan tipe penguasaan lahan
yang terdiri dari rumah tangga yang tidak menguasai lahan (0 ha), rumah tangga
dengan penguasaan lahan 0,1 ha x < 0,3 ha, rumah tangga dengan penguasaan
lahan 0,3 ha x < 0,5 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,5 ha x < 1
ha, dan rumah tangga dengan penguasaan lahan 1 ha. Unit analisis
pendukungnya terdiri dari kelembagaan petani yang terdapat di tingkat komunitas,
desa, maupun daerah yang meliputi Kelompok Tani di Desa Batur, Asosiasi
Penangkar Benih Kentang Dieng, Komunitas Petani Kentang Dieng, Pemerintah
Desa Batur, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Banjarnegara
yang meliputi Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten
Banjarnegara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, Dinas
Pertanian Kabupaten Banjarnegara, dan lembaga pemerintah non-departemen
yaitu Badan Penanggunalan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara,
dan penyuluh pertanian.
Subjek penelitian sesuai dengan unit analisis ini dipilih berdasarkan teknik
purposive sampling sesuai dengan kriteria penguasaan lahan. Metode purposive
sampling diberlakukan dengan mempertimbangkan kriteria dari responden yang
diwawancarai yaitu sebagai responden yang diharapkan bisa tahu mengenai
informasi yang diharapkan oleh peneliti. Total rumah tangga yang menjadi subjek
penelitian adalah 30 rumah tangga dan subjek dari unit analisis pendukung terdiri
dari 16 orang. Rincian subjek penelitian tersebut tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Subjek penelitian dari unit analisis utama dan unit analisis pendukung
No Unit Analisis Jumlah
1 Rumah tangga non penguasa lahan 8 rumah tangga
2 Rumah tangga penguasa lahan 0,1 ha x < 0,3 ha 7 rumah tangga
3 Rumah tangga penguasa lahan 0,3 ha x < 0,5 ha 5 rumah tangga
4 Rumah tangga penguasa lahan 0,5 ha x < 1 ha 5 rumah tangga
5 Rumah tangga penguasa lahan 1 ha 5 rumah tangga
6 Kelompok Tani 4 orang
7 Asosiasi Penangkar Benih Kentang Dieng 1 orang
8 Pemerintah Desa Batur 1 orang
9 Bappeda Kabupaten Banjarnegara 3 orang
10 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara 1 orang
11 Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara 1 orang
12 Badan Penanggulangan Bencana Daerah 1 orang
13 Penyuluh pertanian Kecamatan Batur 1 orang
21
Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer berasal dari hasil wawancara dan observasi langsung, sedangkan data
sekunder berasal dari literatur, dokumen, film, dan data-data statistik yang
berhubungan dengan lokasi penelitian. Data penelitian berupa data kualitatif dan
data kuantitatif. Data kualitatif bersumber dari hasil wawancara, literatur,
dokumen, film, dan sumber yang relevan. Sedangkan data kuantitatif utama dalam
penelitian bersumber dari dari data statistik berupa data Kecamatan Batur Dalam
Angka Periode Tahun 1990-2014. Data kuantitatif lainnya diperoleh dari sumber
literatur pendukung yang sesuai dengan konteks penelitian.
Analisis data mengikuti tahapan analisis yang digagas oleh Huberman dan
Miles (1997) dimana analisis data menggunakan model interaktif dan penyajian
datanya bersifat sekuensial dan interaktif. Analisis data meliputi tiga subproses
yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan
keputusan/verifikasi.
1. Reduksi data
Reduksi data berarti bahwa kesemestaan potensi yang dimiliki oleh data
disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hasil catatan lapangan,
wawancara, serta data pendukung yang tersedia dalam penelitian ini dirangkum
(data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan
(clustering), dan penyajian cerita secara tertulis. Hasil catatan lapangan dari
penelitian ini dirangkum dan dikelompokkan, kemudian dianalisa sesuai dengan
tujuan penelitian. Hasil wawancara terstruktur terutama untuk mengetahui
kerentanan rumah tangga petani terhadap perubahan iklim di-coding sesuai
dengan panduan kuesioner (lihat lampiran 7) kemudian dilakukan skoring.
2. Penyajian data
Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk teks naratif berupa
deskripsi dari semua informasi yang diperoleh di lapangan. Data juga disajikan
dalam bentuk gambar, diagram, dan matriks. Sajian data dan kesimpulannya
saling memengaruhi satu sama lain. Penyajian data hasil analisis merupakan
perpaduan dari rangkuman hasil penelitian di lapangan, keterhubungan dengan
teks analitik, dan hasil analisis sebagaimana digambarkan pada Gambar 7.
Melakukan perbandingan
Merangkum
Menemukan hubungan
Mengembangkan penjelasan
3. Verifikasi
Kondisi Geografis dan Iklim Dataran Tinggi Dieng dan Lokasi Penelitian
(Desa Batur)
Sumber: www.banjarnegarakab.go.id
Selain itu kawasan Dataran Tinggi Dieng juga dilewati sungai atau kali
yang terdiri dari Kali Bojong, Kali Merawu, Kali Princingan, Kali Panaraban,
Kali Dolog, Kali Siton, Kali Putih, dan Kali Tulis. Kali-kali tersebut memiliki
muara akhir di waduk pembangkit listrik Mrica atau Waduk Panglima Besar
Jenderal Soedirman. Apabila terjadi longsor di kawasan Dataran Tinggi Dieng
maka berpengaruh pada sedimentasi waduk tersebut.
pada Tabel 4 menunjukkan bahwa area pertanian terluas di Dataran Tinggi Dieng
yang terlingkup di Kecamatan Batur adalah di Desa Batur yang merupakan desa
terluas. Area pertanian yang merupakan tegalan mencapai dua hingga delapan kali
lipat dibanding desa-desa lainnya.
Dataran Tinggi Dieng merupakan area yang subur untuk pertanian dengan
kondisi tanag berjenis andosol, regasol, olivial, dan glie humus. Tanah Andosol
ada di setiap desa dan berkombinasi dengan jenis tanah lainnya. Jenis tanah di
Desa Batur merupakan asosiasi dari jenis tanah glie humus dan olivial kelabu
serta asosiasi andosol coklat dan regasol coklat. Klasifikasi lengkap tentang jenis
tanah di Kecamatan Batur terdapat pada Tabel 5.
yang dapat merusak tanaman perdu, termasuk tanaman horikultur yang menjadi
andalan petani dan menyebabkan petani mengalami kerugian hingga sampai
ratusan juta rupiah.
Musim hujan dan musim kemarau terjadi silih berganti sepanjang tahun.
Pada umumnya bulan basah lebih banyak dibanding bulan kering. Pada Tahun
2011 curah hujan tahunan di Kecamatan Batur sebanyak 3.240 mm dengan jumlah
hari hujan 127 hari. Pada Tahun 2010 jumlah hari hujan lebih banyak yaitu 209
hari namun curah hujan lebih rendah yaitu 3.081 mm. Kondisi iklim ini bersifat
homogen di Kawasan Dataran Tinggi Dieng.
1. Kondisi Demografi
0-14 tahun sebanyak 26 % dan kelompok usia lanjut (di atas 64 tahun) sebanyak 9
%. Rasio beban tanggungan (dependency ratio) di Kecamatan Batur adalah
sebesar 53,19 % yang berarti setiap orang yang berusia kerja (dianggap produktif)
mempunyai tanggungan sebanyak 53 orang yang belum produktif (0-14 tahun)
dan dianggap tidak lagi produktif (di atas 64 tahun). Rasio beban tanggungan
tersebut terbagi ke dalam 39,89 % untuk rasio beban tanggungan umur muda
(youth dependency ratio) dan 13,31 % untuk rasio beban tanggungan umur tua
(old dependecy ratio).
60 1990
40 2002
20
0 2013
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur dalam Angka Tahun 1990, 2003, dan 2014
120
S 100
e
x 80 1990
1994
R 60
a 1998
t 40
i
2002
o 20 2006
0 2010
2013
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur dalam Angka Tahun 1990, 2003, dan 2014
tahun 1990 yaitu 90. Berdasarkan perbandingan data tahun 1990 2013 tampak
kecenderungan naiknya jumlah penduduk laki-laki dibanding penduduk
perempuan.
2. Kondisi Kemiskinan
Menurut data TNP2K (2012), di Kecamatan Batur terdapat rumahtangga
dan individu dengan kondisi kesejahteraan terendah di Indonesia yang masing-
masing terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, rumah tangga dengan kondisi
kesejahteraan sampai dengan 10 % terendah di Indonesia berjumlah 967 rumah
tangga dengan 4.351 individu. Kedua, rumah tangga dengan kondisi kesejahteraan
sampai dengan 11 % - 20 % terendah di Indonesia berjumlah 1.174 rumah tangga
dengan 4.535 individu. Ketiga, rumah tangga dengan 21 % - 30 % terendah di
Indonesia berjumlah 1.374 rumah tangga dengan 4.606 individu. Di antara 1.374
rumah tangga dengan kesejahteraan 20 %-30 % terendah, 391 rumah tangga
dikepalai oleh kepala rumah tangga perempuan. Sejumlah 61 kepala rumah tangga
perempuan berusia dibawah 45 tahun, 138 berusia antara 45 tahun hingga kurang
dari 60 tahun, dan 192 lainnya merupakan perempuan berusia di atas 60 tahun.
Para rumah tangga miskin tersebut sudah terdedah listrik dari PLN sebagai
sumber penerangan, pada tahun 2012 ada 6 rumah tangga yang belum
menggunakan listrik. Dari aspek bahan bakar untuk memasak, sebanyak 947
rumah tangga menggunakan bahan bakar gas LPG dan 2.558 rumah tangga
menggunakan bahan bakar non-gas yang lebih identik dengan penggunaan tungku
kayu bakar. Fasilitas buang air besar pada rumah tangga miskin 56 %
menggunakan jamban sendiri, 33 % menggunakan jamban umum, dan 11 % tidak
mengakses keduanya artinya bisa membuang di kebun atau sungai.
