Anda di halaman 1dari 120

STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA

RUMAH TANGGA PETANI DI DATARAN TINGGI DIENG

TURASIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Adaptasi


Terhadap Perubahan Iklim Pada Rumah Tangga Petani Di Dataran Tinggi
Dieng adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Turasih
NIM I353124011
RINGKASAN

TURASIH. Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pada Rumah


Tangga Petani Di Dataran Dieng. Dibimbing oleh LALA M.
KOLOPAKING dan EKAWATI SRI WAHYUNI.

Pertanian sebagai sumber nafkah utama di Dataran Tinggi Dieng,


masih menjadi primadona dalam berbagai musim walaupun dengan
pendapatan yang fluktuatif. Turasih dan Adiwibowo (2012) menyebutkan
bahwa usaha tani di Dataran Tinggi Dieng memiliki resiko yang harus siap
ditanggung oleh petani termasuk resiko karena faktor cuaca yang semakin
tidak menentu. Dalam penelitian ini aktivitas petani yang berhadapan
dengan kondisi alam sehingga membuat petani berhadapan dengan resiko
pertanian dipahami secara spesifik sebagai bagian dari bersinggungannya
aktivitas manusia dengan perubahan iklim. Resiko yang dihadapi terutama
berhadapan dengan kondisi keragaman iklim yang semakin sulit diprediksi
dan berpengaruh dengan sistem penghidupan petani.
Terdapat dua pertanyaan dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana
petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi untuk menghadapi
perubahan iklim?; 2) Bagaimana strategi adaptasi terhadap perubahan iklim
petani menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan? Berdasarkan
pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian ini meliputi: 1)
Menjelaskan dan memahami bagaimana petani dataran tinggi melakukan
strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim; 2) Menjelaskan dan
memahami bagaimana strategi adaptasi perubahan iklim menjadi strategi
penghidupan yang berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang dikuatkan dengan data kuantitatif. Penelitian dilakukan di
wilayah Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara
pada bulan November-Desember 2014.
Berdasarkan temuan dari penelitian ini diketahui bahwa telah terjadi
perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng. Selama kurun waktu tahun 1990
hingga 2000, jumlah hari hujan di Dataran Tinggi Dieng meningkat di bulan
basah dan berkurang pada saat bulan kering serta diikuti jumlah curah hujan
yang semakin menurun. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan resiko
kejadian longsor di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.
Hal tersebut menunjukkan indikasi terjadinya perubahan iklim mikro di
tingkat wilayah. Hal yang paling dapat ditandai adalah kejadian iklim
ekstrem yang lebih sering terjadi sejak tahun 2007 yaitu hujan yang lebih
deras dan musim kemarau yang lebih kering. Kondisi tersebut diperburuk
dengan minimnya luas tutupan lahan yang tersisa di wilayah Dataran Tinggi
Dieng sebagai area tangkapan air.
Perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng dipahami oleh masyarakat
berdasarkan fenomena lokal yang terjadi. Diakui bahwa situasi saat ini di
Dataran Tinggi Dieng relatif lebih hangat dibanding ketika tahun 1990-an.
Petani memaknai perubahan iklim sebagai sebuah kondisi iklim yang sangat
mengancam aktivitas pertanian. Petani mengidentifikasi lima fenomena
iklim utama yang terjadi dan berkait dengan pertanian mereka yaitu: (1)
curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, (2) situasi kekeringan
yang melanda pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu ekstrem
pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju
yang menjadikan tanaman muda menjadi layu dan mati, serta yang paling
meresahkan adalah (5) kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi.
Kerentanan petani terhadap perubahan iklim dalam penelitian ini
terkait erat dengan kondisi penguasaan lahan di tingkat rumah tangga.
Petani terkategori menjadi petani yang tidak menguasai lahan, petani dengan
penguasaan lahan antara 0,1 ha x < 0,3 ha, petani dengan penguasaan
lahan antara 0,3 ha x < 0,5 ha, petani dengan penguasaan lahan antara 0,5
ha x <1 ha, dan petani dengan penguasaan lahan 1 ha. Semakin luas
lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani maka nilai akses terhadap
modal relatif lebih tinggi. Petani dengan penguasaan lahan 1 ha memiliki
akses yang lebih leluasa terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik,
modal finansial, dan modal sumberdaya alam. Sebaliknya bagi yang tidak
menguasai lahan, modal yang dapat diandalkan adalah modal sosial dan
modal manusia. Kekhawatiran atas kerentanan terhadap perubahan iklim
lebih tinggi bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan dan juga
petani dengan lahan sempit. Kerentanan terhadap perubahan iklim lebih
tinggi pada rumah tangga dengan penguasaan lahan yang semakin sempit
(dibawah 0,3 ha hingga non-penguasa lahan).
Upaya adaptasi di tingkat rumah tangga dilakukan di berbagai aspek
terutama terkait dengan kebutuhan dasar yakni berhubungan dengan mata
pencaharian, pangan, dan kesehatan. Adaptasi mata pencaharian lebih
mengarah pada upaya adaptasi yang dilakukan untuk kegiatan pertanian dan
pengalihannya terhadap kegiatan lain apabila pertanian tidak dapat lagi
diandalkan. Aspek pangan terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan
pangan yang sifatnya fluktuatif terutama pada rumah tangga petani dengan
aset rendah termasuk buruh tani. Pada aspek kesehatan, adaptasi
berhubungan dengan kondisi sanitasi baik di lingkungan rumah tangga
maupun komunitas. Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang
dilakukan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang
dilakukan oleh petani di tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis
sumberdaya alam yang ada (lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan
status penguasaan individu atau rumah tangga. Strategi adaptasi perubahan
iklim pada rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dapat disebut
sebagai strategi adaptasi integratif dimana adaptasi tidak hanya melibatkan
satu entitas rumah tangga saja tetapi juga melibatkan entitas sosial lain
mulai dari tingkat komunitas, desa, regional, nasional, dan internasional
terutama karena posisi kawasan Dataran Tinggi Dieng sebagai kawasan
sumber daya alam yang istimewa yaitu sebagai catchment area, sumber
energi, cagar budaya, dan pemukiman penduduk.

Kata kunci: Perubahan Iklim, Strategi Adaptasi, Rumah Tangga Petani,


Dataran Tinggi Dieng
SUMMARY

TURASIH. Climate Change Adaptation Strategy of Farmer Households in


Dieng Plateau. Supervised by LALA M. KOLOPAKING dan EKAWATI
SRIWAHYUNI.

Agriculture is the main source of livelihood in the Dieng Plateau,


although it is volatile. Turasih and Adiwibowo (2012) mentions that farming
in the Dieng Plateau has risks that must be ready to be borne by farmers,
including risks due to the increasingly erratic weather and price fluctuations.
In this study the activity of farmers who are dealing with agricultural risk is
understood as a specific piece of connectedness human activity to climate
change. The risk faced especially by the conditions of unpredictable climate
variability which is affect the livelihood systems of farmers.
There are two questions in this study are: 1) How upland farmers do
the adaptation strategies to deal with climate change ?; 2) How does climate
change adaptation strategies of upland farmers become sustainable
livelihood strategies? Based on the research questions, the purpose of this
study include: 1) Describe and understand how upland farmers undertake
adaptive strategy in the face of climate change; 2) Describe and understand
how climate change adaptation strategies become sustainable livelihood
strategies. This study is a qualitative study that confirmed by quantitative
data. The study was conducted in the Dieng Plateau, District Batur,
Banjarnegara in November-December 2014.
The findings of this research note that there has been a climate
change in the Dieng Plateau. During the period 1990 to 2000, the number of
rainy days in the Dieng Plateau rose in wet and decreases during the dry
months and followed by the amount of precipitation decreases. Such
conditions increase the risk of a landslide in the rainy season and drought in
the dry season. It shows indications of the micro climate change at the
regional level. It is most marked is the extreme climate events occur more
often since 2007 that more intense rainfall and droughts drier. The condition
is exacerbated by the lack of comprehensive land cover remaining in the
Dieng Plateau as a water catchment area.
Climate change in the Dieng Plateau understood by the public by
local phenomena that occur. Dieng Plateau is a region with cold
temperatures so the symptoms of climate change on the increase in
temperature is not so perceived. However, it is recognized that the current
situation in the Dieng Plateau is relatively warmer than when in the 1990s.
Farmers identified five climate phenomenon that related to their farms,
namely: (1) rainfall is more extreme in its season, (2) the situation of
drought that hit agriculture, (3) hurricanes, (4) conditions of temperature
extremes on the Moon July or August when it emerged embun upas which
makes the young plants wither and die, and the most disturbing is the (5)
climatic conditions are increasingly difficult to predict.
The vulnerability of farmers to climate change in this study are
associated with land tenure at the household level. Farmers categorized into
farmers who do not occupy the land, farmers with land occupation of 0.1 ha
x 0.3 ha, farmers with land occupation of 0.3 ha x 0.5 ha, farmers
with land occupation between 0, 5 ha x 1 ha, and farmers with land
occupation 1 ha. The more land that is occupied by farmer households, the
value of access to capital is relatively higher. Farmers with land tenure 1
ha have broad access to the human capital, social capital, physical capital,
financial capital, capital and natural resources. In contrast to those who do
not control land, a reliable capital is social capital and human capital.
Vulnerability to climate change is higher in households with land tenure
increasingly narrow (less than 0.3 ha of land to non-ruling).
In the context of potato farmers in Dieng Plateau, adaptation
startegies made in various aspects, especially related to the basic needs that
relate to livelihoods, food and health services. Livelihood adaptation is
directed to the adaptations made to farming activities and their transfer to
other activities when agriculture can no longer be relied upon. On the food
aspect, adaptation strategy associated with addressing the needs of food that
are volatile, especially on farm households with lower assets. On the health
service aspect, adaptation strategy related to sanitary conditions both within
the household and community.
An important feature of adaptation strategy to climate change
undertaken by farmers in the Dieng Plateau is the adaptation efforts
undertaken by the farmers at the household level. This occurs because the
type of existing natural resources (agricultural land) is the resource with
tenure status of individuals or households. Climate change adaptation
strategies of farmer households in the Dieng Plateau can be referred to as an
integrative adaptation strategy where adaptation is not only involve one
entity of household but also other social entities including communities,
village, regional, national, and international, especially because of the
position Dieng Plateau region as an area of special natural resource that is as
catchment areas, energy resources, cultural heritage, and settlements.

Kata kunci: Climate Change, Adaptation Strategy, Farmer Household,


Dieng Plateau
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA
RUMAH TANGGA PETANI DI DATARAN TINGGI DIENG

TURASIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
xi

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr
Scanned by CamScanner
xiii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Pemilik Ilmu, yang
telah memberikan rahmat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi dengan
di Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Salam dan
keselamatan semoga senantiasa tercurah kepada Rasul Muhammad SAW
pembawa mukjizat pengetahuan bagi dunia. Pertama-tama, penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada ketua komisi
pembimbing Dr. Lala M. Kolopaking dan anggota komisi pembimbing Dr.
Ekawati Sri Wahyuni yang telah mencurahkan waktu memberikan bimbingan,
arahan, dan koreksi hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah
membalas segala amal kebaikan yang lebih banyak. Ucapan terima kasih dan
penghargaan juga penulis sampaikan kepada ketua program studi Sosiologi
Pedesaan sekaligus penguji luar komisi, Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada
seluruh narasumber dan informan di Dataran Tinggi Dieng yang telah banyak
membantu memberikan data dan informasi hingga tesis ini dapat berbentuk dan
semoga menjadi karya tulis yang bermanfaat. Penulis juga mengucapkan syukur
dan terima kasih kepada yayasan bhakti Tanoto Foundation yang telah
memberikan beasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Dengan ketulusan dari lubuk hati yang paling dalam, rasa syukur dan
terimakasih penulis haturkan untuk orang tua Bapak Salimi dan Ibu Surati yang
tidak henti-hentinya memberikan dukungan sehingga penulis dapat tumbuh,
berkembang, dan berkarya. Semoga Allah memberikan kebaikan yang tidak
terputus kepada Bapak dan Ibu, memberikan umur yang panjang dan berkah.
Pencapaian ini secara khusus penulis dedikasikan untuk setiap ketulusan
perjuangan kedua orang tua yang telah berusaha begitu keras untuk memutus
rantai kebodohan. Terima kasih dan syukur juga penulis sampaikan kepada suami
tercinta, Dhamar Kuncoro, yang telah begitu sabar mengingatkan bahwa setiap
proses harus dilewati dengan baik, sabar, dan ikhlas. Kepada anak pertamaku,
Anugrah Setyo Kuncoro, terima kasih telah menemani dan menyemangati dalam
setiap langkah. Juga kepada Bapak Ibu mertua, Bapak Agus Suranto dan Ibu
Endang Sriyanti yang juga dengan tulus memberikan dukungan doa, semangat,
dan kasih bagi penulis. Kepada adikku Nurhayati, cahayaku, terima kasih selalu
menjadi tolak ukur yang baik dari setiap perjuanganmu menimba ilmu.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan SPD 2013
Genap, Joni Trio Wibowo, Anton Wijonarno, dan Iwansyah yang berjuang
bersama hingga akhir. Pada akhirnya tidak ada yang lebih layak disampaikan
kecuali rasa syukur dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
berkontribusi hingga selesainya tesis ini. Semoga karya tulis ini menjadi ilmu
yang bermanfaat, menjadi sebuah sarana tafakur atas maha luasnya ilmu Allah di
muka bumi.

Bogor, Mei 2016

Turasih
xiv
xv

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xvi


DAFTAR TABEL xviii
DAFTAR GAMBAR xx
DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Perubahan Iklim 5
Kerentanan Sektor Pertanian Terhadap Perubahan Iklim 6
Konsep Adaptasi 8
Konsep Kerentanan 9
Kelembagaan Lokal Adaptasi Perubahan Iklim 11
Petani dan Etika Subsitensi 13
Strategi Penghidupan Rumah Tangga 14
Kerangka Pemikiran 17

3 METODOLOGI 19
Metode Penelitian 19
Lokasi dan Waktu Penelitian 20
Unit Analisis dan Subjek Penelitian 20
Jenis Data 21
Pengolahan dan Analisis Data 21

4 DATARAN TINGGI DIENG DARI MASA KE MASA 23


Sejarah dan Legenda Dataran Tinggi Dieng 23
Kondisi Geografis dan Iklim Dataran Tinggi Dieng dan Lokasi
Penelitian (Desa Batur) 24
Kondisi Kependudukan dan Sosial Ekonomi di Dataran Tinggi Dieng 28
Sumberdaya Alam di Dataran Tinggi Dieng 34
Mata Pencaharian Penduduk di Dataran Tinggi Dieng 35
Pemukiman Masyarakat Dataran Tinggi Dieng 38
Pembangunan di Dataran Tinggi Dieng 39

5 STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PETANI DI


DATARAN TINGGI DIENG 41
Perubahan Iklim di Dataran Tinggi Dieng 41
Pengetahuan Petani Tentang Perubahan Iklim 44
Lokalitas Dampak Perubahan Iklim 47
Kerentanan Petani Terhadap Perubahan Iklim 52
Strategi Adaptasi Petani Dataran Tinggi Terhadap Perubahan Iklim 60
xvi

6 ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM SEBAGAI STRATEGI


PENGHIDUPAN YANG BERKELANJUTAN 65
Respons Para Pihak Terhadap Penanganan Dampak Perubahan Iklim di
Dataran Tinggi Dieng 65
Peran Desa Dalam Konteks Adaptasi Perubahan Iklim Di Dataran
Tinggi Dieng 71
Penguatan Kelembagaan Lokal Adaptasi Perubahan Iklim Untuk
Strategi Penghidupan Berkelanjutan 74

7 SIMPULAN DAN SARAN 78


Simpulan 78
Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN 84

RIWAYAT HIDUP 99
xvii

DAFTAR TABEL

1 Subjek penelitian dari unit analisis utama dan unit analisis


pendukung 20
2 Gunung-gunung dan ketinggiannya di Dataran Tinggi Dieng 26
3 Sungai-sungai dan panjangnya yang melewati Dataran Tinggi
Dieng 26
4 Penggunaan lahan di Kecamatan Batur 27
5 Jenis tanah di masing-masing desa di Kecamatan Batur 27
6 Perkembangan jumlah penduduk di Kecamatan Batur menurut desa
tahun 1990-2010 28
7 Jumlah dan presentase penduduk serta rasio ketergantungannya di
Kecamatan Batur tahun 2013 29
8 Jumlah individu yang bekerja dan tidak bekerja menurut kelompok
usia dengan status kesejahteraan 30 % terendah di Kecamatan
Batur 31
9 Jumlah anak bersekolah dan tidak bersekolah berdasarkan usia
pada rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah di
Kecamatan Batur 32
10 Partisipasi sekolah berdasarkan jenis kelamin pada rumah tangga
dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah di Kecamatan Batur 32
11 Jumlah individu yang menderita cacat dan penyakit kronis
berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin berdasarkan tingkat
kesejahteraan 30 % terendah di Kecamatan Batur 33
12 Jumlah rumah tangga pertanian, peternakan, perikanan, dan
perkebunan di Kecamatan Batur tahun 2013 36
13 Kombinasi komoditas yang ditanam oleh rumah tangga petani di
Kecamatan Batur 37
14 Komoditas ternak yang dibudidayakan oleh rumah tangga petani di
Kecamatan Batur 37
15 Mata pencaharian individu di Kecamatan Batur berdasarkan tingkat
kesejahteraan 30 % terendah di Indonesia 38
16 Jumlah Rukun Tetangga (RT) pada setiap dusun di Desa Batur 38
17 Kondisi hutan, air, pertanian, dan erosi di Dataran Tinggi Dieng
periode 1975-2011 42
18 Aspek keterpaparan terhadap perubahan iklim per kategori rumah
tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng
tahun 2014 56
19 Aspek sensitivitas terhadap perubahan iklim per kategori rumah
tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng
tahun 2014 57
20 Aspek kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim per kategori
rumah tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi
Dieng tahun 2014 59
21 Kerentanan petani terhadap perubahan iklim di Dataran Tinggi
Dieng berdasarkan karakteristik penguasaan lahan pertanian tahun
2014 59
xviii

22 Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 11 Tahun 2011


yang terkait dengan pengaturan Kawasan Dataran Tinggi Dieng
dan Kecamatan Batur 66
23 Identifikasi peran desa dalam pengelolaan dampak perubahan iklim
di Dataran Tinggi Dieng 73
xix

DAFTAR GAMBAR

1 Model hirarki jejaring kerentanan 10


2 Kerangka konseptual untuk pendekatan dan penguatan kerentanan 10
3 Bentuk-bentuk barang publik yang disediakan secara privat dan
motivasi penyalurannya 12
4 Kerangka kerja untuk analisa kebijakan mikro pada livelihood
pedesaan 15
5 Kerangka kerja sustainable rural livelihood 16
6 Kerangka pemikiran penelitian strategi adaptasi perubahan iklim
petani dataran tinggi 18
7 Alur analisis data penelitian 22
8 Peta Kecamatan Batur 25
9 Perbandingan rasio beban tanggungan penduduk di Kecamatan
Batur tahun 1990, 2002, 2013 30
10 Perbandingan sex ratio penduduk di Kecamatan Batur periode
1990-2013 30
11 Presentase rumah tangga pertanian berdasarkan komoditas di
Kecamatan Batur 36
12 Jumlah hari hujan berdasarkan bulan di Kecamatan Batur tahun
1990-2011 43
13 Jumlah dan rata-rata curah hujan tahunan periode 1990-2014 di
Kecamatan Batur 44
14 Karakteristik Modal Petani Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan 54
xx

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Suhu Bulan Basah (BB) - Bulan Kering (BK) Rata-Rata
Bulanan Tahun 2009-2014 Stasiun Geofisika Banjarnegara 84
2 Data Klimatologi/Hujan Stasiun Geofisika Banjarnegara 85
3 Data Suhu Rata-rata Bulanan Stasiun Geofisika Banjarnegara
Bulan Mei 2009-Juli 2014 86
4 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kecamatan Batur
Tahun 1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012, 2013 87
5 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Periode Bulan Januari
Desember Tahun 1990 2014 88
6 Skor Lima Modal yang Diakses Rumah Tangga Petani
Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan 90
7 Indikator Terpilih Penilaian Kerentanan Rumah Tangga Petani
Terhadap Perubahan Iklim 91
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim yang mempengaruhi pemanasan global telah dibuktikan


secara ilmiah berdasarkan tren data peningkatan suhu di bumi. Data IPCC (2007)
menjelaskan bahwa tahun 1995-2006 merupakan dekade dimana bumi berada
dalam kondisi paling hangat berdasarkan rekaman data sejak tahun 1850.
Peningkatan suhu berdasarkan tren data per seratus tahun sejak 1906-2005
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu mendekati dua kali lipat pada tahun
1956-2005. Peningkatan suhu tersebut mempengaruhi seluruh permukaan bumi
terutama di kutub utara. Dalam kurun waktu 100 tahun ke belakang, suhu
Antartika meningkat dua kali lipat dibanding suhu bumi rata-rata. Analisis ini juga
menggambarkan pemanasan yang terjadi di seluruh bumi bahwa daratan lebih
cepat panas dibanding lautan. Kenyataan tersebut menjadikan perubahan iklim
sebagai keniscayaan sekaligus isu yang menjadi perhatian masyarakat global
termasuk Indonesia.
Perubahan iklim global yang dicirikan oleh perubahan suhu udara
permukaan bumi, curah hujan wilayah, limpasan permukaan,evapotranspirasi,
simpanan air bumi dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap respons hidrologi wilayah yang selanjutnya menentukan
ketersediaan air wilayah untuk berbagai kebutuhan dan ikut menentukan nilai
ekologi, sosial, dan ekonomi sumber daya air yang ada. Kerentanan daur hidrologi
misalnya ditunjukkan oleh fakta bahwa perubahan 10% curah hujan benua hanya
memerlukan perubahan 2% dari evaporasi lautan dan pembentukan gurun
memerlukan perubahan jauh lebih kecil [0,2% dari keseluruhan daur air] (Pawitan
2010).
Berdasarkan data IPCC (2007) peningkatan suhu di Indonesia antara 1970-
2004 sebesar 0,20C-10C. Pada tahun 2009, Indonesia secara sukarela memberikan
komitmennya untuk melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
melalui aksi mitigasi. Komitmen tersebut difokuskan dalam lima sektor utama
yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan
limbah dengan target penurunan emisi sebesar 26% tanpa bantuan internasional
dan sebesar 41% jika melibatkan bantuan internasional. Komitmen tersebut
tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan didukung oleh Peraturan Presiden Nomor
71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Kemudian disadari bahwa berbagai fenomena kebencanaan terkait iklim semakin
meningkat dalam frekuensi kejadian maupun amplitudo bencana yang sudah
menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor. Upaya mitigasi saja dirasa tidak
cukup untuk mengatasi peningkatan dampak tersebut, sehingga dilakukan juga
upaya adaptasi.
Hasil identifikasi program kegiatan adaptas dari DNPI (2012),
menunjukkan persentase terbesar dari kegiatan/program adaptasi perubahan iklim
adalah pada tematik bidang manajemen risiko bencana (31%) dan
pertanian/ketahanan pangan (31%), dan sisanya terbagi hampir merata pada
pembangunan wilayah pesisir (13%), kesehatan masyarakat (6%), sumber daya
2

dan kualitas air (10%), dan pengelolaan sumber daya alam (5%).
Kegiatan/program adaptasi perubahan iklim yang paling dominan adalah pada
jenis adaptasi terencana (48%), diikuti oleh jenis adaptasi antisipatif (37%), dan
adaptasi otonom (14%). Kegiatan/program adaptasi perubahan iklim masih
didominasi oleh kegiatan adaptasi dengan dimensi kapasitas adaptif (73%), diikuti
aksi adaptasi (24%) dan pembangunan berlanjut/lestari (2%).
Pada sektor pertanian, kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim di
Indonesia dirancang dengan masih menitikberatkan pada komoditas padi sawah
dataran rendah. Pembahasan mengenai petani dataran tinggi maupun petani
komoditi selain padi sawah di Indonesia masih sangat minim. Peta jalan (road
map) strategi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim tahun 2011-
2014 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (2010) lebih membahas upaya
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang sifatnya teknis dengan penekanan
pada komoditi padi sawah. Padahal pengaruh perubahan iklim dinyatakan oleh
Kementerian Pertanian (2011) bersifat multidimensional mulai dari sumberdaya,
infrastrukur pertanian, sistem produksi pertanian, aspek ketahanan dan
kemandirian pangan, serta kesejahteraan masyarakat petani pada umumnya.
Artinya petani komoditi non-padi yang dalam penelitian ini dispesifikkan pada
petani dataran tinggi layak dikaji untuk mengetahui tingkat kerentanannya
terhadap perubahan iklim sehingga bisa memperkaya dan melengkapi dasar
kebijakan bagi upaya menghadapi tantangan dan peluang perubahan iklim yang
lebih komprehensif.
Penelitian ini melihat bagaimana petani melakukan strategi adaptasi dalam
menghadapi perbahan iklim dan apakah strategi adaptasi tersebut dapat menjadi
strategi penghidupan yang berkelanjutan dengan pembahasan yang dititikberatkan
pada petani dataran tinggi. Selama ini dataran tinggi banyak dimaknai sebagai
wilayah yang tertinggal atau dalam terminologi Li (2002) dataran tinggi disebut
sebagai daerah pedalaman yang terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui
perjalanan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran yang rendah yang
telah lama dan terus berlangsung. Tjondronegoro (2008) menjelaskan bahwa
dataran tinggi disebut sering disebut sebagai tanah marjinal yang merupakan suatu
hasil keterpaksaan, penduduk yang membangun masyarakat disana relatif baru
dan sering lebih mobile. Disebutkan pula bahwa pelapisan sosial penduduk di
tanah marjinal tidak semantap daerah persawahan dan tingkat kesenian tidak
terlalu unggul. Pendapat yang serupa telah dipaparkan sebelumnya oleh Hefner
(1999) yang menyebutkan bahwa masyarakat pegunungan (dataran tinggi)
memiliki struktur longgar, serba kabur pelapisan sosialnya, dimana ikatan-ikatan
antar individu sangat longgar. Masyarakat dataran tinggi kurang memiliki
pembatasan kelas sosial yang ketat sebagaimana masyarakat daerah padi sawah.
Asumsi bahwa masyarakat dataran tinggi adalah bodoh dan terisolasi dipegang
oleh agen pembangunan yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan
pembangunan yang diterapkan di wilayah tersebut. Dinamisme, produktivitas,
pengetahuan serta kreativitas masyarakat dataran tinggi sering diabaikan dalam
program pembangunan pemerintah.
Yuliati (2011) menyatakan bahwa pertanian dataran tinggi tidak memiliki
daya tahan ekologis yang mantap seperti yang terjadi pada sistem pertanian
sawah. Sawah merupakan sistem pertanian yang sungguh-sunguh
berkesinambungan, memiliki kemampuan untuk dikelola secara intensif dalam
3

waktu yang tidak ditentukan. Sebaliknya pertanian di dataran tinggi sebagaimana


dijelaskan oleh Hefner (1999) merupakan pertanian dengan sejarah krisis ekologi
yang terjadi terus menerus. Kondisi ini disebabkan lahan datar atau berlereng
landai dan yang relatif subur lama-kelamaan semakin habis sehingga pemanfaatan
lahan semakin ke wilayah yang seharusnya diperuntukkan untuk kawasan lindung.
Kementerian Pertanian (2011) menyebutkan bahwa hampir semua sub
sektor pertanian rentan terhadap perubahan iklim, terutama sub-sektor hortikultura
yang identik dengan dataran tinggi. Jika sub-sektornya memiliki resiko tinggi
maka petani yang bersentuhan langsung dengan aktivitas pertanian menjadi
golongan yang paling rentan. Oleh karenanya penelitian ini ditekankan untuk
mengetahui bagaimana petani dataran tinggi melakukan adaptasi perubahan iklim
dengan melakukan studi petani di Dataran Tinggi Dieng. Berdasarkan penelitian
Turasih dan Adiwibowo (2011) tentang petani di Dataran Tinggi Dieng diketahui
bahwa sejarah pertanian membentuk budaya di kalangan komunitas petani.
Masuknya komoditas hortikultura khususnya kentang ke wilayah Dataran Tinggi
Dieng pada periode tahun 1980-an merupakan bentuk adaptasi ekonomi yang
menggantikan ketidakpastian penghasilan dari budidaya palawija dan tembakau.
Pertanian hortikultura telah mempengaruhi sistem sosial secara umum termasuk
munculnya berbagai golongan di kalangan petani serta pola interaksi khas yang
kemudian terwujud dari kondisi pertanian tersebut.
Pertanian sebagai sumber nafkah utama di Dataran Tinggi Dieng, masih
menjadi primadona dalam berbagai musim walaupun dengan pendapatan yang
fluktuatif. Turasih dan Adiwibowo (2012) menyebutkan bahwa usaha tani di
Dataran Tinggi Dieng memiliki resiko yang harus siap ditanggung oleh petani.
Kondisi ekologi Dataran Tinggi Dieng yang semakin menurun kualitasnya, cuaca
yang semakin tidak menentu, serta fluktuasi harga di pasar memberikan
konsekuensi bagi petani untuk berjaga-jaga. Faktor perubahan iklim menuntut
petani dataran tinggi untuk lebih kreatif dan proaktif dengan melakukan strategi
yang mampu adaptif terhadap perubahan iklim. Dalam penelitian ini aktivitas
petani yang berhadapan dengan kondisi alam sehingga membuat petani
berhadapan dengan resiko pertanian dipahami secara spesifik sebagai bagian dari
bersinggungannya aktivitas manusia dengan perubahan iklim. Resiko yang
dihadapi terutama berhadapan dengan kondisi keragaman iklim yang semakin
sulit diprediksi dan berpengaruh dengan sistem penghidupan petani. Kemampuan
dan strategi adaptasi petani terhadap kejadian perubahan iklim menentukan
tingkat resiliensi (daya tahan) mereka ketika menghadapi kondisi yang merugikan.
Pemahaman mengenai kemampuan dan strategi adaptasi petani di Dataran Tinggi
Dieng dapat memperkaya kebijakan perubahan iklim, khususnya di tingkat lokal
dan daerah yang secara tidak langsung juga terintegrasi dengan kebijakan
perubahan iklim di tingkat nasional.

Rumusan Masalah
Kolopaking (2012) menyebutkan bahwa peranan iklim dalam
pembangunan telah berkembang sejak dekade 1970-an hingga saat ini dengan
pola pendekatan yang berbeda-beda. Pada dekade 1970-1990 pembangunan
menggunakan sistem sentralistik melalui pengembangan pusat-pusat produksi
serta revolusi hijau dengan strategi penyuluhan untuk pertanian. Masa ini disebut
4

sebagai masa dimana Iklim untuk Pembangunan. Pada periode 1990-1998


pembangunan terfokus pada beberapa aspek yaitu pembangunan dan konservasi,
pengembangan wilayah, pendekatan kelompok sasaran, pengembangan pedesaan
terpadu, inisiatif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengembangan
masyarakat dan sektor privat serta Payment for Environmental Services (PES).
Pendekatan tersebut berkembang pada awal tahun 2000-an dimana pembangunan
dan konservasi dilakukan berbasis masyarakat serta muncul strategi pembangunan
melalui Reward Upland Poor of Asia for the Environment Services They Provide
(RUPES). Pada masa tersebut iklim dalam pembangunan dan konservasi/
pengelolaan lingkungan hidup telah mulai dilakukan bersama komunitas.
Perkembangannya kemudian dari periode 2000-an hingga sekarang adalah telah
muncul dukungan stakeholder terhadap inisiatif komunitas untuk mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Iklim dipahami sebagai resiko dan peluang untuk
komunitas melakukan inisiasi pembangunan daerah rendah emisi. Oleh karenanya
pengorganisasian strategi adaptasi petani dataran tinggi dalam menghadapi
perubahan iklim boleh menjadi sumbangan untuk penguatan kelembagaan
kebijakan adapatasi perubahan iklim di tingkat daerah dan juga terintegrasi
dengan kebijakan di tingkat nasional.
Menurut Eriksen dan Selboe (2012) petani dataran tinggi melakukan
adaptasi terhadap terjadinya keragaman iklim melalui bentuk-bentuk kolaborasi
dengan membangun relasi sosial. Petani secara aktif membangun pola relasi
informal dalam melakukan adaptasi seperti dalam aktifitas melakukan
ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Relasi-relasi informal yang muncul
pada komunitas petani dilakukan dalam rangka mengamankan produksi pertanian
sekaligus menjaga kualitas kehidupan. Relasi informal dalam mengelola
terjadinya keragaman iklim ini terus dijaga meskipun terjadi perubahan skala
produksi ke arah yang lebih besar, meningkatnya formalisasi, maupun
diversifikasi ekonomi.
Berdasarkan IPCC (2007) aksi-aksi adaptasi menghadapi perubahan iklim
memiliki penggerak yang bermacam macam mulai dari pembangunan ekonomi,
pengurangan kemiskinan, serta hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan
internasional, sektoral, daerah serta perencanaan pembangunan melalui inisiatif
lokal. Hasil penelitian IPCC (2007) menyarankan bahwa keuntungan yang lebih
tinggi dapat dicapai jika adaptasi dilakukan secara terencana dengan
mempertimbangkan kapasitas adaptif masyarakat yang sifatnya dinamis.
Kapasitas adaptif sifatnya dinamis dan dipengaruhi oleh basis produksi
masyarakat yang meliputi modal alam (natural asset) dan modal buatan manusia
(man-made capital assets) yang meliputi jaringan sosial, modal manusia dan
kelembagaan, pemerintahan, pendapatan nasional, pendapatan, dan teknologi.
Selain itu dipengaruhi juga oleh beragam tekanan baik iklim itu sendiri maupun
tekanan non-iklim seperti kebijakan pembangunan. Hal ini kemudian ditekankan
oleh Boer dan Kolopaking (2010) dalam Kolopaking (2011) dimana adaptasi
terhadap perubahan iklim merupakan bentuk adaptasi yang direncanakan (planned
adaptation). Adaptasi tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menanggapi
dampak perubahan iklim khususnya keragaman iklim yang semakin sukar
diprediksi dan berdampak bagi sistem kehidupan baik aspek alam (nature) berupa
sumber makanan, ekosistem, kesehatan, dan sebagainya maupun aspek manusia.
5

Melihat konteks petani dataran tinggi dengan berdasar pada pengertian


adaptasi yang telah disebutkan, maka penelitian ini diarahkan untuk mengetahui
dan memahami bagaimana strategi adaptasi perubahan iklim dilakukan oleh
petani dataran tinggi. Pemahaman mengenai pertanian dataran tinggi yang kurang
stabil dibandingkan pertanian dataran rendah menurut Yuliati (2011) serta
kerusakan ekologi dataran tinggi yang berkelanjutan menurut Hefner (1999)
menjadi pemicu kerentanan bagi golongan petani dataran tinggi. Kerentanan
tersebut semakin diperparah dengan kejadian keragaman iklim. Kerentanan
terhadap perubahan iklim sesuai pengertian IPCC (2007) merupakan derajat
dimana suatu sistem tidak dapat bertahan karena efek perubahan iklim termasuk
karena kejadian iklim ekstrim dan keragaman iklim. Kerentanan terhadap
perubahan iklim dipengaruhi oleh kapasitas adaptasi, sensitifitas, dan
keterpaparan terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan fakta tersebut, untuk menjelaskan dan memahami strategi
adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani dataran tinggi maka
dispesifikkan ke dalam dua pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi untuk
menghadapi perubahan iklim?
2) Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dapat menjadi
strategi penghidupan yang berkelanjutan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka penelitian ini


dilakukan dengan tujuan untuk:

1) Menjelaskan dan memahami bagaimana petani dataran tinggi melakukan


strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
2) Menjelaskan dan memahami bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan
oleh petani dapat menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan Iklim

Perubahan iklim dalam penelitian ini mengacu pada IPCC (2007) yang
mendefinisikan perubahan iklim sebagai sesuatu yang dapat berdasarkan
perubahan pada arti iklim maupun sifat-sifatnya yang berlangsung dalam waktu
yang panjang yaitu beberapa dekade atau bahkan lebih panjang lagi. Perubahan
iklim merupakan perubahan dari waktu ke waktu baik karena variabilitas alami
maupun karena aktivitas manusia (anthropogenic). Perubahan iklim jelas terjadi
ditandai oleh kenaikan rata-rata suhu global dan permukaan laut, mencairnya salju
dan terjadinya kenaikan permukaan laut.
6

Perubahan iklim adalah sesuatu yang mencakup semua perubahan


lingkungan global, cenderung memiliki efek merusak pada sistem alam dan
manusia, ekonomi serta infrastruktur (UNFCC 2007). Dampak negatif perubahan
iklim semakin nyata dan terbukti telah menerpa Indonesia dalam bentuk berbagai
bencana lingkungan seperti banjir, longsor, kekeringan (UNFCC 2007; UNDP
Indonesia 2007). Dampak-dampak tersebut memiliki tantangan terhadap
pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan,
serta terhadap pencapaian tujuan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan strategi untuk mengantisipasinya. Antisipasi terhadap bencana yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dilakukan melalui upaya mitigasi dan
adaptasi (UNDP Indonesia 2007).
Berdasarkan Sodiq (2013), Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi apabila terjadi fenomena El Nino
maupun La Nina. El Nino merupakan fase panas di Samudera Pasifik. Fenomena
El Nino sering muncul setiap 3-7 tahun serta berpengaruh terhadap iklim dunia
lebih dari satu tahun. Puncak El Nino tahun 1997-1998 menyebabkan kenaikan
rata-rata suhu muka laut di Samudera Pasifik Timur sebesar 2,50C. Kenaikan suhu
tersebut lebih tinggi dibanding fenomena El Nino pada tahun 1982-1983 denan
kenaikan suhu 2,30C. Kenaikan suhu muka laut tersebut menyebabkan wilayah
Samudera Pasifik banyak turun hujan, sebaliknya di wilayah Indonesia mengalami
kekeringan. Kejadian tersebut hingga tahun 2009 terus meningkat dan
diperkirakan akan cenderung naik sehingga potensi kekeringan di Indonesia
semakin besar. Fenomena La Nina merupakan kebalikan dari El Nino dimana
suhu muka laut lebih dingin dari rata-ratanya. Dampak La Nina di Indonesia
adalah pergeseran musim hujan serta munculnya kemarau basah.