Tabel 5 Jumlah individu yang bekerja dan tidak bekerja menurut kelompok usia
dengan status kesejahteraan 30% terendah di Kecamatan Batur
Tabel 9 Jumlah anak bersekolah dan tidak bersekolah berdasarkan usia pada
rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30% terendah di Kecamatan
Batur
Tabel 10 Partisipasi sekolah berdasarkan jenis kelamin pada rumah tangga dengan
tingkat kesejahteraan 30% terendah di Kecamatan Batur
Tabel 11 Jumlah individu yang menderita cacat dan penyakit kronis berdasarkan
kelompok usia dan jenis kelamin berdasarkan status kesejahteraan 30 %
terendah di Kecamatan Batur
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Geo Dipa Energi (Persero). Pada
tahun 1970 United States Geological Survei (USGS) melakukan survei geofisika
serta mengebor 6 sumungkal pada kedalaman 150 meter dengan temperatur 92-
173 derajat celcius. Tahun 1976-1994 Pertamina telah menyelesaikan pengeboran
sekitar 27 sumur uji. Pada tahun 2012, total kapasitas dua unit Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) Dieng mencapai 110 megawatt. Selain sebagai potensi alam
yang menjadi sumber energi, keberadaan kawah sumber panas bumi di Dieng juga
perlu diwaspadai. Keberadaan kawah menghasilkan berbagai macam jenis gas,
khususnya CO2. Pada tahun 1979 tercatat 142 penduduk menjadi korban gas
beracun akibat erupsi Kawah Sinila. Bencana gas beracun ini tidak bisa diprediksi
dengan mudah karena sifatnya tidak kasat mata. Bencana yang sama juga
menimpa Dataran Tinggi Dieng pada tahun 2011 dan 2013 akibat erupsi Kawah
Timbang.
Selain sebagai pusat panas bumi, Kawasan Dataran Tinggi Dieng juga
merupakan wilayah tangkapan yang menjadi hulu Sungai Serayu. Dieng menjadi
penyangga bagi kabupaten dan kota yang dilingkupinya serta kelestariannya
berpengaruh terhadap ketersediaan pasokan listrik wilayah Jawa dan Bali melalui
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Mrica di
Banjarnegara. Kerusakan hutan di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan
sedimentasi waduk Jenderal Sudirman sebesar 4 juta ton/tahun dan telah
tersedimen sebesar 40% dari kapasitasnya pada tahun 2012. Faktanya air Sungai
Serayu telah megalami tingkat erosi yang cukup tinggi yaitu 4,2 juta m3/tahun.
Angka erosi tersebut menurut PT Indonesia Power (2012) yang tercantum dalam
dokumen Roadmap Pemulihan Kawasan Dieng Banjarnegara oleh Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara (2012) diakibatkan oleh kegiatan pertanian manusia dan
erosi alami tebing sungai Merawu. Data inflow PLTA UBP Mrica dinyatakan
bahwa rata-rata inflow tahunan adalah 74,73 m3/detik. Kecenderungan laju inflow
selama tahun 1988-2011 mengalami fluktuasi mulai dari 46,31 m3/detik sampai
dengan 111,30 m3/detik.
Sumber panas bumi ini juga menjadi daya tarik wisata Dataran Tinggi
Dieng. Berbagai kawah yang terdapat di kawasan tersebut menjadi destinasi
wisata yang dikunjungi oleh banyak turis baik domestik maupun mancanegara.
Selain kawah, kondisi keindahan alam dan udara yang sejuk juga menarik banyak
pengunjung datang ke Dataran Tinggi Dieng. Situs-situs purbakala yang terdapat
di Dataran Tinggi Dieng juga menjadi daya tarik wisatawan. Saat ini, khususnya
wilayah Dieng yang masuk ke area Kabupaten Banjarnegara mendapatkan
perhatian khusus dari khalayak wisatawan apalagi sejak digelarnya festival
tahunan yang dinamakan Dieng Culture Festival. Data yang dirilis oleh Dinas
Pariwisata Kabupaten Banjarnegara tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah
wisatawan yang mengunjungi Dieng mencapai angka 500.000 pengunjung dan
5.000 diantaranya adalah turis asing.
Kekhasan sumberdaya utama yang menjadi andalan masyarakat di Dataran
Tinggi Dieng adalah sumberdaya alam yang dimanfaatkan untuk pertanian.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa peruntukkan lahan untuk pertanian lebih luas
dibandingkan dengan peruntukkan lahan untuk kepentingan lain (lihat kembali
Tabel 1). Iklim yang sejuk menyebabkan kawasan ini cocok sebagai tempat
budidaya komoditas hortikultura, terutama kentang (Solanum Tuberosum L.) yang
banyak dibudidayakan oleh petani setempat. Usaha tani kentang merupakan usaha
35
pokok mayoritas petani di Dataran Tinggi Dieng dengan pola tanam kentang
(musim 1)-kentang (musim 2)-kentang (musim 3) dalam satu tahun musim tanam.
Berdasarkan Turasih dan Adiwibowo (2012), pada dekade 80-an, tepatnya sekitar
tahun 1983, masyarakat Dataran Tinggi Dieng mulai beralih dari tanaman
tembakau ke tanaman sayur-sayuran. Tahun 1985, kentang masuk secara intensif
dan diperkenalkan oleh petani dari Pangalengan, Jawa Barat.
Boomgard (2002)1 menjelaskan bahwa sebelum kentang masuk menjadi
komoditi yang bertahan ditanam hingga saat ini, jagung merupakan komiditi
andalan bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Ketika sistem tanam paksa (cultuur
Stelsel) mulai diperkenalkan sekitar tahun 1830, Dataran Tinggi Dieng merupakan
daerah yang memproduksi jagung dalam jumlah yang cukup tinggi selain Jawa
Timur dan Madura. Pada periode tahun 1830-1900, di Dataran Tinggi Dieng lahan
tegalan dapat menghasilkan dua atau tiga kali panenan jagung dalam waktu satu
tahun, sebagian karena beberapa varietas memiliki masa tanam yang sangat
pendek. Biasanya, panenan jagung ke dua hanya akan menghasilkan tiga perempat
dari hasil panenan pertama. Jagung hampir menjadi tanaman monokultur, juga
sering ditanam bersama tanaman lain atau tumpangsari bersama padi, kacang-
kacangan, atau tembakau. Selama abad ke-19 proporsi lahan yang ditanami
jagung dan palawija meningkat sedikit demi sedikit dari sekitar 20% menjadi 35%
pada tahun 1880. Kemudian pada akhir 1930-an, lahan yang dibudidayakan oleh
petani untuk tanaman pangan (musiman) adalah 45% untuk padi, 23% untuk
jagung, dan 11% untuk ketela pohon.
Selain jagung dan palawija, antara tahun 1900-1940 Dataran Tinggi Dieng
juga menjadi pusat penanaman tembakau. Tembakau merupakan jenis tanaman
perdagangan yang ditanam khusus untuk pasar lokal dan daerah lain. Hasilnya per
hektar dalam bentuk uang tunai yang sangat tinggi dan dapat digunakan oleh
petani untuk menyewa tenaga upahan dan membeli input lainnya seperti pupuk
dan benih. Disebutkan bahwa, pupuk untuk tembakau juga dihasilkan dari kotoran
manusia, juga pupuk kandang dari ternak dan kuda. Kondisi penanaman tembakau
ini menunjukkan bahwa petani di Dataran Tinggi Dieng juga memelihara ternak.
Persoalan kerugian mulai nampak dalam hal penanaman tembakau yang
penyebabnya termasuk penggundulan hutan dan masalah yang berkaitan dengan
kekurangan air. Konsumsi kayu bakar untuk mengeringkan daun tembakau di
tempat yang tinggi mengurangi luas tutupan hutan. Meskipun di Dieng petani
secara lokal telah menanam pohon seperti kemlandingan gunung (Albizzia
montana) dan bahkan Eucalyptus yang diintroduksi dari luar dan disediakan oleh
Dinas Kehutanan, namun kekurangan kayu bakar masih tetap terjadi. Daerah
penanaman tembakau di Dataran Tinggi Dieng tidak dibuat dalam bentuk teras-
teras, gambaran ini menunjukkan bahwa penanaman tembakau dilakukan di
wilayah rawan dan menyebabkan ekspansi yang terus menerus.
1
Dalam Li, Tania Muray, 2002, Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Bab 2.
Jagung dan Tembakau di Dataran Tinggi di Indonesia 1600-1900, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
36
8% Padi
Palawija
7%
Tanaman Pangan
Jagung
7% Ubi Jalar
Gandum
Hortikultur buah tahunan
Hortikultur semusim
78% Tanaman hias semusim
Tanaman obat semusim
Tanaman kebun tahunan
Tanaman kebun semusim
37
A B C D E F G H I J K L Jumlah
Batur 0 142 142 139 1 3 0 1.522 0 1 4 1 1.955
Sumberejo 0 23 23 21 0 2 2 590 2 1 2 2 668
Pesurenan 1 2 3 2 0 0 0 231 0 0 0 1 240
Dieng
601
Kulon 0 0 0 0 0 0 0 598 2 0 1 0
Karang
799
Tengah 1 0 0 0 0 0 1 795 0 0 1 1
Bakal 0 1 2 1 0 0 0 794 0 0 0 1 799
Kepakisan 0 0 0 0 0 0 0 486 0 0 0 0 486
Pekasiran 0 2 2 2 0 0 0 587 0 0 0 5 598
JUMLAH 2 170 172 165 1 5 3 5.603 4 2 8 11 6.146
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)
Keterangan:
A: Padi; B: Palawija; C: Tanaman Pangan, D: Jagung; E: Ubi Jalar; F: Gandum; G:
Hortikultur buah tahunan; H: Hortikultur semusim; I: Tanaman hias semusim; J: Tanaman obat
semusim; K: Tanaman kebun tahunan; L: Tanaman kebun semusim
Tabel 16 Jumlah Rukun Tetangga (RT) pada setiap dusun (RW/Rukun Warga) di
Desa Batur
kilometer, dan jumlah desa yang mampu mengakses jalan (aspal dan berbatu)
meningkat dari kira-kira 10 persen menjadi 30 persen. Perbaikan jalan
memungkinkan proses distribusi panen menjadi semakin mudah. Perbaikan jalan
juga menekan biaya transportasi karena petani tidak perlu repot menjualnya ke
kota sebab banyak pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan
pedagang dari Surabaya, Jakarta, dan Semarang akan membelinya langsung dari
ladang.
Pada tahap selanjutnya eksistensi petani terhadap dinamika pembangunan
di Dataran Tinggi Dieng tersebut menciptakan polarisasi yang mencolok antara
petani kaya dan petani miskin. Sistem penghidupan dan nafkah dari pertanian
kentang ini memberi konsekuensi pada semakin tajamnya potret kemiskinan di
Dataran tinggi Dieng. Pembangunan pertanian ala modernisasi yang
mengedepankan modal besar pada titik tertentu menghancurkan tatanan sosial
serta menciptakan keserakahan untuk menguasai sebanyak mungkin modal lahan
termasuk dengan merambah hutan sebagai area tangkapan. Eksploitasi terhadap
daerah miring dan area hutan tersebut menghasilkan kehancuran pada aspek
sosial, ekonomi, dan ekologi secara sistemik. Merujuk Wright (1978) dalam
Sanderson (2010) modernisasi pertanian di Indonesia menunjukkan pembentukan
struktur kelas kapitalis dimana terdapat petani kaya yang menguasai modal
(tanah), dominasi terhadap akses teknologi dan kredit, serta kontrol bagi
keberadaan usaha tani yang lebih leluasa dibanding petani kecil.
Perubahan yang kentara terlihat berikutnya adalah dari kentang pula
muncul orang-orang kaya yang lazim disebut haji kentang, mereka bisa naik
haji dan membangun masjid dari penghasilan usahatani kentang (Turasih dan
Adiwibowo 2012). Pertanian modern semakin memunculkan rasionalitas di
kalangan petani. Pada masa lalu, pertanian di Dataran Tinggi Dieng selalu diawali
dengan ritual sebelum menanam. Ritual kebudayaan yang terkait dengan pertanian
seperti nglekasi, wiwit, ruwat bumi, dan baridan yang tujuan utamanya untuk
meminta berkah kepada leluhur supaya pada musim tanam diberikan kelancaran.
Ritual tersebut dipengaruhi budaya Hindu yang pada saat itu masih kental di
Dataran Tinggi Dieng. Pada perkembangannya saat kentang masuk ke Dataran
Tinggi Dieng, nilai-nilai tersebut digantikan oleh rasionalitas bahwa orientasi
pertanian kentang adalah keuntungan ekonomi. Sebagai komoditi yang bernilai
tinggi, kentang mempengaruhi kebudayaan dan cara hidup baik individu maupun
masyarakat.
Fenomena yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng pasca masuknya komoditi
kentang sebagai unggulan dan sumber matapencaharian petani memberikan
dampak tidak hanya bagi komunitas petani di wilayah tersebut, namun merambah
ke area di bawahnya. Mengingat Dieng merupakan hulu dari DAS Serayu yang
memberikan suplai energi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) wilayah
Jawa dan Bali. Perhatian bagi isu kerusakan lingkungan akibat pertanian kentang
di Dataran Tinggi Dieng mendapatkan perhatian dari berbagai pihak mulai dari
pemerintah, swasta, hingga LSM. Berbagai upaya penyelamatan lingkungan
Dieng terkait dengan pola pertanian tanaman monokultur telah dicanangkan.
Tahun 2005 dicanangkan pembentukan hutan sekolah di wilayah Wonosobo.
Tahun 2006 dilakukan sosialisasi kepada penduduk dan petani Dieng yang selama
ini memanfaatkan lahan untuk budidaya tanaman kentang. Selain itu, metode
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) juga dilaksanakan. Namun
41
mencemaskan terutama terkait dengan krisis air dan krisis sumberdaya lahan (lihat
Tabel 17). Kerusakan ini semakin diperparah dengan kondisi iklim yang tidak
menentu terutama kondisi curah hujan yang menyebabkan intensitas kejadian
longsor menjadi semakin tinggi.
Tabel 13 Kondisi hutan, air, pertanian, dan erosi di Dataran Tinggi Dieng
periode 1975 - 2011
Tahun Hutan Air Pertanian Erosi
1975-1979 Subur serba Tersedia Tembakau dan Tidak
utuh melimpah sayuran
100 % 100 % 0% 0%
1980-1984 Subur serta Tersedia dan Tembakau dan Terjadi erosi
mulai mulai sayuran kentang
berkurang berkurang
90 % 100 % 5% 0%
1985-1989 Subur dan Masih tersedia Sayuran dan Terjadi erosi
pembukaan dan semakin kentang
lahan berkurang
mencapai 20
%
40 % 100 % 50% 15 %
1990-1994 Subur dan Masih tersedia Kentang Terjadi erosi
berkurang dan semakin mencapai 20-30
berkurang ton per ha
25 % 80 % 75 % 20 %
1995-1999 Tutupan hutan Ketersediaan Kentang dengan Erosi semakin
tinggal 10 % air turun drastis intensitas 3 kali mengkhawatirkan
setahun
10 % 50 % 80 % 40 %
2000-2005 Tutupan hutan Ketersediaan Kentang dengan Erosi mulai sangat
bertambah air turun penggunaan terasa
kembali 5 % pestisida
15 % 50 % 100 % 40 %
2006-2010 Tutupan hutan Beberapa mata Produksi Erosi semakin
bertambah 5 % air kering kentang mulai terasa, lapisan
menurun dan tanah menipis
menggunakan
CM
20 % 50 % 90 % 40 %
2010-2011 Tutupan Mata air Produksi Erosi masih
bertambah kering, air kentang turun sangat terasa
dengan adanya telaga beralih drastis 5-8 ton dengan adanya
usaha-usaha fungsi per ha, mulai sedimentasi PLTA
konservasi beralih ke Mrica yang sangat
tanaman terasa
alternatif
25 % 50 % 70 % 40 %
Sumber: Pemerintah Kabupaten Banjarnegara (2012)
43
30 1990 1992
1993 1994
25
1996 1997
1990
20 19 1998 1999
2011 2000 2001
15 2002 2007
2009 2010
10 2011 1990
1992 1993
5 1994 1996
1997 1998
0 1999 2000
2001 2002
2007 2009
2010 2011
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka (1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012)
Gambar 12 Jumlah hari hujan berdasarkan bulan di kecamatan batur tahun 1990-
2011
tersebut diketahui bahwa indikator perubahan iklim dari parameter cuaca nyata
terjadi.
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka (1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012)
BMKG Stasiun Kalilunjar (2004, 2005, 2006, 2008, 2012, 2013, 2014)
Hal yang sama juga dikatakan oleh petugas dari Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Banjarnegara yang bertugas di Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan
Batur.
Kondisi Dieng sekarang sudah berbeda, selama 14 tahun bertugas di
Banjarnegara, dulu ketika bertugas ke Dieng harus pakai jaket, namun
sekarang merasa tidak apa-apa jika memakau baju biasa. Suhu sudah
menjadi lebih hangat. Dulu nggak pernah dirasakan suhu sampai tiga
puluh derajat di Dieng, tapi sekarang bisa terasa apalagi ketika kondisi
ramai seperti saat musim liburan dan musim wisata DCF2.
(SH, 54 tahun)
2
Dieng Culture Festival
46
pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu ekstrem pada Bulan Juli atau
Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju yang menjadikan tanaman
muda menjadi layu dan mati, serta yang paling meresahkan adalah (5) kondisi
iklim yang semakin sukar diprediksi.
Pada saat musim hujan, diakui bahwa curah hujan menjadi lebih deras
yang akibatnya kejadian erosi di lahan pertanian menjadi semakin tinggi. Kondisi
lahan pertanian yang miring dan tidak memiliki kontur terasering menjadi
penyebab tanah semakin mudah terbawa aliran air hujan. Pola penanaman di lahan
tanpa teras memicu potensi erosi yang tinggi karena lapisan tanah bagian atas
akan terbawa air hujan yang memunculkan sedimentasi pada saluran-saluran air.
Tidak hanya di lahan pertanian, namun hampir seluruh wilayah di Dataran Tinggi
Dieng termasuk Desa Batur rawan longsor pada saat musim hujan. Musim hujan
merupakan musim yang paling ditakuti petani karena resiko kegagalan lebih
tinggi pada musim ini dimana tanaman kentang lebih banyak layu. Musim hujan
merupakan musim yang sulit bagi petani karena biaya produksi cenderung naik
namun produksi justru turun.
Pada periode 2010/2011 sepanjang tahun terjadi hujan dan petani banyak
dirugikan pada saat kondisi itu. Hama menjadi tinggi pada saat musim hujan
karena biasanya pestisida tidak mempan digunakan pada musim tersebut. Hama
jenis litoptera yang dikenal petani dengan istilah tekle atau folio saat ini tidak
hanya menyerang batang tetapi juga sudah menyerang daun. Tanaman kemudian
menjadi layu dan mati. Pada tahun 2012 muncul hama kutu kebul. Musim hujan
menyebabkan intensitas kemunculan hama menjadi tinggi.
Pada tahun 1958 pernah terjadi kemarau panjang hingga 9 bulan,
kemudian sekitar tahun 1964 kemarau panjang terjadi hingga 6 bulan. Awal
musim kemarau merupakan musim yang sangat sulit bagi petani karena
merupakan musim transisi dari penghujan ke kemarau. Banyak petani yang tidak
menanam pada awal kemarau karena takut gagal. Akibat kondisi tanah yang
gembur, pada saat musim kemarau, air tanah menjadi mudah menguap dan
mengakibatkan lahan pertanian menjadi rawan kekeringan. Kondisi sumber air
untuk pertanian di Dataran Tinggi Dieng pada musim kemarau debitnya menjadi
lebih kecil. Salah satu sumber air yang dimanfaatkan untuk pertanian pada saat
musim kemarau adalah Telaga Merdada yang diambil dengan cara menyedotnya
menggunakan mesin genset. Efeknya, jika air telaga disedot dalam jumlah besar
maka debitnya akan menjadi semakin kecil. Air merupakan hal yang krusial
diperlukan dalam pertanian kentang karena kondisi lahan pertanian kentang tidak
dapat menyimpan air tanah. Musim kemarau merupakan musim yang relatif sulit
bagi petani apabila tidak ada sumber air. Pada musim ini, petani yang mengolah
lahan jauh dari sumber air hanya bisa menanam satu tahun sekali.
Pada bulan Juli atau Agustus muncul embun upas di Dataran Tinggi
Dieng. Meskipun telah disadari oleh petani bahwa kejadian ini rutin terjadi,
namun petani tetap khawatir. Pada saat itu suhu berada di titik kritis mencapai
suhu nol dan bahkan minus sehingga menyebabkan munculnya frozz. Suhu
terendah yang terjadi pada saat titik kritis bisa mencapai -80 Celcius dan
menyebabkan tanaman kentang layu dan busuk dan petani beresiko gagal panen.