Kerentanan Sektor Pertanian Terhadap Perubahan Iklim

Menurut Simatupang (1989) komponen sektor pertanian yang paling


dominan adalah subsektor tanaman pangan. Kedudukan subsektor tanaman
pangan ini semakin lebih penting lagi bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga
dari segi sifat produknya sebagai bahan kebutuhan dasar penduduk yaitu sebagai
bahan makanan pokok. Pertanian terutama subsektor tanaman pangan, paling
rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik,
dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan
tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama cekaman air.
Bidang pertanian sangat peka terhadap perubahan iklim, karena tanaman dalam
pertumbuhannya untuk menghasilkan produsi membutuhkan air dalam jumlah
yang cukup yaitu tidak kurang (kekeringan) dan sebaliknya tidak kelebihan
(tergenang) (Sodiq 2013). Curah hujan yang tinggi akan berpengaruh terhadap
meluasnya daerah genangan banjir di dataran rendah. Sebaliknya kekeringan akan
mempengaruhi daerah lahan kering dataran tinggi (Harmoni 2005).
Boer et al (2012) menyebutkan bahwa kerentanan sektor pertanian
terhadap perubahan iklim terjadi akibat kondisi kekeringan, banjir, dan salinitas.
Kekeringan terjadi akibat ketersediaan air untuk tanaman menjadi menipis dan
bahkan dapat menjadi tidak tersedia untuk tanaman. Pada fase-fase tertentu
apabila kekeringan tidak diantisipasi dengan penyiraman/irigasi yang memadai,
tanaman akan mengalami penurunan produksi bahkan hingga mengalami puso.
7

Selain terhadap tanaman pangan, kekeringan juga menyebabkan merosotnya


ketersediaan air di beberapa waduk atau bendungan yang amat merugikan
terutama bagi masyarakat sekitarnya.
Bappenas (2003) mengklasifikasikan kekeringan menjadi beberapa kriteria
sebagai berikut :
1. Kekeringan meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah
normal dalam satu musim. Kekeringan meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya kekeringan.
2. Kekeringan hidrologis; berkaitan dengan berkurangnya pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur berdasarkan elevasi
muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
3. Kekeringan pertanian; berkaitan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan
air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman
tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Tipe kekeringan
ini dikenal pula sebagai kekeringan agronomis.
4. Kekeringan sosial ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi
dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti rusaknya tanaman,
peternakan, perikanan, berkurangnya pasokan listrik dari tenaga air,
terganggunya kelancaran transportasi air, serta berkurangnya pasokan air baku
untuk industri domestik dan perkotaan.
5. Kekeringan hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air
sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.
Pemanasan global telah secara perlahan dan kontinu menyebabkan
kenaikan suhu udara, perubahan curah hujan dan kenaikan salinitas air tanah di
wilayah pertanian. Dampak tersebut menyebabkan menurunnya produktivitas
tanaman, perubahan panjang musim yang menyebabkan menurunnya indeks
pertanaman (Kementerian Pertanian 2011). Terkait dengan peningkatan suhu
harian dan frekuensi kekeringan, ke depan akan semakin banyak ditemukan lahan
yang menurun tingkat kesesuaiannya bagi komoditas pertanian disebabkan oleh
tingkat kegaraman lahan yang cukup tinggi (salinitas). Efek salinitas terjadi
karena meningkatnya konsentrasi garam di lahan sebagai akibat dari penurunan
kandungan lengas tanah yang ditimbulkan dari tingginya evaporasi lahan yang
dipicu oleh peningkatan temperatur harian.
Perubahan iklim memiliki dampak positif dan negatif bagi sektor
pertanian. Berdasarkan Sodiq (2013) dampak positif perubahan iklim bagi sektor
pertanian meliputi aspek-aspek fisik tanaman misalnya ada komoditas tertentu
yang justru mengalami pertumbuhan lebih baik karena kadar CO2 di udara
semakin tinggi, lahan rawa/lebak berpeluang untuk ditanami padi karena surut
ketika musim kering, kesuburan tanah dapat meningkat akibat unsur hara yang
dibawa oleh banjir, kenaikan fotosintesis dengan adanya asupan CO2 dan naiknya
suhu. Wilayah dataran tinggi juga disebutkan dapat memperoleh dampak positif
perubahan iklim yaitu tanaman tertentu yang sebelumnya tidak dapat tumbuh
menjadi cocok akibat kenaikan suhu. Contohnya, di dataran tinggi Kecamatan
Sidamanik, Kabupaten Simalungun yang semula diusahakan kebun teh, pada
tahun 2010 dapat ditanami kelapa sawit akibat kenaikan suhu di wilayah tersebut
yang menyebabkan tanaman teh terganggu.
Lebih lanjut Sodiq (2013) menjelaskan dampak negatif akibat perubahan
iklim terhadap sektor pertanian dapat menyebabkan mundurnya waktu tanam.
8

Pada awal tahun 2010 diperkirakan sekitar 1,2 juta ha tanaman padi musim
tanamnya mundur selama 10-30 hari akibat El Nino tahun 2009. Perubahan iklim
juga menyebabkan perubahan pola tanam, pada lahan kering tanaman beresiko
terkena kekeringan pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau lebih cepat,
tanaman juga rentan beresiko terkena angin kencang pada bulan Januari-Februari.
Perubahan iklim juga menyebabkan berkurangnya musim tanam karena
perubahan iklim global di kawasant tropis menyebabkan udara semakin kering
atau panas sehingga musim bertanam menjadi semakin pendek. Dampak
selanjutnya penduduk miskin di berbagai wilayah tropis akan mengalami bencana
rawan pangan. Selain itu dampak negatif lain yang disebabkan oleh perubahan
iklim adalah menurunnya luas produksi, penurunan kualitas produksi, peningkatan
hama dan penyakit tanaman, yang akhirnya berdampak bagi kerugian ekonomi
petani. Tingginya curah hujan menyebabkan petani hortikultura merugi.

Konsep Adaptasi
IPCC (2001) mendefinisikan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai
penyesuaian pada alam maupun sistem kehidupan manusia dalam rangka
merespon pergerakan iklim dan dampaknya yang merugikan atau mengurangi
peluang manfaat. Adaptasi tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa tipe yaitu
adaptasi antisipatif dan reaktif, adaptasi privat dan publik, serta adaptasi terencana
dan otonomi.
Smit dan Wandel (2006) menjelaskan bahwa dalam beberapa bidang ilmu,
adaptasi dimaknai sebagai respon terhadap resiko yang berhubungan dengan
bencana lingkungan dan kerentanan manusia atau kapasitas adaptifnya. Pada
pembahasan perubahan iklim, analisis adaptasi memiliki tujuan yang bermacam-
macam. Pendekatan adaptasi memperhitungan kerusakan yang diakibatkan oleh
skenario iklim jangka panjang dengan atau tanpa ajusmen. Analisis adaptasi
terhadap perubahan iklim berkembang mengikuti kesadaran terhadap perubahan
iklim itu sendiri. Tujuan utama dalam analisis adaptasi perubahan iklim adalah
untuk mengestimasi derajat dampak skenario perubahan iklim dapat dihadapi
dengan upaya mitigasi (pencegahan) atau adaptasi. Adaptasi bertujuan untuk
mengurangi dampak negatif perubahan iklim atau menyadari dampak positif
untuk menghindari bahaya.
Analisis adaptasi dapat dilakukan dengan menelaah penerapan praktek
adaptasi melalui investigasi terhadap kapasitas dan kebutuhan adaptif di suatu
wilayah atau komunitas dengan tujuan untuk mengidentifikasi maksud inisiatif
adaptasi atau memperbaiki kapasitas adaptasi. Hal ini memungkinkan untuk
mengidentifikasi dan mengembangkan strategi adaptasi khusus yang sesuai
dengan kebutuhan komunitas. Tujuan analisis adaptasi ini bukan untuk
memberikan skor terhadap upaya adaptasi atau pun kerentanan, juga bukan untuk
mengkuantifikasi dampak adaptasi. Fokus analisis adaptasi di tingkat komunitas
lebih untuk mendokumentasikan bagaimana sistem atau pengalaman komunitas
mengubah kondisi dan bagaimana proses pengambilan keputusannya yang
mungkin mengakomodasi aktivitas adaptasi atau memperbaiki kapasitas adaptif.
Analisis adaptasi ini lebih menekankan identifikasi pengalaman empiris
komunitas dibanding menggunakan variabel yang sudah ada. Identifikasi meliputi
pengalaman dan pengetahuian anggota komunitas terhadap kondisi mereka
9

meliputi sensitivitas komunitas, strategi adaptif, dan proses pegambilan keputusan


yang berhubungan dengan kapasitas adaptif dan resiliensi. Identifikasi dan
dokumentasi proses pengambilan keputusan adaptasi perubahan iklim komunitas
dapat diintegrasikan atau bersifat bottom up yang memungkinkan untuk
mengidentifikasi efektifitas strategi adaptasi. Tujuan analisis adaptasi ini adalah
untuk mengarusutamakan (mainstreaming) keseluruhan proses kegiatan adaptasi
dengan pengambilan keputusan di berbagai level. Analisis ini disebut juga analisis
berbasis komunitas yang menunjukkan kondisi interaksi bentuk-bentuk
keterpaparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptasi, untuk memeriksa
kebutuhan dan peluang adaptasi yang spesifik komunitas.

Konsep Kerentanan

Definisi kerentanan menurut IPCC (2000) adalah suatu kondisi sejauh


mana sistem alam atau sosial rentan mengalami kerusakan akibat perubahan
iklim, fungsi dari besarnya kejadian perubahan iklim, serta bagaimana
sesnsitivitas sistem terhadap perubahan iklimm dan kemampuannya untuk
menyesuaikan dengan perubahan iklim. Sistem yang sangat rentan adalah suatu
sistem yang sangat sensitif terhadap perubahan sederhana dalam iklim serta
memiliki kemampuan adaptasi yang terbatas.
Kerentanan menurut Olmos (2001) kerentanan merupakan kondisi dimana
sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan.
Kerentanan tergantung pada adaptasi yang telah dilakukan, kerentanan
didefinisikan dalam aspek kapasitas untuk beradaptasi dan kapasitas untuk
merespon stress. Mengetahui kerentanan merupakan titik awal untuk analisis
dampak perubahan iklim.
Kerentanan terhadap iklim dicirikan oleh tiga hal yaitu tingkat
keterpaparan (exposure), tingkat sensitivitas, dan tingkat adaptasi (IPCC 2007).
Tingkat keterpaparan diukur dari kedekatan properti atau sumber mata
pencaharian keluarga dengan pusat bencana yang diakibatkan oleh perubahan
iklim (banjir, bahaya longsor, dan kekeringan). Properti yang dimaksud misalnya
rumah, lahan pertanian, dan sumber mata pencaharian lainnya. Tingkat
keterpaparan ini sekaligus melihat upaya penanganan yang sudah dilakukan dan
tingkat efektivitas keberhasilan upaya yang dilakukan dalam mengurangi besarnya
dampak. Tingkat sensitivitas menunjukkan derajat suatu sistem yang terpengaruh
oleh perubahan iklim dan bagaimana sistem tersebut mampu responsif dengan
perubahan. Sementara itu kapasitas adaptif merupakan potensi atau kemampuan
suatu sistem mampu beradaptasi dengan adanya perubahan iklim.
Smit dan Wandel (2006) memberikan gambar model penelaahan
kerentanan melalui jejaring kerentanan (Gambar 1). Model analisis adaptasi ini
melihat keterhubungan antara keterpaparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas
adaptasi di level komunitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor spesifik yang
melekat dalam komunitas itu. Interaksi antara lingkungan dan tekanan sosial
mendeterminasikan keterpaparan (exposure) dan sensitivitas, sedangkan kapasitas
adaptif dibentuk oleh keragaman tekanan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Pada skala yang lebih besar digambarkan bahwa interaksi antara keterpaparan
(exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptif merepresentasikan kerentanan lokal
10

dan bentuk adaptasinya merupakan ekspresi dari kemampuan adaptif komunitas.


Suatu sistem yang lebih terpapar dan sensitif terhadap stimulus iklim akan lebih
rentan, namun jika kapasitas adaptifnya bagus maka kerentanannya dapat
tereduksi.

Gambar 1 Model hirarki jejaring kerentanan

Adaptasi merupakan manifetasi dari kapasitas adaptif. Sifatnya bisa


bermacam-macam dan bersifat relatif tergantung stimulusnya (antisipatif,
simultan, reaktif), intensif (otonomi, terencana), lingkup spasial (lokal, skala yang
lebih luas), dan bentuknya (teknologis, perilaku, finansial, kelembagaan, dan
informasional). Penentu kapasitas adaptif tergantung ruang dan waktu serta
memiliki fungsi berbeda dalam konteks yang berbeda.

Gambar 2 Kerangka konseptual untuk pendekatan dan penguatan kerentanan


11

Kelembagaan Lokal dalam Adaptasi Perubahan Iklim


Adaptasi perubahan iklim yang sukses mengurangi kerentanan jarang
terjadi jika dilakukan secara individu, pengurangan resiko kerentanan lebih efektif
jika dilakukan dengan mengkombinasikan strategi serta rencana di berbagai level
(Smit dan Wandel 2006). Tompkins dan Eakin (2012) menjelaskan bahwa
adaptasi terjadi di tingkat individu dan publik. Hubungan antara aksi privat dan
grup (publik), dapat diperhitungkan biaya dan keuntungannya dalam konteks
adaptasi dengan menggolongkannya pada empat macam hubungan yaitu adaptasi
publik untuk kepentingan publik, adaptasi publik untuk kepentingan privat (yang
lebih besar), adaptasi privat untuk kepentingan privat, dan adaptasi privat untuk
kepentingan publik.

1. Adaptasi publik untuk keuntungan publik


Diperlukan intervensi pemerintah untuk tipologi adaptasi ini. Perlakuannya
dilakukan untuk sarana umum dan barang publik seperti keamanan nasional,
kesejahteraan sosial, dan produktivitas ekonomi yang berkaitan dengan perubahan
iklim (misalnya kenaikan permukaan air laut dan kekeringan). Adaptasi ini
merupakan jaminan negara bagi warga negaranya dengan perencanaan dan
pembiayaan untuk aktivitas adaptasi. Siapa pun dapat memperoleh keuntungan
dari adaptasi ini bahkan mereka yang tidak terlibat dalam upaya adaptasi.

2. Adaptasi publik untuk keuntungan privat (yang lebih besar)


Perubahan iklim memiliki dampak yang berbeda pada setiap populasi
tergantung sensitivitas dan kapasitas adaptasinya terhadap perubahan. Keuntungan
adaptasi individu juga bersifat temporer dan menghadapi persoalan biaya investasi
untuk implementasinya. Dalam hal ini pemerintah dapat berperan untuk
memberikan subsidi kepada individu-individu untuk mendukung aksi adaptasi
yang dapat memberikan keuntungan bagi individu tersebut. Misalnya, kebijakan
pemotongan pajak untuk adopsi teknologi yang ramah lingkngan, subsidi
asuransi, investasi kampanye informasi yang dapat meningkatkan kapasitas
adaptasi individu. Mereka yang tidak termasuk dalam program-program yang
diberikan oleh pemerintah tidak dapat memperoleh keuntungan dari jenis adaptasi
ini.

3. Adaptasi privat untuk kepentingan privat


Keuntungan adaptasi yang dilakukan oleh individu akan dirasakan oleh
individu yang bersangkutan. Aset yang disediakan oleh individu untuk melakukan
adaptasi tidak akan sama tujuannya dengan individu yang lain.

4. Adaptasi privat untuk kepentingan publik


Keuntungan dari aktivitas individu atau privat tidak akan langsung kembali
kepada individu tersebut atau dengan kata lain tidak dapat terukur dan bersifat
abstrak. Aksi adaptasi yang dilakukan oleh individu baik secara sengaja maupun
tidak sengaja menjadi sebuah bentuk pelayanan publik. Sebagian kasus adaptasi
publik adalah produk dari aksi individual/privat. Produk aksi individual tersebut
dapat ditengarai melalui lima hal yaitu, deskripsi pemilik sumberdaya dan
sumberdaya yang dimaksud, adaptasi dibayai secara pribadi, jumlah harga biaya
12

ditanggung oleh pemilik sumberdaya, menciptakan barang untuk kepentingan


publik, bentuk keuntungan yang diperoleh dari adaptasi privat.
Adaptasi privat yang memberikan keuntungan bagi publik disalurkan
melalui dua aktivitas aktor yaitu aksidental dan deliberasi. Aksi aksidental dapat
terjadi melalui produk aksi yang lain, misalnya eksternalitas positif dari tujuan
aksi individual yang bermanfaat bagi publik seperti adopsi sistem pemanenan air
hujan akan memberikan keuntungan bagi kondisi sumberdaya air tanah.
Sedangkan, deliberasi terjadi melalui aksi yang dilakukan oleh salah satu dari tiga
tipe aktor: (i) individu yang menilai barang lebih dari biaya yang dikeluarkan dan
menyalurkan barang tersebut kepada yang lainnya; (ii) tipe altruis yang
termotivasi melalui faktor-faktor lain misalnya keinginan untuk menolong orang;
(3) aktor yang memiliki keuntungan atau kesejahteraan yang mendorong mereka
untuk menyalurkan sesuatu kepada yang lainnya. Penelaahan lebih lanjut
menjelaskan bahwa delibarasi lebih menunjukkan kondisi penyaluran barang
publik.

Gambar 3 Bentuk-bentuk barang publik yang disediakan secara privat dan


motivasi penyalurannya.
Menghubungkan aksi individu untuk menciptakan adaptasi bagi publik
menghadapi tantangan kelembagaan yang perlu dipahami sejak awal. Diperlukan
pengetahuan mengenai konteks kelembagaan yang meliputi siapa pengguna
sumberdaya privat, apa sumberdaya yang dikelola, dan apa aturan pengelolaan
adaptasi yang memiliki skala lebih luas, apa keuntungan dan biaya yang
diperlukan untuk adaptasi, siapa yang menanggung biaya dan memperoleh
keuntungan, dan apa aturan tata kelola (manajemen adaptasi). Diperlukan
pemahaman mengenai elemen-elemen tersebut untuk memperoleh instrumen
penyusunan kebijakan yang sesuai.
13

Petani dan Etika Subsistensi

Scott (1981) memberikan sebuah gagasan mengenai etika subsistensi pada


masyarakat petani. Etika tersebut muncul di kebanyakan masyarakat petani yang
pra-kapitalis akibat kekhawatiran akan mengalami kekurangan. Etika tersebut
merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas.
Satu panen yang buruk tidak hanya akan berarti kurang makan; agar dapat makan
orang mungkin terpaksa mengorbankan harga dirinya dan menjadi beban orang
lain, atau menjual sebagian dari tanahnya atau ternaknya sehingga memperkecil
kemungkinan mencapai subsitensi yang memadai tahun berikutnya.
Pola-pola resiprositas, kedermawanan tanah komunal, dan saling tolong-
menolong dalam pekerjaan, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang tak
terelakkan yang mungkin dialami satu keluarga petani dan yang tanpa pengaturan-
pengaturan dapat mengakibatkan keluarga tersebut jatuh ke bawah tingkat
subsistensi. Masalah yang dihadapi oleh keluarga petani adalah dapat
menghasilkan makanan yang cukup untuk makan sekeluarga, untuk membeli
barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan
yang tak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar. Etika subsistensi menurut Scott
ini merupakan kondisi eksploitasi tanpa pemberontakan. Etika subsistensi
berakar dalam kebiasaan-kebiasaan ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial
dalam masyarakat petani.
Perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani yang berorientasi
subsistensi merupakan akibat dari kenyataan bahwa rumah tangga petani
merupakan satu unit konsumsi dan unit produksi. Agar mampu bertahan dalam
satu unit maka keluarga tersebut pertama-tama harus memenuhi kebutuhannya
sebagai konsumen subsistensi sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Mereka
mengutamakan apa yang dianggap aman dan dapat diandalkan dibanding
mengejar keuntungan jangka panjang. Pada rumah tangga subsisten, tenaga kerja
seringkali merupakan satu-satunya faktor produksi yang dimiliki petani secara
relatif melimpah, maka ia mungkin melakukan banyak pekerjaan kecil supaya
subsistensinya terpenuhi. Petani lebih suka meminimumkan kemungkinan
terjadinya satu bencana daripada memaksimumkan penghasilan rata-ratanya
(prinsip menghindari resikodahulukan selamat). Bagi keluarga petani toleransi
resiko berbeda-beda menurut dekatnya sumber-sumber daya mereka kepada
kebutuhan subsitensi pokok. Keluarga dengan anggota lebih banyak memiliki
tingkat krisis subsistensi yang lebih besar.
Gagasan Scott mengenai etika subsistensi muncul dari dilema ekonomi
sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Oleh karena mereka
hidup begitu dekat dengan batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan cuaca
serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka rumah tangga petani tidak
mempunyai banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung keuntungan maksimal
menurut ilmu ekonomi neoklasik yang tradisional. Petani berusaha menghindari
kegagalan dan resiko (enggan resiko-risk averse) dengan meminimumkan
kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum (safety-first). Prinsip safety-first
(dahulukan selamat) melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan
moral dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis. Contoh: cara bertani pada lahan
yang terpencar-pencar, penggunaan lebih dari satu bibit. Implikasi dahulukan
selamat adalah bahwa ada satu perimeter defensif di sekitar kelaziman
14

subsistensi di mana resiko-resiko dihindari sebagai hal yang mengandung potensi


bencana, sedangkan di luar batas itu berlaku kalkulasi laba yang bersifat borjuis.
Bagi petani, jaminan terhadap krisis merupakan prinsip stratifikasi yang
lebih aktif dibandingkan dengan penghasilan. Petani-petani dengan mobilitas ke
bawah mungkin akan berusaha bertahan mati-matian pada garis batas di mana
meraka menghadapi risiko kehilangan sebagian besar dari kepastian yang mereka
miliki sebelumnya. Pada akhirnya petani akan melakukan strategi bertahan hidup
demi mempertahankan kecukupan pada rumah tangganya. Terdapat tiga sebab
utama mengapa petani melakukan strategi untuk bertahan yaitu: (1) fluktuasi-
fluktuasi hasil karena sebab alami (kerawanan ekologis); (2) fluktuasi-fluktuasi
pasar dunia (kerawanan harga); dan (3) fluktuasi hasil monokultur (kerawanan
monokultur). Untuk menghadapi fluktuasi tersebut petani melakukan empat
strategi utama yaitu: (1) Self-help: pengandalan pada bentuk-bentk setempat dari
usaha swadaya; (2) pPengandalan pada sektor ekonomi bukan petani; (3)
pengandalan pada bentuk-bentuk patronase dan bantuan yang didukung oleh
negara; (4) pengandalan pada struktur proteksi dan bantuan yang bersifat
keagamaan atau oposisi. Keempat strategi bertahan hidup tersebut tidak bersifat
eksklusif, artinya dapat berubah-ubah menurut waktu. Seorang petani bisa saja
menggunakan keempat pola tersebut sekaligus.

Strategi Penghidupan Rumah Tangga

Konsep livelhood telah banyak digunakan dalam berbagai tulisan


mengenai kemiskinan dan pembangunan pedesaan, namun demikian definisinya
dapat bermacam-macam tergantung dari sumbernya. Livelihood memiliki makna
kamus yaitu cara hidup (means of living). Ellis (2000) mengelaborasi definisi
livelihood yaitu:

A livelihood comprises the assets (natural, physical, human, financial, and


social capital), the activities, and the access to these (mediated by
institution and social relations) that together determined the living gained
by the individual or household).

Konstruksi livelihood harus dilihat sebagai sebuah proses yang terus


menerus dan tidak sama dari waktu ke waktu. Aset-asetnya dapat dibangun,
berkurang, ataupun dapat rusak begitu saja. Hal tersebut juga dipengaruhi leh tren
ekonomi yang lebih besar di level nasional dan bahkan level yang lebih luas.
Begitupun akses terhadap aset (sumberdaya dan kesempatan) yang dapat berubah
bagi individu maupun rumah tangga misalnya dipengaruhi oleh perubahan norma
dan kelembagaan sosial. Selanjutnya Ellis (2000) memberikan gambaran
mengenai kerangka kerja analisis livelihood pedesaan (Gambar 4). Rumah tangga
pedesaan merupakan unit sosial utama dalam kerangka analisis tersebut. Hal ini
berarti penggunaan istilah livelihood strategy atau strategi penghidupan di mana
rumah tangga sebagai unit sosialnya digunakan untuk melihat keberagaman
aktivitas berdasarkan aset dan perubahan kondisi sekitarnya. Di pedesaan atau
level komunitas, strategi penghidupan tunggal tidak dapat diaplikasikan, rumah
15

tangga akan melakukan strategi-strategi yang berbeda berdasarkan aset dan status
aksesnya terhadap aset tersebut.
Ellis (2000) menyatakan bahwa pengertian livelihood berbeda dengan
pendapatan (income), namun demikian keduanya berkaitan erat karena
pendapatan merupakan hasil dari livelihood yang paling dapat diukur. Ellis
membagi income ke dalam tiga kelompok yaitu: (1) Farm income; (2) Off-farm
income; (3) Non-farm income. Farm income merupakan pendapatan yang
dihasilkan dari pertanian baik berasal dari lahan milik sendiri maupun lahan sewa
dan bagi hasil. Off-farm income yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian,
sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan
lain-lain. Non farm income yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar
kegiatan pertanian yang meliputi upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian,
usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya:
sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh
migran yang pergi ke luar negeri.

A B C D E F
Livelihood Acces modified In context of Resulting in Composed of With Effects
platform by on

Social relations Trends NR-based Livelihood


Gender Population activities security
Class Migration Collection Income level
Age Technological Cultivation Income
Ethnicity change (food) stability
Relative prices Cultivation Seasonality
Macro Policy (non-food) Degrees of
National econ Livestock risk
trends Non-farm NR
World econ
trends

Assets Institution
Natural Rules and
capital customs
Physical Land tenure
capital Market in
Livelihood
Human practice
strategies
capital
Financial
capital
Social
capital

Organisations Shock Non-NR-based Env.


Associations Drought rural trade Sustainability
NGOs Floods other services Soils and
Local admin Pests rural land quality
State agencies Diseases manufacture Water
Civil war remitances Rangeland
other transfers Forests
Biodiversity

Sumber: (Ellis, 2000)

Gambar 4 Kerangka kerja untuk analisa kebijakan mikro pada livelihood pedesaan

Scoones (1998) juga telah membuat sebuah kerangka pemikiran mengenai


livelihood yang menghubungkan antara kondisi, konteks, dan kecenderungan yang
terjadi di masyarakat. Saleh (2014) menyatakan bahwa kerangka kerja Scoones
16

dapat digunakan pada skala yang berbeda-beda baik individu, rumah tangga,
organisasi kekerabatan, desa, daerah, atau bahkan negara. Berdasarkan kerangka
kerja Scoones tersebut penghidupan yang berkelanjutan dapat dinilai pada level-
level yang berbeda sesuai interaksi berbagai aspek. Kerangka kerja Scoone dapat
dilihat pada Gambar 5 Scoones membagi strategi penghidupan menjadi tiga yaitu:
(1) strategi intensifikasi/ekstensifikasi pertanian; (2) strategi diversifikasi
pendapatan; (3) strategi migrasi. Oleh Scoones disebutkan bahwa rumah tangga
dapat melakukan kombinasi kegiatan dan pilihan-pilihan yang dibuat untuk
mencapai kesejahteraan. Strategi tersebut meliputi cara-cara rumah tangga
merangkai berbagai kegiatan untuk memperoleh pendapatan, cara-cara
memanfaatkan berbagai aset, pilihan aset untuk invesatsi dan bagaimana rumah
tangga mempertahankan aset serta pendapatannya. Kerangka kerja Scoones
tercantum pada gambar 5.

Sumber: (Scoones, 1998)

Gambar 5 Kerangka kerja sustainable rural livelihoods


17

Kerangka Pemikiran

Asumsi dasar dari penelitian ini adalah: petani dataran tinggi telah dan
sedang melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi, di sektor pertanian
dampak besar yang dirasakan adalah perubahan siklusmusim kemarau dan
penghujan, dan perubahan curah hujan. Kedua perubahan ini akan menimbulkan
potensi tingginya kegagalan panen, selain itu petani akan kesulitan untuk
menentukan waktu memulai bercocok tanam karena ketidakpastian musim
kemarau dan musim hujan.
Perubahan iklim dalam penelitian ini mengikuti pengertian IPCC (2007)
bahwa perubahan iklim termasuk variabilitas iklim alami dan perubahan yang
disebabkan faktor manusia (antrophogenic) seperti pertumbuhan penduduk dan
aktivitas manusia. Pada sektor pertanian perubahan iklim dapat dicirikan dari
perubahan temperatur dan kejadian iklim ekstrem. Kejadian perubahan iklim
memberikan dampak bagi kehidupan pada aspek fisik dan ekologi, ekonomi, dan
sosial. Dampak tersebut mempengaruhi rumah tangga dan komunitas berdasarkan
lima aset yang dikuasai meliputi aset alam, aset manusia, aset keuangan, aset fisik,
dan aset sosial. Akses terhadap aset aset tersebut mempengaruhi strategi adaptasi
yang dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi dalam menghadapi
perubahan iklim. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani di
Dataran Tinggi Dieng dipengaruhi oleh lingkungan internal dan lingkungan
eksternal. Lingkungan internal meliputi lingkungna fisik yaitu pengelolaan lahan
dan pemukiman, serta lingkungan sosial yang meliputi nilai/norma, interaksi
sosial, dan sistem ekonomi. Lingkungan eksternal terdiri dari dua hal yaitu proses
kebijakan dan intervensi eksternal dalam proses-proses pembangunan yang terjadi
di Dataran Tinggi Dieng.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi dalam
menghadapi perubahan iklim mengarah pada adaptasi yang direncanakan
(planned adaptation) (Boer dan Kolopaking 2010 dalam Kolopaking 2011).
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi berkaitan dengan
kerentanan mereka terhadap dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Diperkirakan petani dataran tinggi memiliki strategi adaptasi yang berkaitan
dengan tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan dilihat
berdasarkan tingkat keterpaparan (exposure), tingkat sensitivitas (sensitivity), dan
kapasitas adaptif (adaptive capacity). Keberhasilan strategi adaptasi yang
dilakukan oleh rumah tangga petani dapat menjadi pendukung bagi penguatan
kelembagaan adaptasi petani di tingkat lokal dan mendukung keberlanjutan
strategi penghidupan pada rumah tangga petani. Keberlanjutan strategi
penghidupan dapat terjadi apabila strategi adaptasi perubahan iklim yang telah,
sedang, dan akan dilakukan oleh rumah tangga petani dapat melihat aspek
pengurangan resiko terhadap perubahan iklim dan dapat meningkatkan peluang
dari kejadian yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Gambaran mengenai alur
kerangka berpikir penelitian ini tercantum pada Gambar 6.
18

Perubahan iklim (IPCC,


2007): variabilitas iklim Perubahan iklim sektor
alami, antrophogenic pertanian: perubahan
(pertumbuhan penduduk temperatur dan kejdian
dan aktvitas manusia) iklim ekstrem

Dampak perubahan iklim: RT Petani Dataran Tinggi


1. Fisik dan ekologi
2. Ekonomi Lingkungan internal
3. Sosial Lingkungan fisik: Lingkungan
pengelolaan lahan dan eksternal
pemukiman Proses Kebijakan
Lingkungan sosial: Intervensi
RT/Komunitas nilai/norma, interaksi eksternal
sosial, sistem ekonomi
Aset

Alam

Strategi adaptasi perubahan iklim


Sosial
Manusia Antisipatif
Otonom
Terencana

Fisik Keuangan

Kerentanan
Keterpaparan (exposure) Strategi penghidupan
Sensitivitas (sensitivity) berkelanjutan
Kapasitas Adaptif (adaptive Mengurangi resiko
capacity) Meningkatkan peluang

Keterangan:

Mempengaruhi
Saling terkait

Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian strategi adaptasi perubahan


iklim petani dataran tinggi
19

METODOLOGI

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-interpretatif yang dikuatkan
dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif mengandalkan grounded research
dan fenomenologi untuk melihat interpretasi-konstruktif dari tineliti mengenai
pemaknaan atas fenomena perubahan iklim yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng.
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didukung dengan melakukan
wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara terstruktur.
Wawancara mendalam berguna untuk memperoleh data/infomasi tentang
pengalaman, pendapat-reflektif, perasaan, pemaknaan/pemahaman subjektif k
atas berbagai hal terkait dengan proses-proses adaptasi yang terjadi pada petani
dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim. Juga memperoleh data
bagaimana upaya adaptasi tersebut dilakukan supaya bisa melembaga dan mampu
mendukung kebijakan di tingkat daerah. Sumber data/informasi dalam hal ini
adalah resource persons (tokoh masyarakat, pemerintah desa, panutan
masyarakat) yang bertindak atas nama dirinya sendiri maupun atas nama
masyarakat luas (menceritakan apa yang terjadi pada masyarakat dimana resource
person menjadi bagiannya). Prinsip penelitian fenomenologi yang dipilih sebagai
teknik kajian untuk memahami proses pengorganisasian/perencanaan strategi
adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani di dataran tinggi.
Wawancara mendalam akan digunakan untuk menggali informasi dari tineliti
(subjek/orang yang diteliti). Tineliti menceritakan pandangannya dan pendapatnya
tanpa intervensi dan interpretasi sedikitpun dari peneliti.
Wawancara terstruktrur (structured interview) mengacu pada situasi ketika
seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap
responden dengan kategori jawaban tertentu/terbatas (Fontana dan Frey 1997).
Peneliti menyediakan sedikit ruang bagi variasi jawaban, kecuali jika
menggunakan metode pertanyaan terbka (open-ended question) yang tidak
menuntut keteraturan. Jawaban untuk setiap pertanyaan dicatat berdasarkan skema
kode (coding scheme). Penggunaan wawancara terstruktur adalah untuk
meminimalisasi kesalahan-kesalahan. Dalam setting wawancara terstruktur hanya
ada sedikit kelenturan (flexibility) terkait dengan cara pertanyaan seharusnya
disampaikan atau bagaimana jawaban diberikan. Wawancara terstruktur dengan
kuesioner ini dilakukan untuk menilai kerentanan rumah tangga petani terhadap
perubahan iklim.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng di Kecamatan
Batur, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian menganalisa wilayah Dataran Tinggi
Dieng sebagai satu kawasan yang terdiri dari 8 Desa yaitu Desa Batur, Desa
Sumberejo, Desa Pekasiran, Desa Kepakisan, Desa Karang Tengah, Desa Bakal,
Desa Pesurenan, dan Desa Dieng Kulon. Kemudian untuk menganalisa kondisi
spesifik desa diambil studi kasus di Desa Batur. Selain itu, penelitian juga
dilakukan di berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kabupaten
Banjarnegara yang meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),
20

Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan


Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November-Desember tahun
2014.