Kekhawatiran petani juga disebabkan oleh munculnya angin ribut. Pada tahun
2011 terjadi serangan angin ribut yang merusak tanaman kentang. Angin ribut ini
menjadi perkara besar bagi petani karena berdasarkan perhitungan terjadi setiap
47
lima tahun sekali. Jika sebelumnya terjadi di tahun 2011 maka ke depan diprediksi
tepat akan terjadi pada akhir tahun 2015 atau awal 2016. Pada musim angin
tegakan tanaman rusak dan tanaman yang baru tumbuh habis tersapu angin.
Selain empat kondisi yang telah dijelaskan, hal yang paling meresahkan
bagi petani adalah prediksi musim yang semakin sulit ditebak. Petani menghadapi
musim yang membingungkan, menebak terjadi musim hujan namun kenyataannya
kemarau dan demikian juga sebaliknya. Dulu petani masih menggunakan pranata
mangsa untuk menandai musim tanam, namun hal tersebut tidak lagi akurat
apalagi semenjak melewati sekitar tahun 2007. Pranata mangsa saat ini tidak lagi
sama dengan perhitungan petani dan juga tidak sama dengan data yang dirilis oleh
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sulitnya prediksi
musim saat ini menyebabkan petani sangat membutuhkan informasi cuaca dan
iklim yang sifatnya harian karena penting untuk menentukan musim tanam.
Perhitungan musim tanam tersebut sangat berkaitan dengan biaya produksi yang
harus dikeluarkan oleh petani. Sebelum tahun 2007 musim masih dapat diprediksi
namun memasuki tahun 2008 relatif lebih sulit dan sering meleset dari prakiraan.
Iklim sudah bergeser jauh. Mangsa kanem-kapitu yang dulu terjadi pada
Bulan November-Desember merupakan musim yang paling enteng dan
cocok untuk menanam. Namun saat ini waktu tersebut menjadi musim
yang paling berat. Tahun 2010 kondisi lebih kering jadi tidak terlalu
bermasalah untuk petani. Pada tahun 2013 sampai 2014 kondisi hujan
lebih banyak sehingga terasa lebih berat. (DD, 34 tahun)
perubahan iklim yang dirasakan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng didasarkan
pada berbagai perubahan yang terjadi di tingkat wilayah serta penuturan yang
disampaikan oleh petani. Dampak perubahan iklim yang dimaksud dilihat dari
aspek lingkungan dan ekologi, sosial, dan ekonomi terkait dengan lima fenomena
iklim utama seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab pengetahuan petani
tentang perubahan iklim.
Secara kasat mata memang tidak banyak yang kelihatan berubah kecuali
tutupan lahan yang semakin berkurang. Namun perlakukan terhadap lahan
sangat mempengaruhi kondisi lingkungan saat ini. Saat ini pupuk N sudah
terlalu tinggi kadar penggunaannya. Sumber N dapat berasal dari pupuk
organik mapun anorganik sepeti urea dan ZA. Ciri-ciri tingginya kandungan
N ini dapat dilihat di bagian kanan dan kiri screen pembenihan kentang
dimana lumut sudah banyak dijumpai.
(SH, 50 tahun)
Kondisi fisik dan ekologi pada saat musim ekstrem menjadi keluhan tersendiri
bagi masyarakat di Dataran Tinggi Dieng. Dampak perubahan iklim dalam aspek
fisik dan ekologi lebih ke arah dampak negatif dan dapat berujung bencana. Pada
saat musim hujan banyak terjadi longsor dan pada saat musim kemarau bisa
terjadi kebakaran hutan yang ada di sekitar Dataran Tinggi Dieng serta
berkurangnya debit air untuk pertanian. Diungkapkan oleh narasumber juga
bahwa pada musim hujan intensitas kejadian bencana gas beracun menjadi lebih
tinggi.
Kejadian iklim yang berkaitan dengan curah hujan serta angin ribut
memberikan konsekuensi kerusakan dan peningkatan potensi bencana alam. Dari
segi infrastruktur wilayah, perubahan iklim terutama karena curah hujan yang
ektrem menyebabkan kerusakan jalan aspal di wilayah Dataran Tinggi Dieng
berlubang. Di Desa Batur, jalanan rusak terdapat di area Pasar Batur serta jalan-
jalan menuju dusun-dusun yang jauh dari pusat pemerintahan. Kerusakan tersebut
diperparah juga akibat jalan dilintasi kendaraan dengan muatan yang berat. Pada
musim hujan, dampak curah hujan yang tinggi akan tampak di sepanjang jalan
raya yang berdekatan dengan area pertanian. Jalan raya beraspal yang posisinya
lebih landai dibanding lahan pertanian banyak tertutup tanah yang dibawa oleh
aliran air hujan. Pada kondisi ektrem tertentu, curah hujan yang tinggi
menyebabkan longsor yang tidak hanya berdampak bagi kondisi lahan pertanian
tetapi juga mengancam keamanan rumah-rumah penduduk yang posisinya dekat
dengan lereng dan aliran sungai. Angin ribut menyebabkan kerusakan pada
bangunan rumah, pohon tumbang, dan rusaknya tanaman pertanian.
49
2. Dampak Ekonomi
Menawi mangsa terang kulo kedah tumbas bensin limolas liter nggo
mompa banyu. Limolas liter dinggo nyiram lahan setengah hektar.
(Apabila musim kemarau saya harus membeli bensin lima belas liter untuk
memompa air. Lima belas liter digunakan untuk menyiram lahan setengah
hektar).
(KS, 45 tahun)
50
3. Dampak Sosial
Sulitnya prediksi musim menjadi keniscayaan bagi petani untuk harus siap
dan sedia menghadapi ketidakstabilan kondisi pertanian. Perubahan kondisi fisik
pertanian menyebabkan berbagai perubahan dari aspek sosial. Sebelum tahun
2000-an tenaga kerja pertanian di Desa Batur kebanyakan berasal dari luar desa
dan luar kecamatan. Seiring dengan perkembangan waktu dan pilihan bekerja di
luar sektor pertanian tenaga kerja luar desa tersebut semakin susah didapatkan.
Menghadapi kondisi sulitnya memperoleh tenaga kerja di tengah tuntutan
keperluan tenaga kerja di musim-musim ekstrem, petani saling bekerjasama untuk
menentukan giliran penggunaan tenaga kerja dengan sistem menunggu selesainya
pekerjaan di lahan petani lain. Hal tersebut meningkatkan intensitas komunikasi
antar petani yang mengolah lahan.
Kondisi iklim yang tidak menentu menimbulkan kesadaran bagi petani
terutama pada golongan muda untuk perlu memiliki wadah bersama guna
51
lahan atau buruh tani masih tersisih darielum mau masuk dalam perkumpulan
yang ada. Hal ini tidak terjadi begitu saja namun bagi mereka yang menjadi buruh
tani lebih sibuk untuk mencari sumber penghidupan dibanding menghabiskan
waktu untuk berkumpul.
aktivitas petani ditentukan dari intensitas interaksi dengan orang lain. Seorang
petani penguasa lahan akan lebih mudah mendapatkan pestisida jika kenal dengan
pedagangnya atau pun memperoleh informasi mengenai jenis pestisida yang tepat
dari tetangganya. Buruh tani akan lebih mudah memperoleh pekerjaan jika sering
berinteraksi dengan buruh lainnya maupun dengan penguasa lahan karena
informasi yang didapatkan semakin lancar. Artinya modal sosial dari proses
interaksi petani dengan berbagai pihak menentukan proses sampainya informasi
ke tangan petani.
Bagi petani selain modal manusia dan modal sosial, modal fisik juga
menjadi penentu keberlangsungan kegiatan pertanian. Jenis modal fisik yang
menjadi aset penduduk yang bergerak di bidang pertanian meliputi berbagai
sarana produksi pertanian. Petani dengan penguasaan lahan 0,5 ha 1 ha dan di
atas 1 ha memiliki jenis modal fisik yang lebih beragam dan kuantitasnya lebih
banyak. Biasanya petani tersebut memiliki mesin genset, bak pengangkut hasil
panen, bahkan petani memiliki gudang, garasi, motor dan mobil yang
diperuntukkan bagi kegiatan pertanian. Jenis modal fisik lain yang dimiliki juga
meliputi sarana produksi pertanian lainnya, seperti cangkul, sabit, penyemprot
pestisida, bak penampung air, dan sepatu lahan. Untuk jenis sarana produksi
pertanian yang harganya tidak terlalu mahal biasanya hampir dimiliki oleh seluruh
petani. Apabila jenis modal fisik tersebut tidak dimiliki, petani dengan sumber
finansial yang cukup memungkinkan untuk melakukan penyewaan.
Sumber finansial yang cukup merupakan modal penting bagi
keberlangsungan hidup petani, baik untuk memastikan kebutuhan dasar rumah
tangga terpenuhi maupun untuk modal pertanian. Besar dan sumber pendapatan
rumah tangga menjadi penentu bagi besaran modal finansial yang dimiliki. Petani
dengan kepemilikan lahan lebih dari 1 ha rata-rata memiliki kemampuan finansial
yang lebih tinggi dan memiliki investasi berupa tabungan. Petani dengan
kepemilikan lahan di atas 1 ha juga memiliki akses yang lebih besar apabila ingin
melakukan pinjaman ke lembaga keuangan (bank) karena memiliki jaminan yang
layak. Sebaliknya bagi petani dengan kepemilikan lahan di bawah 0,3 ha kondisi
finansialnya berada di posisi tidak aman dan sangat rentan dengan defisit.
Keempat modal yang telah disebutkan menjadi penentu bagi kerentanan
petani terhadap perubahan iklim. Modal selanjutnya adalah modal sumber daya
alam. Bagi rumah tangga petani modal sumber daya alam yang paling penting
adalah lahan pertanian. Posisi tawar petani ditentukan oleh lahan pertanian dengan
empat karakterstik yaitu luas lahan, jarak lahan dari sumber air, jarak lahan dari
jalan raya atau jalan usaha tani, dan posisi kelerengan lahan. Semakin luas lahan
pertanian yang dikuasai petani mengindikasikan bahwa akses petani tersebut
terhadap sumber daya alam semakin besar. Hal tersebut berdampak pada
keleluasaan pengolahan serta menentukan besarnya sumber pendapatan rumah
tangga. Jarak lahan dengan sumber air menentukan besaran usaha dan biaya yang
dibutuhkan ketika menghadapi bencana iklim kekeringan. Jarak lahan dengan
jalan raya atau jalan usaha tani menentukan kemudahan akses petani ke lahan baik
untuk aktivitas budidaya maupun panen. Lahan yang dekat dengan jalan raya
maupun jalan usaha tani juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga
pemiliknya memiliki posisi tawar yang lebih menguntungkan. Selain luas dan
jarak, posisi kelerengan lahan juga penting bagi petani. Posisi lahan di lereng yang
miring lebih rawan terhadap kondisi iklim terutama saat musim hujan karena
54
rentan dengan bahaya erosi. Sebaliknya posisi lahan di lokasi yang datar
memberikan kemudahan dalam proses pengolahannya.
Berdasarkan kondisi lima modal di tingkat rumah tangga petani tersbeut,
ditemukan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani
maka nilai akses terhadap modal relatif lebih tinggi. Pada Gambar 14
tergambarkan bahwa petani dengan penguasaan lahan 1 ha memiliki akses yang
lebih leluasa terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial,
dan modal sumberdaya alam. Sebaliknya bagi yang tidak menguasai lahan modal
yang dapat diandalkan adalah modal sosial dan modal manusia. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kekhawatiran atas kerentanan terhadap perubahan iklim
lebih tinggi bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan dan juga petani
dengan lahan sempit.
Modal
Manusia
4
3.5
3
2.5
Modal 2 Tidak Menguasai Lahan
1.5
Sumberdaya Modal Sosial
Alam
1 0,1 ha x 0,3 ha
0.5
0 0,3 ha x 0,5 ha
0,5 ha x 1 ha
1 ha
Modal
Modal Fisik
Finansial
Sesuai dengan kondisi akses terhadap lima modal utama yang telah
disebutkan diketahui keterkaitan antara karakteristik rumahtangga petani
berdasarkan penguasaan lahan dengan tiga aspek utama kerentanan berdasarkan
definisi IPCC (2007) bahwa kerentanan berkaitan dengan tiga hal utama yaitu
keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif masyarakat. Berdasarkan akses
petani terhadap lima modal utama (Gambar 11) terpetakan aspek kerentanan
petani terhadap perubahan iklim sesuai dengan penguasaan lahan pertanian pada
tingkat rumah tangga.
Tabel 18 Aspek keterpaparan terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga
berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun 2014
2. Tingkat Sensitivitas
Tabel 19 Aspek sensitivitas terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga
berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun 2014
(golongan non-penguasa lahan dan penguasa lahan sempit < 0,3 ha serta
membawa dampak bagi harga hasil pertanian. Selanjutnya kondisi tersebut
menambah beban bagi rumah tangga petani miskin yang telah sulit membeli
kebutuhan pokok. Pendapatan yang tidak menentu karena ketergantungan
dipekerjakan oleh penguasa lahan serta kenaikan harga dapat semakin
menyulitkan mereka. Meskipun diketahui bahwa kelompok rumah tangga petani
miskin menjadi sasaran berbagai program pengentasan kemiskinan dari
pemerintah seperti Raskin, BLSM, BOS, Jamkesmas, dan lain-lain, namun
program-program tersebut seringkali tidak tepat sasaran. Bantuan program dari
pemerintah belum dapat diandalkan untuk menjadi alat dalam menghadapi
perubahan iklim. Meskipun telah ada program namun kelompok rumah tangga
miskin masih tetap sensitif terhadap perubahan iklim.
Sensitivitas merupakan keterkaitan antara ancaman iklim dengan konteks
sosial ekonomi dari sistem yang terkena dampak. Fenomena kelompok rumah
tangga yang paling sensitif terhadap perubahan iklim adalah rumah tangga non-
penguasa laha atau pun penguasa lahan < 0,3 ha yang terancam keberlanjutannya
melakukan kegiatan pertanian. Masyarakat miskin penguasa lahan < 0,3 ha
sensitif terhadap harga-harga sarana produksi pertanian dan piaya pengolahan
lahan. Akibatnya penguasaan lahan yang sempit mendorong mereka untuk
menjual atau menyewakan lahannya kepada petani yang memiliki modal lebih
besar. Setelahnya mereka memilih untuk bekerja di tempat petani yang membeli
atau menyewa lahannya, atau pilihan lain adalah bekerja di sektor informal di luar
sektor pertanian.
3. Kapasitas Adaptif
Tabel 20 Aspek kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim per kategori rumah
tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun
2014
semakin mudah. Hal ini disebabkan adaptasi berhubungan erat dengan sistem
sosial dan ekonomi yang dihadapi. Sebagaimana penjelasan lima aset yang telah
dijelaskan sebelumnya, petani dengan penguasaan lahan di atas 0,5 ha lebih
memiliki akses terhadap berbagai aset baik sumber daya alam, sumber daya
manusia, finansial, fisik, maupun sosial.
Pada konteks rumah tangga petani kentang di Dataran Tingi Dieng,
strategi adaptasi dilakukan di berbagai aspek terutama terkait dengan kebutuhan
dasar yakni berhubungan dengan mata pencaharian, pangan, dan kesehatan.
Adaptasi mata pencaharian lebih mengarah pada upaya adaptasi yang dilakukan
untuk kegiatan pertanian dan pengalihannya terhadap kegiatan lain apabila
pertanian tidak dapat lagi diandalkan. Aspek pangan terkait dengan upaya
pemenuhan kebutuhan pangan yang sifatnya fluktuatif terutama pada rumah
tangga petani dengan aset rendah termasuk buruh tani. Pada aspek kesehatan,
adaptasi berhubungan dengan kondisi sanitasi baik di lingkungan rumah tangga
maupun komunitas.
1. Pada musim kemarau normal terjadi kekurangan air bagi petani yang lahannya
jauh dari sumber air. Upaya antisipasi adalah melakukan pengambilan air dari
sungai atau telaga yang jaraknya berkilo-kilo meter. Bagi petani yang
menggarap lahan sangat jauh dari sumber air akan memilih untuk tidak
menanam pada musim kemarau dan bahkan hanya menanam satu kali setahun.
2. Pada musim hujan terutama di Bulan November Desember Januari petani
mengantisipasi musim hujan dengan tidak menanam atau memajukan bulan
tanam. Pada Bulan November Januari tanaman kentang petani rentan dengan
guyuran hujan dan angin ribut yang dapat sewaktu-waktu terjadi. selain itu
sebagian petani juga mengganti jenis tanaman lain selain kentang yaitu
tanaman hortikultur berupa kol, wortel. Bagi petani yang memajukan waktu
tanam harus mempersiapkan modal yang cukup besar terutama untuk
menyediakan benih karena implikasi dari pergeseran musim tanam adalah
kemungkinan ketiadaan benih. Jika benih tidak tersedia maka petani akan
absen menanam.
3. Pergeseran musim disiasati oleh petani lebih ke arah teknis pengendalian hama
dan penyakit, petani menggunakan patokan kalender islam yang diperkirakan
setiap tanggal 28 Bulan Syawal merupakan awal musim hujan.
4. Terkait kondisi iklim yang tidak menentu dilakukan oleh rumah tangga petani
dengan: (a) mencari benih kentang yang bagus; (b) menanam dengan kapasitas
yang tidak terlalu banyak; (c) membuat selingan tanaman hortikultur lain selain
kentang, seperti wortel dan sayuran; (d) pada musim penghujan petani memilih
pupuk yang tidak banyak mengandung unsur N (Nitrogen) dan pada musim
kemarau menggunakan pupuk dengan kandungan N yang lebih tinggi. Jenis
adaptasi yang sifatnya teknis ini lebih mudah dilakukan oleh rumah tangga
dengan kepemilikan aset tinggi karena selain tersedia modal, mereka biasanya
sudah memiliki rencana apabila terjadi kondisi musim yang tidak diharapkan.
Sebaliknya bagi rumah tangga dengan aset rendah maka jenis adaptasi ini
merupakan pilihan yang berat meskipun mereka tahu bahwa demi
62
keberlanjutan usaha tani pilihan adaptasi ini perlu dilakukan, namun apabila
dipaksakan akhirnya dapat mengantar mereka pada jerat hutang.
5. Bagi rumah tangga petani dengan penguasaan lahan sempit (0,1 0,3 ha), salah
satu pilihan beradaptasi dengan kondisi musim yang ada adalah dengan
menyewakan atau menjual lahannya kepada petani yang memiliki modal lebih
besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa menyewakan lahan atau
menjual lahan kepada petani lain dirasa lebih menguntungkan dibandingkan
mereka harus melakukan budidaya sendiri. Apabila petani menyewakan
lahannya, dalam periode 1 tahun pendapatan yang diperoleh dari penyewaan
lahan berkisar antara Rp 3.000.000,00 Rp 4.000.000,00 ditambah dengan
penghasilan serabutan yang dapat mereka peroleh dari menjadi buruh di tempat
petani lain. Kondisi tersebut dirasa lebih menguntungkan dibandingkan mereka
melakukan budidaya pertanian sendiri dengan modal yang berlipat-lipat
besarnya.
6. Bagi rumah tangga petani yang telah menyewakan atau menjual lahannya,
banyak diantaranya yang menjadi ojek pengangkut kentang. Besaran
pendapatan dalam sekali pengangkutan kentang antara Rp 15.000, 00 Rp
25.000,00 tergantung tingkat kesulitan medan dan jarak lahan. Dalam satu hari
pengojek kentang dapat mengangkut 4 hingga 7 kali. Pendapatan ini dirasa
lebih baik dibandingkan mereka langsung mengolah lahan sendiri dengan
resiko iklim yang lebih tinggi.
Adaptasi Pangan
saja tetapi distok untuk beberapa hari. Sebaliknya, pada rumah tangga dengan
penguasaan lahan di bawah 0,5 ha atau bahkan non penguasa lahan (buruh tani),
kebutuhan pangan untuk medangan tidak menjadi prioritas ketersediaannya.
Pangan lebih diproritaskan untuk pangan pokok nasi dan lauk.
Adaptasi Kesehatan
1. Pemerintah
Respons pemerintah terutama dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
dalam upaya penanganan kawasan Dieng difokuskan pada perencanaan tata ruang
wilayah yang dikukuhkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara
Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2011-2031. Terdapat beberapa hal yang mencakup
pengaturan khususnya di wilayah Dataran Tinggi Dieng dan Kecamatan Batur
66
2. Swasta
Keterlibatan sektor swasta untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan
kawasan Dataran Tinggi Dieng telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Banjarnegara No.4 Tahun 2013 tentang Pengelolaan DAS. Pada pasal 48 ayat 1
disebutkan bahwa untuk pengelolaan DAS kontribusi dana coorporate social
responsibility (CSR) sebesar 35 %. Terdapat dua perusahaan besar yang
operasinya terkait dengan kawasan Dataran Tinggi Dieng yaitu PT Geodipa
Energi yang bergerak di bidang sumber energi panas bumi dan PT Indonesia
Power yang menaungi pengelolaan waduk Jenderal Soedirman di Banjarnegara.