Unit Analisis dan Subjek Penelitian

Unit analisis utama dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani di
Desa Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang terletak di Dataran
Tinggi Dieng. Rumah tangga dikelompokkan berdasarkan tipe penguasaan lahan
yang terdiri dari rumah tangga yang tidak menguasai lahan (0 ha), rumah tangga
dengan penguasaan lahan 0,1 ha x < 0,3 ha, rumah tangga dengan penguasaan
lahan 0,3 ha x < 0,5 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,5 ha x < 1
ha, dan rumah tangga dengan penguasaan lahan 1 ha. Unit analisis
pendukungnya terdiri dari kelembagaan petani yang terdapat di tingkat komunitas,
desa, maupun daerah yang meliputi Kelompok Tani di Desa Batur, Asosiasi
Penangkar Benih Kentang Dieng, Komunitas Petani Kentang Dieng, Pemerintah
Desa Batur, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Banjarnegara
yang meliputi Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten
Banjarnegara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, Dinas
Pertanian Kabupaten Banjarnegara, dan lembaga pemerintah non-departemen
yaitu Badan Penanggunalan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara,
dan penyuluh pertanian.
Subjek penelitian sesuai dengan unit analisis ini dipilih berdasarkan teknik
purposive sampling sesuai dengan kriteria penguasaan lahan. Metode purposive
sampling diberlakukan dengan mempertimbangkan kriteria dari responden yang
diwawancarai yaitu sebagai responden yang diharapkan bisa tahu mengenai
informasi yang diharapkan oleh peneliti. Total rumah tangga yang menjadi subjek
penelitian adalah 30 rumah tangga dan subjek dari unit analisis pendukung terdiri
dari 16 orang. Rincian subjek penelitian tersebut tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Subjek penelitian dari unit analisis utama dan unit analisis pendukung
No Unit Analisis Jumlah
1 Rumah tangga non penguasa lahan 8 rumah tangga
2 Rumah tangga penguasa lahan 0,1 ha x < 0,3 ha 7 rumah tangga
3 Rumah tangga penguasa lahan 0,3 ha x < 0,5 ha 5 rumah tangga
4 Rumah tangga penguasa lahan 0,5 ha x < 1 ha 5 rumah tangga
5 Rumah tangga penguasa lahan 1 ha 5 rumah tangga
6 Kelompok Tani 4 orang
7 Asosiasi Penangkar Benih Kentang Dieng 1 orang
8 Pemerintah Desa Batur 1 orang
9 Bappeda Kabupaten Banjarnegara 3 orang
10 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara 1 orang
11 Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara 1 orang
12 Badan Penanggulangan Bencana Daerah 1 orang
13 Penyuluh pertanian Kecamatan Batur 1 orang
21

Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer berasal dari hasil wawancara dan observasi langsung, sedangkan data
sekunder berasal dari literatur, dokumen, film, dan data-data statistik yang
berhubungan dengan lokasi penelitian. Data penelitian berupa data kualitatif dan
data kuantitatif. Data kualitatif bersumber dari hasil wawancara, literatur,
dokumen, film, dan sumber yang relevan. Sedangkan data kuantitatif utama dalam
penelitian bersumber dari dari data statistik berupa data Kecamatan Batur Dalam
Angka Periode Tahun 1990-2014. Data kuantitatif lainnya diperoleh dari sumber
literatur pendukung yang sesuai dengan konteks penelitian.

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data mengikuti tahapan analisis yang digagas oleh Huberman dan
Miles (1997) dimana analisis data menggunakan model interaktif dan penyajian
datanya bersifat sekuensial dan interaktif. Analisis data meliputi tiga subproses
yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan
keputusan/verifikasi.

1. Reduksi data

Reduksi data berarti bahwa kesemestaan potensi yang dimiliki oleh data
disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hasil catatan lapangan,
wawancara, serta data pendukung yang tersedia dalam penelitian ini dirangkum
(data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan
(clustering), dan penyajian cerita secara tertulis. Hasil catatan lapangan dari
penelitian ini dirangkum dan dikelompokkan, kemudian dianalisa sesuai dengan
tujuan penelitian. Hasil wawancara terstruktur terutama untuk mengetahui
kerentanan rumah tangga petani terhadap perubahan iklim di-coding sesuai
dengan panduan kuesioner (lihat lampiran 7) kemudian dilakukan skoring.

Skor kumulatif per variabel = Jumlah skor sub variabel


Jumlah skor tertinggi sub variabel

Skoring dari setiap variabel keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas


adaptasi dihitung mean (rata-rata) dari setiap komponennya. Kemudian hasil
rataan tersebut dinilai selisihnya antara nilai terendah dan nilai tertinggi yang
kemudian dibagi 5 sesuai dengan golongan penguasaan lahan di tingkat rumah
tangga petani. Selanjutnya mengikuti Boer (2010), kerentanan diklasifikasikan
dalam tipologi rendah, sedang (menengah) dan tinggi.

Tingkat kerentanan = Skor Keterpaparan x Skor Sensitivitas


Skor Kapasitas Adaptasi
22

2. Penyajian data

Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk teks naratif berupa
deskripsi dari semua informasi yang diperoleh di lapangan. Data juga disajikan
dalam bentuk gambar, diagram, dan matriks. Sajian data dan kesimpulannya
saling memengaruhi satu sama lain. Penyajian data hasil analisis merupakan
perpaduan dari rangkuman hasil penelitian di lapangan, keterhubungan dengan
teks analitik, dan hasil analisis sebagaimana digambarkan pada Gambar 7.

Mengajukan analisis ulang

Memadukan atau mengelaborasi

Melakukan perbandingan

Memahami dan memahamkan

PENYAJIAN DATA TEKS ANALITIK

Merangkum

Melihat tema, pola, atau kelompok

Menemukan hubungan

Mengembangkan penjelasan

Sumber: Huberman dan Miles (1997)


Gambar 7 Alur analisis data penelitian

3. Verifikasi

Tahapan verifikasi dilakukan terus menerus sesuai dengan data yang


ditemukan serta dilakukan pengecekan ulan untuk memastikan keabsahan hasil
temuan.
23

4 DATARAN TINGGI DIENG DARI MASA KE MASA

Sejarah dan Legenda Dataran Tinggi Dieng

Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan bernilai budaya


tinggi dan merupakan salah satu pusat kebudayaan hindu pada masanya. Supeno
et al (2014) menjelaskan bahwa sekitar abad ke-8 Masehi Dinasti Wangsa
Sanjaya membangun situs percandian di komplek Dataran Tinggi Dieng. Candi
Dieng dibangun khusus untuk peribadatan umat hindu dan berlokasi di lembah
Dataran Tinggi Dieng yang subur. Dikutip dari Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara (2012) banyak peninggalan masa hindu di komplek candi berupa
arca dewa seperti Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha, dan lain-lain.
Masyarakat setempat menamai candi dengan nama tokoh pewayangan pada cerita
Mahabarata seperti Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, Candi
Bima, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa.
Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan
diperkirakan nama-namanya diberikan setelah bangunan candi tidak digunakan
lagi sekitar abad ke-9 Masehi. Bangunan candi-candi di Dieng disusun dari batu
jenis andeshif. Batu-batu tersebut berasal dari gunung Pakuaja, yaitu sebuah
gunung yang berada di sebelah selatan kompleks candi (Soehadha 2013).
Candi dan prasasti yang ada di kawasan Dieng dianggap sebagai bangunan
historis paling awal yang ditemukan di Jawa. Peradaban Dieng telah mengalami
sivilisasi dan historisasi masif dan luas hingga membentuk mata air peradaban
Nusantara. Ragam artefak dan prasasti itu menjadi bukti arkeologis hingga posisi
Dieng dianggap sebagai poros peradaban Jawa. Peradaban Dieng diduga
melahirkan wangsa-wangsa besar yang menguasai Jawa dalam bentuk kerajaan,
yakni Wangsa Syailendra dan Sanjaya (arkeologi.web.id). Soehadha (2013)
menjelaskan bahwa Dieng masa lalu merupakan salah satu pusat peradaban
Hindu. Masyarakat Dieng pada waktu itu menganut agama Hindu pada masa
Kerajaan Mataram Kuno. Setelah masuknya pengaruh Islam yang dibawa oleh
para wali di Jawa, secara berangsur masyarakat Dieng menganut Islam. Meskipun
sudah menganut Islam, namun religiusitas masyarakat masih diwarnai dengan
praktek ritual bernuansa Hindu yang kental. Salah satu ritual bernuansa Hindu
yang masih dilaksanakan masyarakat adalah ritual ruwatan anak berambut gimbal.
Menurut keyakinan masyarakat Dieng, tumbuhnya rambut gimbal pada anak-anak
di Dieng dianggap sebagai fenomena yang hanya dialami oleh penduduk di sekitar
Dataran Tinggi Dieng.
Anak berambut gimbal atau dikenal dengan sebutan anak Bajang
dipercaya oleh masyarakat keturunan dari pemuka masyarakat Dieng pada era
Kerajaan Mataram Kuno yang dipanggil Kyai Kolodete. Pada mulanya anak-anak
berambut gimbal ini lahir normal sebagaimana anak-anak lain pada umumnya,
namun pada satu waktu mengalami demam tinggi dan rambutnya menjadi gimbal.
Anak gimbal dianggap memiliki keistimewaan dan segala keinginannya harus
dituruti karena merupakan kehendak dari leluhur. Menurut Soehadha (2013)
terdapat dua pendapat berbeda tentang penyebab terjadinya rambut gimbal
menurut penafsiran masyarakat setempat. Sebagian percaya bahwa tumbuhnya
rambut gimbal disebabkan oleh pengaruh makhluk halus yang merasuki jiwa
24

anak-anak sebagai bagian dari pengaruh Tumenggung Kolo Dete. Sebagian


masyarakat yang lain menganggap bahwa penyebab tumbuhnya rambut gimbal
disebabkan oleh pengaruh cuaca atau gejala alam dan kebiasaan masyarakat yang
malas menyisir rambut.
Penelitian Damayanti (2011) memberikan interpretasi bahwa anggapan
masyarakat mengenai keistimewaan perilaku anak gimbal sebagai keturunan
leluhur Ki Kolodete dapat diputus ketika diadakan upacara ruwat potong rambut.
Perilaku-perilaku yang melekat pada anak gimbal akan hilang setelah rambutnya
dipotong. Pemahaman tentang ruwat ini menghasilkan dua terminologi prosesi
ruwat (Soehadha 2013). Pertama, ruwat rambut gimbal merupakan ritual murni
yang berangkat dari keyakinan masyarakat Dieng bahwa anak berambut gimbal
adalah anak istimewa yang patut disyukuri dengan cara melaksanakan ruwat pada
waktu rambutnya hendak dipotong. Keyakinan ini cukup ekstrem bahwa anak-
anak rambut gimbal merupakan penjelmaan roh-roh gaib pada anak berambut
gimbal. Kedua, rambut gimbal merupakan gejala patologis yang bersumber dari
faktor genetik/keturunan. Sebagai bentuk penghormatan kepada pendahulu, warga
Dieng melaksanakan satu bentuk ritual khas bernuansa lokal dalam bentuk
syukuran keluarga. Gesekan dua terminologi ruwat inilah yang saat ini membawa
tradisi ruat keluarga menjadi ruwat publik yang berorientasi pada pasar wisata
Dieng. Ruwat rambut gimbal telah dilakukan secara masal melalui kegiatan wisata
yang secara khusus didesain dalam bentuk festival.
Kekhasan sejarah dan legenda yang ada di Dataran Tinggi Dieng tersebut
memberikan suatu kenyataan bahwa proses sosial, ekonomi, maupun kondisi
ekologi yang ada saat ini merupakan bagian dari proses panjang pemahaman
masyarakat tentang dari mana asal-usul mereka. Bangunan candi dan kepercayaan
masyarakat Dieng mengenai tradisi-tradisi lokal mereka merupakan bagian diri
sisi religiusitas orang jawa yang menunjukkan kekhasan perilaku masyarakat
Dataran Tinggi Dieng. Sebagaimana Geertz (1993) menyatakan bahwa
kepercayaan orang jawa meliputi tatanan kosmis mengenai keterhubungan antara
kepercayaan (agama) dengan perilaku di dunia nyata sehari-hari. Masyarakat di
Dataran Tinggi Dieng sebagaimana orang jawa pada umumnya menggunakan
konsep rasa (Geertz 1993) yang meliputi akal-rasa-perasaan-makna ("sense-
taste-feeling-meaning") untuk melihat setiap gejala yang terjadi di lingkungannya.

Kondisi Geografis dan Iklim Dataran Tinggi Dieng dan Lokasi Penelitian
(Desa Batur)

Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang terlingkup dalam penelitian ini


terletak di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Terdiri dari delapan desa
yaitu Batur (1.212,14 ha), Sumberejo (792,93 ha), Pesurenan (154,42 ha), Bakal
(484,85), Dieng Kulon (337,85 ha), Karangtengah (488,81 ha), Kepakisan (526,88
ha), dan Pekasiran (719,22 ha). Desa dengan area paling luas adalah Desa Batur
yang menjadi lokasi spesifik dari penelitian ini. Ketinggian kawasan Dataran
Tinggi Dieng ini berkisar antara 1.609 mdpl di Desa Sumberejo hingga 2.093
mdpl di Desa Dieng Kulon. Secara geografis Kecamatan Batur terletak di bagian
utara dan timur wilayah Kabupaten Banjarnegara dengan batas wilayah sebagai
berikut:
25

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Batang


Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pejawaran
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa

Sumber: www.banjarnegarakab.go.id

Gambar 8 Peta Kecamatan Batur

Secara geografis wilayah Dataran Tinggi Dieng di Kecamatan Batur


berjarak 41 km (Desa Sumberejo) dan 54 km (Desa Dieng Kulon). Jarak antar
desa di dalam kecamatan berkisar antara 1 12 km. Desa Batur sebagai lokasi
penelitian, berjarak 42 km dari pusat kabupaten dan menjadi pusat pemerintahan
kecamatan. Desa Batur merupakan desa terluas di Kecamatan Batur dan terdiri
dari 13 Rukun Warga (RW) yang masing-masing diketuai oleh kepala dusun, serta
mencakup 53 Rukun Tetangga (RT). Batas Desa Batur meliputi:

Sebelah Utara : Desa Gerlang Blado Kabupaten Batang


Sebelah Timur : Desa Sumberejo
Sebelah Selatan : Desa Ratamba dan Desa Penusupan Kecamatan
Pejawaran
Sebelah Barat : Kecamatan Wanayasa dan Kecamatan Pejawaran.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng dikelilingi oleh 7 gunung dengan


ketinggian antara 2.094 - 2.722 mdpl (meter di atas permukaan laut). Gunung-
gunung tersebut yaitu yaitu Gunung Petarangan, Gunung Prahu, Gunung Sipandu,
Gunung Alang, Gunung Pangonan (2.144 mdpl), Gunung Nagasari (2.351 mdpl),
dan Gunung Gajah Mungkur (2.094 mdpl).
26

Tabel 2 Gunung-gunung dan ketinggiannya di Dataran Tinggi Dieng


No Gunung Ketinggian (mdpl)
1 Gunung Petarangan 2.722
2 Gunung Prahu 2.565
3 Gunung Sipandu 2.241
4 Gunung Alang 2.210
5 Gunung Pangonan 2.144
6 Gunung Nagasari 2.351
7 Gunung Gajah Mungkur 2.094
Sumber: Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)

Selain itu kawasan Dataran Tinggi Dieng juga dilewati sungai atau kali
yang terdiri dari Kali Bojong, Kali Merawu, Kali Princingan, Kali Panaraban,
Kali Dolog, Kali Siton, Kali Putih, dan Kali Tulis. Kali-kali tersebut memiliki
muara akhir di waduk pembangkit listrik Mrica atau Waduk Panglima Besar
Jenderal Soedirman. Apabila terjadi longsor di kawasan Dataran Tinggi Dieng
maka berpengaruh pada sedimentasi waduk tersebut.

Tabel 3 Sungai-sungai dan panjangnya yang melewati Dataran Tinggi Dieng


No Gunung Panjang (km)
1 Kali Bojong 3
2 Kali Merawu 13,6
3 Kali Princingan 2
4 Kali Panaraban 4
5 Kali Dolog 3
6 Kali Siton 6
7 Kali Putih 6
8 Kali Tulis 15
Sumber: Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)

Kawasan Dataran Tinggi Dieng juga merupakan kawasan vulkanik yang


memiliki beberapa kawah aktif meliputi Kawah Timbang, Kawah Sikidang,
Kawah Upas, Kawah Sileri, Kawah Condrodimuko, Kawah Sibanteng, dan
Kawah Telogo Terus. Selain Kawah, terdapat juga telaga sebagai salah satu
sumber mata air utama untuk pertanian yaitu Telaga Balekambang, Telaga
Sikidang, Telaga Sewiwi, Telaga Merdada, Telaga Nirmala di Gunung Pangonan,
dan satu sumur besar yang disebut Sumur Jalatunda.
Kondisi geografis Dataran Tinggi Dieng menunjukkan sebuah kawasan
dengan dataran yang berbukit dan bergelombang. Kawasan ini merupakan area
tangkapan (catchment area) dan merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai
(DAS) Serayu. Lahan-lahan di Dataran Tinggi Dieng 57% digunakan untuk lahan
pertanian bukan sawah (hortikultur) dan 43% lainnya digunakan untuk peruntukan
lain. Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa hanya Desa Sumberejo dan
Dieng Kulon yang penggunaan lahan pertaniannya lebih kecil dari lahan non
pertanian. Desa-desa lain penggunaannya lebih banyak untuk kegiatan pertanian
yaitu Desa Batur (69 %), Pesurenan (56 %), Bakal (61 %), Karangtengah (69 %),
Pekasiran (61 %), dan Kepakisan (78 %). Fakta penggunaan lahan yang terdapat
27

pada Tabel 4 menunjukkan bahwa area pertanian terluas di Dataran Tinggi Dieng
yang terlingkup di Kecamatan Batur adalah di Desa Batur yang merupakan desa
terluas. Area pertanian yang merupakan tegalan mencapai dua hingga delapan kali
lipat dibanding desa-desa lainnya.

Tabel 4 Penggunaan lahan di Kecamatan Batur


No Desa Tanah Darat (ha) Kolam Lain-lain Jumlah
Tegalan Pekarangan (ha) (ha) (ha)
1 Batur 844,432 67,49 1 299,22 1.212,143
2 Sumberejo 527,857 131,272 - 199,700 792,932
3 Pesurenan 86,446 60,511 - 7,463 154,42
4 Bakal 298,625 58,176 - 127,05 484,84
5 Dieng Kulon 100,603 49,856 - 157,547 337,846
6 Karangtengah 341,08 50,711 - 97,04 488,811
7 Pekasiran 524,807 19,825 - 174,986 719,217
8 Kepakisan 329,975 19,572 0,5 182,736 526,862
JUMLAH 3.047,705 458,362 1,5 1.209,543 4.717,1
Sumber: Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)

Dataran Tinggi Dieng merupakan area yang subur untuk pertanian dengan
kondisi tanag berjenis andosol, regasol, olivial, dan glie humus. Tanah Andosol
ada di setiap desa dan berkombinasi dengan jenis tanah lainnya. Jenis tanah di
Desa Batur merupakan asosiasi dari jenis tanah glie humus dan olivial kelabu
serta asosiasi andosol coklat dan regasol coklat. Klasifikasi lengkap tentang jenis
tanah di Kecamatan Batur terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis tanah di masing-masing desa di Kecamatan Batur


No Desa Jenis Tanah
1 Batur Asosiasi glie humus & olivial kelabu; Asosiasi andosol
coklat & regasol coklat
2 Sumberejo Asosiasi glie humus & olivial kelabu; Asosiasi andosol
coklat & regasol coklat
3 Pesurenan Asosiasi andosol coklat & regasol coklat
4 Bakal Asosiasi andosol coklat & regasol coklat
5 Dieng Kulon Asosiasi andosol coklat & regasol coklat
6 Karangtengah Asosiasi andosol coklat & regasol coklat
7 Pekasiran Asosiasi andosol coklat & regasol coklat
8 Kepakisan Asosiasi andosol coklat & regasol coklat
Sumber: Kecamatan Batur Dalam Angka (2002)

Dataran Tinggi Dieng merupakan wilayah dengan iklim tropis sejuk.


Suhu pada siang hari berkisar antara 150 - 200 C, pada malam hari dapat berada di
bawah angka tersebut sekitar 180 - 30 C. Kelembaban udara berkisar antara 84-85
%. Supeno et al (2014) menjelaskan bahwa pada Bulan Juli atau awal Agustus
terdapat tiga hari dimana suhu udara berada di nol derajat hingga menghadirkan
hujan salju, yang disebut oleh masyarakat sebagai embun upas atau embun racun
28

yang dapat merusak tanaman perdu, termasuk tanaman horikultur yang menjadi
andalan petani dan menyebabkan petani mengalami kerugian hingga sampai
ratusan juta rupiah.
Musim hujan dan musim kemarau terjadi silih berganti sepanjang tahun.
Pada umumnya bulan basah lebih banyak dibanding bulan kering. Pada Tahun
2011 curah hujan tahunan di Kecamatan Batur sebanyak 3.240 mm dengan jumlah
hari hujan 127 hari. Pada Tahun 2010 jumlah hari hujan lebih banyak yaitu 209
hari namun curah hujan lebih rendah yaitu 3.081 mm. Kondisi iklim ini bersifat
homogen di Kawasan Dataran Tinggi Dieng.

Kondisi Kependudukan dan Sosial Ekonomi di Dataran Tinggi Dieng

1. Kondisi Demografi

Berdasarkan data Kecamatan Batur Dalam Angka (2013) diketahui jumlah


penduduk di Dataran Tinggi Dieng yang terlingkup di Kecamatan Batur adalah
sejumlah 37.206 jiwa dengan proporsi laki-laki sebanyak 18.924 jiwa dan
perempuan sebanyak 18.282 jiwa. Jumlah tersebut meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya dan berdasarkan pola pertumbuhan penduduk diketahui bahwa
jumlah penduduk di Kecamatan Batur saat ini jumlahnya meningkat sebanyak
6.546 jiwa atau sebesar 0,82 % dibanding jumlah penduduk pada tahun 1990.
Kepadatan penduduk di Dataran Tinggi Dieng pada tahun 2013 dengan luas
wilayah 47,17 km2 adalah 788,76 jiwa/ km2, jumlah ini berkurang dari kondisi
kepadatan pada tahun 2010 yaitu 829 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk di
Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur periode dekade 1990-2000 adalah 0,85
kemudian meningkat menjadi 0,92 pada dekade 2000-2010 (Tabel 6).

Tabel 6 Perkembangan jumlah penduduk di Kecamatan Batur menurut desa tahun


1990-2010

No Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk Laju


per km2 Pertumbuhan
Penduduk
1990 2000 2010 1990 2000 2010 1990- 2000-
2000 2010
1 Batur 9959 10078 10916 211 213 231 0,98 0,92
2 Sumberejo 3943 5183 5578 84 110 118 0,76 0,92
3 Pesurenan 2084 2452 2747 44 52 58 0,85 0,89
4 Bakal 3108 3607 3912 66 76 83 0,86 0,92
5 Dieng Kulon 2648 3070 3303 56 65 70 0,86 0,93
6 Karangtengah 4075 4546 4693 86 96 99 0,90 0,97
7 Pekasiran 3691 4605 5114 78 98 108 0,80 0,90
8 Kepakisan 1972 2456 2846 42 52 60 0,80 0,86
JUMLAH 30660 35997 39109 650 763 829 0,85 0,92
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 1990, 2001, 2011

Dilihat dari struktur penduduk berdasarkan kelompok usia, pada tahun


2013 sebanyak 65 % penduduk di Kecamatan Batur adalah penduduk usia
produktif (15-64 tahun). Kelompok usia terbesar berikutnya adalah penduduk usia
29

0-14 tahun sebanyak 26 % dan kelompok usia lanjut (di atas 64 tahun) sebanyak 9
%. Rasio beban tanggungan (dependency ratio) di Kecamatan Batur adalah
sebesar 53,19 % yang berarti setiap orang yang berusia kerja (dianggap produktif)
mempunyai tanggungan sebanyak 53 orang yang belum produktif (0-14 tahun)
dan dianggap tidak lagi produktif (di atas 64 tahun). Rasio beban tanggungan
tersebut terbagi ke dalam 39,89 % untuk rasio beban tanggungan umur muda
(youth dependency ratio) dan 13,31 % untuk rasio beban tanggungan umur tua
(old dependecy ratio).

Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk serta rasio ketergantungannya di


Kecamatan Batur tahun 2013

Kelompok Usia Jumlah %


Usia Muda (0-14 Tahun) 12.066 26
Usia Produktif (15-64 30.249 65
Tahun)
Usia Tua (> 64 Tahun) 4.026 9
Jumlah Penduduk 46.341 100
Rasio Ketergantungan 53,19
Sumber: Kecamatan Batur Dalam Angka (2014)

Apabila dilihat perbandingan rasio ketergantungan antar desa diketahui


bahwa Desa Kepakisan pada tahun 1990 memiliki rasio ketergantungan tertinggi
dan Desa Pesurenan pada tahun yang sama memiliki rasio ketergantungan
terendah. Pada tahun 2002, Desa Batur memiliki rasio ketergantungan tertinggi
dan Desa Pesurenan masih dalam posisi rasio ketergantungan penduduk yang
terendah. Pada tahun 2013 rasio ketergantungan tertinggi terdapat di Desa
Pekasiran.
Selanjutnya secara keseluruhan, apabila dibandingkan dengan kondisi
pada dekade 1990-an diketahui bahwa rasio ketergantungan memperlihatkan
kondisi yang terus menurun hingga tahun 2002 dan 2013. Hal ini menunjukkan
bahwa beban yang ditanggung oleh usia produktif menjadi semakin sedikit. Rasio
beban tanggungan di Desa Batur pada tahun 1990 berada di angka 86 %, pada
tahun 2002 menjadi 77 %, dan menurun pada tahun 2013 menjadi 53%.
Komposisi penduduk pada tahun 2013 didominasi oleh usia produktif antara 15
hingga 64 tahun yaitu sebanyak 65 %. Usia tua (di atas 64 tahun) hanya 9 % dan
usia muda berada di presentase 26 %. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa di
Kecamatan Batur sudah hampir mencapai situasi bonus demografi. Tenaga kerja
di usia muda banyak terserap di sektor pertanian.
30

Rasio Beban Tanggungan di Kecamatan Batur Tahun


1990, 2002, dan 2013
160
140
120
100
80
%

60 1990
40 2002
20
0 2013

Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur dalam Angka Tahun 1990, 2003, dan 2014

Gambar 9 Perbandingan rasio beban tanggungan penduduk di Kecamatan Batur


tahun 1990, 2002, dan 2013

Perbandingan Sex Ratio di Kecamatan Batur Periode 1990-2013

120

S 100
e
x 80 1990
1994
R 60
a 1998
t 40
i
2002
o 20 2006
0 2010
2013

Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur dalam Angka Tahun 1990, 2003, dan 2014

Gambar 10 Perbandingan sex ratio penduduk di Kecamatan Batur periode 1990


2013

Dari sisi perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan (sex ratio) di


Kecamatan Batur pada tahun 2013 diketahui sejumlah 102,17 artinya penduduk
laki-laki relatif lebih banyak dibanding jumlah penduduk perempuan. Pada tahun
yang sama sex ratio terbesar terdapat di Desa Dieng Kulon sejumlah 109,13 dan
terkecil di Desa Karang Tengah sejumlah 96,63. Di Desa Batur, rasio jenis
kelamin menunjukkan 102,08 pada tahun 2013 yang meningkat dari jumlah di
31

tahun 1990 yaitu 90. Berdasarkan perbandingan data tahun 1990 2013 tampak
kecenderungan naiknya jumlah penduduk laki-laki dibanding penduduk
perempuan.

2. Kondisi Kemiskinan
Menurut data TNP2K (2012), di Kecamatan Batur terdapat rumahtangga
dan individu dengan kondisi kesejahteraan terendah di Indonesia yang masing-
masing terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, rumah tangga dengan kondisi
kesejahteraan sampai dengan 10 % terendah di Indonesia berjumlah 967 rumah
tangga dengan 4.351 individu. Kedua, rumah tangga dengan kondisi kesejahteraan
sampai dengan 11 % - 20 % terendah di Indonesia berjumlah 1.174 rumah tangga
dengan 4.535 individu. Ketiga, rumah tangga dengan 21 % - 30 % terendah di
Indonesia berjumlah 1.374 rumah tangga dengan 4.606 individu. Di antara 1.374
rumah tangga dengan kesejahteraan 20 %-30 % terendah, 391 rumah tangga
dikepalai oleh kepala rumah tangga perempuan. Sejumlah 61 kepala rumah tangga
perempuan berusia dibawah 45 tahun, 138 berusia antara 45 tahun hingga kurang
dari 60 tahun, dan 192 lainnya merupakan perempuan berusia di atas 60 tahun.
Para rumah tangga miskin tersebut sudah terdedah listrik dari PLN sebagai
sumber penerangan, pada tahun 2012 ada 6 rumah tangga yang belum
menggunakan listrik. Dari aspek bahan bakar untuk memasak, sebanyak 947
rumah tangga menggunakan bahan bakar gas LPG dan 2.558 rumah tangga
menggunakan bahan bakar non-gas yang lebih identik dengan penggunaan tungku
kayu bakar. Fasilitas buang air besar pada rumah tangga miskin 56 %
menggunakan jamban sendiri, 33 % menggunakan jamban umum, dan 11 % tidak
mengakses keduanya artinya bisa membuang di kebun atau sungai.

3. Kondisi Ketenagakerjaan Pada Rumah Tangga Miskin


Pada rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah versi data
TNP2K (2012) di Kecamatan Batur diketahui terdapat 7.690 individu bekerja dan
4.489 individu tidak bekerja. Penduduk bekerja merupakan individu yang pada
saat survei sedang bekerja atau sementara tidak bekerja (misalnya menunggu
panen), sedangkan penduduk tidak bekerja merupakan individu yang tidak bekerja
dan tidak menunggu kegiatan kerja tertentu. Jumlah tersebut terbagi dalam tiga
kelompok umur yang terinci pada Tabel 8.

Tabel 5 Jumlah individu yang bekerja dan tidak bekerja menurut kelompok usia
dengan status kesejahteraan 30% terendah di Kecamatan Batur

Individu bekerja Individu tidak bekerja


Usia 5 - di bawah 15
tahun 57 2.383
Usia 15 - di bawah 60
tahun 6.894 1.544
Usia di atas 60 tahun 739 562
Jumlah 7.690 4.489
Sumber: Data TNP2K (2012)
32

4. Kondisi Pendidikan Pada Rumah Tangga Miskin


Pada rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah versi data
TNP2K di Kecamatan Batur didapatkan klasifikasi anak yang bersekolah dan
anak yang tidak bersekolah. Anak yang bersekolah adalah anak yang pada saat
survei masih bersekolah dan anak yang tidak bersekolah adalah anak yang pada
saat survei tidak bersekolah atau belum bersekolah. Diketahui bahwa semakin
tinggi jenjang sekolah (dilihat dari usia sekolah) jumlah anak yang tidak
bersekolah lebih tinggi dibanding jumlah anak yang bersekolah (Tabel 9).
Perbandingan jumlah anak yang bersekolah dan tidak bersekolah pada usia 13-15
tahun adalah 82,21 % sedangka pada usia 16-18 tahun hanya 8,27 %.

Tabel 9 Jumlah anak bersekolah dan tidak bersekolah berdasarkan usia pada
rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30% terendah di Kecamatan
Batur

Usia Bersekolah Tidak bersekolah


7-12 tahun 1.459 102
13-15 tahun 305 371
16-18 tahun 50 607
Jumlah 1.814 1.080
Sumber: Data TNP2K (2012)

Tabel 10 Partisipasi sekolah berdasarkan jenis kelamin pada rumah tangga dengan
tingkat kesejahteraan 30% terendah di Kecamatan Batur

Tingkat Sekolah Jumlah Anak Bersekolah


Perempuan Laki-laki
SD/MI 832 877
SMP/MTS 173 141
SMA/MA 24 19
Perguruan Tinggi 5 2
Total 1.034 1.039
Sumber: Data TNP2K (2012)

Pada Tabel 10 diketahui secara keseluruhan partisipasi sekolah anak laki-


laki dan perempuan hampir seimbang dengan jumlah 1.034 pada anak perempuan
dan 1.039 anak laki-laki. Namun secara rinci diketahui bahwa semakin tinggi
jenjang pendidikannya, partisipasi sekolah anak perempuan lebih tinggi dibanding
anak laki-laki. Pada usia SD, partisipasi sekolah anak laki-laki lebih tinggi
dibanding anak perempuan. Kemudian memasuki jenjang SMP, SMA, dan
perguruan tinggi partisipasi sekolah anak laki-laki lebih rendah dibanding anak
perempuan.

5. Kondisi Kesehatan Pada Rumah Tangga Miskin


Pada rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah versi data
TNP2K (2012) di Kecamatan Batur, terdapat beberapa fenomena kesehatan yang
secara khusus berkait dengan masyarakat miskin yaitu kecacatan dan penyakit
kronis. Jumlah penderita cacat dan penyakit kronis lebih tinggi pada penduduk
33

laki-laki dibanding perempuan. Penderita cacat laki-laki berjumlah 56 jiwa dan


perempuan berjumlah 44 jiwa. Penderita penyakit kronis laki-laki berjumlah 112
jiwa dan perempuan berjumlah 87 jiwa.

Tabel 11 Jumlah individu yang menderita cacat dan penyakit kronis berdasarkan
kelompok usia dan jenis kelamin berdasarkan status kesejahteraan 30 %
terendah di Kecamatan Batur

Penderita cacat Penyakit kronis


Usia
P L P L
Usia 0 - di bawah 15
tahun 3 2 2 2
Usia 15 - di bawah 45
tahun 18 22 17 14
Usia 45 - di bawah 60
tahun 9 16 26 29
Usia di atas 60 tahun 14 16 52 67
Jumlah 44 56 87 112
Sumber: Data TNP2K (2012)

Jumlah rumah tangga dengan status kesejahteraan 30 % terendah


memanfaatkan sumber air minum dari air ledeng dan sumber air tanah. Sejumlah
5 rumah tangga memanfaatkan sumber air ledeng, 3.108 rumah tangga
memanfaatkan sumber air tanah yang terlindungi, dan ada 392 rumah tangga
menggunakan air dari sumber air yang tidak terlindungi.