Kontribusi yang telah dilakukan oleh pihak swasta berhubungan dengan upaya
konservasi dan penghijauan di Dataran Tinggi Dieng.
Beberapa tahun terakhir telah dilakukan upaya penghijauan atas prakarasa
kerjasama PT Indonesia Power dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Banjarnegara melalui penanaman kopi. Penanaman kopi tersebut merupakan
program yang dimasukkan melalui desa ke kelompok tani dan organisasi pemuda.
Pada tahun 2014 PT Indonesia Power memberikan 10.000 bibit kopi jenis arabica
kepada masyarakat di desa Batur, Karang Tengah, dan Pekasiran untuk ditanam di
lahan pertanian dan di sekitar area Telaga Merdada. Pemilihan komoditas kopi ini
berdasarkan hasil studi banding didaerah Pangalengan, Bandung, Jawa Barat.
Pertimbangan komoditas kopi dapat ditanam di Dataran Tinggi Dieng adalah
kondisi iklim mikro yang sama antara Dieng dan Pangalengan. Penanaman kopi
yang diinisiasi dari kerjasama PT Indonesia Power dengan Dinas Kehutanan dan
69
Perkebunan ini juga dibantu oleh kelompok pecinta alam di Kecamatan Batur
yaitu Kelompok Pecinta Alam Batur (KPAB).
Tidak semua petani penguasa lahan mau menanam kopi di lahan
pertaniannya. Sebagian ada yang memilih menanam beberapa pohon dengan
tujuan mencoba siapa tahu jadi dan dengan syarat tidak membahayakan bagi
tanaman kentang. Golongan petani yang berpartisipasi menanam adalah mereka
yang rata-rata menguasai lahan di atas 0,5 ha. Petani dengan penguasaan lahan
dibawah 0,5 ha jarang yang mau berpartisipasi menanam kopi. Golongan
penguasa lahan dibawah 0,5 ha beralasan bahwa tanaman kopi hanya akan
merimbuni tanaman kentang yang menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak
maksimal dan dapat menurunan pendapatan. Selain itu tanaman kopi dirasa
tumbuh dalam jangka waktu lama sehingga keuntungan ekonomi tidak dapat
segera dinikmati. Alasan-alasan keterlibatan petani untuk berpartisipasi dalam
penanaman kopi ini juga terkait dengan afiliasi mereka terhadap kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam
BAB 5 bahwa semakin luas penguasaan lahan maka akses terhadap modal
semakin tinggi, termasuk akses terhadap informasi.
3. Lembaga Donor
Lembaga donor yang turut berperan dalam upaya perbaikan fungsi
lingkungan melalui proyek proyek Strengthening Community-Based Forest and
Watershed Management (SCBFWM) adalah United Nation Development
Program (UNDP). Proyek tersebut dilakukan untuk menekan angka perusakan
hutan di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo tepatnya di SUB DAS
Tulis yang terus mengalami deforestasi. Proyek SCBFWM tersebut turut
mendorong lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara No. 4 Tahun 2013
Tentang Pengelolaan DAS.
Selain mendorong perbaikan kelembagaan di level pemerintah daerah,
proyek ini mendorong perbaikan kesadaran masyarakat terhadap penyelamatan
lingkungan melalui upaya penanaman tanaman keras di wilayah Dataran Tinggi
Dieng dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah, dan sektor
swasta. Proyek ini dilakukan dalam periode tahun 2010-2014. Berdasarkan
informasi3 sebelum kegiatan SCBFWM angka deforestasi yang terjadi di Sub
DAS Tulis tercatat sekitar 131 hektar per tahun. Lalu dengan target penekanan
angka kerusakan hutan sebesar 25 persen, selama pelaksanaan proyek telah terjadi
tambahan tutupan hutan sekitar 659 hektar. Kegiatan SCBFWM ini selanjutnya
menggerakkan petani-petani muda yang memiliki perhatian terhadap
keberlanjutan pertanian untuk melakukan konservasi di lahan pertanian maupun di
tempat-tempat lain. Termasuk di dalamnya adalah kelompok pecinta alam KPAB
yang selain memiliki perhatian untuk membersihkan sampah dari gunung-gunung
di kawasan Dataran Tinggi Dieng juga terlibat aktif dalam upaya penanaman
pohon secara rutin.
3
Hasil wawancara www.suaramerdeka.com dengan Eko Budi Wiyono, Fasilitator SCBFWM
Regional Yogyakarta, http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/proyek-penguatan-hutan-tekan-
kerusakan-hutan/
70
4. Masyarakat
Perhatian masyarakat terhadap persoalan di Dataran Tinggi Dieng
terutama terkait persoalan iklim muncul dari kelompok-kelompok masyarakat
yang diinisiasi oleh golongan muda. Diantara kelompok-kelompok yang ada
adalah kelompok pecinta alam KPAB dan kelompok tani Dieng Horti Farm
(DHF). Aktifitas KPAB dititikberatkan pada kegiatan penanaman pohon untuk
penyelamatan sumber mata air di Dataran Tinggi Dieng. Kesadaran akan
berkurangnya debit air dan kebutuhan air bersih terutama di musim kemarau
dimana kebutuhan air bersih berebut dengan kebutuhan air untuk pertanian
akhirnya membuat KPAB berkonsentrasi pada hal ini. Penggunaan air bersih
pada musim kemarau biasanya dibagi penggunaan mata airnya yaitu pagi untuk
Batur Selatan dan malam untuk Batur Utara Pada tahun 2014 KPAB melakukan
penanaman di KPH Pekalongan Timur yang sumber airnya mengalir ke
Kecamatan Batur. Pohon yang ditanam adalah Bentami dan Eucalyptus. KPAB
juga membantu penanaman kopi yang merupakan program dari kerjasama PT
Indonesia Power dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banjarnegara yang
ditanam di wilayah Telaga Merdada.
Fokus pemulihan kondisi mata air dilakukan terutama untuk memenuhi
pasokan kebutuhan air untuk masyarakat, hal ini penting termasuk dilakukan
dengan penanaman pohon. Karena dampak jika terjadi erosi di Dataran Tinggi,
efeknya sedimentasi akan sampai di Waduk Jenderal Sudirman.Selain penanaman
pohon KPAB juga telah memiliki kegiatan intensif sejak pertengahan tahun 2013
yaitu pendakian gunung sekaligs bersih-bersih gunung di Dataran Tinggi Dieng
serta survei kebakaran hutan termasuk penggantian pohon yang terbakar/rusak.
Saat ini kesadaran lingkungan sifatnya masih individual dan belum semua
orang sadar. Perlu ada contoh yang nyata. Saat ini penanaman kentang
sudah bisa tumpang sari, misalnya dalam satu hektar tanaman minimal ada
sepuluh tanaman Eucalyptus sebagai penyangga. Penanaman Eucalyptus ini
memiliki prospek yang bagus apabila dilengkapi dengan percontohan pra
dan pasca panen, ya seperti contoh untuk penyulingan minyaknya.Kalau
begitu petani akan lebih banyak tertarik. Bagaimana pun petani kentang
harus memiliki kesadaran lingkungan. (UD, 33 Tahun)
terutama terkait pelaporannya. Diakui bahwa memang sejauh ini desa tidak
memiliki kendala dalam hal administrasi pelaporan dengan cara berhati-hati
terhadap setiap pengelolaan. Meskipun demikian pada akhirnya kehati-hatian
fokus terhadap administrasi pengelolaan keuangan desa mengesampingkan esensi
perencanaan pelaksanaan pembangunan yang berbasis inisiasi pembangunan dari
masyarakat, termasuk dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.
Telah dijelaskan pada bab 5 dari hasil penelitian ini bahwa perubahan
iklim yang terjadi memberikan dampak di Dataran Tinggi Dieng meliputi dampak
fisik dan ekologi, dampak ekonomi, dan dampak sosial. Sehubungan dengan
dampak tersebut diidentifikasi peran desa dalam pengelolaan dampak yang terjadi.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui peran desa dalam berbagai dampak yang
ditimbulkan akibat perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng serta mengetahui
kekosongan peran yang ada. Identifikasi tersebut terangkum dalam Tabel 23.
sehingga imbas yang diperoleh tidak memiliki kesinambungan yang baik bagi
pengelolaan resiko iklim pada masa yang akan datang.
Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh petani
di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang dilakukan oleh petani di
tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis sumberdaya alam yang ada
(lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan status penguasaan individu atau
rumah tangga dan bukan sumber daya yang sifatnya komunal seperti wilayah laut.
Kondisi ini tentu saja menyebabkan perbedaan efektivitas upaya adaptasi bagi
masyarakat di dataran tinggi dengan masyarakat pesisir. Penelitian Subair (2013)
menjelaskan bahwa efektivitas upaya adaptasi pada masyarakat pesisir terjadi
pada aras komunitas nelayan. Sebaliknya pada masyarakat petani di Dataran
Tinggi Dieng, efektivitas adaptasi terhadap perubahan iklim lebih efektif
dilakukan pada tingkat rumah tangga.
Simpulan
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang memiliki dampak
regional serta lokal, termasuk di Dataran Tinggi Dieng. Diketahui telah terjadi
peningkatan jumlah hari hujan pada bulan basah dan penurunan jumlah hari hujan
dan curah hujan pada bulan kering, artinya perubahan iklim yang terjadi di
Dataran Tinggi dieng terbukti dari parameter cuaca. Selain itu masyarakat lokal
(petani) memandang telah terjadi perubahan iklim dilihat dari lima fenomena yang
terjadi yaitu: (1) curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, (2) situasi
kekeringan yang melanda pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu
ekstrem pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju
yang menjadikan tanaman muda menjadi layu dan mati, serta yang paling
meresahkan adalah (5) kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi.
Strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim yang dilakukan oleh
petani di Dataran Tinggi Dieng berkaitan dengan tingkat kerentanan yang
dihadapi oleh rumah tangga petani. Tingkat kerentanan tersebut meliputi tiga
aspek yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif yang berkaitan erat
dengan akses terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial,
dan modal sumberdaya alam. Semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah
tangga petani maka nilai akses terhadap modal relatif lebih tinggi dan tingkat
kerentanannya semakin rendah. Meskipun kerentanan rumah tangga bukan acuan
bagi tingkat kerentanan sebuah komunitas terhadap perubahan iklim, namun
analisa kerentanan perubahan iklim di tingkat rumah tangga lebih relevan dengan
tujuan penanganan terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini disebabkan upaya-
upaya bertahan hidup terutama pada komunitas petani dengan penguasaan lahan
sempit dan buruh tani di Dataran Tinggi Dieng lebih menarik diri dari
perkumpulan komunitas dan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh petani
di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang dilakukan oleh petani di
tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis sumberdaya alam yang ada
79
(lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan status penguasaan individu atau
rumah tangga. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani di tingkat lokal
menjadi basis upaya adaptasi perubahan iklim di level-level yang lebih besar.
Dalam konteks petani kentang di Dataran Tinggi Dieng strategi adaptasi tidak bisa
hanya dihubungkan dengan usaha tani saja karena golongan non-penguasa aset
yaitu rumah tangga dengan kerentanan tinggi akan semakin tersisih. Hal tersebut
dikarenakan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani yang disangka sebagai
bentuk strategi adaptasi atau penyelarasan terhadap kondisi iklim yang ada
sebenarnya masih berbentuk penanganan jangka pendek (coping strategy)
sehingga imbas yang diperoleh tidak memiliki kesinambungan yang baik bagi
pengelolaan resiko iklim pada masa yang akan datang. Strategi adaptasi
perubahan iklim pada rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dapat disebut
sebagai strategi adaptasi integratif dimana adaptasi tidak hanya melibatkan satu
entitas rumah tangga saja tetapi juga melibatkan entitas sosial lain mulai dari
tingkat komunitas, desa, regional, nasional, dan internasional terutama karena
posisi kawasan Dataran Tinggi Dieng sebagai kawasan sumber daya alam yang
istimewa yaitu sebagai catchment area, sumber energi, cagar budaya, dan
pemukiman penduduk. Saat ini strategi adaptasi perubahan iklim yang telah
dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng belum dapat dinilai
sebagai strategi penghidupan yang berkelanjutan sebab pada level rumah tangga
upaya yang dilakukan masih bersifat insidental dan belum memiliki perencanaan
yang berkesinambungan. Namun demikian, untuk penanganan selanjutnya
berbagai strategi adaptasi yang teah diterapkan di tingkat rumah tangga dapat
ditindaklanjuti dengan membentuk jejaring kerjasama kolaboratif antar pihak.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Climate Change, J.J. McCarthy, O.F. Canziani, N.A Leary, D.J. Dokken,
K.S. White (eds.). Cambridge (GB): Cambridge University Press.
-------. 2000. Presentation of Robert Watson, Chair, Intergovernmental Panel on
Climate Change, at the Sixth Conference of the Parties to the United
Nations Framework Convention on Climate Change, The Hague, 13
November 2000.
Kementerian Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian
Untuk Perubahan Iklim. Jakarta: Kementerian Pertanian.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan
Iklim Sektor Pertanian. Jakarta(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian.
Kolopaking, L. 2011. Strategi, Pendekatan, Prosedur Pengembangan Kegiatan
Pilot Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di DAS Citarum.
Disampaikan dalam Workshop Proses Seleksi Kegiatan Pilot TA ADB
7189 Paket E, Bandung 14 Juli 2011.
-------.2012. Pengembangan Sistem Kelembagaan untuk Meningkatkan
Efektivitas Aksi-Aksi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di DAS
Citarum. Disampaikan dalam multistakeholder meeting TA ADB 7189
Paket E Bandung, 6-7 Agustus 2012.
-------. 2011. Strategi, Pendekatan, Prosedur Pengembangan Kegiatan Pilot
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di DAS Citarum. Disampaikan
dalam Workshop Proses Seleksi Kegiatan Pilot TA ADB 7189 Paket E,
Bandung 14 Juli 2011.
[Koran] Bencana Dieng Dilema Utang Para Juragan Kentang. 2011 03
Juni. Kompas. Regional: 1 &15 (Kol.1-5).
Li, Tania M. 2002. Proses transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta
(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Olmos S. 2001. Vulnerability and Adaptation to Climate Change: Concepts,
Issues, Assesment Methods. Foundation Paper of Climate Change
Knowledge Network.
Pawitan, Hidayat. 2010. Arti Perubahan Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Makalah pada Ekspose
Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Solo dengan Tema Pengelolaan
DAS dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia di
Surakarta, 28 September 2010.
Saleh, Sri Endang. 2014. Strategi Penghidupan Penduduk Sekitar Danau Limboto
Provinsi Gorontalo. Laporan Akhir Penelitian Disertasi Doktor. Gorontalo
(ID): Universitas Negeri Gorontalo.
Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta (ID): LP3ES.
Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihoods A Framework For Analysis.
IDS Working Paper 72.
Smit B, Wandel J. 2006. Adaptation, Adaptive Capacity and Vulnerability. Global
Environmental Change 16 (2006) 282-292.
Sodiq, M. 2013. Pemanasan Global Dampak Terhadap Kehidupan Manusia dan
Usaha Penanggulangannya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Soehadha, M. 2013. Ritual Rambut Gembel Dalam Arus Ekspansi Pasar Wisata.
Jurnal Walisongo Volume 21 Nomor 2, November 2013.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1 Data Suhu Bulan Basah (BB) - Bulan Kering (BK) Rata-Rata Bulanan Tahun 2009-2014 Stasiun Geofisika Banjarnegara
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES RATA-RATA SEBULAN
2009 BB - - - - 22,6 22,1 21 20,5 21,2 23 22,4 22,7 21,91
BK - - - - 24,4 24,2 23 23,2 23,7 24 24,2 24,7 23,96
2010 BB 22,6 22,7 22,9 23,2 23,4 23,5 22 22,1 21,7 22,2 21,8 22,1 22,53
BK 24,5 24,7 24,8 25,1 24,9 25 24 23,9 22,6 23 23,2 24,1 24,13
2011 BB 22,6 20,1 21,6 22,2 22,6 20,7 21 19,9 22,9 24 21,3 24,1 21,93
BK 24,5 22,5 23,2 25,1 24,1 22,5 23 22,5 27,2 28,3 27,5 28,5 24,9
2012 BB 22,3 22,2 22,7 22,5 22,3 21,4 21 20,1 21,5 22,9 22,6 22,6 21,97
BK 24,1 23,7 24,5 23,7 23,8 23,1 22 22,2 23,5 24,5 24 24 23,59
2013 BB 22,6 22,6 22,8 24,8 23 23,4 22 22 21,4 22,7 22,5 22,5 22,71
BK 24,7 24,7 24,7 29,1 24,7 24 23 22,8 23,4 24,7 24,1 23,8 24,58
2014 BB 22,4 22,6 22,8 23,1 23,3 23 22 - - - - - 17,67
BK 24,1 25 24,7 24,6 24,8 24,4 23 - - - - - 18,96
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara (2014)
85
TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES JUMLAH RATA-RATA
SEBULAN
2000 343 203 811 383 231 81 2 21 41 408 583 551 3658 304,83
2001 342 337 547 621 188 52 180 0 93 814 393 249 3816 318
2002 343 203 811 383 231 81 2 21 41 408 563 551 3638 303,17
2003 687 462 588 314 196 48 0 12 72 379 599 559 3916 326,33
2004 799 292 458 414 343 46 77 0 81 145 534 892 4070 339,17
2005 414,1 367,1 440,9 364,5 267,2 221,5 6 197,2 267,1 476,7 417,6 783,8 4319,1 359,93
2006 672,6 594,9 205,2 533,7 396,4 36,3 262,1 3,5 0 29,3 203,1 591,3 3287,8 273,98
2007 178,4 312,7 464,9 392,7 214,1 137,2 37,5 17,2 12,9 156,3 546,6 653 3123,5 260,29
2008 392 242 481 553 279 64 2 73 55 695 582 278 3696 308
2009 671 514 408 305 363 185 28 0 46 271 502 331 3624 302
2010 654 625 664 479 515 233 457 247 597 487 665 556 6197 514,92
2011 212 268 717 518 304 106 77 0 41 250 912 461 3866 322,17
2012 819 559 149 297 214 147,8 6 0,7 3,8 213 673 802,6 3884,9 323,74
2013 618,6 283,1 292,7 610,9 221,3 182 262,1 50,5 16,2 214 237 741,8 3730,2 310,85
2014 422,2 202,1 381,1 353,9 273,1 244,5 249,8 - - - - - - 303,81
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara (2014)
Keterangan: Data dari pencatatan alat di Stasiun Geofisika Banjarnegara
86
Lampiran 3 Data Suhu Rata-rata Bulanan Stasiun Geofisika Banjarnegara Bulan Mei 2009-Juli 2014
TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGUST SEP OKT NOP DES RATA-RATA
MAX - - - - 30,1 29,3 37,6 26,8 27,6 27,5 28,4 28,9 29,5
2009
MIN - - - - 20,9 20,1 19,1 18,2 20,1 20,9 21 21,1 20,2
MAX 28,7 28,8 29,4 29,4 28,6 29 27,3 27,5 27,5 28 28,1 28,6 28,4
2010
MIN 22,3 22,5 22,5 22,5 22,8 22,9 21,5 21,2 21,4 21,9 22,6 22,6 22,2