Sumberdaya Alam di Dataran Tinggi Dieng

Kawasan Dieng merupakan kawasan dengan potensi sumberdaya alam


yang kaya, baik sebagai area konservasi, kehutanan, sumberdaya panas bumi,
maupun pariwisata dan pertanian. Kawasan Dieng merupakan habitat bagi satwa
dan tumbuhan yang dilindungi dan sebagian diantaranya terancam punah.
Beberapa spesies yang tercatat masih hidup (Pemkab Banjarnegara 2012) antara
lain Harimau Tutul (Panthera pardus), Babi Hutan (Sus verrcosus), Owa
(Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), dan Lutung (Trachypthecus
auratus), serta 19 spesies burung endemik Jawa termasuk diantaranya Elang Jawa
(Spizaetus bartelsii). Tanaman yang ada di Dataran Tinggi Dieng merupakan
tumbuhan endemik yang hanya hidup di pegunungan Dieng seperti Purwoceng
(Pimplinea pruacen) yang merupakan tanaman obat, serta tanaman Carica
(Carica candamarcensis).
Kawasan Dataran Tinggi Dieng juga merupakan kawasan yang potensial
untuk sumber panas bumi. Khususnya di Kabupaten Banjarnegara, sumber panas
bumi ini terletak di Kecamatan Batur. Pada tahun 1918 di masa pemerintahan
Hindia Belanda, telah dimulai penyelidikan mengenai sumber panas bumi yang
ada di Dataran Tinggi Dieng. Pada tahun 1964/1965 UNESCO menetapkan
Dataran Tinggi Dieng sebagai salah satu sumber panas bumi yang memiliki
prospek sangat bagus di Indonesia. Saat ini, sumber panas bumi tersebut dikelola
34

oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Geo Dipa Energi (Persero). Pada
tahun 1970 United States Geological Survei (USGS) melakukan survei geofisika
serta mengebor 6 sumungkal pada kedalaman 150 meter dengan temperatur 92-
173 derajat celcius. Tahun 1976-1994 Pertamina telah menyelesaikan pengeboran
sekitar 27 sumur uji. Pada tahun 2012, total kapasitas dua unit Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) Dieng mencapai 110 megawatt. Selain sebagai potensi alam
yang menjadi sumber energi, keberadaan kawah sumber panas bumi di Dieng juga
perlu diwaspadai. Keberadaan kawah menghasilkan berbagai macam jenis gas,
khususnya CO2. Pada tahun 1979 tercatat 142 penduduk menjadi korban gas
beracun akibat erupsi Kawah Sinila. Bencana gas beracun ini tidak bisa diprediksi
dengan mudah karena sifatnya tidak kasat mata. Bencana yang sama juga
menimpa Dataran Tinggi Dieng pada tahun 2011 dan 2013 akibat erupsi Kawah
Timbang.
Selain sebagai pusat panas bumi, Kawasan Dataran Tinggi Dieng juga
merupakan wilayah tangkapan yang menjadi hulu Sungai Serayu. Dieng menjadi
penyangga bagi kabupaten dan kota yang dilingkupinya serta kelestariannya
berpengaruh terhadap ketersediaan pasokan listrik wilayah Jawa dan Bali melalui
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Mrica di
Banjarnegara. Kerusakan hutan di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan
sedimentasi waduk Jenderal Sudirman sebesar 4 juta ton/tahun dan telah
tersedimen sebesar 40% dari kapasitasnya pada tahun 2012. Faktanya air Sungai
Serayu telah megalami tingkat erosi yang cukup tinggi yaitu 4,2 juta m3/tahun.
Angka erosi tersebut menurut PT Indonesia Power (2012) yang tercantum dalam
dokumen Roadmap Pemulihan Kawasan Dieng Banjarnegara oleh Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara (2012) diakibatkan oleh kegiatan pertanian manusia dan
erosi alami tebing sungai Merawu. Data inflow PLTA UBP Mrica dinyatakan
bahwa rata-rata inflow tahunan adalah 74,73 m3/detik. Kecenderungan laju inflow
selama tahun 1988-2011 mengalami fluktuasi mulai dari 46,31 m3/detik sampai
dengan 111,30 m3/detik.
Sumber panas bumi ini juga menjadi daya tarik wisata Dataran Tinggi
Dieng. Berbagai kawah yang terdapat di kawasan tersebut menjadi destinasi
wisata yang dikunjungi oleh banyak turis baik domestik maupun mancanegara.
Selain kawah, kondisi keindahan alam dan udara yang sejuk juga menarik banyak
pengunjung datang ke Dataran Tinggi Dieng. Situs-situs purbakala yang terdapat
di Dataran Tinggi Dieng juga menjadi daya tarik wisatawan. Saat ini, khususnya
wilayah Dieng yang masuk ke area Kabupaten Banjarnegara mendapatkan
perhatian khusus dari khalayak wisatawan apalagi sejak digelarnya festival
tahunan yang dinamakan Dieng Culture Festival. Data yang dirilis oleh Dinas
Pariwisata Kabupaten Banjarnegara tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah
wisatawan yang mengunjungi Dieng mencapai angka 500.000 pengunjung dan
5.000 diantaranya adalah turis asing.
Kekhasan sumberdaya utama yang menjadi andalan masyarakat di Dataran
Tinggi Dieng adalah sumberdaya alam yang dimanfaatkan untuk pertanian.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa peruntukkan lahan untuk pertanian lebih luas
dibandingkan dengan peruntukkan lahan untuk kepentingan lain (lihat kembali
Tabel 1). Iklim yang sejuk menyebabkan kawasan ini cocok sebagai tempat
budidaya komoditas hortikultura, terutama kentang (Solanum Tuberosum L.) yang
banyak dibudidayakan oleh petani setempat. Usaha tani kentang merupakan usaha
35

pokok mayoritas petani di Dataran Tinggi Dieng dengan pola tanam kentang
(musim 1)-kentang (musim 2)-kentang (musim 3) dalam satu tahun musim tanam.
Berdasarkan Turasih dan Adiwibowo (2012), pada dekade 80-an, tepatnya sekitar
tahun 1983, masyarakat Dataran Tinggi Dieng mulai beralih dari tanaman
tembakau ke tanaman sayur-sayuran. Tahun 1985, kentang masuk secara intensif
dan diperkenalkan oleh petani dari Pangalengan, Jawa Barat.
Boomgard (2002)1 menjelaskan bahwa sebelum kentang masuk menjadi
komoditi yang bertahan ditanam hingga saat ini, jagung merupakan komiditi
andalan bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Ketika sistem tanam paksa (cultuur
Stelsel) mulai diperkenalkan sekitar tahun 1830, Dataran Tinggi Dieng merupakan
daerah yang memproduksi jagung dalam jumlah yang cukup tinggi selain Jawa
Timur dan Madura. Pada periode tahun 1830-1900, di Dataran Tinggi Dieng lahan
tegalan dapat menghasilkan dua atau tiga kali panenan jagung dalam waktu satu
tahun, sebagian karena beberapa varietas memiliki masa tanam yang sangat
pendek. Biasanya, panenan jagung ke dua hanya akan menghasilkan tiga perempat
dari hasil panenan pertama. Jagung hampir menjadi tanaman monokultur, juga
sering ditanam bersama tanaman lain atau tumpangsari bersama padi, kacang-
kacangan, atau tembakau. Selama abad ke-19 proporsi lahan yang ditanami
jagung dan palawija meningkat sedikit demi sedikit dari sekitar 20% menjadi 35%
pada tahun 1880. Kemudian pada akhir 1930-an, lahan yang dibudidayakan oleh
petani untuk tanaman pangan (musiman) adalah 45% untuk padi, 23% untuk
jagung, dan 11% untuk ketela pohon.
Selain jagung dan palawija, antara tahun 1900-1940 Dataran Tinggi Dieng
juga menjadi pusat penanaman tembakau. Tembakau merupakan jenis tanaman
perdagangan yang ditanam khusus untuk pasar lokal dan daerah lain. Hasilnya per
hektar dalam bentuk uang tunai yang sangat tinggi dan dapat digunakan oleh
petani untuk menyewa tenaga upahan dan membeli input lainnya seperti pupuk
dan benih. Disebutkan bahwa, pupuk untuk tembakau juga dihasilkan dari kotoran
manusia, juga pupuk kandang dari ternak dan kuda. Kondisi penanaman tembakau
ini menunjukkan bahwa petani di Dataran Tinggi Dieng juga memelihara ternak.
Persoalan kerugian mulai nampak dalam hal penanaman tembakau yang
penyebabnya termasuk penggundulan hutan dan masalah yang berkaitan dengan
kekurangan air. Konsumsi kayu bakar untuk mengeringkan daun tembakau di
tempat yang tinggi mengurangi luas tutupan hutan. Meskipun di Dieng petani
secara lokal telah menanam pohon seperti kemlandingan gunung (Albizzia
montana) dan bahkan Eucalyptus yang diintroduksi dari luar dan disediakan oleh
Dinas Kehutanan, namun kekurangan kayu bakar masih tetap terjadi. Daerah
penanaman tembakau di Dataran Tinggi Dieng tidak dibuat dalam bentuk teras-
teras, gambaran ini menunjukkan bahwa penanaman tembakau dilakukan di
wilayah rawan dan menyebabkan ekspansi yang terus menerus.

Mata Pencaharian Penduduk di Dataran Tinggi Dieng

1
Dalam Li, Tania Muray, 2002, Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Bab 2.
Jagung dan Tembakau di Dataran Tinggi di Indonesia 1600-1900, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
36

Mayoritas Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng menggantungkan


hidupnya dari pertanian lahan kering. Sektor pertanian menyumbang 66,65 %
dari total pendapatan Kecamatan Batur atau 66,48 persen menurut PDRB Atas
Dasar Harga Berlaku dan 66,82 % menurut PDRB Atas Dasar Harga Konstan
(Pemkab Banjarnegara 2012). Artinya lebih dari separuh kehidupan penduduk
tergantung dan ditopang oleh sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian di
kecamatan Batur sesuai dengan hasil Sensus Pertanian tahun 213 adalah 5.905
rumah tangga. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding data yang disajikan dalam
Kecamatan Batur Dalam Angka (2013) yaitu sebanyak 6.146 rumah tangga
pertanian yang 1.276 diantaranya mengkombinasikan dengan peternakan, 15
mengkombinasikan dengan perikanan, dan 224 mengkombinasikan dengan
tanaman perkebunan (Tabel 12). Komoditas utama yang menjadi tumpuan rumah
tangga petani adalah komoditas kentang dan sayuran.
Tabel 12 Jumlah Rumah Tangga Pertanian, Peternakan, Perikanan, dan
Perkebunan di Kecamatan Batur Tahun 2013

RT Tani Pertanian RT Peternakan RT Perikanan RT Perkebunan


Batur 1.955 842 13 45
Sumberejo 668 111 20 34
Pesurenan 240 107 0 0
Dieng Kulon 601 14 1 8
Karang Tengah 799 68 0 12
Bakal 799 21 0 6
Kepakisan 486 51 0 1
Pekasiran 598 62 0 118
JUMLAH 6.146 1276 15 224
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)

Sesuai jenis komoditasnya, sebanyak 78 % rumah tangga pertanian di


Kecamatan Batur merupakan rumah tangga yang bergantung dengan komoditas
hortikultura semusim terutama kentang. Sisanya menanam palawija (8 %),
tanaman pangan (7 %), dan jagung (7 %), sedikit sekali yang menanam padi, ubi
jalar, gandum, hortikultura tahunan berupa tanaman buah, tanaman hias dan
tanaman obat (Gambar 11).

Presentase Rumah Tangga Pertanian Sesuai Komoditas

8% Padi
Palawija
7%
Tanaman Pangan
Jagung
7% Ubi Jalar
Gandum
Hortikultur buah tahunan
Hortikultur semusim
78% Tanaman hias semusim
Tanaman obat semusim
Tanaman kebun tahunan
Tanaman kebun semusim
37

Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013

Gambar 11 Presentase rumah tangga pertanian berdasarkan komoditas di


Kecamatan Batur
Jumlah rumah tangga petani yang menanam hortikultura semusim seperti
kentang dan tambahan sayuran terbesar ada di Desa Batur yaitu 1.522
rumahtangga (Tabel 13). Terdapat juga rumah tangga yang menanam tanaman
perkebunan seperti cengkeh, kopi, teh, dan tembakau, namun jumlahnya sangat
minoritas. Selain itu sebagian rumah tangga juga memiliki ternak berupa sapi
potong, sapi perah, kambing, domba, ayam kampung (ayam lokal), ayam ras, itik,
dan ternak lain seperti kelinci (Tabel 14).

Tabel 13 Kombinasi komoditas yang ditanam oleh rumah tangga petani di


Kecamatan Batur

A B C D E F G H I J K L Jumlah
Batur 0 142 142 139 1 3 0 1.522 0 1 4 1 1.955
Sumberejo 0 23 23 21 0 2 2 590 2 1 2 2 668
Pesurenan 1 2 3 2 0 0 0 231 0 0 0 1 240
Dieng
601
Kulon 0 0 0 0 0 0 0 598 2 0 1 0
Karang
799
Tengah 1 0 0 0 0 0 1 795 0 0 1 1
Bakal 0 1 2 1 0 0 0 794 0 0 0 1 799
Kepakisan 0 0 0 0 0 0 0 486 0 0 0 0 486
Pekasiran 0 2 2 2 0 0 0 587 0 0 0 5 598
JUMLAH 2 170 172 165 1 5 3 5.603 4 2 8 11 6.146
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)
Keterangan:
A: Padi; B: Palawija; C: Tanaman Pangan, D: Jagung; E: Ubi Jalar; F: Gandum; G:
Hortikultur buah tahunan; H: Hortikultur semusim; I: Tanaman hias semusim; J: Tanaman obat
semusim; K: Tanaman kebun tahunan; L: Tanaman kebun semusim

Tabel 14 Komoditas ternak yang dibudidayakan oleh rumah tangga petani di


Kecamatan Batur

Sapi Sapi Kambing Domba Ayam Ayam ras Itik Lainnya


potong perah Lokal pedaging
Batur 223 97 11 463 43 1 0 4 842
Sumberejo 5 1 1 63 32 0 0 9 111
Pesurenan 8 0 4 83 8 0 2 2 107
Dieng
Kulon 8 0 4 2 0 0 0 0 14
Karang
Tengah 37 0 1 28 0 2 0 0 68
Bakal 1 0 16 3 1 0 0 0 21
Kepakisan 0 1 0 32 14 0 1 3 51
Pekasiran 10 0 4 26 20 0 0 2 62
JUMLAH 292 99 41 700 118 3 3 20 1276
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka (2013)
38

Selanjutnya, mata pencaharian pada rumah tangga miskin di Kecamatan


Batur sesuai dengan data TNP2K tahun 2012 tercantum pada tabel 15. Sebaran
mayoritas pekerjaan adalah sebagai petani pada komoditas hortikultura. Kondisi
di lapangan menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani pada rumah
tangga miskin rata-rata sebagai petani penggarap atau bekerja pada penguasa
lahan.

Tabel 15 Mata pencaharian individu di Kecamatan Batur berdasarkan tingkat


kesejahteraan 30 % terendah di Indonesia

No Mata pencaharian Jumlah


1 Pertanian tanaman padi dan palawija 55
2 Hortikultura 6.726
3 Perkebunan 26
4 Perikanan budidaya 2
5 Peternakan 82
6 Kehutanan 1
7 Pertambangan/penggalian 5
8 Industri pengolahan 13
9 Listrik dan gas 8
10 Bangunan/konstruksi 63
11 Transportasi dan pergudangan 64
12 Keuangan dan transportasi 2
13 Jasa 128
14 Lainnya 130
TOTAL 7.690
Sumber: Data TNP2K (2012)

Pemukiman Masyarakat Dataran Tinggi Dieng

Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng tinggal dalam satuan-satuan


pemukiman yang rapat satu sama lain di daerah dengan lereng datar. Sebagaimana
ciri masyarakat desa, penduduk di Dataran Tinggi Dieng Kecamatan Batur
memiliki relasi sosial yang baik dengan tetangga. Rata-rata mereka saling
mengenal satu sama lain. Rumah-rumah yang saling berdekatan memungkinkan
penduduk untuk sering bertemu. Khususnya di Desa Batur wilayahnya yang
terbagi menjadi 13 RW (Kadus) dan 53 RT, klasifikasi RW dan RT tersebut
berdasarkan kedekatan wilayah dan lingkungan masyarakat. Secara rinci jumlah
RT per masing-masing dusun disajikan pada Tabel 16.
Empat dusun pertama yang disebukan dalam Tabel 16 yaitu Dusun Batur
Kidul, Batur Lor, Batur Tengah, dan Bujangsari, merupakan dusun dengan tingkat
pendidikan masyarakat yang lebih baik dibanding dusun-dusun lainnya. Selain
pada sektor pertanian, sebagian penduduknya juga masuk ke sektor formal
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dusun Bujangsari di RW 4 merupakan
dusun yang terletak di wilayah pinggiran hutan karena bersentuhan dengan area
Perhutani. Berdasarkan informasi yang diperoleh kondisi dusun-dusun yang masih
terdapat banyak rumah tangga miskin adalah Dusun Tieng, Njlegong, Mbakalan,
dimana wilayahnya memiliki kondisi kesehatan (sanitasi) yang masih perlu
mendapatkan perhatian ketat.
39

Tabel 16 Jumlah Rukun Tetangga (RT) pada setiap dusun (RW/Rukun Warga) di
Desa Batur

No Dusun (RW/Rukun Warga) Jumlah RT


1 Dusun Batur Kidul (RW 1) 6
2 Dusun Batur Tengah (RW 2) 7
3 Dusun Batur Lor (RW 3) 11
4 Dusun Bujangsari (RW 4) 6
5 Dusun Tieng (RW 5) 3
6 Dusun Njlegong (RW 6) 3
7 Dusun Mbakalan (RW 7) 2
8 Dusun Purwajiwa (RW 8) 2
9 Dusun Karanganyar (RW 9) 3
10 Dusun Kalianget (RW 10) 3
11 Dusun Majatengah (RW 11) 4
12 Dusun Mbandingan (RW 12) 2
13 Dusun Tlagabang 1
TOTAL 53
Sumber: Wawancara dengan perangkat Desa Batur (2014)

Sebagian rumah penduduk berada dekat dengan lahan pertaniannya.


Kondisi suhu yang dingin menyebabkan arsitektur rumah dibuat dengan ventilasi
yang sedikit dengan sebagian besar atap terbuat dari seng. Rumah penduduk rata-
rata memiliki dapur yang sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk
menghangatkan badan. Terdapat anglo atau tungku yang menggunakan bahan
bakar arang yang digunakan sebagai alat untuk menghangatkan badan. Dibanding
ruangan lain di dalam rumah, dapur memiliki fungsi sentral karena setiap pagi dan
sore hari keluarga akan berkumpul sambil menghangatkan badan yang bersumber
dari panas anglo.
Wiraprama, Zakaria, dan Purwantiasning (2014) menjelaskan bahwa
pemukiman terbentuk karena adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki kebutuhan akan berhuni. Pemukiman yang dibentuk karena adanya
sekelompok rumah/tempat tinggal memiliki fasilitas penunjang baik fasilitas
umum maupun sosial yang mendukung kegiatan bermukim dalam suatu kelompok
masyarakat dengan jangka waktu yang cukup lama. Selain kegiatan bermukin dan
berhuni suatu kelompok masyarakat, dalam sebuah pemukiman juga terdapat
kegiatan sosial kemasyarakatan yang mendukung satu sama lain dalam kelompok
masyarakat. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di pemukiman di Desa Batur meliputi
sumber air, fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, polindes, dan masjid.

Pembangunan di Dataran Tinggi Dieng

Arbangiyah (2012) menyebutkan bahwa pada tahun 1978 di kawasan


Dataran Tinggi Dieng area jalan aspal meningkat dari 27 kilometer menjadi 62
40

kilometer, dan jumlah desa yang mampu mengakses jalan (aspal dan berbatu)
meningkat dari kira-kira 10 persen menjadi 30 persen. Perbaikan jalan
memungkinkan proses distribusi panen menjadi semakin mudah. Perbaikan jalan
juga menekan biaya transportasi karena petani tidak perlu repot menjualnya ke
kota sebab banyak pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan
pedagang dari Surabaya, Jakarta, dan Semarang akan membelinya langsung dari
ladang.
Pada tahap selanjutnya eksistensi petani terhadap dinamika pembangunan
di Dataran Tinggi Dieng tersebut menciptakan polarisasi yang mencolok antara
petani kaya dan petani miskin. Sistem penghidupan dan nafkah dari pertanian
kentang ini memberi konsekuensi pada semakin tajamnya potret kemiskinan di
Dataran tinggi Dieng. Pembangunan pertanian ala modernisasi yang
mengedepankan modal besar pada titik tertentu menghancurkan tatanan sosial
serta menciptakan keserakahan untuk menguasai sebanyak mungkin modal lahan
termasuk dengan merambah hutan sebagai area tangkapan. Eksploitasi terhadap
daerah miring dan area hutan tersebut menghasilkan kehancuran pada aspek
sosial, ekonomi, dan ekologi secara sistemik. Merujuk Wright (1978) dalam
Sanderson (2010) modernisasi pertanian di Indonesia menunjukkan pembentukan
struktur kelas kapitalis dimana terdapat petani kaya yang menguasai modal
(tanah), dominasi terhadap akses teknologi dan kredit, serta kontrol bagi
keberadaan usaha tani yang lebih leluasa dibanding petani kecil.
Perubahan yang kentara terlihat berikutnya adalah dari kentang pula
muncul orang-orang kaya yang lazim disebut haji kentang, mereka bisa naik
haji dan membangun masjid dari penghasilan usahatani kentang (Turasih dan
Adiwibowo 2012). Pertanian modern semakin memunculkan rasionalitas di
kalangan petani. Pada masa lalu, pertanian di Dataran Tinggi Dieng selalu diawali
dengan ritual sebelum menanam. Ritual kebudayaan yang terkait dengan pertanian
seperti nglekasi, wiwit, ruwat bumi, dan baridan yang tujuan utamanya untuk
meminta berkah kepada leluhur supaya pada musim tanam diberikan kelancaran.
Ritual tersebut dipengaruhi budaya Hindu yang pada saat itu masih kental di
Dataran Tinggi Dieng. Pada perkembangannya saat kentang masuk ke Dataran
Tinggi Dieng, nilai-nilai tersebut digantikan oleh rasionalitas bahwa orientasi
pertanian kentang adalah keuntungan ekonomi. Sebagai komoditi yang bernilai
tinggi, kentang mempengaruhi kebudayaan dan cara hidup baik individu maupun
masyarakat.
Fenomena yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng pasca masuknya komoditi
kentang sebagai unggulan dan sumber matapencaharian petani memberikan
dampak tidak hanya bagi komunitas petani di wilayah tersebut, namun merambah
ke area di bawahnya. Mengingat Dieng merupakan hulu dari DAS Serayu yang
memberikan suplai energi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) wilayah
Jawa dan Bali. Perhatian bagi isu kerusakan lingkungan akibat pertanian kentang
di Dataran Tinggi Dieng mendapatkan perhatian dari berbagai pihak mulai dari
pemerintah, swasta, hingga LSM. Berbagai upaya penyelamatan lingkungan
Dieng terkait dengan pola pertanian tanaman monokultur telah dicanangkan.
Tahun 2005 dicanangkan pembentukan hutan sekolah di wilayah Wonosobo.
Tahun 2006 dilakukan sosialisasi kepada penduduk dan petani Dieng yang selama
ini memanfaatkan lahan untuk budidaya tanaman kentang. Selain itu, metode
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) juga dilaksanakan. Namun
41

hasilnya masih belum sesuai dengan harapan (Turasih et al 2010). Penyebabnya


selama ini dibebankan kepada petani sebagai aktor yang berperan merusak
lingkungan.
Pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Wonosobo membentuk Tim Kerja
Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai sebuah bentuk kepedulian terhadap kerusakan
lingkungan di Dataran Tinggi Dieng, kelembagaannya dikukuhkan melalui SK
Bupati Wonosobo tahun 2007 (www.savedieng.org). Bahkan Bupati Wonosobo
memberikan larangan keras bagi petani untuk tidak menanam di lahan dengan
kontur kemiringan yang sudah tidak bisa ditoleransi. Pada tahun 2012, Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara mendapatkan bantuan dari UNDP (United Nation
Development Programme) melalui proyek proyek Penguatan Komunitas Berbasis
Hutan dan Manajemen Aliran Sungai (SCBFWM). Berbagai program yang terus
digalakkan tersebut meskipun mengusung perhatian bagi aspek sosial, ekonomi,
dan lingkungan pada kenyataan masih bersifat mekanistis dan lebih menekankan
lingungan sebagai objek utama. Padahal permasalahan di Dataran Tinggi Dieng
bukan semata-mata hancurnya lingkungan akibat usahatani kentang yang terlalu
menekankan produktivitas, tetapi juga munculnya stratifikasi sosial akibat
konsentrasi kepemilikan lahan.
Berdasarkan data penelitian Turasih dan Adiwibowo (2012) mengenai
kepemilikan lahan di Desa Karang Tengah Dataran Tinggi Dieng adalah 77,42
persen petani pemilik dimana 31,23 persen merupakan pemilik dengan luas
dibawah 0,3 ha, 35,48 persen petani dengan kepemilikan lahan 0,5-1 ha dan hanya
9,68 persen merupakan pemilik lahan 1-2 ha. Petani pemilik tersebut murni
melakukan usahatani di atas lahan yang dimilikinya. Selain status milik, terdapat
juga petani dengan status lahan sewa. Petani yang melakukan sewa tersebut
adalah mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali dimana jumlahnya 6,54
persen. Kategori penguasaan lahan lainnya adalah petani pemilik sekaligus
penyewa lahan yang berjumlah 12,90 persen dari seluruh responden. Sejumlah
9,68 persen merupakan pemilik lahan 0,1 ha-0,3 ha dan 3,22 persen merupakan
pemilik lahan 0,3 ha-0,5 ha. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa petani
yang tidak memiliki lahan tidak melakukan penyewaan dan menyebabkan mereka
menjadi buruh tani. Persentase petani yang memiliki lahan dibawah 0,3 ha relatif
mendominasi di Dataran Tinggi Dieng ditambah dengan buruh tani.

5 STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PETANI DI


DATARAN TINGGI DIENG

Perubahan Iklim di Dataran Tinggi Dieng

Perkembangan wilayah Dataran Tinggi Dieng kentara terlihat dari proses


perubahan kondisi lansekap di kawasan tersebut pada era pra dan pasca introduksi
tanaman kentang. Perubahan yang lebih dapat teridentifikasi secara langsung
adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan seperti kondisi
hutan, sumber daya air, dan kondisi lahan pertanian. Berdasarkan data dari
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara (2012) diketahui bahwa perkembangan
Dataran Tinggi Dieng menunjukkan fakta kerusakan lingkungan yang semakin
42

mencemaskan terutama terkait dengan krisis air dan krisis sumberdaya lahan (lihat
Tabel 17). Kerusakan ini semakin diperparah dengan kondisi iklim yang tidak
menentu terutama kondisi curah hujan yang menyebabkan intensitas kejadian
longsor menjadi semakin tinggi.

Tabel 13 Kondisi hutan, air, pertanian, dan erosi di Dataran Tinggi Dieng
periode 1975 - 2011
Tahun Hutan Air Pertanian Erosi
1975-1979 Subur serba Tersedia Tembakau dan Tidak
utuh melimpah sayuran
100 % 100 % 0% 0%
1980-1984 Subur serta Tersedia dan Tembakau dan Terjadi erosi
mulai mulai sayuran kentang
berkurang berkurang
90 % 100 % 5% 0%
1985-1989 Subur dan Masih tersedia Sayuran dan Terjadi erosi
pembukaan dan semakin kentang
lahan berkurang
mencapai 20
%
40 % 100 % 50% 15 %
1990-1994 Subur dan Masih tersedia Kentang Terjadi erosi
berkurang dan semakin mencapai 20-30
berkurang ton per ha
25 % 80 % 75 % 20 %
1995-1999 Tutupan hutan Ketersediaan Kentang dengan Erosi semakin
tinggal 10 % air turun drastis intensitas 3 kali mengkhawatirkan
setahun
10 % 50 % 80 % 40 %
2000-2005 Tutupan hutan Ketersediaan Kentang dengan Erosi mulai sangat
bertambah air turun penggunaan terasa
kembali 5 % pestisida
15 % 50 % 100 % 40 %
2006-2010 Tutupan hutan Beberapa mata Produksi Erosi semakin
bertambah 5 % air kering kentang mulai terasa, lapisan
menurun dan tanah menipis
menggunakan
CM
20 % 50 % 90 % 40 %
2010-2011 Tutupan Mata air Produksi Erosi masih
bertambah kering, air kentang turun sangat terasa
dengan adanya telaga beralih drastis 5-8 ton dengan adanya
usaha-usaha fungsi per ha, mulai sedimentasi PLTA
konservasi beralih ke Mrica yang sangat
tanaman terasa
alternatif
25 % 50 % 70 % 40 %
Sumber: Pemerintah Kabupaten Banjarnegara (2012)
43

Kejadian longsor yang semakin bertambah intensitasnya dalam kurun


waktu 40 tahun terakhir selain dipengaruhi oleh kondisi luas tutupan lahan hutan
yang semakin berkurang juga karena jumlah hari hujan yang semakin bertambah
pada bulan basah. Sejak tahun 1990 bulan basah dengan jumlah hari hujan yang
lebih banyak terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Oktober,
November, dan Desember. Bulan kering terjadi antara Mei, Juni, Juli, Agustus,
dan September dengan jumlah hari hujan yang semakin sedikit. Berdasarkan
Gambar 12, diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 1990 2000 jumlah hari
hujan di tahun 2000-an meningkat di bulan basah dan berkurang di pada saat
bulan kering. Kondisi ini berdasarkan Efendi, Sunyoko, dan Sulistya (2012)
menyebabkan kecenderungan meningkatnya resiko kejadian longsor di musim
penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Resiko tersebut telah terjadi di
Dataran Tinggi Dieng. Pada musim penghujan, kejadian longsor semakin banyak
terjadi di lahan-lahan pertanian yang miring dan memunculkan resiko ke wilayah-
wilayah yang berada lebih jauh di bawahnya. Sebaliknya, pada musim kemarau
masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani harus mengeluarkan biaya
penyedotan air telaga atau sumber air lain untuk menyiram lahan pertaniannya.

30 1990 1992
1993 1994
25
1996 1997
1990
20 19 1998 1999
2011 2000 2001
15 2002 2007
2009 2010
10 2011 1990
1992 1993
5 1994 1996
1997 1998
0 1999 2000
2001 2002
2007 2009
2010 2011
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka (1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012)

Gambar 12 Jumlah hari hujan berdasarkan bulan di kecamatan batur tahun 1990-
2011

WWF (2007) menyatakan bahwa perubahan distribusi curah hujan


menyebabkan potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi
semakin tinggi seperti banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor
penyakit. Sebaliknya pada kondisi curah hujan yang mengecil potensi bencananya
berupa kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai
permasalahan sosial yang mungkin timbul. Persoalan yang dihadapi di Dataran
Tinggi Dieng serupa dengan gambaran tersebut dimana jumlah curah hujan
memiliki tren menurun dari tahun 1990 hingga 2014 (Gambar 13) namun jumlah
hari hujan di bulan basah semakin meningkat (Gambar 12). Berdasarkan fakta
44

tersebut diketahui bahwa indikator perubahan iklim dari parameter cuaca nyata
terjadi.

Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka (1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012)
BMKG Stasiun Kalilunjar (2004, 2005, 2006, 2008, 2012, 2013, 2014)

Gambar 13 Jumlah dan Rata-rata Curah Hujan Tahunan Periode 1990-2014 di


Kecamatan Batur

Indikator perubahan iklim dari aspek peningkatan temperatur tidak terlalu


kentara di Dataran Tinggi Dieng karena kondisi iklimnya yang masih sejuk.
Berdasarkan data BMKG stasuin Kalilunjar-Banjarnegara tahun 2009-2014
diketahui bahwa suhu rata-rata maksimal sekitar 28,5 derajat celcius dan suhu
rata-rata minimalnya sekitar 20,7 derajat celcius. Pada musim kemarau sekitar
bulan Juli-Agustus, suhu minimum bisa mencapai 0 derajat. Kondisi perubahan
yang lebih kentara yang adalah kondisi jumlah hari hujan dan curah hujan di
Dataran Tinggi Dieng menunjukkan indikasi terjadinya perubahan iklim mikro di
tingkat wilayah. Hal yang paling dapat ditandai adalah kejadian iklim ekstrem
yang lebih sering terjadi sejak tahun 2007 yaitu hujan yang lebih deras dan musim
kemarau yang lebih kering. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya luas
tutupan lahan yang tersisa di wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai area
tangkapan air. Kawasan hutan di Dataran Tinggi Dieng berangsur habis
dikonversi menjadi kebun kentang. Kementrian Lingkungan Hidup mencatat, dari
luas Dataran Tinggi Dieng 619.846 ha, hutan yang tersisa tinggal 20,1 persen
padahal idealnya 30 persen (Kompas 03 Juni 2011). kondisi tutupan lahan yang
kurang dari 30 persen tersebut masih berlangsung hingga penelitian ini
dilaksanakan (tahun 2014). Berdasarkan penuturan dari narasumber penelitian dari
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, bahwa kondisi tutupan lahan kurang dari 30
persen menyalahi amanat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Berkurangnya tutupan lahan hutan tersebut diakibatkan konversi lahan hutan ke
lahan pertanian kentang.
45

Pengetahuan Petani Tentang Perubahan Iklim

Perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng dipahami oleh masyarakat


berdasarkan fenomena lokal yang terjadi. Secara umum jika dibandingkan dengan
wilayah lainnya di Kabupaten Banjarnegara, Dataran Tinggi Dieng merupakan
wilayah dengan suhu dingin sehingga gejala perubahan iklim dari peningkatan
suhu tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian, mereka mengakui
bahwa situasi saat ini di Dataran Tinggi Dieng relatif lebih hangat dibanding
ketika tahun 1990-an. Diungkapkan oleh salah seorang narasumber penelitian
bahwa saat ini ia tidak perlu menggunakan jaket yang terlalu tebal atau bahkan di
saat tertentu ketika suhu terasa hangat ia tidak perlu mengenakan jaket.
Nggih seniki sampun lumayan anget Mbak, timbang mbiyen pas kulo
tasih enem, jan nek asrep nggih bener-bener asrep. Nek seniki rasane
biasa wae. Mbiyen sering nganggo sarung, seniki ngganggo tapi mboten
ndina-ndina.
(Sekarang sudah lumayan hangat Mbak, dibanding dulu ketika saya masih
muda, kalau dingin benar-benar dingin. Kalau sekarang rasanya biasa saja.
Dulu sering pakai sarung, sekarang pakai tetapi tidak seharian).
(AB, 54 tahun)

Hal yang sama juga dikatakan oleh petugas dari Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Banjarnegara yang bertugas di Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan
Batur.
Kondisi Dieng sekarang sudah berbeda, selama 14 tahun bertugas di
Banjarnegara, dulu ketika bertugas ke Dieng harus pakai jaket, namun
sekarang merasa tidak apa-apa jika memakau baju biasa. Suhu sudah
menjadi lebih hangat. Dulu nggak pernah dirasakan suhu sampai tiga
puluh derajat di Dieng, tapi sekarang bisa terasa apalagi ketika kondisi
ramai seperti saat musim liburan dan musim wisata DCF2.
(SH, 54 tahun)

Indikasi menghangatnya suhu di Dataran Tinggi Dieng juga terjadi dengan


ditandainya kemunculan hewan cicak yang saat ini menjadi lebih banyak.
Meskipun diduga bahwa cicak bisa berasal dari daerah yang lebih hangat
misalnya ada orang yang pulang dari kota (suhu hangat) dengan membawa kardus
atau tempat yang di dalamnya bisa jadi terdapat cicak. Kenyataan bahwa cicak
dapat hidup di wilayah dingin menjadi satu tanda bahwa wilayah tersebut sudah
semakin hangat. Indikasi lain bahwa suhu sudah semakin menghangat adalah
dilihat dari pertumbuhan tanaman. Semakin hangat suhu lingkungan maka
tanaman akan tumbuh semakin tinggi. Hal tersebut juga terjadi pada tanaman
kentang yang rata-rata saat ini tumbuh semakin tinggi.
Petani memaknai perubahan iklim sebagai sebuah kondisi iklim yang
sangat mengancam aktivitas pertanian. Petani mengidentifikasi lima fenomena
iklim utama yang terjadi dan berkait dengan pertanian mereka yaitu: (1) curah
hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, (2) situasi kekeringan yang melanda

2
Dieng Culture Festival
46

pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu ekstrem pada Bulan Juli atau
Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju yang menjadikan tanaman
muda menjadi layu dan mati, serta yang paling meresahkan adalah (5) kondisi
iklim yang semakin sukar diprediksi.
Pada saat musim hujan, diakui bahwa curah hujan menjadi lebih deras
yang akibatnya kejadian erosi di lahan pertanian menjadi semakin tinggi. Kondisi
lahan pertanian yang miring dan tidak memiliki kontur terasering menjadi
penyebab tanah semakin mudah terbawa aliran air hujan. Pola penanaman di lahan
tanpa teras memicu potensi erosi yang tinggi karena lapisan tanah bagian atas
akan terbawa air hujan yang memunculkan sedimentasi pada saluran-saluran air.
Tidak hanya di lahan pertanian, namun hampir seluruh wilayah di Dataran Tinggi
Dieng termasuk Desa Batur rawan longsor pada saat musim hujan. Musim hujan
merupakan musim yang paling ditakuti petani karena resiko kegagalan lebih
tinggi pada musim ini dimana tanaman kentang lebih banyak layu. Musim hujan
merupakan musim yang sulit bagi petani karena biaya produksi cenderung naik
namun produksi justru turun.
Pada periode 2010/2011 sepanjang tahun terjadi hujan dan petani banyak
dirugikan pada saat kondisi itu. Hama menjadi tinggi pada saat musim hujan
karena biasanya pestisida tidak mempan digunakan pada musim tersebut. Hama
jenis litoptera yang dikenal petani dengan istilah tekle atau folio saat ini tidak
hanya menyerang batang tetapi juga sudah menyerang daun. Tanaman kemudian
menjadi layu dan mati. Pada tahun 2012 muncul hama kutu kebul. Musim hujan
menyebabkan intensitas kemunculan hama menjadi tinggi.
Pada tahun 1958 pernah terjadi kemarau panjang hingga 9 bulan,
kemudian sekitar tahun 1964 kemarau panjang terjadi hingga 6 bulan. Awal
musim kemarau merupakan musim yang sangat sulit bagi petani karena
merupakan musim transisi dari penghujan ke kemarau. Banyak petani yang tidak
menanam pada awal kemarau karena takut gagal. Akibat kondisi tanah yang
gembur, pada saat musim kemarau, air tanah menjadi mudah menguap dan
mengakibatkan lahan pertanian menjadi rawan kekeringan. Kondisi sumber air
untuk pertanian di Dataran Tinggi Dieng pada musim kemarau debitnya menjadi
lebih kecil. Salah satu sumber air yang dimanfaatkan untuk pertanian pada saat
musim kemarau adalah Telaga Merdada yang diambil dengan cara menyedotnya
menggunakan mesin genset. Efeknya, jika air telaga disedot dalam jumlah besar
maka debitnya akan menjadi semakin kecil. Air merupakan hal yang krusial
diperlukan dalam pertanian kentang karena kondisi lahan pertanian kentang tidak
dapat menyimpan air tanah. Musim kemarau merupakan musim yang relatif sulit
bagi petani apabila tidak ada sumber air. Pada musim ini, petani yang mengolah
lahan jauh dari sumber air hanya bisa menanam satu tahun sekali.
Pada bulan Juli atau Agustus muncul embun upas di Dataran Tinggi
Dieng. Meskipun telah disadari oleh petani bahwa kejadian ini rutin terjadi,
namun petani tetap khawatir. Pada saat itu suhu berada di titik kritis mencapai
suhu nol dan bahkan minus sehingga menyebabkan munculnya frozz. Suhu
terendah yang terjadi pada saat titik kritis bisa mencapai -80 Celcius dan
menyebabkan tanaman kentang layu dan busuk dan petani beresiko gagal panen.
Kekhawatiran petani juga disebabkan oleh munculnya angin ribut. Pada tahun
2011 terjadi serangan angin ribut yang merusak tanaman kentang. Angin ribut ini
menjadi perkara besar bagi petani karena berdasarkan perhitungan terjadi setiap
47

lima tahun sekali. Jika sebelumnya terjadi di tahun 2011 maka ke depan diprediksi
tepat akan terjadi pada akhir tahun 2015 atau awal 2016. Pada musim angin
tegakan tanaman rusak dan tanaman yang baru tumbuh habis tersapu angin.
Selain empat kondisi yang telah dijelaskan, hal yang paling meresahkan
bagi petani adalah prediksi musim yang semakin sulit ditebak. Petani menghadapi
musim yang membingungkan, menebak terjadi musim hujan namun kenyataannya
kemarau dan demikian juga sebaliknya. Dulu petani masih menggunakan pranata
mangsa untuk menandai musim tanam, namun hal tersebut tidak lagi akurat
apalagi semenjak melewati sekitar tahun 2007. Pranata mangsa saat ini tidak lagi
sama dengan perhitungan petani dan juga tidak sama dengan data yang dirilis oleh
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sulitnya prediksi
musim saat ini menyebabkan petani sangat membutuhkan informasi cuaca dan
iklim yang sifatnya harian karena penting untuk menentukan musim tanam.
Perhitungan musim tanam tersebut sangat berkaitan dengan biaya produksi yang
harus dikeluarkan oleh petani. Sebelum tahun 2007 musim masih dapat diprediksi
namun memasuki tahun 2008 relatif lebih sulit dan sering meleset dari prakiraan.

Iklim sudah bergeser jauh. Mangsa kanem-kapitu yang dulu terjadi pada
Bulan November-Desember merupakan musim yang paling enteng dan
cocok untuk menanam. Namun saat ini waktu tersebut menjadi musim
yang paling berat. Tahun 2010 kondisi lebih kering jadi tidak terlalu
bermasalah untuk petani. Pada tahun 2013 sampai 2014 kondisi hujan
lebih banyak sehingga terasa lebih berat. (DD, 34 tahun)

Berdasarkan kutipan di atas, keluhan petani atas perubahan iklim adalah


kondisi cuaca yang sulit diduga. Persoalan pendugaan cuaca oleh petani yang
semakin hari semakin sulit disebabkan oleh kondisi pertanian yang saat ini belum
beradaptasi dengan baik sesuai kondisi iklim. Padahal dalam skala global
fenomena El-Nino dan La-Nina terus menerus berulang setiap periode. Banyak
petani bangkrut karena kondisi iklim yang tidak menentu. Pada tahun 1983
perbandingan penanaman 1 keranjang bisa panen hingga 10 keranjang. Sejak
tahun 2000-an, 1 keranjang benih hanya memberikan penghasilan sebanyak 7
hingga 8 keranjang panen ketika musimnya stabil. Pada musim penghujan 1
keranjang benih hanya menghasilkan 5 keranjang panen. Hal tersebut menjadi
cerminan bahwa fenomena perubahan iklim menjadi sebuah tantangan yang harus
dihadapi oleh petani karena berkaitan langsung dengan setiap kegiatan pertanian
dan mempengaruhi kondisi kehidupan petani. Penurunan hasil panen
mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani dan menentukan keberlanjutan
penanaman di musim selanjutnya (setelah panen).

Lokalitas Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan fenomena global namun dampaknya bersifat


lokal dan regional serta mempengaruhi komunitas dalam intensitas yang berbeda.
Bagi petani dataran tinggi, kondisi iklim sangat penting terutama terkait dengan
pencahayaan sinar matahari, suhu, serta ketersediaan air. Identifikasi dampak
48

perubahan iklim yang dirasakan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng didasarkan
pada berbagai perubahan yang terjadi di tingkat wilayah serta penuturan yang
disampaikan oleh petani. Dampak perubahan iklim yang dimaksud dilihat dari
aspek lingkungan dan ekologi, sosial, dan ekonomi terkait dengan lima fenomena
iklim utama seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab pengetahuan petani
tentang perubahan iklim.

1. Dampak Fisik dan Ekologi

Dampak perubahan iklim secara fisik dan ekologis di Dataran Dieng


berkaitan dengan praktek pertanian hortikultur sayuran terutama kentang yang
bersifat monokultur di wilayah tersebut. Tuntutan kondisi lahan pertanian kentang
yang harus terbuka dan tidak terganggu naungan pohon menyebabkan kondisi
kawasan Dataran Tinggi minim tutupan lahan. Selain itu keperluan pertanian
kentang adalah kontur tanah miring yang dibuat searah dengan kemiringan lereng
dan penggunaan dosis pupuk yang tinggi.

Secara kasat mata memang tidak banyak yang kelihatan berubah kecuali
tutupan lahan yang semakin berkurang. Namun perlakukan terhadap lahan
sangat mempengaruhi kondisi lingkungan saat ini. Saat ini pupuk N sudah
terlalu tinggi kadar penggunaannya. Sumber N dapat berasal dari pupuk
organik mapun anorganik sepeti urea dan ZA. Ciri-ciri tingginya kandungan
N ini dapat dilihat di bagian kanan dan kiri screen pembenihan kentang
dimana lumut sudah banyak dijumpai.
(SH, 50 tahun)

Kondisi fisik dan ekologi pada saat musim ekstrem menjadi keluhan tersendiri
bagi masyarakat di Dataran Tinggi Dieng. Dampak perubahan iklim dalam aspek
fisik dan ekologi lebih ke arah dampak negatif dan dapat berujung bencana. Pada
saat musim hujan banyak terjadi longsor dan pada saat musim kemarau bisa
terjadi kebakaran hutan yang ada di sekitar Dataran Tinggi Dieng serta
berkurangnya debit air untuk pertanian. Diungkapkan oleh narasumber juga
bahwa pada musim hujan intensitas kejadian bencana gas beracun menjadi lebih
tinggi.
Kejadian iklim yang berkaitan dengan curah hujan serta angin ribut
memberikan konsekuensi kerusakan dan peningkatan potensi bencana alam. Dari
segi infrastruktur wilayah, perubahan iklim terutama karena curah hujan yang
ektrem menyebabkan kerusakan jalan aspal di wilayah Dataran Tinggi Dieng
berlubang. Di Desa Batur, jalanan rusak terdapat di area Pasar Batur serta jalan-
jalan menuju dusun-dusun yang jauh dari pusat pemerintahan. Kerusakan tersebut
diperparah juga akibat jalan dilintasi kendaraan dengan muatan yang berat. Pada
musim hujan, dampak curah hujan yang tinggi akan tampak di sepanjang jalan
raya yang berdekatan dengan area pertanian. Jalan raya beraspal yang posisinya
lebih landai dibanding lahan pertanian banyak tertutup tanah yang dibawa oleh
aliran air hujan. Pada kondisi ektrem tertentu, curah hujan yang tinggi
menyebabkan longsor yang tidak hanya berdampak bagi kondisi lahan pertanian
tetapi juga mengancam keamanan rumah-rumah penduduk yang posisinya dekat
dengan lereng dan aliran sungai. Angin ribut menyebabkan kerusakan pada
bangunan rumah, pohon tumbang, dan rusaknya tanaman pertanian.
49

Pada saat musim kemarau, meskipun dikatakan oleh narasumber bahwa


sumber air relatif masih ada dan mencukupi untuk pertanian di Dataran Tinggi
Dieng namun fenomena kekeringan tidak dapat dipungkiri menjadi persoalan
tersendiri. Semua desa di Dataran Tinggi Dieng rawan dengan kondisi kekeringan.
Pertanian mengandalkan air telaga untuk dimanfaatkan pada musim kemarau,
petani memasang pompa air yang dioperasikan dari pagi hingga sore hari (jam 7
pagi hingga 4 sore) dan bahkan ada yang dipasang selama 24 jam. Dampak yang
ditimbulkan dari penyedotan air secara serempak ini adalah debit air telaga
menjadi semakin cepat berkurang. Petani merasa khawatir apabila air telaga
disedot secara terus menerus pada musim kemarau dan musim hujan terlambat
datang maka cadangan air untuk pertanian akan habis.
Musim kemarau juga menjadi musim yang rentan terhadap kejadian
kebakaran hutan. Kawasan Dataran Tinggi Dieng dikelilingi oleh hutan lindung
yang rentan kebakaran pada saat musim kemarau. Kejadian kebakaran hutan yang
cukup luas terjadi pada Bulan Juli tahun 2014 dimulai dari area Kabupaten Batang
dan merambat ke Kabupaten Banjarnegara di Kecamatan Batur. Kebakaran
tersebut dimungkinan oleh gesekan ranting kayu maupun akibat keringnya
tanaman yang disebabkan oleh serangan embun upas. Dituturkan oleh masyarakat
bahwa sejarah kekeringan dan kebakaran hutan dulu tidak pernah terjadi bahkan
ketika kejadian kemarau panjang hingga 9 bulan di tahun 1958. Ketika pertanian
intensif kentang dan hortikultur sayuran digalakkan, pada saat kemarau mudah
sekali terjadi kekeringan dan kebakaran.

2. Dampak Ekonomi

Pada saat menghadapi musim kemarau khususnya dengan kondisi


kekeringan yang terjadi, petani harus menambah biaya produksi pertanian untuk
memperoleh air yang cukup guna menyiram tanaman. Petani tidak memiliki
pilihan selain memompa air dari telaga dan sungai yang ada di kawasan Dataran
Tinggi Dieng dan yang terdekat dengan letak lahannya. Setiap hari petani
memerlukan 5-20 liter bahan bakar premium untuk mengoperasikan mesin pompa
air dan mengalirkannya dari telaga ke lahan pertanian. Jarak antara telaga sumber
air dengan lahan pertanian berkisar mulai dari 400 meter hingga 3 km, semakin
jauh jaraknya maka biaya yang dikeluarkan semakin besar. Satu hari petani
biasanya hanya mampu menyiram hingga 0,5 ha lahan, apabila lahannya lebih
luas maka diperlukan waktu lebih lama dan jumlah biaya tenaga kerja yang lebih
besar. Kondisi tersebut berlangsung hingga 2-3 bulan sampai puncak musim
kemarau. Bagi petani yang mengolah lahan pertanian sangat jauh dari sumber air
akhirnya ada yang memilih hanya menanam satu kali per tahun karena tidak
memiliki modal yang cukup.

Menawi mangsa terang kulo kedah tumbas bensin limolas liter nggo
mompa banyu. Limolas liter dinggo nyiram lahan setengah hektar.
(Apabila musim kemarau saya harus membeli bensin lima belas liter untuk
memompa air. Lima belas liter digunakan untuk menyiram lahan setengah
hektar).
(KS, 45 tahun)
50

Musim kemarau bukan menjadi titik kekhawatiran petani karena resiko


yang dihadapi pada musim ini tergolong lebih kecil dibanding pada saat musim
penghujan tiba. Petani perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar pada musim
hujan. Pada musim penghujan, petani perlu membeli pestisida dan obat-obatan
pertanian sehingga biaya semakin membengkak. Pada musim hujan, petani juga
perlu menambah tenaga kerja untuk pertanian guna meminimalisir gagal kerja.
Hal ini karena musim hujan menyebabkan pekerja lebih sering beristirahat ketika
hujan turun. Oleh karenanya jumlah tenaga perlu ditambah guna memperoleh
hasil kerja yang diharapkan dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Tenaga
kerja di pertanian kentang dibayar Rp 25.000 selama 5 jam kerja dari jam 08.00
pagi hingga jam 14.00 siang jika tidak disediakan makanan oleh pemiliki lahan.
Sedangkan jika pekerja mendapatkan makanan (dikirim makanan ke kebun) maka
upah yang diterima hanya Rp 20.000 dengan jumlah jam kerja yang sama.
Perbedaan yang dihadapi oleh petani untuk musim hujan dan musim kemarau
terkait tenaga kerja adalah pada musim kemarau petani harus menanggung biaya
tenaga kerja untuk penyiraman tanaman karena kurangnya ketersediaan air. Pada
di musim penghujan, petani menghadapi mahalnya biaya perawatan untuk
pembelian pestisida. namun bagi petani, musim kemarau lebih menguntungkan
dibanding musim hujan.
Dari sisi pendapatan diketahui bahwa fluktuasi harga kentang tidak selalu
mengalami perubahan yang signifikan. Namun demikian kondisi iklim yang
ekstrem memberikan konsekuensi pengeluaran pertanian yang lebih besar yaitu
pada musim hujan untuk membeli pestisida dan pada musim kemarau untuk
melakukan penyedotan air. Musim hujan cenderung berdampak negatif bagi
penghasilan petani, sebaliknya pada musim kemarau petani dapat lebih untung.
Pada saat pendapatan tinggi di musim kemarau petani dapat mengalokasikan
pendapatannya dengan lebih leluasa baik untuk pengeluaran non pangan dan
investasi. Ketika pendapatan menurun, di tingkat rumah tangga petani harus
mengurangi konsumsi non pangan dan tidak ada investasi. Pada saat pendapatan
turun beberapa kasus di rumah tangga hingga sampai menjual atau menyewakan
aset utama berupa lahan pertanian, meningkatkan hutang, dan menurunkan
konsumsi.

3. Dampak Sosial
Sulitnya prediksi musim menjadi keniscayaan bagi petani untuk harus siap
dan sedia menghadapi ketidakstabilan kondisi pertanian. Perubahan kondisi fisik
pertanian menyebabkan berbagai perubahan dari aspek sosial. Sebelum tahun
2000-an tenaga kerja pertanian di Desa Batur kebanyakan berasal dari luar desa
dan luar kecamatan. Seiring dengan perkembangan waktu dan pilihan bekerja di
luar sektor pertanian tenaga kerja luar desa tersebut semakin susah didapatkan.
Menghadapi kondisi sulitnya memperoleh tenaga kerja di tengah tuntutan
keperluan tenaga kerja di musim-musim ekstrem, petani saling bekerjasama untuk
menentukan giliran penggunaan tenaga kerja dengan sistem menunggu selesainya
pekerjaan di lahan petani lain. Hal tersebut meningkatkan intensitas komunikasi
antar petani yang mengolah lahan.
Kondisi iklim yang tidak menentu menimbulkan kesadaran bagi petani
terutama pada golongan muda untuk perlu memiliki wadah bersama guna
51

membahas persoalan pertanian. Terdapat beberapa perkumpulan petani khususnya


pada golongan muda diantaranya Asosiasi Penangkar Benih Kentang dan
Komunitas Petani Kentang Dieng. Asosisasi Penangkar Benih Kentang
anggotanya terdiri dari perkumpulan kelompok tani sejumlah 40 kelompok di
Dataran Tinggi Dieng. Asosiasi penangkar benih kentang lahir sejak tahun 2009
sebagai wadah untuk menampung penangkar benih dan dapat
mensertifikatkannya. Spesifikasi kegiatan asosiasi adalah dalam kegiatan
pembenihan. Saat ini ada 17 orang penangkar yang berasal dari kelompok tani
maupun perorangan. Selain kegiatan pembenihan asosiasi juga melepas benih
yang sudah siap ke masyarakat (petani) jika benih layak dilepas. Komunikasi
dengan petani terus dijalankan dan petani difasilitasi untuk memenuhi stok benih.
Asosiasi bekerjasama dengan kelompok tani non-penangkar yang
mengembangkan benih menjadi kentang konsumsi. Selain itu Asosiasi juga
berhubungan erat dengan Dinas Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman pangan
(BPTP). Asosiasi berdiri secara independen, belum berbadan hukum tetapi dilirik
untuk dapat berdiri secara formal. Asosiasi pernah mengikuti Pekan Kentang
Nasional dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) tahun 2008.
Komunitas Petani Kentang Dieng (KPKD) berbentuk komunitas dalam
jejaring sosial facebook yang terbentuk sejak tahun 2013. karena aktif di jejaring
sosial facebook maka komunitas ini mengadakan pertemuan (kopi darat) setiap
satu bulan sekali pada hari jumat legi selepas solat jumat. Komunitas memiliki
ketua dan administrator yang mengurus facebook. Kegiatan kopi darat biasanya
dihadiri sekitar 30 orang meliputi seluruh petani di Dataran Tinggi Dieng.
Komunitas ini memiliki koordinator pada setiap desa di Dataran Tinggi Dieng.
Meskipun dinamakan Komunitas Petani Kentang Dieng tapi keanggotaannya
dapat diikuti secara terbuka oleh siapa pun di facebook dan saat ini sudah
mencapai 1.700 anggota. Kegiatan yang dilakukan ketika kopi darat adalah
diskusi seputar pertanian mulai dari kegiatan pra hingga pasca panen. Komunitas
ini menjadi sarana tukar-menukar informasi antar petani kentang dari berbagai
daerah. Komunitas ini disebutkan sebagai komunitas independen yang tidak
tergabung dengan institusi apa pun termasuk pemerintah desa. Komunitas ini 95%
diikuti oleh anak muda yang rata-rata bisa lebih kritis. Komunitas ini menjadi
wadah untuk menyaring berbagai informasi sekaligus menjadi sarana untuk
mengintorduksikan teknologi.
Munculnya kelompok dan komunitas yang memiliki perhatian terhadap
perubahan kondisi iklim merupakan peluang bagi upaya adaptasi supaya petani
lebih resisten terhadap perubahan iklim. Namun demikian perkembangan
kelompok-kelompok tersebut perlu diperhatikan dengan lebih mendalam karena
anggota kelompok yang tergabung rata-rata adalah petani yang memiliki
pendidikan tinggi dan terdedah media sosial. Bagi petani golongan menengah dan
tua yang tidak terlalu paham dengan media sosial, perkumpulan terbatas pada
kelompok tani. Secara umum terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan yang ada
di masyarakat petani di Dataran Tinggi Dieng dapat menjadi sarana yang efektif
bagi proses pertukaran informasi di antara petani. Pertukaran informasi tersebut
penting karena menunjukkan tingkat keberdayaan petani. Hanya saja jangkauan
perkumpulan yang ada baik kelompok tani, asosiasi benih, maupun komunitas
petani kentang lebih mengarah pada petani yang menguasai lahan (baik petani
pemilik maupun penggarap). Artinya kelompok petani yang tidak menguasai
52

lahan atau buruh tani masih tersisih darielum mau masuk dalam perkumpulan
yang ada. Hal ini tidak terjadi begitu saja namun bagi mereka yang menjadi buruh
tani lebih sibuk untuk mencari sumber penghidupan dibanding menghabiskan
waktu untuk berkumpul.

Kerentanan Petani Terhadap Perubahan Iklim

Kerentanan petani terhadap perubahan iklim dalam penelitian ini terkait


erat dengan kondisi penguasaan lahan di tingkat rumah tangga. Petani di Dataran
Tinggi Dieng berdasarkan penguasaan lahannya terkategori menjadi petani yang
tidak menguasai lahan, petani dengan penguasaan lahan antara 0,1 ha x < 0,3 ha,
petani dengan penguasaan lahan antara 0,3 ha x < 0,5 ha, petani dengan
penguasaan lahan antara 0,5 ha x < 1 ha, dan petani dengan penguasaan lahan
1 ha. Kondisi penguasaan lahan tersebut dihubingkan dengan representasi lima
modal utama yang dapat diakses oleh rumah tangga petani sesuai dengan
penguasaan lahan pertaniannya dengan merujuk livelihood framework Chambers
dan Conway (1991). Modal yang dimaksud meliputi modal manusia, modal
sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal sumberdaya alam.
Modal manusia yang dimaksud meliputi kapasitas pengetahuan dan
keterampilan petani dalam melakukan praktek-praktek pertanian sekaligus tingkat
pendidikan yang memungkinkan mereka masuk ke sektor non pertanian. Petani di
Dataran Tinggi Dieng saat ini masih didominasi oleh golongan umur tua dengan
pendidikan maksimal Sekolah Dasar atau pada masanya disebut Sekolah Rakyat
(SR). Pada perkembangannya karena situasi pertanian kentang yang sangat
menguntungkan maka usaha tani tersebut diturunkan kepada anak-anaknya yang
saat ini menjadi petani muda. Sumberdaya petani yang terdiri dari anak-anak
muda tersebut tingkat pendidikannya sudah lebih tinggi minimal di Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Ada juga generasi muda yang mengenyam bangku
perkuliahan S1 dan S2 yang memutuskan menjadi petani. Hal ini menjadi peluang
bahwa sumberdaya manusia petani ke depan khususnya dalam pertanian
hortikutura akan semakin baik.
Keterkaitan petani satu sama lain merupakan salah satu bentuk modal
sosial yang dimiliki oleh petani. Keterkaitan tersebut membuka informasi bagi
petani satu sama lain untuk mengetahui berbagai hal terkait pertaian. Modal sosial
terbentuk karena interaksi yang terus menerus dan bahkan di beberapa kasus
hingga mewujudkan perkumpulan petani maupun organisasi. Perkumpulan
dilakukan secara informal untuk membicarakan perihal pertanian dalam berbagai
situasi misalnya ketika bertemu secara tidak sengaja di jalan maupun saling
mengunjungi satu sama lain atau disebut dengan istilah ngendong (bertamu).
Perkumpulan tidak hanya terwujud secara nyata tatap muka namun juga di
golongan muda muncul komunitas virtual yang membahas tentang pertanian
kentang, komunitas tersebut melakukan aktivitas di jejaring sosial facebook
dengan nama komunitas Petani Kentang Dieng (PKD). Interaksi yang mewujud
menjadi organisasi adalah tumbuhnya kelompok tani dan asosiasi penangkar
benih kentang.
Menariknya modal sosial tersebut cenderung menjadi modal yang paling
kuat yang dimiliki oleh petani pada berbagai tingkat penguasaan lahan. Meskipun
bentuk jaringannya berbeda antara satu petani dengan petani lainnya namun setiap
53

aktivitas petani ditentukan dari intensitas interaksi dengan orang lain. Seorang
petani penguasa lahan akan lebih mudah mendapatkan pestisida jika kenal dengan
pedagangnya atau pun memperoleh informasi mengenai jenis pestisida yang tepat
dari tetangganya. Buruh tani akan lebih mudah memperoleh pekerjaan jika sering
berinteraksi dengan buruh lainnya maupun dengan penguasa lahan karena
informasi yang didapatkan semakin lancar. Artinya modal sosial dari proses
interaksi petani dengan berbagai pihak menentukan proses sampainya informasi
ke tangan petani.
Bagi petani selain modal manusia dan modal sosial, modal fisik juga
menjadi penentu keberlangsungan kegiatan pertanian. Jenis modal fisik yang
menjadi aset penduduk yang bergerak di bidang pertanian meliputi berbagai
sarana produksi pertanian. Petani dengan penguasaan lahan 0,5 ha 1 ha dan di
atas 1 ha memiliki jenis modal fisik yang lebih beragam dan kuantitasnya lebih
banyak. Biasanya petani tersebut memiliki mesin genset, bak pengangkut hasil
panen, bahkan petani memiliki gudang, garasi, motor dan mobil yang
diperuntukkan bagi kegiatan pertanian. Jenis modal fisik lain yang dimiliki juga
meliputi sarana produksi pertanian lainnya, seperti cangkul, sabit, penyemprot
pestisida, bak penampung air, dan sepatu lahan. Untuk jenis sarana produksi
pertanian yang harganya tidak terlalu mahal biasanya hampir dimiliki oleh seluruh
petani. Apabila jenis modal fisik tersebut tidak dimiliki, petani dengan sumber
finansial yang cukup memungkinkan untuk melakukan penyewaan.
Sumber finansial yang cukup merupakan modal penting bagi
keberlangsungan hidup petani, baik untuk memastikan kebutuhan dasar rumah
tangga terpenuhi maupun untuk modal pertanian. Besar dan sumber pendapatan
rumah tangga menjadi penentu bagi besaran modal finansial yang dimiliki. Petani
dengan kepemilikan lahan lebih dari 1 ha rata-rata memiliki kemampuan finansial
yang lebih tinggi dan memiliki investasi berupa tabungan. Petani dengan
kepemilikan lahan di atas 1 ha juga memiliki akses yang lebih besar apabila ingin
melakukan pinjaman ke lembaga keuangan (bank) karena memiliki jaminan yang
layak. Sebaliknya bagi petani dengan kepemilikan lahan di bawah 0,3 ha kondisi
finansialnya berada di posisi tidak aman dan sangat rentan dengan defisit.
Keempat modal yang telah disebutkan menjadi penentu bagi kerentanan
petani terhadap perubahan iklim. Modal selanjutnya adalah modal sumber daya
alam. Bagi rumah tangga petani modal sumber daya alam yang paling penting
adalah lahan pertanian. Posisi tawar petani ditentukan oleh lahan pertanian dengan
empat karakterstik yaitu luas lahan, jarak lahan dari sumber air, jarak lahan dari
jalan raya atau jalan usaha tani, dan posisi kelerengan lahan. Semakin luas lahan
pertanian yang dikuasai petani mengindikasikan bahwa akses petani tersebut
terhadap sumber daya alam semakin besar. Hal tersebut berdampak pada
keleluasaan pengolahan serta menentukan besarnya sumber pendapatan rumah
tangga. Jarak lahan dengan sumber air menentukan besaran usaha dan biaya yang
dibutuhkan ketika menghadapi bencana iklim kekeringan. Jarak lahan dengan
jalan raya atau jalan usaha tani menentukan kemudahan akses petani ke lahan baik
untuk aktivitas budidaya maupun panen. Lahan yang dekat dengan jalan raya
maupun jalan usaha tani juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga
pemiliknya memiliki posisi tawar yang lebih menguntungkan. Selain luas dan
jarak, posisi kelerengan lahan juga penting bagi petani. Posisi lahan di lereng yang
miring lebih rawan terhadap kondisi iklim terutama saat musim hujan karena
54

rentan dengan bahaya erosi. Sebaliknya posisi lahan di lokasi yang datar
memberikan kemudahan dalam proses pengolahannya.
Berdasarkan kondisi lima modal di tingkat rumah tangga petani tersbeut,
ditemukan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani
maka nilai akses terhadap modal relatif lebih tinggi. Pada Gambar 14
tergambarkan bahwa petani dengan penguasaan lahan 1 ha memiliki akses yang
lebih leluasa terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial,
dan modal sumberdaya alam. Sebaliknya bagi yang tidak menguasai lahan modal
yang dapat diandalkan adalah modal sosial dan modal manusia. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kekhawatiran atas kerentanan terhadap perubahan iklim
lebih tinggi bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan dan juga petani
dengan lahan sempit.

Modal
Manusia
4
3.5
3
2.5
Modal 2 Tidak Menguasai Lahan
1.5
Sumberdaya Modal Sosial
Alam
1 0,1 ha x 0,3 ha
0.5
0 0,3 ha x 0,5 ha
0,5 ha x 1 ha
1 ha

Modal
Modal Fisik
Finansial

Sumber: Data Primer (2014)

Gambar 14 Karakteristik Modal Petani Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan

Sesuai dengan kondisi akses terhadap lima modal utama yang telah
disebutkan diketahui keterkaitan antara karakteristik rumahtangga petani
berdasarkan penguasaan lahan dengan tiga aspek utama kerentanan berdasarkan
definisi IPCC (2007) bahwa kerentanan berkaitan dengan tiga hal utama yaitu
keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif masyarakat. Berdasarkan akses
petani terhadap lima modal utama (Gambar 11) terpetakan aspek kerentanan
petani terhadap perubahan iklim sesuai dengan penguasaan lahan pertanian pada
tingkat rumah tangga.

1. Tingkat Keterpaparan (exposure)


55

Kolopaking (2011) merumuskan dua indikator yang dapat digunakan


untuk menilai tingkat keterpaparan dan relevan diterapkan pada rumah tangga
petani di dataran tinggi. Indikator pertama adalah kedekatan properti atau sumber
mata pencaharian keluarga meliputi rumah, lahan pertanian, sumber mata
pencaharian dan properti lainnya terhadap pusat bencana (banjir, bahaya longsor,
dan kekeringan). Indikator kedua berhubungan dengan upaya atau langkah-
langkah penanganan bencana yang sudah dilakukan dan tingkat keberhasilan
(efektivitas) upaya yang dilakukan dalam mengurangi besarnya dampak. Kawasan
Dataran Tinggi dieng merupakan kawasan yang telah terpapar kejadian perubahan
iklim. Peningkatan curah hujan pada saat bulan basah menyebabkan intensitas
kejadian longsor semakin tinggi, sebaliknya pada musim kemarau terjadi
kekeringan yang mengancam aktivitas pertanian.
Diketahui bahwa mayoritas penduduk di Dataran Tinggi Dieng bergantung
pada sektor pertanian lahan kering berupa pertanian kentang yang memerlukan
perlakuan khusus dalam menghadapi kondisi iklim. sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa lokalitas perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng terkait
dengan lima kejadian iklim utama yaitu curah yang ekstrem, situasi kekeringan,
angin ribut, suhu ekstrem, dan iklim yang sulit diprediksi. Kondisi iklim tersebut
memberikan paparan bagi rumah tangga pertanian terutama paparan bagi rumah
tempat tinggal, sumber mata pencaharian, lahan pertanian, aset bergerak, dan aset
tidak bergerak. Aset bergerak meliputi kendaraan, traktor, dan alat-alat pertanian
seperti genset, mesin penyemprot, dan lain-lain. Aset tidak bergerak meliputi
gudang penyimpanan hasil panen kentang dan kios.
Prediksi dan penjelasan historis mengenai kondisi iklim di Dataran Tinggi
Dieng menunjukkan bahwa ancaman perubahan iklim yang terberat yang dialami
oleh petani adalah curah hujan yang tinggi dan ancaman kekeringan di musim
kemarau. Ancaman iklim tersebut memberikan paparan yang relatif sama bagi
keseluruhan wilayah di Dataran Tinggi Dieng dengan karakteristik kawasan yang
sama. Tingkat paparan menjadi berbeda jika diperdalam di tingkat rumah tangga.
Meskipun di wilayah yang terpapar dengan perubahan iklim namun di tingkat
rumah tangga ada yang masuk kategori rentan dan tidak rentan. Hal ini dinilai
berdasarkan status penguasaan lahan pada lima kategori rumah tangga.
Lima kategori rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng seluruhnya
terpapar oleh dampak perubahan iklim. Perbedaannya adalah rumah tangga
dengan penguasaan lahan semakin sedikit atau bahkan tidak menguasai lahan
memiliki tingkat keterpaparan yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan
efektifitas penanganan dampak keterpaparan perubahan iklim yang lebih rendah
dibanding rumah tangga penguasa lahan yang memiliki aset. Kondisi yang
demikian menunjukkan bahwa meskipun keterpaparan berkaitan erat dengan
properti yang dikuasai di tingkat rumah tangga, namun keterpaparan tersebut
dapat direduksi apabila rumah tangga memiliki efektifitas yang baik terhadap
penanganan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
56

Tabel 18 Aspek keterpaparan terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga
berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun 2014

No Aspek Tidak 0,1 ha 0,3 ha 0,5 ha 1 ha


Keterpaparan Menguasai x < 0,3 x < 0,5 x < 1 ha
Lahan ha ha
1 Rumah tempat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
tinggal
2 Lahan pertanian Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
3 Sumber mata Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang
pencaharian
4 Aset bergerak Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang
5 Aset tidak Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang
bergerak
Efektifitas Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
penanganan
Tingkat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah
Keterpaparan
Sumber: Data Primer (2014)
Keterangan: diperoleh dari skoring variabel keterpapararan

2. Tingkat Sensitivitas

Tingkat sensitivitas menunjukkan derajat suatu sistem yang terpengaruh


oleh perubahan iklim dan bagaimana sistem tersebut mampu responsif dengan
perubahan. Sistem berkaitan dengan konteks sosial dan ekonomi dari area yang
terkena dampak. Perubahan iklim memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
kelompok rumah tangga di Dataran Tinggi Dieng, hal tersebut dikarenakan
perbedaan tingkat sensitivitas terhadap ancaman iklim. rumah tangga dengan
kategori non-penguasa lahan atau yang mayoritas menjadi buruh tani merupakan
kelompok yang paling sensitif terhadap ancaman perubahan iklim.
Kelompok non-penguasa lahan memiliki ancaman yang tinggi akibat
kehilangan mata pencaharian, tidak memiliki jaminan keamanan (berupa asuransi,
jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dll), kerusakan properti rumah tangga,
tidak memiliki investasi maupun tabungan, juga rendahnya akses terhadap
informasi. Sebaliknya bagi petani dengan penguasa lahan, semakin luas lahan
yang dikuasai petani semakin memiliki jaminan keamanan berupa asuransi,
pendidikan yang lebih baik, ada investasi dan tabungan, akses informasi lebih
terbuka, dan kemungkinan mobilitas lebih tinggi. Pada kasus petani di dataran
tinggi, tingkat sensitivitas tersebut berkaitan dengan 9 aspek yaitu sumber
pendapatan utama pertanian, sumber pendapatan sampingan, pengeluaran rumah
tangga, investasi/tabungan rumah tangga, kondisi keamanan/tingkat kriminalitas,
perubahan lingkungan/ekosistem, sumber air bersih untuk keluarga, akses air
bersih ketika terjadi bencana iklim, dan sumber air untuk pertanian.
57

Tabel 19 Aspek sensitivitas terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga
berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun 2014

No Aspek sensitivitas Tidak 0,1 ha x 0,3 ha 0,5 ha 1 ha


Menguasai 0,3 ha x 0,5 x 1 ha
Lahan ha
1 Sumber pendapatan Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah
utama pertanian
2 Sumber pendapatan Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah
sampingan
3 Pengeluaran rumah Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah
tangga
4 Investasi/tabungan Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah
rumah tangga
5 Kondisi Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah
keamanan/tingkat
kriminalitas
6 Perubahan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
lingkungan/ekosistem
7 Sumber air bersih Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang
untuk keluarga
8 Akses air bersih ketika Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang
terjadi bencana iklim
9 Sumber air untuk Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
pertanian
Sensitivitas terhadap Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah
perubahan iklim secara
keseluruhan
Kemampuan responsif Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
Sumber: diolah dari data primer (2014)
Keterangan: diperoleh dari skoring variabel keterpapararan

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 19 bahwa kelompok rumah tangga


non-penguasa lahan dan rumah tangga dengan penguasaan lahan sempit
merupakan kelompok yang paling sensitif terhadap dampak negatif perubahan
iklim. Sebaliknya petani dengan penguasaan aset yang lebih banyak termasuk
menguasai lahan lebih luas mampu lebih responsif terhadap sensitivitas dampak
perubahan iklim. Sensitivitas dibentuk karena tren pertanian kentang di Dataran
Tinggi yang berkontribusi terhadap pengingkatan skala resiko iklim karena terjadi
dengan cepat dan dalam skala masif. Pembukaan lahan untuk pertanian mengubah
fungsi ekosistem yang seharusnya menjadi penyangga wilayah. Selain itu,
pertumbuhan penduduk yang tinggi juga tidak dipungkiri meningkatkan
kebutuhan atas tanah dan kendaraan serta kebutuhan lainnya sehingga wilayah
dapat lebih sensitif terhadap perubahan iklim.
Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan musim sukar diprediksi
menimbulkan dampak negatif bagi kegiatan pertanian berupa ancama hasil panen,
kebutuhan biaya budidaya yang semakin meningkat, dan ketidakpastian pasar. Hal
ini terutama akan membawa dampak bagi mata pencaharian petani miskin
58

(golongan non-penguasa lahan dan penguasa lahan sempit < 0,3 ha serta
membawa dampak bagi harga hasil pertanian. Selanjutnya kondisi tersebut
menambah beban bagi rumah tangga petani miskin yang telah sulit membeli
kebutuhan pokok. Pendapatan yang tidak menentu karena ketergantungan
dipekerjakan oleh penguasa lahan serta kenaikan harga dapat semakin
menyulitkan mereka. Meskipun diketahui bahwa kelompok rumah tangga petani
miskin menjadi sasaran berbagai program pengentasan kemiskinan dari
pemerintah seperti Raskin, BLSM, BOS, Jamkesmas, dan lain-lain, namun
program-program tersebut seringkali tidak tepat sasaran. Bantuan program dari
pemerintah belum dapat diandalkan untuk menjadi alat dalam menghadapi
perubahan iklim. Meskipun telah ada program namun kelompok rumah tangga
miskin masih tetap sensitif terhadap perubahan iklim.
Sensitivitas merupakan keterkaitan antara ancaman iklim dengan konteks
sosial ekonomi dari sistem yang terkena dampak. Fenomena kelompok rumah
tangga yang paling sensitif terhadap perubahan iklim adalah rumah tangga non-
penguasa laha atau pun penguasa lahan < 0,3 ha yang terancam keberlanjutannya
melakukan kegiatan pertanian. Masyarakat miskin penguasa lahan < 0,3 ha
sensitif terhadap harga-harga sarana produksi pertanian dan piaya pengolahan
lahan. Akibatnya penguasaan lahan yang sempit mendorong mereka untuk
menjual atau menyewakan lahannya kepada petani yang memiliki modal lebih
besar. Setelahnya mereka memilih untuk bekerja di tempat petani yang membeli
atau menyewa lahannya, atau pilihan lain adalah bekerja di sektor informal di luar
sektor pertanian.

3. Kapasitas Adaptif

Kapasitas adaptif merupakan potensi atau kemampuan suatu sistem


mampu beradaptasi dengan adanya perubahan iklim (diantaranya keberagaman
iklim dan cuaca ekstrem), terhadap potensi bahaya sedang, mengambil manfaat
atas kesempatan atau dalam menghadapi konsekuensi-konsekuansinya (IPCC,
2007). Disebutkan oleh UN-HABITAT, UNDP, dan UNEP (2013) bahwa
kapasitas adaptasi merujuk pada aksi baik individu maupun bersama-sama yang
dilakukan oleh rumah tangga, masyarakat, organisasi atau lembaga untuk
meminimalkan potensi dampak perubahan iklim. Kualitas yang membantu
kapasitas beradaptasi suatu sistem merupakan kombinasi dari elemen-elemen fisik
dan sosial kelembagaan yang mendukung kemampuan sistem yang beradaptasi
terhadap perubahan iklim.
Kapasitas adaptif rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dinilai dari
6 aspek yaitu sistem peringatan dini, upaya persiapan untuk menghadapi bencana,
upaya saat menghadapi bencana, kerjasama dengan pihak lain, upaya setelah
menghadapi bencana, dan dukungan sistem kelembagaan. Lebih lanjut
ditampilkan pada Tabel 20 bahwa keenam aspek penilaian kapasitas adaptif
tersebut lebih kuat pada rumah tangga petani yang menguasai lahan lebih luas.
Pada rumah tangga petani dengan penguasaan lahan di atas 0,5 ha tingkat
kapasitas adaptifnya lebih tinggi dibanding dengan rumah tangga yang menguasai
> 0,3 ha dan bahkan non-penguasa lahan.
59

Tabel 20 Aspek kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim per kategori rumah
tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun
2014

No Aspek kapasitas Tidak 0,1 ha x 0,3 ha x 0,5 ha 1 ha


adaptasi menguasai 0,3 ha 0,5 ha x 1 ha
Lahan
1 Sistem peringatan Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
dini
2 Upaya persiapan Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
untuk menghadapi
bencana iklim
3 Upaya saat Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
menghadapi bencana
ikilm
4 Kerjasama dengan Rendah Sedang Sedang Tinggi Tinggi
pihak lain
5 Dukungan sistem Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
kelembagaan
Kapasitas Adaptasi Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi
Sumber: data primer (2014)
Keterangan: diperoleh dari skoring variabel kapasitas adaptasi

Berdasarkan penjelasan mengenai 3 aspek yang melekat dalam analisa


kerentanan terhadap perubahan iklim meliputi keterpaparan, sensitivitas, dan
kapasitas adaptif dapat dibuat satu tabel ringkas yang menjelaskan karakteristik
terpaparan pada rumah tangga petani berdasarkan luas penguasaan lahannya
(Tabel 21). Kerentanan terhadap perubahan iklim lebih tinggi pada rumah tangga
rumah tangga dengan penguasaan lahan semakin sempit (dibawah 0,3 ha hingga
non-penguasa lahan). Hal ini disebabkan terdapat kecenderungan bahwa semakin
luas penguasaan lahan memberikan kemungkinan akses yang lebih luas juga
terhadap aset-aset yang ada. Bagi penguasa lahan luas, kerugian akan dampak
perubahan iklim terhadap kegiatan pertanian yang dilaksanakan dapat ditutupi
dengan adanya aset lain yang dikuasai.

Tabel 21 Kerentanan petani terhadap perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng


berdasarkan karakteristik penguasaan lahan pertanian tahun 2014
No Karakteristik Keterpaparan Sensitivitas Kapasitas Kerentanan
Kepemilikan Lahan Adaptasi
1 Tidak memiliki Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
Lahan
2 0,1 ha x 0,3 ha Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
3 0,3 ha x 0,5 ha Sedang Sedang Sedang Sedang
4 0,5 ha x 1 ha Rendah Sedang Tinggi Rendah
5 1 ha Rendah Rendah Tinggi Rendah
Sumber: Data Primer (2014)
60

Penelaahan kerentanan terhadap perubahan iklim pada aras rumah tangga


dengan melihat keterhubungan antara aspek keterpaparan, sensitivitas, dan
kapasitas adaptif dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga atau daya kreatif
rumah tangga untuk menghadapi tantangan iklim. Selain itu hal terpenting adalah
bagaimana rumah tangga tersebut dapat membuat jaringan sosial yang menjadi
modal bagi mereka untuk memperoleh informasi, termasuk informasi pekerjaan
untuk bertahan hidup. Meskipun kerentanan rumah tangga bukan acuan bagi
tingkat kerentanan sebuah komunitas terhadap perubahan iklim, namun analisa
kerentanan perubahan iklim di tingkat rumah tangga lebih relevan dengan tujuan
penanganan terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini disebabkan upaya-upaya
bertahan hidup terutama pada komunitas petani dengan penguasaan lahan sempit
dan buruh tani di Dataran Tinggi Dieng lebih menarik diri dari perkumpulan
komunitas dan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Menurut Smit dan Wandel (2006) pada level komunitas yang lebih
terpapar dan sensitif terhadap stimulus iklim akan mengalami tingkat kerentanan
yang lebih tinggi, namun apabila kapasitas adaptifnya bagus maka kerentanannya
dapat tereduksi. Hal ini memberikan satu konsekuensi bahwa suatu komunitas
dapat memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim apabila komunitas
tersebut memiliki kapasitas adaptasi yang baik. Namun demikian kondisi
kapasitas adaptif yang bagus di tingkat komunitas di Dataran Tinggi Dieng tidak
dapat digeneralisir berlaku dalam setiap satuan rumah tangga dalam komunitas
tersebut karena penguasaan aset atau sumber daya bersifat individual yang
terorganisir dalam rumah tangga. Semakin besar aset yang dikuasai oleh rumah
tangga petani maka kerentanan terhadap perubahan iklim semakin dapat tereduksi
dan sebaliknya.

Strategi Adaptasi Petani Dataran Tinggi Terhadap Perubahan Iklim

Masuknya pertanian kentang di Dataran tinggi Dieng membuka jalan bagi


petani untuk melakukan praktek pertanian komersial dengan selang musim panen
yang pendek. Masuknya komoditi kentang telah menjadi titik pemaksimalan
produksi usahatani baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Introduksi
komoditi komersial merupakan bentuk modernisasi bidang pertanian yang tidak
dipungkiri memberikan pola baru dalam kehidupan komunitas petani. Petani
memerlukan daya kreatif untuk menghadapi berbagai tantangan terkait dengan
pelaksanaan aktivitas pertanian termasuk dalam menghadapi perubahan iklim.
menghadapi persoalan iklim terutama lima kejadian iklim yang terjadi di Dataran
Tinggi Dieng petani melakukan upaya adaptasi dalam meminimalkan kerugian
akibat dampak perubahan iklim.

1. Adaptasi Tingkat Rumah Tangga


Adaptasi pada tingkat rumah tangga petani dalam menghadapi kondisi
iklim yang tidak menentu ditentukan oleh seberapa banyak aset yang dimiliki oleh
rumah tangga tersebut. Pada dasarnya setiap rumah tangga memiliki kapasitas
adaptif. Namun demikian intensitas kekuatan kapasitas adaptif sangat ditentukan
dari jumlah aset yang dikuasai terutama lahan pertanian. Semakin luas lahan
pertanian dan aset yang dikuasai maka upaya adaptasi yang dilakukan menjadi
61

semakin mudah. Hal ini disebabkan adaptasi berhubungan erat dengan sistem
sosial dan ekonomi yang dihadapi. Sebagaimana penjelasan lima aset yang telah
dijelaskan sebelumnya, petani dengan penguasaan lahan di atas 0,5 ha lebih
memiliki akses terhadap berbagai aset baik sumber daya alam, sumber daya
manusia, finansial, fisik, maupun sosial.
Pada konteks rumah tangga petani kentang di Dataran Tingi Dieng,
strategi adaptasi dilakukan di berbagai aspek terutama terkait dengan kebutuhan
dasar yakni berhubungan dengan mata pencaharian, pangan, dan kesehatan.
Adaptasi mata pencaharian lebih mengarah pada upaya adaptasi yang dilakukan
untuk kegiatan pertanian dan pengalihannya terhadap kegiatan lain apabila
pertanian tidak dapat lagi diandalkan. Aspek pangan terkait dengan upaya
pemenuhan kebutuhan pangan yang sifatnya fluktuatif terutama pada rumah
tangga petani dengan aset rendah termasuk buruh tani. Pada aspek kesehatan,
adaptasi berhubungan dengan kondisi sanitasi baik di lingkungan rumah tangga
maupun komunitas.

Adaptasi Mata Pencaharian

1. Pada musim kemarau normal terjadi kekurangan air bagi petani yang lahannya
jauh dari sumber air. Upaya antisipasi adalah melakukan pengambilan air dari
sungai atau telaga yang jaraknya berkilo-kilo meter. Bagi petani yang
menggarap lahan sangat jauh dari sumber air akan memilih untuk tidak
menanam pada musim kemarau dan bahkan hanya menanam satu kali setahun.
2. Pada musim hujan terutama di Bulan November Desember Januari petani
mengantisipasi musim hujan dengan tidak menanam atau memajukan bulan
tanam. Pada Bulan November Januari tanaman kentang petani rentan dengan
guyuran hujan dan angin ribut yang dapat sewaktu-waktu terjadi. selain itu
sebagian petani juga mengganti jenis tanaman lain selain kentang yaitu
tanaman hortikultur berupa kol, wortel. Bagi petani yang memajukan waktu
tanam harus mempersiapkan modal yang cukup besar terutama untuk
menyediakan benih karena implikasi dari pergeseran musim tanam adalah
kemungkinan ketiadaan benih. Jika benih tidak tersedia maka petani akan
absen menanam.
3. Pergeseran musim disiasati oleh petani lebih ke arah teknis pengendalian hama
dan penyakit, petani menggunakan patokan kalender islam yang diperkirakan
setiap tanggal 28 Bulan Syawal merupakan awal musim hujan.
4. Terkait kondisi iklim yang tidak menentu dilakukan oleh rumah tangga petani
dengan: (a) mencari benih kentang yang bagus; (b) menanam dengan kapasitas
yang tidak terlalu banyak; (c) membuat selingan tanaman hortikultur lain selain
kentang, seperti wortel dan sayuran; (d) pada musim penghujan petani memilih
pupuk yang tidak banyak mengandung unsur N (Nitrogen) dan pada musim
kemarau menggunakan pupuk dengan kandungan N yang lebih tinggi. Jenis
adaptasi yang sifatnya teknis ini lebih mudah dilakukan oleh rumah tangga
dengan kepemilikan aset tinggi karena selain tersedia modal, mereka biasanya
sudah memiliki rencana apabila terjadi kondisi musim yang tidak diharapkan.
Sebaliknya bagi rumah tangga dengan aset rendah maka jenis adaptasi ini
merupakan pilihan yang berat meskipun mereka tahu bahwa demi
62

keberlanjutan usaha tani pilihan adaptasi ini perlu dilakukan, namun apabila
dipaksakan akhirnya dapat mengantar mereka pada jerat hutang.
5. Bagi rumah tangga petani dengan penguasaan lahan sempit (0,1 0,3 ha), salah
satu pilihan beradaptasi dengan kondisi musim yang ada adalah dengan
menyewakan atau menjual lahannya kepada petani yang memiliki modal lebih
besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa menyewakan lahan atau
menjual lahan kepada petani lain dirasa lebih menguntungkan dibandingkan
mereka harus melakukan budidaya sendiri. Apabila petani menyewakan
lahannya, dalam periode 1 tahun pendapatan yang diperoleh dari penyewaan
lahan berkisar antara Rp 3.000.000,00 Rp 4.000.000,00 ditambah dengan
penghasilan serabutan yang dapat mereka peroleh dari menjadi buruh di tempat
petani lain. Kondisi tersebut dirasa lebih menguntungkan dibandingkan mereka
melakukan budidaya pertanian sendiri dengan modal yang berlipat-lipat
besarnya.
6. Bagi rumah tangga petani yang telah menyewakan atau menjual lahannya,
banyak diantaranya yang menjadi ojek pengangkut kentang. Besaran
pendapatan dalam sekali pengangkutan kentang antara Rp 15.000, 00 Rp
25.000,00 tergantung tingkat kesulitan medan dan jarak lahan. Dalam satu hari
pengojek kentang dapat mengangkut 4 hingga 7 kali. Pendapatan ini dirasa
lebih baik dibandingkan mereka langsung mengolah lahan sendiri dengan
resiko iklim yang lebih tinggi.

Adaptasi Pangan

Kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat,


tidak terkecuali bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Apabila kebutuhan ini belum
tercukupi, mereka tidak akan fokus memperhatikan kebutuhan lain. Kebutuhan
pangan dalam kondisi perubahan iklim yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng yang
dihadapi oleh rumah tangga petani berkaitan strategi adaptasi mata pencaharian
yang dilakukan oleh rumah tangga. Kebutuhan akan makanan bagi rumah tangga
petani di Dataran Tinggi Dieng bukan sebagai takaran makan nasi tiga kali sehari
saja. Suhu yang dingin membentuk pola kebiasaan makan yang khas. Pada pagi
hari, sembari menghangatkan badan di depan tungku atau anglo, setiap anggota
rumah tangga menikmati seduhan kopi atau teh panas yang dilengkapi dengan
camilan baik berupa gorengan maupun makanan ringan. Mereka menyebutnya
dengan medangan. Makan nasi biasanya dilakukan ketika berada di lahan
pertanian pada pukul 10.00 pagi atau disebut dengan puluk dan juga sore atau
malam hari. Pola makan nasi petani cenderung dua kali sehari.
Pola tersebut hampir merata bagi rumah tangga-rumah tangga petani yang
ada. Hal yang membedakan adalah dari tingkat ketersediaan pangan yang ada di
dalam suatu rumah tangga. Klasifikasi rumah tangga berdasarkan tingkat
penguasaan lahannya telah menentukan bagaimana upaya adaptasi yang dilakukan
dalam rangka menghadapi dampak iklim yang melanda di kawasan mereka. Bagi
rumah tangga petani dengan penguasaan lahan di atas 0,5 ha dapat dikatakan
untuk kebutuhan pangan ini relatif masih aman karena terpenuhi dari penghasilan
pertaniannya yang masih cukup. Jenis medangan yang tersedia juga lebih
bervariasi dan disediakan tidak hanya untuk kebutuhan pagi hari atau satu hari
63

saja tetapi distok untuk beberapa hari. Sebaliknya, pada rumah tangga dengan
penguasaan lahan di bawah 0,5 ha atau bahkan non penguasa lahan (buruh tani),
kebutuhan pangan untuk medangan tidak menjadi prioritas ketersediaannya.
Pangan lebih diproritaskan untuk pangan pokok nasi dan lauk.
Adaptasi Kesehatan

Hal yang mengkhawatirkan pada aspek kesehatan adalah pada lingkungan


dusun yang jauh yakni kondisi sanitasinya relatif lebih buruk dibandingkan
dengan area-area yang dekat dengan kota kecamatan. Pada lokasi penelitian di
Desa Batur, wilayah dusunnya khususnya di Dusun Tieng, Njlegong, Mbakalan,
merupakan wilayah dengan kondisi kesehatan yang masih perlu mendapatkan
perhatian ketat. Aspek sanitasi sekaligus sarana dan prasarana kesehatan masih
minim, banyak warganya yang masih membuang hajat di sungai. Selain itu dusun
yang masih minim kondisi kesehatannya ada di Tlagabang, yang kesulitan akses
ke bidan desa karena lokasinya paling jauh (bersentuhan juga dengan wilayah
Perhutani). Di Dusun Njlegong, terdapat polindes namun kondisinya tidak terawat
dan bangunannya kurang memenuhi syarat. Saat ini untuk Dusun Tlagabang,
Majatengah, dan Bandingan menggunakan satu polindes di Tlagabang.
Sub kesehatan desa saat ini masih kurang, misalnya penerapan pola hidup
bersih dan sehat (PHBS) yang masih timpang diusahakan. Sebagai contoh pola
hidup bersih tetapi masih membuah sampah sembarangan. Hal ini disebabkan
oleh kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam program pemilahan sampah
dan sifat pendanaan yang masih swadaya dan minim. Selama ini pembuangan
sampah masih dicampur termasuk sampah pertanian, bangkai, dan pupuk
kandang. Demikian juga pada kondisi rumah dan jamban, tidak semua rumah
memiliki jamban. Meskipun secara ekonomi memiliki kesejahteraan yang tinggi
namun kesadaran kesehatan masih rendah. Biasanya kamar mandi + dapur +
peralatan pertanian menjadi satu, dalam beberapa kasus juga bersatu dengan
kandang ternak.
Kondisi sanitasi dan air bersih di Desa Batur saat ini ditengarai sudah
tercemar kuman dari kualitas A menjadi kualitas C. Semakin wilayahnya jauh dari
sumber air maka kondisi airnya semakin buruk. Hal ini diduga terjadi pencemaran
di jalan sepanjang aliran air tersebut. Kontaminasi bisa berasal dari proses
pengobatan tanaman pertanian dan proses buang sampah sembarangan. Proporsi
sampah organik jauh lebih besar dibanding sampah anorganik dan meskipun
terurai namun sampah organik ini juga berpengaruh terhadap kondisi sanitasi.
Secara umum, kondisi iklim yang tidak menentu akibat fenomena perubahan
iklim berpengaruh terhadap aspek kesehatan di seluruh wilayah Dataran Tinggi
Dieng. Bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani
terdorong oleh bagaimana segenap warga di lingkungan tersebut dalam
melakukan hal yang sama serta bagaimana kondisi lingkungan yang ada.

2. Adaptasi Tingkat Komunitas

Pada level komunitas strategi adaptasi berkaitan dengan upaya-upaya


pengaturan komunitas dalam pengelolaan tenaga kerja pertanian dan pembentukan
kelompok-kelompok yang fokus pada penanganan persoalan pertanian.
Menghadapi kondisi sulitnya memperoleh tenaga kerja di tengah tuntutan
64

keperluan tenaga kerja di musim-musim ekstrem, petani saling bekerjasama untuk


menentukan giliran penggunaan tenaga kerja dengan sistem menunggu selesainya
pekerjaan di lahan petani lain. Hal tersebut meningkatkan intensitas komunikasi
antar petani yang mengolah lahan. Kondisi iklim yang tidak menentu
menimbulkan kesadaran bagi petani terutama pada golongan muda untuk perlu
memiliki wadah bersama guna membahas persoalan pertanian. Terdapat beberapa
perkumpulan petani khususnya pada golongan muda diantaranya Asosiasi
Penangkar Benih Kentang dan Komunitas Petani Kentang Dieng.
Asosisasi Penangkar Benih Kentang anggotanya terdiri dari perkumpulan
kelompok tani sejumlah 40 kelompok di Dataran Tinggi Dieng. Kegiatan asosiasi
ini adalah dalam kegiatan pembenihan. Saat ini ada 17 orang penangkar yang
berasal dari kelompok tani maupun perorangan. Selain kegiatan pembenihan
asosiasi juga melepas benih yang sudah siap ke masyarakat (petani) jika benih
layak dilepas. Komunikasi dengan petani terus dijalankan dan petani difasilitasi
untuk memenuhi stok benih. Asosiasi bekerjasama dengan kelompok tani non-
penangkar yang mengembangkan benih menjadi kentang konsumsi. Selain itu
Asosiasi juga berhubungan erat dengan Dinas Pertanian dan Balai Penelitian
Tanaman pangan (BPTP). Asosiasi berdiri secara independen, belum berbadan
hukum tetapi dilirik untuk dapat berdiri secara formal. Asosiasi pernah mengikuti
Pekan Kentang Nasional dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) tahun
2008.
Komunitas Petani Kentang Dieng (KPKD) berbentuk komunitas dalam
jejaring sosial facebook yang terbentuk sejak tahun 2013. karena aktif di jejaring
sosial facebook maka komunitas ini mengadakan pertemuan (kopi darat) setiap
satu bulan sekali pada hari jumat legi selepas solat jumat. Komunitas memiliki
ketua dan administrator yang mengurus facebook. Kegiatan kopi darat biasanya
dihadiri sekitar 30 orang meliputi seluruh petani di Dataran Tinggi Dieng.
Komunitas ini memiliki koordinator pada setiap desa di Dataran Tinggi Dieng.
Meskipun dinamakan Komunitas Petani Kentang Dieng tapi keanggotaannya
dapat diikuti secara terbuka oleh siapa pun di facebook dan saat ini sudah
mencapai 1.700 anggota. Kegiatan yang dilakukan ketika kopi darat adalah
diskusi seputar pertanian mulai dari kegiatan pra hingga pasca panen. Komunitas
ini menjadi sarana tukar-menukar informasi antar petani kentang dari berbagai
daerah. Komunitas ini disebutkan sebagai komunitas independen yang tidak
tergabung dengan institusi apa pun termasuk pemerintah desa. Komunitas ini 95%
diikuti oleh anak muda yang rata-rata bisa lebih kritis. Komunitas ini menjadi
wadah untuk menyaring berbagai informasi sekaligus menjadi sarana untuk
mengintorduksikan teknologi.
Munculnya kelompok dan komunitas yang memiliki perhatian terhadap
perubahan kondisi iklim merupakan peluang bagi upaya adaptasi supaya petani
lebih resisten terhadap perubahan iklim. Namun demikian perkembangan
kelompok-kelompok tersebut perlu diperhatikan dengan lebih mendalam karena
anggota kelompok yang tergabung rata-rata adalah petani yang memiliki
pendidikan tinggi dan terdedah media sosial. Bagi petani golongan menengah dan
tua yang tidak terlalu paham dengan media sosial, perkumpulan terbatas pada
kelompok tani. Secara umum terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan yang ada
di masyarakat petani di Dataran Tinggi Dieng dapat menjadi sarana yang efektif
bagi proses pertukaran informasi di antara petani. Pertukaran informasi tersebut
65

penting karena menunjukkan tingkat keberdayaan petani. Hanya saja jangkauan


perkumpulan yang ada baik kelompok tani, asosiasi benih, maupun komunitas
petani kentang lebih mengarah pada petani yang menguasai lahan (baik petani
pemilik maupun penggarap). Artinya kelompok petani yang tidak menguasai
lahan atau buruh tani masih belum mau masuk dalam perkumpulan ada. Hal ini
tidak terjadi begitu saja namun bagi mereka yang menjadi buruh tani lebih sibuk
untuk mencari sumber penghidupan dibanding menghabiskan waktu untuk
berkumpul.

6 ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM SEBAGAI STRATEGI


PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN

Respons Para Pihak Terhadap Penanganan Dampak Perubahan Iklim Di


Dataran Tinggi Dieng

Analisis mengenai kerentanan rumah tangga terhadap perubahan iklim


berdasarkan penguasaan lahan dan upaya-upaya adaptasi yang telah dilakukan di
Dataran Tinggi Dieng menjadi hal yang penting. Hal tersebut memberikan
pemahaman bagaimana strategi penghidupan pada tingkat lokal dilakukan dan
apakah memberikan keberlanjutan bagi pelakunya khususnya pada tingkat rumah
tangga. Selain itu keberlanjutan tidak hanya berkaitan dengan petani sebagai
pelaku tetapi juga perhatian berbagai pihak yang terhubung di dalamnya,
mengingat Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah kawasan yang memberikan
dampak dan manfaat bagi banyak pihak. Para pihak yang memiliki perhatian
khusus bagi keberlanjutan ekosistem di Dataran Tinggi Dieng adalah pemerintah,
swasta, lembaga donor, dan masyarakat. Meskipun tidak secara langsung disebut
sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim, namun upaya-upaya yang dilakukan
berkaitan dengan konteks adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pada aras Dataran Tinggi Dieng sebagai sebuah kawasan, perhatian
banyak diberikan pada upaya pemulihan ekosistem. Kekhawatiran akan kerusakan
ekosistem di kawasan tersebut mendorong berbagai pihak melakukan upaya-
upaya bagi penanganan dampak. Meskipun belum secara tersurat disebutkan
bahwa aksi-aksi yang dijalankan merupakan aksi untuk mengatasi perubahan
iklim, namun beberapa hal yang akan dibahas di bawah ini memiliki pengaruh
terhadap penanganan resiko iklim dan upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh
rumah tangga petani.

1. Pemerintah
Respons pemerintah terutama dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
dalam upaya penanganan kawasan Dieng difokuskan pada perencanaan tata ruang
wilayah yang dikukuhkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara
Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2011-2031. Terdapat beberapa hal yang mencakup
pengaturan khususnya di wilayah Dataran Tinggi Dieng dan Kecamatan Batur
66

dalam Perda tersebut. Pengaturan-pengaturan yang disebutkan tercantum pada


Tabel 22.

Tabel 22 Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 11 Tahun 2011 yang


Terkait dengan Pengaturan Kawasan Dataran Tinggi Dieng dan
Kecamatan Batur

No Jenis Pengaturan Bab, Pasal, Ayat


1 Kecamatan Batur diarahkan sebagai kawasan Pasal 8 Ayat 2
agropolitan berupa pengembangan kawasan
sentra produksi berbasis komoditas unggulan
yaitu kawasan sentra produksi kentang, sayur-
sayuran, dan Domba Batur
2 Kecamatan Batur merupakan kawasan Pasal 37 Ayat 2 dan Pasal
strategis letak hutan lindung dan area resapan 38 Ayat 2, Pasal 43 Ayat
air, terdapat 6 sumber mata air di Kecamatan 2 poin n
Batur
3 Terdapat dua cagar alam di Kecamatan Batur, Pasal 45 poin c dan d
yaitu Cagar Alam Tlogodringo di Desa
Pekasiran (luas 26 ha) dan cagar alam Tlogo
Sumurup
4 Terdapat cagar budaya dan ilmu pengetahuan Pasal 46 poin a
yaitu komplek Candi Dieng
5 Kecamatan Batur merupakan kawasan rawan Pasal 49. Pasal 50, dan
longsor, bencana gas beracun, dan rawan Pasal 51
kekeringan
6 Kecamatan Batur merupakan kawasan Pasal 52, Pasal 53, Pasal
peruntukan cagar alam geologi, kawasan 55 ayat 2, Pasal 56, Pasal
lindung plasma nutfah, kawasan hutan 59, Pasal 65, dan Pasal 72
produksi terbatas dan hutan produksi tetap, ayat 2,4, dan 4
kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan
hortikultura, kawasan pertambangan panas
bumi, kawasan pariwisata alam Dataran
Tinggi Dieng yang meliputi kawasan
pariwisata budaya Candi Dieng dan kawasan
pariwisata buatan hortikultura
7 Wilayah Dieng merupakan kawasan strategis Pasal 77, Pasal 80 ayat 1
provinsi yang berada di daerah yang terdiri dan 2, Pasal 81 ayat 1
atas (a) kawasan strategis dari sudut poin a dan b, Pasal 82
kepentingan sosial dan budaya berupa ayat 1
kawasan Candi Dieng, kawasan wisata
Dataran Tinggi Dieng merupakan bagian dari
pengembangan kawasan strategis ini;
((b)kawasan strategis dari sudut kepentingan
pendayagunaan alam dan atau teknologi
67

No Jenis Pengaturan Bab, Pasal, Ayat


tinggi berupa kawasan panas bumi Dieng; (c)
kawasan strategis dari sudut pandnag fungsi
dan daya dukung lingkungan hidup berupa
kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Sumber: Diolah dari Perda Kabupaten Banjarnegara Nomor 11 Tahun 2011

Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara No.11 Tahun 2011 tersebut


memberikan pengaturan yang menyeluruh berhubungan dengan kawasan Dataran
Tinggi Dieng yang meliputi potensi maupun kerawanan bencana. Dari sudut
pandang kebijakan, peraturan ini dapat menjadi landasan dan mengakomodir
kepentingan pengelolaan kawasan Dataran Tinggi Dieng. Selain aturan-aturan
yang terangkum pada Tabel 18, sebagai kawasan peruntukan hortikultura, pada
Pasal 126 ayat 4 poin c juga disebutkan ketentuan umum peraturan zonasi pada
pertanian hortikultura yaitu: (1) diarahkan untuk tanaman yang menghasilkan
daun, buah, dan batang; (2) pada kawasan yang memiliki kelerengan di atas 25 %
diarahkan untuk budidaya tanaman tahunan; (3) diizinkan mendirikan rumah
tinggal dengan syarat sesuai dengan rencana rinci tata ruang, dan (4) diizinkan
pemanfaatan ruang untuk pemukiman petani.
Pengaturan mengenai budidaya hortikultura tersebut aplikasinya masih
meleset dari ketentuan. Dalam hal budidaya pertanian pemerintah cenderung
mengikuti apa yang sudah menjadi pola petani dalam melakukan kegiatan
pertanian. Penanaman tanaman semusim berupa kentang menjadi ciri khas yang
sampai saat ini belum dapat diatasi meskipun dalam kajian wilayah tanaman
tersebut mengancam keberlanjutan ekosistem. Ketentuan wilayah dengan
kelerengan 25% harus ditanami dengan tanaman tahunan pada kenyataannya rata
dihabiskan untuk tanaman semusim. Hal inilah yang menjadi polemik tersendiri
dalam pengelolaan kawasan yang sekaligus memberikan dampak yang cukup
signifikan atas terjadinya perubahan iklim. Tidak adanya tanaman penyangga di
wilayah hulu menyebabkan musim kemarau menjadi lebih sulit air bagi petani
karena debit air di telaga-telaga sekitar hulu menjadi berkurang. Implementasi
peraturan yang masih setengah-setengah ini didorong oleh kenyataan bahwa
masyarakat petani sangat bergantung dengan budidaya hortikultura dan belum
memiliki pengganti komoditi yang tepat dengan nilai ekonomi tinggi dan jangka
waktu penanaman pendek seperti kentang.
Pada akhirnya upaya pemerintah daerah yang telah dilakukan sebagai
bentuk implementasi dari Perda No. 11 Tahun 2011 tersebut adalah berfokus pada
upaya pemulihan fungsi lingkungan hidup serta peningkatan kapasitas ekonomi.
Pemulihan fungsi lingkungan hidup di antaranya dengan melakukan pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu yang hulunya dimulai dari kawasan
Dataran Tinggi Dieng. Pada tahun 2013 dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Banjarnegara No. 4 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan DAS. Di antara peraturan
yang ada di dalamnya adalah pasal 35 poin a bahwa tutupan lahan sebagai
jaminan kelestarian sumber daya alam dan sumber daya air untuk kehidupan
masyarakat di wilayah hulu paling sedikit adalah 30 %. Hal tersebut
menerjemahkan aturan yang dituangkan pada Perda No.11 Tahun 2011 pasal 126
ayat 4 poin c tentang ketentuan penanaman pada kelerengan di atas 25% (lihat
Tabel 22)
68

Peningkatan kapasitas ekonomi dilakukan melalui upaya-upaya riil teknis


yang berfokus di bidang pertanian dan kehutanan, bidang pariwisata, dan bidang
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pada bidang pertanian dan kehutanan
difokuskan pada upaya untuk mendorong budidaya tanaman kentang organik,
budidaya carica, serta menggiatkan penanaman kopi dan jeruk keprok. Aktifitas-
aktifitas yang didorong di bidang pertanian tersebut sekaligus mendorong sektor
kehutanan dalam upaya konservasi. Pada bidang UMKM dilakukan dengan
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan industri rumahan
pengolahan carica, keripik kentang, dan industri pengolahan bulu domba. Pada
bidang pariwisata dilakukan penataan lokasi-lokasi wisata, pengembangan
kebudayaan lokal, dan meningkatkan nilai jual wisata di Dataran Tinggi Dieng
melalui penyelenggaraan acara Dieng Culture Festival (DCF) yang
diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2010. DCF meliputi kegiatan paket
wisata alam dan wisata budaya yang biasanya diselenggarakan pada tengah tahun
antara bulan Juli-Agustus. Selain mendorong penjualan pariwisata, pada saat DCF
juga dimanfaatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di
Dataran Tinggi Dieng.
Pemerintah menyadari bahwa masyarakat di Dataran Tinggi Dieng
memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan bisa didorong melalui
peningkatan kapasitas mereka. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
lebih diarahkan pada upaya menciptakan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi
masyarakat yang tidak berbasis lahan. Hal ini diusahakan untuk memutus
anggapan bahwa sumber ekonomi satu-satunya adalah lahan sekaligus upaya
pelestarian kawasan Dataran Tinggi Dieng. Upaya tersebut masih terus dilakukan.