MAX 28,7 28,8 29,4 29,4 28,6 26,3 26 26,4 27,2 24 27,5 28,5 27,6
2011
MIN 22,3 22,5 22,5 22,5 22,8 19,4 19,8 18,9 19,9 22 21,3 22 21,3
MAX 28,6 28,3 28,7 28 27,7 27,4 26,3 26,5 28,4 29,3 28,2 28,4 28
2012
MIN 21,6 21 21,4 21,1 20,6 19,8 19 18,3 19,7 21 21,4 21,2 20,5
MAX 29 29,5 29,5 29,1 28,8 28,2 28 27,3 28,1 29,4 28,5 28,2 28,6
2013
MIN 21,6 21,8 21,4 21,7 21,4 21,2 20,7 19,2 19,6 20,2 20,5 20,9 20,9
MAX 28,4 29,5 29,3 28,8 29,1 28,3 27,3 28,7
2014
MIN 21,5 21,7 21,1 21,3 21,6 21,2 20,3 24,8
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara (2014)
87
Lampiran 4 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan serta Sex Ratio di Kecamatan Batur Tahun 1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012,
2013
Batur 4481 5478 9959 4656 4727 9383 4812 4886 9698 5020 5058 10078 5488 5428 10916 5499 5423 10922 5214 5108 10322
Sumberejo 1977 1966 3943 2394 2359 4753 2531 2452 4983 2643 2540 5183 2846 2732 5578 2849 2733 5582 2681 2561 5242
Pekasiran 1822 1869 3691 1974 2028 4002 2102 2170 4272 2272 2333 4605 2555 2559 5114 2586 2567 5153 2449 2422 4871
Dieng Kulon 1377 1271 2648 1458 1352 2810 1571 1449 3020 1594 1476 3070 1725 1578 3303 1724 1587 3311 1860 1479 3339
Karang Tengah 2005 2070 4075 2073 2199 4272 2167 2281 4448 2223 2323 4546 2311 2382 4693 2316 2401 4717 2179 2255 4434
Bakal 1550 1558 3108 1664 1661 3325 1750 1745 3495 1811 1796 3607 1967 1945 3912 1980 1947 3927 1860 1818 3678
Pesurenan 1003 1081 2084 1131 1107 2238 1213 1165 2378 1245 1207 2452 1399 1348 2747 1403 1354 2757 1322 1275 2597
Kepakisan 996 976 1972 1067 1045 2112 1148 1123 2271 1213 1243 2456 1411 1435 2846 1435 1488 2923 1359 1364 2723
JUMLAH 15291 15369 30660 15350 15433 30783 17294 17271 34565 18021 17976 35997 19702 19407 39109 19792 19500 39292 18924 18282 37206
Sumber: Batur Dalam Angka (1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012, 2013)
88
Lampiran 5 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Periode Bulan Januari Desember Tahun 1990 - 2014
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah Rata-Rata
1990 Curah Hujan 748 239 358 180 81,5 68,5 64,5 89 69 43,5 126 560 2627 218,92
Hari Hujan 24 17 16 14 11 6 7 8 7 6 12 26 154 12,83
1992 Curah Hujan 264 522 417 264 102 90 38 172 180 376 292 350 3067 255,58
Hari Hujan 16 21 19 16 12 9 9 12 15 22 19 21 191 15,92
1993 Curah Hujan 710 422 515 266 166 233 - 80 50 111 173 398 3124 284
Hari Hujan 20 16 19 15 20 7 - 9 9 11 12 24 162 14,73
1994 Curah Hujan 904 327 536 392 100 - - - - - 74 470 2803 400,43
Hari Hujan 23 19 26 19 6 - - - - - 5 26 124 17,72
1996 Curah Hujan 497 545 387 183 81 24 81 100 122 177 630 435 3262 271,83
Hari Hujan 27 26 26 19 7 3 3 5 8 19 26 18 187 15,58
1997 Curah Hujan 685 438 315 235 154 7 27 6 0 95 189 452 2603 216,92
Hari Hujan 29 23 18 19 16 1 2 1 0 7 11 20 147 12,25
1998 Curah Hujan 175 351 383 2500 169 169 93 43 114 272 367 425 5061 421,75
Hari Hujan 10 18 17 16 10 11 10 3 6 14 12 17 144 12
1999 Curah Hujan 218 414 414 367 113 30 42 7 14 181 562 402 2764 230,33
Hari Hujan 16 15 16 11 5 5 6 2 3 10 24 22 135 11,25
2000 Curah Hujan 610 461 371 325 260 70 40 22 17 346 497 199 3218 268,17
Hari Hujan 17 15 13 18 15 1 4 4 3 13 17 8 128 10,67
2001 Curah Hujan 442 537 528 251 134 117 91 49 49 522 462 286 3468 289
Hari Hujan 15 23 23 20 11 12 13 4 14 28 28 18 209 17,42
2002 Curah Hujan 336 429 411 326 72 15 4 15 13 11 145 461 2238 186,5
Hari Hujan 25 26 24 21 6 3 4 5 8 5 20 25 172 14,33
89
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah Rata-Rata
2004 Curah Hujan 799 292 458 414 343 46 77 0 81 145 534 892 4081 340,08
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2005 Curah Hujan 414,1 367,1 440,9 364,5 267,2 221,5 6 197,2 267,1 476,7 417,6 783,8 4223,7 352
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2006 Curah Hujan 672,6 594,9 205,2 533,7 396,4 36,3 262,1 3,5 0 29,3 203,1 591,3 3528,4 294,03
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2007 Curah Hujan 316 550 634 208 157 37 - - - 308 427 23 2660 221,67
Hari Hujan 20 21 17 9 6 3 - - - 10 18 23 127 10,58
2008 Curah Hujan 392 242 481 553 279 64 2 73 55 695 582 278 3696 308
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2009 Curah Hujan 354 475 394 170 144 85 109 0 6 59 680 605 3081 256,75
Hari Hujan 19 16 23 13 6 4 7 0 3 6 19 21 137 11,42
2010 Curah Hujan 483 512 514 183 150 61 97 3 6 181 553 497 3240 270
Hari Hujan 28 26 26 21 17 9 3 3 7 21 22 26 209 17,42
2011 Curah Hujan 316 550 634 208 157 37 0 0 0 308 427 23 2660 221,67
Hari Hujan 20 21 17 9 6 3 0 0 0 10 18 23 127 10,58
2012 Curah Hujan 819 559 149 297 214 147,8 6 0,7 3,8 213 673 802,6 3884,9 323,74
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2013 Curah Hujan 618,6 283,1 292,7 610,9 221,3 182 262,1 50,5 16,2 214 237 741,8 3730,2 310,85
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2014 Curah Hujan 422,2 202,1 381,1 353,9 273,1 244,5 249,8 - - - - - 2126,7 303,81
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka (1990-2011), Data Stasiun Geofisika Banjarnegara (2012-2014)
90
Lampiran 6 Skor Lima Modal yang Diakses Rumah Tangga Petani Berdasarkan
Luas Penguasaan Lahan
Modal
Manusia Sosial Fisik Finansial Sumberdaya Alam
Tidak Menguasai Lahan 3,3 3 1,3 1,3 1,1
0,1 ha x 0,3 ha 3,3 3 2 1,5 2,1
0,3 ha x 0,5 ha 3,3 3,4 2 2 3
0,5 ha x 1 ha 3,3 3,4 3 2,5 3,3
1 ha 3,7 3,9 3,5 3,9 3,9
Sumber: Data Primer (2014)
Keterangan: 1=sangat rendah; 2=rendah; 3=sedang; 4=tinggi
91
Tidak Efektif 2
Sangat Tidak
1
Efektif
Sumber mata Luas lahan pertanian
pencaharian
Kedekatan lahan dengan 2
Ya
sumber bencana
1
Tidak
Lahan dan area bencana Dekat tepi
1
sungai
Daerah rawan
2
banjir
Daerah
3
terpencil
Lereng yang
4
curam
Daerah rawan
5
kekeringan
Upaya mengurangi Ada 2
dampak bencana Tidak 2
Efektifitas penanganan Sangat efektif 5
dampak Efektif 4
92
Memperbaiki
saluran irigasi 5
secara rutin
Mengatur
strategi
penanaman dan
6
menggunakan
informasi
prakiraan iklim
Membangun
dan
7
memperkuat
tanggul
Membuat
embung atau 8
waduk kecil
Upaya saat langkah saat terjadi Evakuasi ke
menghadapi bencana daerah yang 1
bencana iklim lebih aman
Mencari
2
bantuan
Bantuan saat terjadi Ada 2
bencana Tidak 1
Bentuk bantuan Benih dan input
1
pertanian
makanan dan
2
obat-obatan
Uang 3
Tempat dan
4
sarana evakuasi
Bantuan
5
pekerjaan
Sumber bantuan PMI 1
Tetangga 2
kelompok
3
Masyarakat
BNPB 4
BPBD 5
Basarnas 6
Pemerintah 7
LSM 8
Polisi/TNI 9
Individu 10
Upaya saat menghadapi Memompa air
kekeringan pertanian 1
dari sumber
97
Bertanam
tanaman yang
varietasnya 2
membutuhkan
lebih sedikit air
Mengurangi
3
penggunaan air
Perbaiki
4
saluran irigasi
Menggali
sumur tanah
baru untuk 5
mengairi lahan
pertanian
Menggunakan
6
air lebih efisien
Tidak
7
menanam
Mencari
8
pekerjaan baru
Kerjasama Kerjasama ketika Ada 2
dengan pihak menghadapi bencana Tidak 1
lain
Kerjasama yang dilakukan Antara
1
kelompok tani
Antara
kelompok dari
2
desa yang
berbeda
Antara
kelompok
3
dengan
pemerintah
Antara individu
dengan 4
individu
Dukungan Dukungan dari sektor Ada 2
sistem yang berbeda untuk
kelembagaan menghadapi bencana Tidak 1
Lembaga pemberi Aparat desa 1
dukungan Pemerintah
2
kabupaten
Pemerintah
3
provinsi
Dinas Pertanian 4
Dinas
Kehutanan dan 5
Perkebunan
98
RIWAYAT HIDUP
Turasih merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Ahmad Salimi dan Ibu Surati. Penulis lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada
tanggal 06 Januari 1990. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di
TK Aisiyah Bustanul Athfal Pagentan (1994-1995), SD Negeri 1 Pagentan (1995-
2001), SMP Negeri 1 Pagentan (2001-2004), Madrasah Aliyah Negeri 2
Banjarnegara (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai
mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia dan lulus pada tahun 2011 dengan judul skripsi Sistem
Nafkah Rumah Tangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa
Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa
Tengah). Selanjutnya penulis meneruskan studi Magister di Sekolah Pascasarjana
IPB Program Studi Sosiologi Pedesaan.
Selama menjalani studi di Program Studi Sosiologi Pedesaan, penulis aktif
bekerja sebagai asisten peneliti dan fasilitator pengembangan masyarakat di Pusat
Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-LPPM IPB. Selain itu penulis
aktif menjadi asisten dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat-FEMA IPB untuk mata kuliah Sosiologi Pedesaan, Perubahan Sosial,
Kelembagaan, Organisasi dan Kepemimpinan. Pada saat menempuh pendidikan
S1, penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Bakti Tanoto melalui beasiswa
Tanoto Foundation. Pada saat mengambil studi Magister, penulis kembali
mendapatkan beasiswa Tanoto Foundation program Pasca Sarjana.