2. Swasta
Keterlibatan sektor swasta untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan
kawasan Dataran Tinggi Dieng telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Banjarnegara No.4 Tahun 2013 tentang Pengelolaan DAS. Pada pasal 48 ayat 1
disebutkan bahwa untuk pengelolaan DAS kontribusi dana coorporate social
responsibility (CSR) sebesar 35 %. Terdapat dua perusahaan besar yang
operasinya terkait dengan kawasan Dataran Tinggi Dieng yaitu PT Geodipa
Energi yang bergerak di bidang sumber energi panas bumi dan PT Indonesia
Power yang menaungi pengelolaan waduk Jenderal Soedirman di Banjarnegara.
Kontribusi yang telah dilakukan oleh pihak swasta berhubungan dengan upaya
konservasi dan penghijauan di Dataran Tinggi Dieng.
Beberapa tahun terakhir telah dilakukan upaya penghijauan atas prakarasa
kerjasama PT Indonesia Power dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Banjarnegara melalui penanaman kopi. Penanaman kopi tersebut merupakan
program yang dimasukkan melalui desa ke kelompok tani dan organisasi pemuda.
Pada tahun 2014 PT Indonesia Power memberikan 10.000 bibit kopi jenis arabica
kepada masyarakat di desa Batur, Karang Tengah, dan Pekasiran untuk ditanam di
lahan pertanian dan di sekitar area Telaga Merdada. Pemilihan komoditas kopi ini
berdasarkan hasil studi banding didaerah Pangalengan, Bandung, Jawa Barat.
Pertimbangan komoditas kopi dapat ditanam di Dataran Tinggi Dieng adalah
kondisi iklim mikro yang sama antara Dieng dan Pangalengan. Penanaman kopi
yang diinisiasi dari kerjasama PT Indonesia Power dengan Dinas Kehutanan dan
69

Perkebunan ini juga dibantu oleh kelompok pecinta alam di Kecamatan Batur
yaitu Kelompok Pecinta Alam Batur (KPAB).
Tidak semua petani penguasa lahan mau menanam kopi di lahan
pertaniannya. Sebagian ada yang memilih menanam beberapa pohon dengan
tujuan mencoba siapa tahu jadi dan dengan syarat tidak membahayakan bagi
tanaman kentang. Golongan petani yang berpartisipasi menanam adalah mereka
yang rata-rata menguasai lahan di atas 0,5 ha. Petani dengan penguasaan lahan
dibawah 0,5 ha jarang yang mau berpartisipasi menanam kopi. Golongan
penguasa lahan dibawah 0,5 ha beralasan bahwa tanaman kopi hanya akan
merimbuni tanaman kentang yang menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak
maksimal dan dapat menurunan pendapatan. Selain itu tanaman kopi dirasa
tumbuh dalam jangka waktu lama sehingga keuntungan ekonomi tidak dapat
segera dinikmati. Alasan-alasan keterlibatan petani untuk berpartisipasi dalam
penanaman kopi ini juga terkait dengan afiliasi mereka terhadap kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam
BAB 5 bahwa semakin luas penguasaan lahan maka akses terhadap modal
semakin tinggi, termasuk akses terhadap informasi.

3. Lembaga Donor
Lembaga donor yang turut berperan dalam upaya perbaikan fungsi
lingkungan melalui proyek proyek Strengthening Community-Based Forest and
Watershed Management (SCBFWM) adalah United Nation Development
Program (UNDP). Proyek tersebut dilakukan untuk menekan angka perusakan
hutan di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo tepatnya di SUB DAS
Tulis yang terus mengalami deforestasi. Proyek SCBFWM tersebut turut
mendorong lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara No. 4 Tahun 2013
Tentang Pengelolaan DAS.
Selain mendorong perbaikan kelembagaan di level pemerintah daerah,
proyek ini mendorong perbaikan kesadaran masyarakat terhadap penyelamatan
lingkungan melalui upaya penanaman tanaman keras di wilayah Dataran Tinggi
Dieng dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah, dan sektor
swasta. Proyek ini dilakukan dalam periode tahun 2010-2014. Berdasarkan
informasi3 sebelum kegiatan SCBFWM angka deforestasi yang terjadi di Sub
DAS Tulis tercatat sekitar 131 hektar per tahun. Lalu dengan target penekanan
angka kerusakan hutan sebesar 25 persen, selama pelaksanaan proyek telah terjadi
tambahan tutupan hutan sekitar 659 hektar. Kegiatan SCBFWM ini selanjutnya
menggerakkan petani-petani muda yang memiliki perhatian terhadap
keberlanjutan pertanian untuk melakukan konservasi di lahan pertanian maupun di
tempat-tempat lain. Termasuk di dalamnya adalah kelompok pecinta alam KPAB
yang selain memiliki perhatian untuk membersihkan sampah dari gunung-gunung
di kawasan Dataran Tinggi Dieng juga terlibat aktif dalam upaya penanaman
pohon secara rutin.

3
Hasil wawancara www.suaramerdeka.com dengan Eko Budi Wiyono, Fasilitator SCBFWM
Regional Yogyakarta, http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/proyek-penguatan-hutan-tekan-
kerusakan-hutan/
70

4. Masyarakat
Perhatian masyarakat terhadap persoalan di Dataran Tinggi Dieng
terutama terkait persoalan iklim muncul dari kelompok-kelompok masyarakat
yang diinisiasi oleh golongan muda. Diantara kelompok-kelompok yang ada
adalah kelompok pecinta alam KPAB dan kelompok tani Dieng Horti Farm
(DHF). Aktifitas KPAB dititikberatkan pada kegiatan penanaman pohon untuk
penyelamatan sumber mata air di Dataran Tinggi Dieng. Kesadaran akan
berkurangnya debit air dan kebutuhan air bersih terutama di musim kemarau
dimana kebutuhan air bersih berebut dengan kebutuhan air untuk pertanian
akhirnya membuat KPAB berkonsentrasi pada hal ini. Penggunaan air bersih
pada musim kemarau biasanya dibagi penggunaan mata airnya yaitu pagi untuk
Batur Selatan dan malam untuk Batur Utara Pada tahun 2014 KPAB melakukan
penanaman di KPH Pekalongan Timur yang sumber airnya mengalir ke
Kecamatan Batur. Pohon yang ditanam adalah Bentami dan Eucalyptus. KPAB
juga membantu penanaman kopi yang merupakan program dari kerjasama PT
Indonesia Power dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banjarnegara yang
ditanam di wilayah Telaga Merdada.
Fokus pemulihan kondisi mata air dilakukan terutama untuk memenuhi
pasokan kebutuhan air untuk masyarakat, hal ini penting termasuk dilakukan
dengan penanaman pohon. Karena dampak jika terjadi erosi di Dataran Tinggi,
efeknya sedimentasi akan sampai di Waduk Jenderal Sudirman.Selain penanaman
pohon KPAB juga telah memiliki kegiatan intensif sejak pertengahan tahun 2013
yaitu pendakian gunung sekaligs bersih-bersih gunung di Dataran Tinggi Dieng
serta survei kebakaran hutan termasuk penggantian pohon yang terbakar/rusak.

Saat ini kesadaran lingkungan sifatnya masih individual dan belum semua
orang sadar. Perlu ada contoh yang nyata. Saat ini penanaman kentang
sudah bisa tumpang sari, misalnya dalam satu hektar tanaman minimal ada
sepuluh tanaman Eucalyptus sebagai penyangga. Penanaman Eucalyptus ini
memiliki prospek yang bagus apabila dilengkapi dengan percontohan pra
dan pasca panen, ya seperti contoh untuk penyulingan minyaknya.Kalau
begitu petani akan lebih banyak tertarik. Bagaimana pun petani kentang
harus memiliki kesadaran lingkungan. (UD, 33 Tahun)

KPAB telah memiliki pengurus dan program-program yang mereka


jalankan sudah dalam bentuk tertulis dan mengembangkan aktifitasnya dengan
membuat jejaring di media sosial facebook. Jejaring tersebut dianggap sangat
berguna karena banyak bermunculan sukarelawan yang bergabung untuk
membantu kegiatan KPAB. Selanjutnya KPAB memiliki rencana pembuatan dan
pengolahan pupuk organik. KPAB berusahan meningkatkan kesadaran lingkungan
yang saat ini masih bersifat individual atau perorangan. Sebagai kelompok yang
independen, KPAB ingin menjaring kesadaran lingkungan tersebut supaya dapat
dilakukan lebih masif.
Kelompok masyarakat lainnya yang turut aktif menanggapi isu yang
muncul di kalangan petani adalah Kelompok Tani DHF. Kelompok tani ini
merupakan kelompok yang dimotori oleh petani golongan muda dan memiliki
pendidikan yang relatif tinggi yaitu SMA, D3, dan S1. Kelompok Tani DHF ini
menekankan bahwa setiap anggota yang menjadi bagiannya merupakan orang
71

yang mumpuni di bidangnya. Meskipun secara legal berasosiasi dengan Dinas


Pertanian namun Kelompok Tani DHF ini tidak ingin dibentuk sebagai sarana
untuk mencari bantuan dari pemerintah, DHF bersifat swadaya dan mandiri. DHF
diarahkan untuk dapat memberi contoh dan jika berhasil dapat disebarluaskan
kepada petani lainnya. Gagasan yang muncul di DHF didasari atas kekecewaan
karena wacana pembentukan kluster-kluster pertanian tidak jadi dilakukan oleh
pemerintah. Hal tersebut dirasa penting oleh anggota DHF karena jika kluster
tersebut bisa terwujud, merupakan langkah yang baik karena akan muncul sentra-
sentra pertanian sekaligus menjadi sentra penelitian dan pengembangannya.
Kelompok tani yang diisi oleh petani-petani muda kreatif ini memperhatikan
proses bagaimana informasi dapat terdistribusi dengan baik kepada semua
golongan petani. Berbeda dengan kelompok tani yang ada kebanyakan, DHF tidak
berfokus pada administrasi dan pengajuan proposal ke pemerintah tetapi lebih
bergerak dari aras akar rumput.

Peran Desa Dalam Konteks Adaptasi Perubahan Iklim


Di Dataran Tinggi Dieng

Lahirnya Undang-undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan


satu keniscayaan bahwa desa memiliki otonomi untuk melakukan pembangunan
dengan lebih leluasa melalui perencanaan yang dimulai dari inisiatif masyarakat.
Pada Bab IX Pasal 78 ayat 1 disebutkan bahwa pembangunan desa bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan. Ayat kedua dalam pasal tersebut menyebutkan
pembangunan desa melalui tiga tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan. Rencana pembangunan desa dituangkan dalam bentuk Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 tahun
dan dijabarkan dalam rencana tahunan yang disebut Rencana Kerja Pemerintah
Desa (RKPDes). Melalui Undang-undang ini pemerintah dan masyarakat
didorong untuk lebih kreatif dalam menentukan jenis pembangunan yang akan
dilaksanakan di desanya.
Kaitannya dengan isu perubahan iklim, khususnya yang dihadapi oleh
petani di Dataran Tinggi Dieng merupakan isu baru dan diakui oleh pemeritah
desa setempat belum menjadi perhatian desa. Pemahaman ini didasari dengan
pernyataan yang diberikan oleh pemerintah desa di lokasi penelitian, Desa Batur,
bahwa menurut pemerintah desa aspek yang paling terkait dengan iklim adalah
pertanian. Persoalan pertanian merupakan persoalan individu masyarakat atau
rumah tangga petani dan bukan menjadi tanggungjawab pemerintah desa.
Pernyataan tersebut memiliki benang merah dengan strategi adaptasi perubahan
iklim yang dilakukan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng yang lebih memilih
untuk melakukan adaptasi di tingkat rumah tangga karena alasan penguasaan
sumber daya alam yang tidak bersifat komunal.

Petani cenderung melakukan segala sesuatunya secara pribadi dan yang


lebih berperan bagi mereka adalah kelompok tani. Jika dilakukan
pengukuran presentase, aktivitas pertanian yang dilakukan bersama
72

kelompok tani di Desa Batur sekitar 10 % sedangkan 90% lebih dilakukan


sendiri secara individu.
(SS, 54 tahun)

Fenomena tersebut menyuratkan bahwa peran desa seakan nihil dalam


bidang pertanian dan isu-isu pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah desa
masih mengandalkan program-program yang masuk dari pihak luar seperti
pemerintah kabupaten dan pihak lain yang masuk ke wilayahnya. Fungsi desa
dalam program-program yang masuk tersebut masih terbatas pada fungsi
mengetahui atas desa atau fungsi administrasi. Sebagai contoh, program-
program yang masuk melalui kelompok tani dapat dikatakan hanya sekedar lewat
untuk meminta tanda tangan kepala desa sebagai bentuk persetujuan proposal.
Pelaksanaan program dan evaluasi tidak diketahui oleh pihak desa.

Fungsi desa hanya sebatas menjalankan fungsi administratif, jika ada


proposal yang dibuat oleh kelompok tani tugas kepala desa adalah
menandatangani sebagai bentuk mengetahui dari pihak desa. Ketika ada
bantuan yang diberikan langsung ke kelompok tani desa tidak selalu tahu,
kadang ada pelaporan namun tidak semuanya melaporkan hasilnya.
(SS, 54 tahun)

Perihal pertanian, dapat dikatakan bahwa desa memiliki dilema dalam


menghadapi persoalan tersebut. Selain karena persoalan pengelolaan sumber daya
alam, faktor kecenderungan terhadap fokus pembangunan fisik desa juga menjadi
penentu. Pemahaman pembangunan desa masih berfokus pada pembangunan
fisik. Pada desa lokasi penelitian diketahui bahwa hal-hal yang tertuang dalam
RPJMDes tidak menuangkan hal-hal spesifik tentang pertanian meskipun
pemerintah desa menyadari bahwa sumber daya utama di Desa Batur sebagai
bagian dari wilayah Dataran Tinggi Dieng adalah sektor pertanian. Telah muncul
kesadaran bahwa sektor pertanian terancam dengan kondisi iklim ekstrem yang
berarti petani juga memiliki ancaman kerentanan, namun pihak desa
mengungkapkan bahwa kebutuhan pembangunan di desa belum sampai pada level
perhatian terhadap pertanian dan perubahan iklim. Hal-hal yang dituangkan dalam
RPJMDes lebih mengarah pada pembangunan sarana dan prasarana desa. Khusus
di tahun 2015 penekanan pembangunan masih di sarana fisik meliputi sarana
kesehatan desa, jalan, drainase, perkantoran, dan PAUD. Pembangunan sarana
dan prasarana menjadi perhatian utama yang dituangkan dalam RPJMDes karena
dinilai bahwa persoalan infrastruktur merupakan persoalan yang krusial dalam
pembangunan desa. Kesadaran bahwa penanganan infrastruktur tidak cukup hanya
mengandalkan anggaran Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten menyebabkan
pemerintah desa menerapkan pola pembangunan seperti itu.
Hadirnya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bagi
pemerintah desa lokasi penelitian sendiri merupakan hal baru yang masih
dipelajari. Tidak berbeda dengan peran desa yang sebelumnya telah disebutkan,
beban administrasi menjadi satu persoalan khusus bagi desa dalam rangka upaya
implementasi undang-undang tersebut. Selain karena pengetahuan yang belum
maksimal mengenai kebijakan baru tersebut, aturan mengenai pengelolaan
keuangan desa melalui alokasi dana desa juga menjadi kebingungan tersendiri
73

terutama terkait pelaporannya. Diakui bahwa memang sejauh ini desa tidak
memiliki kendala dalam hal administrasi pelaporan dengan cara berhati-hati
terhadap setiap pengelolaan. Meskipun demikian pada akhirnya kehati-hatian
fokus terhadap administrasi pengelolaan keuangan desa mengesampingkan esensi
perencanaan pelaksanaan pembangunan yang berbasis inisiasi pembangunan dari
masyarakat, termasuk dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.
Telah dijelaskan pada bab 5 dari hasil penelitian ini bahwa perubahan
iklim yang terjadi memberikan dampak di Dataran Tinggi Dieng meliputi dampak
fisik dan ekologi, dampak ekonomi, dan dampak sosial. Sehubungan dengan
dampak tersebut diidentifikasi peran desa dalam pengelolaan dampak yang terjadi.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui peran desa dalam berbagai dampak yang
ditimbulkan akibat perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng serta mengetahui
kekosongan peran yang ada. Identifikasi tersebut terangkum dalam Tabel 23.

Tabel 23 Identifikasi peran desa dalam pengelolaan dampak perubahan iklim di


Dataran Tinggi Dieng

No Dampak Peran Desa


1 Dampak Fisik dan Ekologi
a. Bencana longsor Peran desa tergantung dengan
intensitas dan lokasi terjadinya
longsor.
b. Kebakaran hutan Kebakaran hutan diserahkan kepada
Perhutani tergantung KPH yang
berkaitan. Apabila kebakaran
bersinggungan dengan wilayah desa
maka desa berkoordinasi dengan
KPH.
c. Kerusakan jalan Fokus pembangunan sarana dan
prasarana desa yang dituangkan
dalam RPJMDes sebagai bentuk
partisipasi desa terhadap akses
masyarakat terhadap fasilitas publik
termasuk jalan.
d. Bencana angin ribut Peran desa tergantung dengan
intesitas dan lokasi terjadinya
bencana
e. Kekeringan air Peran desa belum terlihat
2 Dampak Ekonomi
a. Biaya produksi pertanian yang Peran desa belum terlihat
naik pada saat musim kemarau
b. Biaya produksi pertanian pada Peran desa belum terlihat
saat musim penghujan
3 Dampak Sosial
a. Penggunaan tenaga kerja Peran desa belum terlihat
b. Munculnya perkumpulan Kehadiran Asosiasi Penangkar
petani Benih difasilitasi oleh desa untuk
penambahan screen benih sebagai
74

No Dampak Peran Desa


program yang dimasukkan ke dalam
RKPDes.
Sumber: Data Primer (2014)

Berdasarkan identifikasi dampak perubahan iklim dan peran desa terhadap


berbagai kondisi dampak yang ada diketahui bahwa peran desa ada pada sebagian
dampak yang terjadi, namun belum terlihat perannya terutama pada dampak bagi
aspek ekonomi dan dampak sosial pada aspek penggunaan tenaga kerja di bidang
pertanian. Dampak bagi aspek ekonomi dirasa oleh pemerintah desa bukan
menjadi tanggung jawab desa karena sepenuhnya sumber ekonomi utama yakni
pertanian menjadi tanggung jawab petani. Kebutuhan biaya produksi baik pada
saat musim kemarau maupun musim penghujan juga ditanggung oleh masing-
masing rumah tangga petani. Alasan yang sama juga diberikan oleh pihak desa
terkait dampak pada penggunaan tenaga kerja pertanian yang harus saling
menunggu antar petani karena kecukupan tenaga kerja yang minim. Kebutuhan
tenaga kerja merupakan tanggung jawab masing-masing petani dan bukan
tanggung jawab desa.
Apabila ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang muncul dari pihak
desa terhadap penanganan dampak yang belum terjangkau oleh desa memiliki
alasan yang sama bahwa perhatian desa belum sampai pada persoalan pertahanan
sistem kehidupan masyarakat. Tanggung jawab desa kemudian dirasa muncul
pada hal-hal yang sifatnya umum dan terlihat bersama yaitu pada penanganan
bencana longsor, kebakaran hutan, kerusakan jalan, bencana angin ribut, serta
munculnya perkumpulan petani. Meskipun demikian tidak berarti bahwa peran
desa seutuhnya nihil sebab upaya-upaya pembangunan desa yang sifatnya umum
dan secara tidak langsung memberikan efek baik bagi upaya adaptasi tetap
dilakukan seperti pembangunan infrastruktur.

Penguatan Kelembagaan Adaptasi Perubahan Iklim Untuk Strategi


Penghidupan Yang Berkelanjutan

Adaptasi terhadap perubahan iklim untuk strategi penghidupan yang


berkelajutan berhubungan dengan dua hal yaitu upaya untuk mengurangi resiko
dampak perubahan iklim dan meningkatkan peluang dari kondisi iklim yang ada.
Berdasarkan strategi yang telah dilakukan oleh petani di tingkat rumah tangga
diketahui bahwa strategi adaptasi merupakan upaya untuk meminimalkan resiko
kerugian yang diakibatkan oleh iklim sekaligus mencari peluang baru di luar
sektor pertanian. Strategi adaptasi mata pencaharian, misalnya, dengan menjadi
tenaga kerja pada lahan yang telah disewakan/dijual seorang petani telah
mengurangi resiko kerugian usaha tani. Selanjutnya yang diperlukan adalah
penguatan kelembagaan adaptasi perubahan iklim. Penguatan kelembagaan
adaptasi perubahan iklim berhubungan dengan proses kebijakan dan
pengembangan kelembagaan (Kolopaking, 2012). Proses kebijakan adalah proses
penetapan tujuan yang akan dicapai (goal setting) dari agenda pemenuhan
kebutuhan publik. Pengembangan kelembagaan terkait dengan dua proses yaitu:
(1) proses memperbaiki kemampuan atau kapasitas masyarakat dalam
menginternalisasi nilai-nilai dan norma baru untuk mengefektifkan penggunaan
75

sumberdaya demi pemenuhan kebutuhan; dan (2) proses untuk mengorganisasikan


pola hubungan antar pihak (kelompok hingga organisasi). Pengembangan
kelembagaan merupakan bagian dari pengembangan kebijakan publik. Adaptasi
terhadap perubahan iklim membutuhkan keterlibatan berbagai stakeholder dari
berbagai kepentingan dan sektor.
Perhatian yang datang dari berbagai pihak dalam rangka pengelolaan
kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan bentuk modal yang baik sebagai upaya
untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Meskipun saat ini berbagai
aktifitas dan program belum diarahkan secara khusus sebagai upaya adaptasi
perubahan iklim namun program-program yang terkait dengan pengelolaan
kawasan Dataran Tinggi Dieng sebenarya sudah berkaitan dengan isu perubahan
iklim itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa respon dari
pemerintah, sektor swasta, lembaga donor, dan masyarakat dengan berbagai
inisiatifnya dapat menjadi sarana untuk menguatkan dan mengarusutamakan
adaptasi perubahan iklim.
Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim merupakan sebuah proses
untuk mengintegrasikan pertimbangan adaptasi perubahan iklim ke dalam proses
pembuatan kebijakan, penganggaran, pelaksanaan, dan pemantauan di tingkat
nasional, sektor, dan sub nasional (Bappenas, 2012). Pada studi ini, strategi
adaptasi petani di tingat rumah tangga menjadi titik perhatian yang perlu
diintegrasikan dalam berbagai kebijakan agar proses adaptasi tersebut memiliki
kelembagaan yang semakin kuat serta memperoleh dukungan regulasi yang tepat.
Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim pada tingkat rumah tangga dalam
tataran kebijakan mengikuti kronologis regulasi yang berlaku di Indonesia
mengenai pemerintahan daerah dengan tujuan otonomi daerah. Menurut UU No.
32 Tahun 2004, Pemerintah Indonesia terdiri dari Pemerintah (pemerintah di
tingkat nasional) dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah merupakan sebuah
sistem dua tingkat, yang terdiri dari tingkat propinsi sebagai tingkat pertama dan
kota/kabupaten sebagai tingkat kedua. Berdasarkan Simbolon (2012) UU No.32
Tahun 2004 telah menjadikan pemerintah daerah sebagai struktur yang paling
menentukan dalam pengambilan keputusan yang mengatur mandat urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota untuk
merencanakan dan mengendalikan pembangunan pada skala kabupaten/kota. Hal
tersebut termasuk dalam kontribusi penanggulangan perubahan iklim dalam skala
kabupaten sesuai dengan berbagai kebijakan program maupun keputusan politik
daerah. Desentralisasi memberikan peluang untuk mengintegrasikan adaptasi
perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan dari pusat hingga daerah.
Kemudian setelah UU No. 32 Tahun 2004 tersebut dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan tuntutan penyelenggaraan
pemerintahan daerah sehingga diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014.
Melanjutkan amanat UUD 1945 pasal 18 ayat 7 bahwa penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang sekaligus memperbaiki hal-hal
yang sudah tidak sesuai lagi dalam UU No. 32 Tahun 2004 maka UU No.23
Tahun 2014 ini membahas tentang otonomi daerah dengan turut menyertakan
partisipasi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan
kepentingannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Partisipasi
masyarakat dalam UU No. 23 Tahun 2014 diatur dalam BAB XIV tentang
partisipasi masyarakat. Disebutkan dalam pasal 354 ayat 2 poin b bahwa untuk
76

mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dapat


dilakukan dengan kegiatan pengembangan kapasitas. Dalam hal ini pemerintah
daerah perlu mengembangkan pelembagaan dan mekanisme pengambilan
keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasi masyarakat dapat
terlibat efektif. Selanjutnya, UU No. 23 Tahun 2014 ini mengalami dua kali
perubahan. Pertama, terkait dengan pengaturan tugas Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) yang ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
menjadi undang-undang. Kedua, terkait dengan pengaturan pemilihan kepala
daerah (kepemimpinan daerah) yang ditetapkan dalam UU No. 9 Tahun 2015
tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan
daerah.
Sistem adaptasi di Indonesia membutuhkan pendekatan yang spesifik
(Bappenas, 2012), termasuk hingga level rumah tangga. Kebijakan desentralisasi
yang diluncurkan oleh Pemerintah Indonesia mulai dari UU No. 22 Tahun 1999
kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 dilanjutkan revisi terbaru
dengan UU No. 23 Tahun 2014 dan amandemennya pada UU No. 2 Tahun 2015
dan UU No. 9 Tahun 2015 memberikan implikasi pada perubahan tata kelola di
berbagai level pemerintahan ditambah dengan proses demokratisasi dan reformasi
politik. Pada dasarnya perubahan-perubahan yang terjadi atas peraturan
perundangan tersebut membuka pintu partisipasi bagi masyarakat untuk bisa turut
serta menyalurkan aspirasinya. Kaitannya dengan studi ini yang dilakukan dalam
entitas desa dan kawasan adalah bahwa pelaksanaan pemerintahan daerah yang
diatur dalam undang-undang telah memberikan peluang bagi masyarakat termasuk
di tingkat desa untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Di antaranya termasuk menyalurkan aspirasi berbagai upaya adaptasi
perubahan iklim yang selama ini telah dilakukan agar diberi ruang kebijakan yang
menguatkan. Desentralisasi memberikan peluang untuk mengintegrasikan
adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan dari pusat hingga
daerah. Demikian diharapkan upaya adaptasi perubahan iklim di tingkat rumah
tangga dapat ditangkap oleh pihak desa dan selanjutnya dapat menjadi acuan
pembuatan kebijakan.
Berbagai perubahan atas peraturan-peraturan perundangan tersebut
merupakan bagian dari proses kebijakan yang seyogyanya mampu mendorong
pengembangan kelembagaan adaptasi perubahan iklim dari aras nasional hingga
lokal. Munculnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa saat ini telah
memberikan satu konsekuensi bahwa implikasi pengarusutamaan kebijakan
perubahan iklim perlu dimulai dari tingkat desa. Desa merupakan ruang aspirasi
yang paling efektif bagi masyarakat khususnya petani di pedesaan.
Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim pada level rumah tangga khususnya
bagi rumahtangga yang paling rentan harus dipahami sebagai bentuk adaptasi
yang bersifat lokal namun inheren dengan upaya adaptasi dalam skala yang
lebih luas.
Strategi adaptasi perubahan iklim yang telah dilakukan di tingkat rumah
tangga berupa adaptasi mata pencaharian, adaptasi pangan, dan adaptasi kesehatan
merupakan bentuk kompromi dengan kondisi iklim. Selanjutnya pengarusutamaan
adaptasi lokal dapat dilakukan dengan melakukan mekanisme perencanaan,
77

pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan. Cakupan pada penelitian ini adalah


memberikan ruang aspirasi dalam setiap bagian mekanisme bagi rumah tangga
petani tidak hanya bagi penguasa lahan tetapi juga kepada non-penguasa lahan
yang merupakan golongan paling rentan terhadap perubahan iklim. Upaya
pengarusutamaan adaptasi dan penguatan kelembagaannya di tingkat lokal sesuai
dengan hasil identifikasi dari petani di Dataran Tinggi Dieng dapat dilakukan
dengan beberapa strategi sebagai berikut:
1. Akomodasi peluang pekerjaan diluar sektor pertanian, terutama
pengembangan sektor wisata yang padat karya. Hal ini dapat dimaksilkan
dengan memanfaatkan moment acara Dieng Culture Festival sebagai acara
puncak tahunan maupun pada hari-hari biasa.
2. Pengembangan research and development bidang pertanian, baik di level
daerah hingga level lokal.
3. Upaya penyebarluasan informasi iklim yang lebih komprehensif dan
spesifik lokal kepada masyarakat.
4. Memanfaatkan sarana Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa
sebagai basis kebijakan di level desa untuk turut berpartisipasi
menyampaikan aspirasi kebijakan pada level yang lebih tinggi.
5. Penguatan kapasitas sumberdaya manusia golongan muda yang
merupakan aset penting bagi keberlanjutan pertanian di Dataran Tinggi
Dieng.
6. Pengembangan asurasi sosial yang bersifat lokal terutama dalam hal
penguasaan lahan
7. Upaya tanggap bencana yang bersifat lokal dan melibatkan berbagai
komunitas yang ada di Dataran Tinggi Dieng.

Strategi adaptasi untuk dampak lokal perubahan iklim berikut peluangnya


yang dapat diimplementasikan di Dataran Tinggi Dieng merupakan upaya
memperkokoh pertahanan masyarakat petani khususnya di level rumah tangga
paling rentan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengintegrasikan adaptasi
yang telah ada dengan inisiatif komunitas untuk dapat saling melindungi dan
saling menjaga stabilitas. Peluang utama yang dapat dimanfaatkan dalam rangka
mengoptimalkan upaya adaptasi adalah memanfaatkan tumbuhnya berbagai
komunitas terutama para golongan muda yang bersemangat untuk membangun
desa. upaya penanganan dampak lokal yang telah disebutkan merupakan bagian
dari proses memperbaiki kemampuan atau kapasitas masyarakat dan untuk
mengorganisasikan pola hubungan antar pihak.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani di tingkat lokal tidak
dipungkiri menjadi basis upaya adaptasi perubahan iklim di level-level yang lebih
besar. Disebutkan oleh Soeparno, Pasandaran, Syarwani, Dariah, Pasaribu, dan
Saad (2013) bahwa kemampuan petani untuk beradaptasi dengan perubahan iklim
merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan usaha tani. Namun demikian,
dalam konteks petani kentang di Dataran Tinggi Dieng apabila kemampuan
adaptasi hanya dihubungkan dengan usaha tani maka golongan non-penguasa aset
yaitu rumah tangga dengan kerentanan tinggi akan semakin tersisih. Hal tersebut
dikarenakan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani yang disangka sebagai
bentuk strategi adaptasi atau penyelarasan terhadap kondisi iklim yang ada
sebenarnya masih berbentuk penanganan jangka pendek (coping strategy)
78

sehingga imbas yang diperoleh tidak memiliki kesinambungan yang baik bagi
pengelolaan resiko iklim pada masa yang akan datang.
Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh petani
di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang dilakukan oleh petani di
tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis sumberdaya alam yang ada
(lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan status penguasaan individu atau
rumah tangga dan bukan sumber daya yang sifatnya komunal seperti wilayah laut.
Kondisi ini tentu saja menyebabkan perbedaan efektivitas upaya adaptasi bagi
masyarakat di dataran tinggi dengan masyarakat pesisir. Penelitian Subair (2013)
menjelaskan bahwa efektivitas upaya adaptasi pada masyarakat pesisir terjadi
pada aras komunitas nelayan. Sebaliknya pada masyarakat petani di Dataran
Tinggi Dieng, efektivitas adaptasi terhadap perubahan iklim lebih efektif
dilakukan pada tingkat rumah tangga.

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang memiliki dampak
regional serta lokal, termasuk di Dataran Tinggi Dieng. Diketahui telah terjadi
peningkatan jumlah hari hujan pada bulan basah dan penurunan jumlah hari hujan
dan curah hujan pada bulan kering, artinya perubahan iklim yang terjadi di
Dataran Tinggi dieng terbukti dari parameter cuaca. Selain itu masyarakat lokal
(petani) memandang telah terjadi perubahan iklim dilihat dari lima fenomena yang
terjadi yaitu: (1) curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, (2) situasi
kekeringan yang melanda pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu
ekstrem pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju
yang menjadikan tanaman muda menjadi layu dan mati, serta yang paling
meresahkan adalah (5) kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi.
Strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim yang dilakukan oleh
petani di Dataran Tinggi Dieng berkaitan dengan tingkat kerentanan yang
dihadapi oleh rumah tangga petani. Tingkat kerentanan tersebut meliputi tiga
aspek yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif yang berkaitan erat
dengan akses terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial,
dan modal sumberdaya alam. Semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah
tangga petani maka nilai akses terhadap modal relatif lebih tinggi dan tingkat
kerentanannya semakin rendah. Meskipun kerentanan rumah tangga bukan acuan
bagi tingkat kerentanan sebuah komunitas terhadap perubahan iklim, namun
analisa kerentanan perubahan iklim di tingkat rumah tangga lebih relevan dengan
tujuan penanganan terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini disebabkan upaya-
upaya bertahan hidup terutama pada komunitas petani dengan penguasaan lahan
sempit dan buruh tani di Dataran Tinggi Dieng lebih menarik diri dari
perkumpulan komunitas dan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh petani
di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang dilakukan oleh petani di
tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis sumberdaya alam yang ada
79

(lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan status penguasaan individu atau
rumah tangga. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani di tingkat lokal
menjadi basis upaya adaptasi perubahan iklim di level-level yang lebih besar.
Dalam konteks petani kentang di Dataran Tinggi Dieng strategi adaptasi tidak bisa
hanya dihubungkan dengan usaha tani saja karena golongan non-penguasa aset
yaitu rumah tangga dengan kerentanan tinggi akan semakin tersisih. Hal tersebut
dikarenakan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani yang disangka sebagai
bentuk strategi adaptasi atau penyelarasan terhadap kondisi iklim yang ada
sebenarnya masih berbentuk penanganan jangka pendek (coping strategy)
sehingga imbas yang diperoleh tidak memiliki kesinambungan yang baik bagi
pengelolaan resiko iklim pada masa yang akan datang. Strategi adaptasi
perubahan iklim pada rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dapat disebut
sebagai strategi adaptasi integratif dimana adaptasi tidak hanya melibatkan satu
entitas rumah tangga saja tetapi juga melibatkan entitas sosial lain mulai dari
tingkat komunitas, desa, regional, nasional, dan internasional terutama karena
posisi kawasan Dataran Tinggi Dieng sebagai kawasan sumber daya alam yang
istimewa yaitu sebagai catchment area, sumber energi, cagar budaya, dan
pemukiman penduduk. Saat ini strategi adaptasi perubahan iklim yang telah
dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng belum dapat dinilai
sebagai strategi penghidupan yang berkelanjutan sebab pada level rumah tangga
upaya yang dilakukan masih bersifat insidental dan belum memiliki perencanaan
yang berkesinambungan. Namun demikian, untuk penanganan selanjutnya
berbagai strategi adaptasi yang teah diterapkan di tingkat rumah tangga dapat
ditindaklanjuti dengan membentuk jejaring kerjasama kolaboratif antar pihak.

Saran

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, penulis


mengelaborasi beberapa saran sebagai berikut:
1. Analisis kerentanan terhadap perubahan iklim penting dilakukan mulai
dari tingkat rumah tangga. Hal ini dibutuhkan untuk mendorong
perencanaa strategi adaptasi yang bersifat jangka panjang. Analisa tersebut
sebaiknya mampu menggali aspek kesadaran petani di level rumah tangga
akan pentingnya pengelolaan resiko iklim untuk masa depan dan
perencanaan bagi pelaksanaan adaptasi berdasarkan tingkat kerentanan
pada berbagai level rumah tangga berdasarkan pengelolaan lahan di
Dataran Tinggi Dieng. Hal ini diharapkan dapat memaksimalkan potensi
sumber daya di tingkat lokal, memacu daya kreatifitas petani, serta
memiliki dampak adaptasi jangka panjang.
2. Diperlukan pemberdayaan masyarakat, khusunya pemberdayaan ekonomi
dengan basis non-lahan mengingat distribusi penguasaan lahan yang
terfokus pada petani pemilik modal. Petani non-penguasa lahan dan
penguasa lahan sempit harus memiliki pilihan strategi penghidupan yang
layak dengan basis non-lahan yang dapat didukung oleh kebijakan desa
maupun kebijakan daerah. Pemberdayaan bidang pariwisata dan
pengembangan produk lokal dapat ditingkatkan mengingat kawasan
80

Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan yang sangat potensial untuk


dikembangkan sebagai kawasan pariwsata alam, sejarah, dan budaya.
3. Diperlukan fasilitasi perencanaan pembangunan di tingkat lokal yang
tertulis dengan mempertimbangkan kondisi perubahan iklim. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengangkat inisiatif lokal di tingkat desa,
mengembangkannya menjadi kerjasama antar desa, difasilitasi oleh
pemerintah daerah.
4. Dibutuhkan upaya yang terkoordinasi dan sinergis antar pihak dalam
rangka menangani perubahan iklim di Dataram Tinggi Dieng. Upaya
tersebut selain perlu didorong oleh kesadaran akan pentingnya pengelolaan
resiko iklim untuk masa depan, juga diperlukan perencanaan bagi
pelaksanaan adaptasi berdasarkan tingkat kerentanan pada berbagai level
rumah tangga berdasarkan pengelolaan lahan. Hal ini diharapkan dapat
memaksimalkan potensi sumber daya di tingkat lokal, memacu daya
kreatifitas petani, serta memiliki dampak adaptasi jangka panjang.
5. Diperlukan dukungan kebijakan yang sinergis mulai dari tataran desa
(lokal) hingga regional (daerah) dan nasional yang mampu mengakomodir
berbagai potensi dan kepentingan yang berasal dari aspirasi masyarakat
khususnya petani dataran tinggi.
6. Memanfaatkan situasi bonus demografi yang terjadi dimana usia produktif
di Dataran Tinggi Dieng saat ini lebih banyak dibanding dengan usia non-
produktif. Artinya potensi usia produktif terutama golongan pemuda dapat
dimaksimalkan. Lahirnya kelompok dan organisasi pemuda yang berkaitan
dengan bidang pertanian dapat dimanfaatkan sebagai wadah untuk
memulai proses perencanaan pengembangan pertanian yang berkelanjutan
(sustainable farming).

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga W, Basuki Rofik S, Djuariah D, Safarudin. 2012. Persepsi Petani dan


Adaptasi.Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Sayuran Dataran Tinggi
dan Rendah di Sulawesi Selatan [Laporan Penelitian]. Insentif
Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementerian Riset dan
Teknologi.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembanguan Nasional. 2013. Kebijakan
Perencanaan Nasional Dalam Bidang Perubahan Iklim Serta Langkah
Adaptasi dan Mitigasi. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
Disampaikan pada Rakornas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), Jakarta 24 April 2013.
Boer, Rizaldi. 2010. Ruang Lingkup Kajian Kerentanan: Antara Teori dan
Praktek. Bogor (ID): CCROM SEAP-IPB.
Boer R, Kolopaking L, Hidayati R, Estiningtyas W, Suciantini, Iqbal M, Turasih.
2012. Pengembangan Sistem Kelembagaan Daerah dan Petani Untuk
Pengelolaan Resiko Iklim Pada Sistem Produksi Pangan. [Laporan
81

Penelitian]. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,


Institut Pertanian Bogor.
Chambers, R, Conway, G. 1991. Sustainable Rural Livelihood: Practical Concept
for 21st Century. IDS Discussion Paper 296.
Damayanti, Puspa A. 2011. Dinamika Perilaku Nakal Anak Berambut Gimbal
di Dataran Tinggi Dieng. Psikoislamika, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Lembaga Pengembangan Psikologi dan Keislaman (LP3K). Vol 8 No.2,
Januari 2011 165-190.
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2012. Direktori dan Informasi Adaptasi
Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim
DNPI.
Efendi M, Sunoko Henna R, Sulistya W. 2012. Kajian Kerentanan Masyarkat
Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus
Sub DAS Garang Hulu). Jurnal Ilmu Lingkungan Volume 10 Issue 1: 8-18
(2012).
Ellis, Frank. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. New
York (US): Oxford University Press.
Eriksen S, Selboe E. 2012. The Social Organisation of Adaptation to Climate
Variability and Global Change: The Case of A Mountain Farming
Community in Norway. Journal of Applied Geography. Vol.33, April
2012, Pg. 159-167.
Fontana A, Frey James H. 1997. Wawancara Seni Ilmu Pengetahuan. Dalam
Handbook of Qualitative Reserach Edisi Bahasa Indonesia, Denzin
Norman K, Lincoln, Yvonna S [Eds], Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi,
John Rinaldi [Penerj]. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. 1993. Religion as a Cultural System: The Interpretation of
Cultures: Selected Essay. Pp 87-125. Fontana Press, 1993.
Guba EG, dan Lincoln YS. 2009. Berbagai Paradigma yang Bersaing. Di dalam:
Denzin, NK, Lincoln YS, editor. Handbook of Qualitative Research Edisi
Bahasa Indonesia. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar.
Harmoni, Ati. 2005. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Prosiding
Seminar Nasional PESAT 2005, Auditorium Universitas Gunadarma,
Jakarta, 23-24 Agustus 2005. ISSN: 18582559.
Hefner R. 1999. Geger Tengger : Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.
Yogyakarta (ID) : LKIS.
Huberman A. Michael, Miles Mattew B. 1997. Manajemen Data dan Metode
Analisis. Dalam Handbook of Qualitative Reserach Edisi Bahasa
Indonesia, Denzin Norman K, Lincoln, Yvonna S [Eds], Dariyatno,
Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi [Penerj]. Yogyakarta (ID): Pustaka
Pelajar.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007:
Synthesis Report, An Assessment of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, IPCC Plenary XXVII (Valencia, Spain, 12-17 November
2007).
-------. Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001:
Impacts, Adaptation and Vulnerability, Contribution of Working Group II
to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
82

Climate Change, J.J. McCarthy, O.F. Canziani, N.A Leary, D.J. Dokken,
K.S. White (eds.). Cambridge (GB): Cambridge University Press.
-------. 2000. Presentation of Robert Watson, Chair, Intergovernmental Panel on
Climate Change, at the Sixth Conference of the Parties to the United
Nations Framework Convention on Climate Change, The Hague, 13
November 2000.
Kementerian Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian
Untuk Perubahan Iklim. Jakarta: Kementerian Pertanian.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan
Iklim Sektor Pertanian. Jakarta(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian.
Kolopaking, L. 2011. Strategi, Pendekatan, Prosedur Pengembangan Kegiatan
Pilot Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di DAS Citarum.
Disampaikan dalam Workshop Proses Seleksi Kegiatan Pilot TA ADB
7189 Paket E, Bandung 14 Juli 2011.
-------.2012. Pengembangan Sistem Kelembagaan untuk Meningkatkan
Efektivitas Aksi-Aksi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di DAS
Citarum. Disampaikan dalam multistakeholder meeting TA ADB 7189
Paket E Bandung, 6-7 Agustus 2012.
-------. 2011. Strategi, Pendekatan, Prosedur Pengembangan Kegiatan Pilot
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di DAS Citarum. Disampaikan
dalam Workshop Proses Seleksi Kegiatan Pilot TA ADB 7189 Paket E,
Bandung 14 Juli 2011.
[Koran] Bencana Dieng Dilema Utang Para Juragan Kentang. 2011 03
Juni. Kompas. Regional: 1 &15 (Kol.1-5).
Li, Tania M. 2002. Proses transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta
(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Olmos S. 2001. Vulnerability and Adaptation to Climate Change: Concepts,
Issues, Assesment Methods. Foundation Paper of Climate Change
Knowledge Network.
Pawitan, Hidayat. 2010. Arti Perubahan Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Makalah pada Ekspose
Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Solo dengan Tema Pengelolaan
DAS dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia di
Surakarta, 28 September 2010.
Saleh, Sri Endang. 2014. Strategi Penghidupan Penduduk Sekitar Danau Limboto
Provinsi Gorontalo. Laporan Akhir Penelitian Disertasi Doktor. Gorontalo
(ID): Universitas Negeri Gorontalo.
Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta (ID): LP3ES.
Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihoods A Framework For Analysis.
IDS Working Paper 72.
Smit B, Wandel J. 2006. Adaptation, Adaptive Capacity and Vulnerability. Global
Environmental Change 16 (2006) 282-292.
Sodiq, M. 2013. Pemanasan Global Dampak Terhadap Kehidupan Manusia dan
Usaha Penanggulangannya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Soehadha, M. 2013. Ritual Rambut Gembel Dalam Arus Ekspansi Pasar Wisata.
Jurnal Walisongo Volume 21 Nomor 2, November 2013.
83

Stern N. 2008. The Economic of Climate Change. American Economic


Review.98(2): 1-37. doi: 10.1257/aer.98.2.1.
Tjondronegoro SMP, Wiradi G. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta (ID):
Yayasan Obor Indonesia.
Turasih, Adiwibowo S. 2012 Sistem Nafkah Rumah Tangga Petani Kentang di
Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur,
Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah), Sodality: Jurnal Sosiologi
Pedesaan, September 2012 Hal. 196-207.
Tompkins Emma L, Eakin H. 2012. Managing Private and Public Adaptation to
Climate Change. Global Environmental Change 22 (2012) 3-11.
UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025.
[UNDP] United Nations Development Programme Indonesia. 2007. Sisi Lain
Perubahan Iklim Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi untuk Melindungi
Rakyat Miskinnya. Jakarta (ID): UNDP.
[UNFCC] United Nations Framework Convention on Climate Change. 2007.
Climate Change Impacts, Vulnerabilities, and Adaptation in Developing
Countries.
[UN-HABITAT, UNDP, UNEP] United Nations Human Settlements Programme,
United Nations Development Programme, United Nations Environment
Programme. 2013. Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Kota Makasar.
Jakarta (ID): UN-HABITAT, UNDP, UNEP.
[Website] http://arkeologi.web.id/articles/resensi-buku/1571-dieng-dalam-tafsir-
poros-nusantara. Dieng Dalam Tafsir Poros Nusantara. Diunduh 27
Januari 2015 pukul 09:15 WIB.
---------. www.savedieng.org
Wiraprama AR, Zakaria, Purwantiasning AW. 2014. Kajian Pola Pemukiman
Desa Ngibikan Yogyakarta Dikaitkan Dengan Perilaku Masyarakatnya.
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 13 No 1 Januari 2014: 31-36.
[WWF] World Wildlife Fund. 2007. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Pengelolaan DAS Citarum. Jakarta (ID): WWF Indonesia.
1

LAMPIRAN
84

Lampiran 1 Data Suhu Bulan Basah (BB) - Bulan Kering (BK) Rata-Rata Bulanan Tahun 2009-2014 Stasiun Geofisika Banjarnegara

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES RATA-RATA SEBULAN
2009 BB - - - - 22,6 22,1 21 20,5 21,2 23 22,4 22,7 21,91
BK - - - - 24,4 24,2 23 23,2 23,7 24 24,2 24,7 23,96
2010 BB 22,6 22,7 22,9 23,2 23,4 23,5 22 22,1 21,7 22,2 21,8 22,1 22,53
BK 24,5 24,7 24,8 25,1 24,9 25 24 23,9 22,6 23 23,2 24,1 24,13
2011 BB 22,6 20,1 21,6 22,2 22,6 20,7 21 19,9 22,9 24 21,3 24,1 21,93
BK 24,5 22,5 23,2 25,1 24,1 22,5 23 22,5 27,2 28,3 27,5 28,5 24,9
2012 BB 22,3 22,2 22,7 22,5 22,3 21,4 21 20,1 21,5 22,9 22,6 22,6 21,97
BK 24,1 23,7 24,5 23,7 23,8 23,1 22 22,2 23,5 24,5 24 24 23,59
2013 BB 22,6 22,6 22,8 24,8 23 23,4 22 22 21,4 22,7 22,5 22,5 22,71
BK 24,7 24,7 24,7 29,1 24,7 24 23 22,8 23,4 24,7 24,1 23,8 24,58
2014 BB 22,4 22,6 22,8 23,1 23,3 23 22 - - - - - 17,67
BK 24,1 25 24,7 24,6 24,8 24,4 23 - - - - - 18,96
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara (2014)
85

Lampiran 2 Data Klimatologi/Hujan Stasiun Geofisika Banjarnegara

TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES JUMLAH RATA-RATA
SEBULAN
2000 343 203 811 383 231 81 2 21 41 408 583 551 3658 304,83
2001 342 337 547 621 188 52 180 0 93 814 393 249 3816 318
2002 343 203 811 383 231 81 2 21 41 408 563 551 3638 303,17
2003 687 462 588 314 196 48 0 12 72 379 599 559 3916 326,33
2004 799 292 458 414 343 46 77 0 81 145 534 892 4070 339,17
2005 414,1 367,1 440,9 364,5 267,2 221,5 6 197,2 267,1 476,7 417,6 783,8 4319,1 359,93
2006 672,6 594,9 205,2 533,7 396,4 36,3 262,1 3,5 0 29,3 203,1 591,3 3287,8 273,98
2007 178,4 312,7 464,9 392,7 214,1 137,2 37,5 17,2 12,9 156,3 546,6 653 3123,5 260,29
2008 392 242 481 553 279 64 2 73 55 695 582 278 3696 308
2009 671 514 408 305 363 185 28 0 46 271 502 331 3624 302
2010 654 625 664 479 515 233 457 247 597 487 665 556 6197 514,92
2011 212 268 717 518 304 106 77 0 41 250 912 461 3866 322,17
2012 819 559 149 297 214 147,8 6 0,7 3,8 213 673 802,6 3884,9 323,74
2013 618,6 283,1 292,7 610,9 221,3 182 262,1 50,5 16,2 214 237 741,8 3730,2 310,85
2014 422,2 202,1 381,1 353,9 273,1 244,5 249,8 - - - - - - 303,81
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara (2014)
Keterangan: Data dari pencatatan alat di Stasiun Geofisika Banjarnegara
86

Lampiran 3 Data Suhu Rata-rata Bulanan Stasiun Geofisika Banjarnegara Bulan Mei 2009-Juli 2014

TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGUST SEP OKT NOP DES RATA-RATA
MAX - - - - 30,1 29,3 37,6 26,8 27,6 27,5 28,4 28,9 29,5
2009
MIN - - - - 20,9 20,1 19,1 18,2 20,1 20,9 21 21,1 20,2
MAX 28,7 28,8 29,4 29,4 28,6 29 27,3 27,5 27,5 28 28,1 28,6 28,4
2010
MIN 22,3 22,5 22,5 22,5 22,8 22,9 21,5 21,2 21,4 21,9 22,6 22,6 22,2
MAX 28,7 28,8 29,4 29,4 28,6 26,3 26 26,4 27,2 24 27,5 28,5 27,6
2011
MIN 22,3 22,5 22,5 22,5 22,8 19,4 19,8 18,9 19,9 22 21,3 22 21,3
MAX 28,6 28,3 28,7 28 27,7 27,4 26,3 26,5 28,4 29,3 28,2 28,4 28
2012
MIN 21,6 21 21,4 21,1 20,6 19,8 19 18,3 19,7 21 21,4 21,2 20,5
MAX 29 29,5 29,5 29,1 28,8 28,2 28 27,3 28,1 29,4 28,5 28,2 28,6
2013
MIN 21,6 21,8 21,4 21,7 21,4 21,2 20,7 19,2 19,6 20,2 20,5 20,9 20,9
MAX 28,4 29,5 29,3 28,8 29,1 28,3 27,3 28,7
2014
MIN 21,5 21,7 21,1 21,3 21,6 21,2 20,3 24,8
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara (2014)
87

Lampiran 4 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan serta Sex Ratio di Kecamatan Batur Tahun 1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012,
2013

1990 1994 1998 2001 2010 2012 2013

L P Jumlah L P Jumlah L P Jumlah L P Jumlah L P Jumlah L P Jumlah L P Jumlah

Batur 4481 5478 9959 4656 4727 9383 4812 4886 9698 5020 5058 10078 5488 5428 10916 5499 5423 10922 5214 5108 10322

Sumberejo 1977 1966 3943 2394 2359 4753 2531 2452 4983 2643 2540 5183 2846 2732 5578 2849 2733 5582 2681 2561 5242

Pekasiran 1822 1869 3691 1974 2028 4002 2102 2170 4272 2272 2333 4605 2555 2559 5114 2586 2567 5153 2449 2422 4871

Dieng Kulon 1377 1271 2648 1458 1352 2810 1571 1449 3020 1594 1476 3070 1725 1578 3303 1724 1587 3311 1860 1479 3339

Karang Tengah 2005 2070 4075 2073 2199 4272 2167 2281 4448 2223 2323 4546 2311 2382 4693 2316 2401 4717 2179 2255 4434

Bakal 1550 1558 3108 1664 1661 3325 1750 1745 3495 1811 1796 3607 1967 1945 3912 1980 1947 3927 1860 1818 3678

Pesurenan 1003 1081 2084 1131 1107 2238 1213 1165 2378 1245 1207 2452 1399 1348 2747 1403 1354 2757 1322 1275 2597

Kepakisan 996 976 1972 1067 1045 2112 1148 1123 2271 1213 1243 2456 1411 1435 2846 1435 1488 2923 1359 1364 2723

JUMLAH 15291 15369 30660 15350 15433 30783 17294 17271 34565 18021 17976 35997 19702 19407 39109 19792 19500 39292 18924 18282 37206
Sumber: Batur Dalam Angka (1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012, 2013)
88

Lampiran 5 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Periode Bulan Januari Desember Tahun 1990 - 2014

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah Rata-Rata
1990 Curah Hujan 748 239 358 180 81,5 68,5 64,5 89 69 43,5 126 560 2627 218,92
Hari Hujan 24 17 16 14 11 6 7 8 7 6 12 26 154 12,83
1992 Curah Hujan 264 522 417 264 102 90 38 172 180 376 292 350 3067 255,58
Hari Hujan 16 21 19 16 12 9 9 12 15 22 19 21 191 15,92
1993 Curah Hujan 710 422 515 266 166 233 - 80 50 111 173 398 3124 284
Hari Hujan 20 16 19 15 20 7 - 9 9 11 12 24 162 14,73
1994 Curah Hujan 904 327 536 392 100 - - - - - 74 470 2803 400,43
Hari Hujan 23 19 26 19 6 - - - - - 5 26 124 17,72
1996 Curah Hujan 497 545 387 183 81 24 81 100 122 177 630 435 3262 271,83
Hari Hujan 27 26 26 19 7 3 3 5 8 19 26 18 187 15,58
1997 Curah Hujan 685 438 315 235 154 7 27 6 0 95 189 452 2603 216,92
Hari Hujan 29 23 18 19 16 1 2 1 0 7 11 20 147 12,25
1998 Curah Hujan 175 351 383 2500 169 169 93 43 114 272 367 425 5061 421,75
Hari Hujan 10 18 17 16 10 11 10 3 6 14 12 17 144 12
1999 Curah Hujan 218 414 414 367 113 30 42 7 14 181 562 402 2764 230,33
Hari Hujan 16 15 16 11 5 5 6 2 3 10 24 22 135 11,25
2000 Curah Hujan 610 461 371 325 260 70 40 22 17 346 497 199 3218 268,17
Hari Hujan 17 15 13 18 15 1 4 4 3 13 17 8 128 10,67
2001 Curah Hujan 442 537 528 251 134 117 91 49 49 522 462 286 3468 289
Hari Hujan 15 23 23 20 11 12 13 4 14 28 28 18 209 17,42
2002 Curah Hujan 336 429 411 326 72 15 4 15 13 11 145 461 2238 186,5
Hari Hujan 25 26 24 21 6 3 4 5 8 5 20 25 172 14,33
89

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah Rata-Rata
2004 Curah Hujan 799 292 458 414 343 46 77 0 81 145 534 892 4081 340,08
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2005 Curah Hujan 414,1 367,1 440,9 364,5 267,2 221,5 6 197,2 267,1 476,7 417,6 783,8 4223,7 352
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2006 Curah Hujan 672,6 594,9 205,2 533,7 396,4 36,3 262,1 3,5 0 29,3 203,1 591,3 3528,4 294,03
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2007 Curah Hujan 316 550 634 208 157 37 - - - 308 427 23 2660 221,67
Hari Hujan 20 21 17 9 6 3 - - - 10 18 23 127 10,58
2008 Curah Hujan 392 242 481 553 279 64 2 73 55 695 582 278 3696 308
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2009 Curah Hujan 354 475 394 170 144 85 109 0 6 59 680 605 3081 256,75
Hari Hujan 19 16 23 13 6 4 7 0 3 6 19 21 137 11,42
2010 Curah Hujan 483 512 514 183 150 61 97 3 6 181 553 497 3240 270
Hari Hujan 28 26 26 21 17 9 3 3 7 21 22 26 209 17,42
2011 Curah Hujan 316 550 634 208 157 37 0 0 0 308 427 23 2660 221,67
Hari Hujan 20 21 17 9 6 3 0 0 0 10 18 23 127 10,58
2012 Curah Hujan 819 559 149 297 214 147,8 6 0,7 3,8 213 673 802,6 3884,9 323,74
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2013 Curah Hujan 618,6 283,1 292,7 610,9 221,3 182 262,1 50,5 16,2 214 237 741,8 3730,2 310,85
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
2014 Curah Hujan 422,2 202,1 381,1 353,9 273,1 244,5 249,8 - - - - - 2126,7 303,81
Hari Hujan - - - - - - - - - - - - - -
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka (1990-2011), Data Stasiun Geofisika Banjarnegara (2012-2014)
90

Lampiran 6 Skor Lima Modal yang Diakses Rumah Tangga Petani Berdasarkan
Luas Penguasaan Lahan

Modal
Manusia Sosial Fisik Finansial Sumberdaya Alam
Tidak Menguasai Lahan 3,3 3 1,3 1,3 1,1
0,1 ha x 0,3 ha 3,3 3 2 1,5 2,1
0,3 ha x 0,5 ha 3,3 3,4 2 2 3
0,5 ha x 1 ha 3,3 3,4 3 2,5 3,3
1 ha 3,7 3,9 3,5 3,9 3,9
Sumber: Data Primer (2014)
Keterangan: 1=sangat rendah; 2=rendah; 3=sedang; 4=tinggi
91

Lampiran 7 Indikator Terpilih Penilaian Kerentanan Rumah Tangga Petani


Terhadap Perubahan Iklim

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


Eksposure Rumah tempat Luas bangunan rumah
tinggal Bahan bangunan yang 1
Batu bata
digunakan 2
Kayu
Triplek 3
Bambu 4
Milik Sendiri/sewa Milik sendiri 1
Sewa 2
Berada di daerah rawan Ya 2
bencana 1
Tidak
Area bencana dekat Tepi sungai 1
rumah 2
Area banjir
Area longsor 3
Lereng yang
4
curam
Upaya mengurangi Ada 2
dampak bencana 1
Tidak
Efektifitas penanganan Sangat efektif 5
dampak 4
Efektif
Cukup Efektif 3

Tidak Efektif 2
Sangat Tidak
1
Efektif
Sumber mata Luas lahan pertanian
pencaharian
Kedekatan lahan dengan 2
Ya
sumber bencana
1
Tidak
Lahan dan area bencana Dekat tepi
1
sungai
Daerah rawan
2
banjir
Daerah
3
terpencil
Lereng yang
4
curam
Daerah rawan
5
kekeringan
Upaya mengurangi Ada 2
dampak bencana Tidak 2
Efektifitas penanganan Sangat efektif 5
dampak Efektif 4
92

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


Cukup Efektif 3
Tidak Efektif 2
Sangat Tidak
1
Efektif
Sumber Memiliki sumber Ya 2
pendapatan pendapatan pertanian
pertanian lainnya Tidak 1
lainnya sumber pendapatan sering Ya 2
terkena bencana Tidak 1
Upaya mengurangi Ada 2
dampak bencana Tidak 2
Efektifitas penanganan Sangat efektif 5
dampak Efektif 4
Cukup Efektif 3
Tidak Efektif 2
Sangat Tidak
1
Efektif
Aset bergerak Memiliki aset bergerak Ya 2
Tidak 1
Jenis aset bergerak Mobil 1
Motor 2
Traktor 3
Saprotan 4
Aset bergerak terdampak Ya 2
bencana Tidak 1
Upaya mengurangi Ada 2
dampak bencana Tidak 2
Efektifitas penanganan Sangat efektif 5
dampak Efektif 4
Cukup Efektif 3
Tidak Efektif 2
Sangat Tidak
1
Efektif
Aset tidak Memiliki aset tidak Ya 2
bergerak bergerak Tidak 1
Jenis aset tidak bergerak Gudang 1
Kios 2
Kontrakan 3
Lainnya 4
Aset bergerak terdampak Ya 2
bencana Tidak 1
Upaya mengurangi Ada 2
dampak bencana Tidak 2
93

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


Efektifitas penanganan Sangat efektif 5
dampak Efektif 4
Cukup Efektif 3
Tidak Efektif 2
Sangat Tidak
1
Efektif
Total Eksposure 74
Sensitivitas Sumber Jenis pendapatan utama Pertanian
4
pendapatan hortikultur
utama pertanian Peternakan 3
Perikanan 2
non-pertanian 1
Sumber Jenis pendapatan Pertanian
4
pendapatan sampingan hortikultur
sampingan Peternakan 3
Perikanan 2
non-pertanian 1
Pengeluaran Jumlah pengeluaran per
rumah tangga bulan
Investasi/tabung Memiliki Ya 2
an rumah tangga investasi/tabungan Tidak 1
Memanfaatkan pinjaman Ya 2
Tidak 1
Sumber pinjaman Bank 1
Kerjasama 2
Teman 3
Tetangga 4
Lainnya 5
Kondisi Tingkat kriminalitas Ya 2
keamanan/tingk meningkat ketika bencana Tidak 1
at kriminalitas
Jenis kejahatan Pencurian 1
Perampokan 2
Penjarahan 3
Perubahan Perubahan ekosistem 10 Menurun 1
lingkungan/ekos tahun terakhir Tidak berubah 2
istem
Meningkat 3
pengaruh perubahan Menurun 1
ekosistem terhadap Tidak berubah 2
intensitas bencana
Meningkat 3
Bentuk bencana yang Banjir 1
terjadi Angin ribut 2
Kekeringan 3
Tanah longsor 4
94

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


Lainnya 5
Sumber air sumber air bersih seari- PDAM 1
bersih untuk hari Sumur 2
keluarga
Tampungan
3
hujan
Sungai/mata air 4
Apakah mengalami
kesulitan akses air bersih 2
Ya
Tidak 1
Jenis kesulitan Air
1
terkontaminasi
Sumber air jauh 2
sumber air bersih Ya 2
memenuhi kebutuhan Tidak 1
Solusi jika air bersih tidak Membeli 1
memenuhi kebutuhan mencari sumber
2
yang baru
Akses air bersih kesulitan akses air bersih Ya 2
ketika terjadi ketika terjadi bencana
bencana iklim kekeringan Tidak 1
Ada bantuan akses air Ya 2
bersih Tidak 1
Institusi yang membantu Pemerintah 1
Bisnis 2
LSM 3
Jenis bantuan Teknis 1
Air bersih 2
Finansial 3
Sumber air Jenis sumber air pertanian Irigasi 1
untuk pertanian Tadah Hujan 2
Jenis irigasi dam yang
dikelola 3
pemerintah
waduk/embung 4
sungai/waduk
yang dikelola 5
masyarakat
kesulitan dalam pengairan Ya 2
Tidak 1
Mengapa kesulitan Lokasi lahan
jauh dari 1
sumber air
Air dicuri 2
95

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


Pada bulan apa
mengalami kesulitan air

Usaha mengatasi kesulitan Ada 2


air Tidak 1
Jenis usaha mengatasi Mengambil air
1
kesulitan air kolam
Menggali
2
sumur
memompa air
3
sungai
Total Sensitivitas 69
kapasitas Sistem ada peringatan dini Ada 2
adaptasi peringatan dini antisipasi bencana iklim Tidak 1
Jenis bencana dengan Banjir 1
peringatan dini kekeringan 2
Angin badai 3
Tanah longsor 4
Pelaku sistem peringatan Pemerintah
1
dini desa
Pemerintah
2
Kabupaten
LSM 3
Tokoh desa 4
Media massa 5
Peringatan dini efektif Ya 2
Tidak 1
Penyebab tidak efektif Tidak tepat
1
waktu
Tidak ada
dukungan 2
pemerintah
Tidak ada
sarana 3
prasarana
Upaya persiapan Melakukan upaya Ya 2
untuk persiapan Tidak 1
menghadapi
Persiapan untuk pertanian Mengasuransik
bencana iklim
an tanaman 1
anda
Membangun
2
saluran air
Instalasi pompa
3
air
Menjadwal
4
pengunaan air
96

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


irigasi

Memperbaiki
saluran irigasi 5
secara rutin
Mengatur
strategi
penanaman dan
6
menggunakan
informasi
prakiraan iklim
Membangun
dan
7
memperkuat
tanggul
Membuat
embung atau 8
waduk kecil
Upaya saat langkah saat terjadi Evakuasi ke
menghadapi bencana daerah yang 1
bencana iklim lebih aman
Mencari
2
bantuan
Bantuan saat terjadi Ada 2
bencana Tidak 1
Bentuk bantuan Benih dan input
1
pertanian
makanan dan
2
obat-obatan
Uang 3
Tempat dan
4
sarana evakuasi
Bantuan
5
pekerjaan
Sumber bantuan PMI 1
Tetangga 2
kelompok
3
Masyarakat
BNPB 4
BPBD 5
Basarnas 6
Pemerintah 7
LSM 8
Polisi/TNI 9
Individu 10
Upaya saat menghadapi Memompa air
kekeringan pertanian 1
dari sumber
97

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


terdekat

Bertanam
tanaman yang
varietasnya 2
membutuhkan
lebih sedikit air
Mengurangi
3
penggunaan air
Perbaiki
4
saluran irigasi
Menggali
sumur tanah
baru untuk 5
mengairi lahan
pertanian
Menggunakan
6
air lebih efisien
Tidak
7
menanam
Mencari
8
pekerjaan baru
Kerjasama Kerjasama ketika Ada 2
dengan pihak menghadapi bencana Tidak 1
lain
Kerjasama yang dilakukan Antara
1
kelompok tani
Antara
kelompok dari
2
desa yang
berbeda
Antara
kelompok
3
dengan
pemerintah
Antara individu
dengan 4
individu
Dukungan Dukungan dari sektor Ada 2
sistem yang berbeda untuk
kelembagaan menghadapi bencana Tidak 1
Lembaga pemberi Aparat desa 1
dukungan Pemerintah
2
kabupaten
Pemerintah
3
provinsi
Dinas Pertanian 4
Dinas
Kehutanan dan 5
Perkebunan
98

Variabel Indikator Sub Indikator Bobot


LSM 6
BMKG 7
Lainnya 8
Sifat dukungan Sumber
1
informasi
Dukungan
2
Keuangan
makanan dan
3
obat-obatan
Dukungan
4
Teknis
Dukungan
5
Logistik
Lainnya 6
Kepuasan terhadap Ya 2
dukungan Tidak 1
Total Kapasitas Adaptasi 77
Keterangan: Dimodifikasi dari kuesioner penilaian kerentanan rumah tangga
terhadap variasi iklim dan perubahannya di Daerah Aliran Sungai Citarum
(CCROM SEAP IPB; ADB; AECOM, 2012)
99

RIWAYAT HIDUP

Turasih merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Ahmad Salimi dan Ibu Surati. Penulis lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada
tanggal 06 Januari 1990. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di
TK Aisiyah Bustanul Athfal Pagentan (1994-1995), SD Negeri 1 Pagentan (1995-
2001), SMP Negeri 1 Pagentan (2001-2004), Madrasah Aliyah Negeri 2
Banjarnegara (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai
mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia dan lulus pada tahun 2011 dengan judul skripsi Sistem
Nafkah Rumah Tangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa
Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa
Tengah). Selanjutnya penulis meneruskan studi Magister di Sekolah Pascasarjana
IPB Program Studi Sosiologi Pedesaan.
Selama menjalani studi di Program Studi Sosiologi Pedesaan, penulis aktif
bekerja sebagai asisten peneliti dan fasilitator pengembangan masyarakat di Pusat
Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-LPPM IPB. Selain itu penulis
aktif menjadi asisten dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat-FEMA IPB untuk mata kuliah Sosiologi Pedesaan, Perubahan Sosial,
Kelembagaan, Organisasi dan Kepemimpinan. Pada saat menempuh pendidikan
S1, penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Bakti Tanoto melalui beasiswa
Tanoto Foundation. Pada saat mengambil studi Magister, penulis kembali
mendapatkan beasiswa Tanoto Foundation program Pasca Sarjana.

Anda mungkin juga menyukai