PENDAHULUAN
1
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi
ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun
intrahepatik. Sebagian besar pasien dengan batu kandung empedu tidak
mengalami gejala atau asimptomatis.1
Walaupun batu dapat terjadi dimana saja dalam saluran empedu, namun batu
kandung empedu ialah yang tersering didapat. Bila batu empedu ini tetap saja
tinggal di dalam kandung empedu, maka biasanya tidak menimbulkan gejala
apapun.
Gejala-gejala biasanya timbul bila batu ini keluar menuju duodenum melalui
saluran empedu, karena dapat menyebabkan kolik empedu akibat iritasi, hidrops,
atau empiema akibat obstruksi duktus cysticus. Bila obstruksi terjadi pada duktus
koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan kadang-kadang
sirosis bilier.
Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Namun sering menimbulkan gejala sumbatan sebagian (partial
obstruction), dan menimbulkan gejala kolik. Pada dasarnya dilatasi saluran
empedu sangat bergantung pada berat atau tidaknya obstruksi yang terjadi.
Pada penderita-penderita yang mengalami obstruksi parsial baik disebabkan
oleh batu duktus koledokus, tumor papilla vateri atau kolangitis sklerosis,
kadangkadang tidak memperlihatkan pelebaran saluran empedu sama sekali,
tetapi mungkin saja dijumpai pelebaran yang berkala.4,5
Bila menimbulkan gejala sumbatan, akan timbul tanda kolestasis ekstra
hepatal. Di samping itu dapat terjadi infeksi, timbul gejala kolangitis, dan cairan
empedu menjadi kental dan berwarna coklat tua (biliary mud). Dinding dari
duktus koledokus menebal dan mengalami dilatasi disertai dengan ulserasi pada
mukosa terutama di sekitar letak batu dan di ampula vateri.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga
dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Jika batu empedu tidak
menimbulkan gejala biasanya pasien tidak memerlukan pengobatan. Meski
demikian, banyak juga kasus batu empedu yang membutuhkan tindakan operasi
yang disebut kolesistektomi.6
2
Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan laparoskopi atau bedah
minimal. Karena hanya dengan sayatan kecil, proses pemulihannya pun lebih
cepat. Bedah minimal juga hanya menimbulkan sedikit nyeri dan kalaupun terjadi
komplikasi hanya ringan saja, tidak seperti bedah terbuka.
Ada pula kasus yang mengharuskan kantong empedu diangkat. Walaupun
organ ini sudah dibuang, seseorang bisa saja melanjutkan kehidupannya dengan
normal dan tetap produktif, karena sebetulnya kantong empedu hanya berfungsi
sebagai tempat penampungan. Setelah menjalani pengangkatan kantong empedu,
pasien sebaiknya memperhatikan pola makan yaitu dengan membatasi asupan
makanan berlemak atau berminyak.6
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan
dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea)
yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi.7
4
dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus
hepatikus komunis.
Fungsi empedu adalah untuk mengentalkan dan menyimpan empedu
yang dibawa dari hepar melalui ductus cystikus diantara waktu makan dan
melepaskan empedu ke dalam usus lewat ductus cystikus selama makan.8
5
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.
6
beberapa struktur yang sangat penting untuk ahli bedah yaitu arteri sistikus,
arteri hepatika kanan dan duktus sistikus.7,8
2.3 Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara
600-1200 ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu.
Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung
empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %.
Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan
absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut
yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi
volumenya 80-90%.8
Menurut Guyton & Hall 1997, empedu melakukan dua fungsi penting
yaitu empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain yaitu asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam
getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir
lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin yang merupakan suatu
produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di
bentuk oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum.
Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-
serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.
Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam
duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat
7
lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu
berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam
makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu
sekitar 1 jam.8
Garam empedu, lesitin (fosfolipid) dan kolesterol merupakan komponen
terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.7,8
2.4 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi factor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu.
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam
kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan
supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur
tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus.1,8
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garamgaram empedu dan lesitin dari empedu, dan terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu.
Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
8
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah
mengalami perkembangan batu empedu.6
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet
sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti didalam duktus
sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan
tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.1,7,8
2.5 Patofisiologi
a. Batu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat.
Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa
soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat,
berduri, dan ada yang seperti buah murbei.3
Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam
cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup
tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu tinggi, pengendapan akan
terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah
pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna,
masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam kantong setelah proses
pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan.
Sifat fisikomia empedu bervariasi sesuai konsentrasi relatif garam
empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu dalam
daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah
relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan
garam empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya
merupakan persentasi konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan
kolesterol. Empedu yang mengandung kolesterol seluruhnya di
dalam micelles digambarkan oleh area di bawah garis lengkung ABC
(cairan micelle), tetapi bila konsentrasi relatif garam empedu, lesitin dan
9
kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada kolesterol di dalam
dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol). 7
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol
terjadi dalam empat tahap:
1. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
2. Pembentukan nidus.
3. Kristalisasi atau presipitasi.
4. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan
senyawa lain yang membentuk matriks batu.
10
abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris
merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Ada dua
bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel,
sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut
mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer
bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan
banyak senyawa organik lain.
Batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari
semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai
hitam. Umumnya batu pigmen coklat ini terbentuk di saluran empedu
dalam empedu yang terinfeksi. Batu pigmen coklat biasanya ditemukan
dengan ukuran diameter kurang dari 1 cm, berwarna coklat kekuningan,
lembut dan sering dijumpai di daerah Asia.
Batu ini terbentuk akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis
dapat disebabkan karena disfungsi sfingter oddi, striktur, operasi bilier,
dan parasit. Pada infeksi empedu, kelebihan aktivitas b-glucuronidase
bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam pathogenesis
batu pigmen pada pasien di negara timur.
Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak
terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim
bglucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli dan kuman lainnya di
saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang
konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan
rendah lemak.1
11
c. Batu pigmen hitam
Batu tipe ini banyak dijumpai pada pasien dengan hemolisis kronik
atau sirosis hati. Batu pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized
bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu pigmen ini belum jelas.
Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril. Batu empedu jenis ini umumnya berukuran kecil,
hitam dengan permukaan yang kasar. Biasanya batu pigmen ini
mengandung kurang dari 10% kolesterol.10
1. Fase Prahepatik
- Pembentukan biliburin : sekitar 250 sampai 350 mg biliburin atau
sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya, 70-80%
berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan
12
sisanya 20-30% (early labeled bilirubin) datang dari protein heme
lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati.
Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara
biliverdin dengan perantara enzim heme oksigenasi. Enzim lain,
biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin.
Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada beberapa
kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif.
- Transport plasma : bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin
tak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin
dan tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul
dalam air kemih. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti
asidosis, dan pemakaian antibiotika tertentu.
2. Fase Intrahepatik
- Liver uptake : proses pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yang diberi
symbol sebagai protein Y dan Z.
- Konjugasi : bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati
mengalami konyugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin
diglukuronida atau bilirubin konyugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil transferase
menghasilakn bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi
ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukorida, dengan bagian asam
glukoronik kedua ditambahkan dalam satuan empedu melalui sistem
enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik.
Bilirubin konyugasi lainnya selain diglukuronid juga terbentuk namun
kegunaannya tidak jelas.
3. Fase Pascahepatik
- Ekskresi bilirubin : bilirubin konyugasi dikeluarkan ke dalam
kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus flora bakteri
mendekonyugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen
dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi
warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
13
empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak
bilirubin unkonyugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
yang khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
Bilirubin tak terkonyugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut
dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonyugasi dapat melewati
barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati,
bilirubin tak terkonyugasi mengalami proses konyugasi melalui enzim
glukoniltransferase dan larut dalam empedu cair.
2.7 Manifestasi klinis
1. Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
a. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun
dispepsia. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien
dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik.
Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan
intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu
empedu asimtomatik.4
b. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik
biliaris, nyeri pasca prandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi
oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir
setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu,
14
dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan
dengan serangan kolik biliaris.1,7
c. Pasien dengan komplikasi batu empedu
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang
paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya
diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari
kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam
infundibulum.
Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang
tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului
sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial.
Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat
menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai
mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari.
Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan
atas abdomen dan tanda klasik Murphy sign (pasien berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan
hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami
kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.4
2. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di
epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan
menggigil bila terjadi kolangitis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai
obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya
kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya
kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu
demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan
timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot,
15
ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai
koma.3
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius
karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa.
Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen
pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul
kolangitis akut.
Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati.
Migrasi batu empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran
umum diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat
menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu
dalam ampula akan menyebabkan icterus obstruktif.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu
antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis,
pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses
hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi
tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.7
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut dapat terjadi leukositosis, biasanya akan diikuti kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin kadar
amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan
akut.
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung empedu
16
berkalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos abdomen. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak dikuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus
besar, flexura hepatica. 7,9
c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini merupakan metode non invasif yang sangat bermanfaat
dan merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan
nilai sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 95%.
Ultrasonografi dapat memberikan informasi yang cukup lengkap
mengenai :
- Memastikan adanya batu empedu
- Menunjukkan berapa batu empedu yang ada dan juga ukurannya
- Melihat lokasi dari batu empedu tesebut. Apakah di dalam kandung
empedu atau didalam duktus.
Ada 2 jenis pemeriksaan menggunakan ultrasonografi, yaitu :
Ultrasonografi trans abdominal. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan
rasa nyeri, murah dan tidak membahayakan pasien. Hampir sekitar
97% batu empedu dapat didiagnosis dengan ultrasonografi transa
bdominal, namun kurang baik dalam mengidentifikasi batu empedu
yang berlokasi di dalam duktus dan hanya dapat mengidentifikasi batu
empedu dengan ukuran lebih besar dari 45 mm. 7,9
17
Ultrasonografi endoskopi. Ultrasonografi endoskopik dapat
memberikan gambaran yang lebih baik dari pada ultrasonografi trans
abdominal. Karena sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat
mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus biliaris lebih baik.
Kekurangannya adalah mahal dari segi biaya dan banyak
menimbulkan risiko bagi pasien. Ultrasonografi mempunyai derajat
spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik.
Juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena
terhalang udara didalam usus. Dengan ultrasonografi punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren lebih
jelas dari pada dengan palpasi biasa.
Gambar 10. Hasil USG menunjukan adanya batu pada kandung empedu
d. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, obstruksi pylorus, dan hepatitis
karena pada keaadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Penilaian kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu. 7,9
18
Gambar 11. Hasil Kolesistografi
e. CT scan
Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu
19
Gambar 13. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstra hepatik (panah pendek)
dan di duktus intra hepatik (panah panjang)
g. Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)
Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah
modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang
memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris dan duktus
pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di
duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus. 7,9
20
pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50% dalam 5
tahun.1
b. Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC (Percutaneous
transhepatic cholangiogram) dan instilasi langsung pelarut kolesterol
kekandung empedu. Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut
kolesterol yang poten ( metil-terbutil-eter (MTBE) ) ke dalam kandung
empedu melalui kateter yang diletakkan perkutan telah terlihat efektif
dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang
tinggi.2
c. Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy = ESWL)
Litotripsi gelombang elektro syok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk
pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.10
21
cara memasukkan kontras lewat kateter kedalam duktus sistikus untuk
mengetahui outline dari saluran bilier, alasan dilakukannya intraoperatif
kolangiogram adalah karena ada kemungkinan 10 persen terdapat batu
pada saluran empedu.4
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD,
perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada
pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun
angka kematian 0,03 %, sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
kematian mencapai 0,5 %.4
b. Kolesistektomi laparoskopik.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih
cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit
dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang
berulang. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur
ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris
yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor
stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Dengan menggunakan
teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri,
kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja
kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga.
22
Gambar 16. Open kolesistektomi dan Kolesistektomi laparoskopik
23
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. T
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa Timur
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : BTN Sentani
Tanggal masuk perawatan : 18 September 2019
No CM : 46 36 38
24
3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti ini
3.2.5. Riwayat Alergi Obat dan Makanan
Pasien mengaku tidak pernah mengalami alergi obat ataupun makanan
3.2.6. Riwayat Kebiasaan
Paaien sering makan gorengan dan makanan bersantan serta sering
memuntahkan minyak secara tidak sadar setelah mengkonsumsi makanan
berminyak
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda-tanda Vital : Dalam batas normal
4. Kepala dan Leher
a. Kepala : Simetris, tidak ada kelainan, tampak kulit kepala normal
b. Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
c. Telinga : Deformitas (-), secret (-), skuama (+)
d. Mulut : Deformitas (-), bibir sianosis (-), Oral Kandidiasis (-)
e. Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
5. Thoraks
a. Paru : Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas
Palpasi : Vokal Fremitus : D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi :Suara napas vesikuler, Rhonki (-),
Wheezing(-)
b. Jantung : Inspeksi : Iktus Kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus Kordis teraba di ICS V
Perkusi : Pekak
Auskultasi : BJ I-II Reguler, murmur (-),gallop (-)
c. Abdomen : Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) 5-6x/menit
25
Palpasi : Supel, NT (+) region hypokondrium dextra
dan epigastrikum (murphy sign +), H/L : tidak teraba besar
Perkusi : Timpani
d. Ekstremitas : Akral teraba hangat, udem (-)
e. Vegetatif : Makan/minum (baik), BAB/BAK (lancar)
26
2. Ultrasonografi
Kesan:
Kandung empedu: ukuran normal, dinding menebal, tampak lesi di
hyperechoic 1,5 cm CBD tidak melebar.murtphy sign (+)
Kesimpulan:
Kolelitiasis disertai kolesistisis akut
3.5. Diagnosa Kerja
Kolesistolitiasis
3.6. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
Kurangi makanan berminyak dan bersantan
Medikamentosa
- Pro Laparascopy
3.7. Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam
27
3.8 Laporan Operasi
Tanggal : 19/09/2017
Operator: dr. Sony Gunawan , Sp.B KBD
Anastesi: dr. Duma , SpAn
1. Insisi periumbilical
2. Insersi SILS
3. Identifikasi duktus dan cystica, dilakukan ligasi
4. Kandung empedu dibebaskan dari liver
5. Luka operasi ditutup
6. Operasi selesai
Instruksi Post operasi :
- IVFD RL:D 5= 2:1
- Inj. Cefoperazone 2 x 1 gr IV
- Inj. Tramadol 2 x 1 amp IV
- Inj. Omeprazole 3 x 1 amp IV
- Inj. PCT 3 x 500 mg Drip
3.9 Follow Up Ruangan
Hari/ Catatan Tindakan Ket
Tanggal
19-21.09. KU : Tampak sakit sedang Tgl. 19.09.2017 Rencana besok
2017 Kesadaran : Compos mentis - Pro Laparascopy pulang
TTV: TD. 120/80 N. 88 Rr. 20,
Sb.36,7, SpO2. 99% Tgl. 20-21.09.2017
K/L : Normocephal, CA (-/-), SI (- - IVFD RL : D5
/-), OC (+) pembesaran KGB (-) 2:1
Thorax : Simetris, ikut gerak - Inj.
napas, sonor, rhonki -/-, wheezing Cefoperazone
-/-, BJ I-II Reguler, murmur (-),
2x1 gr
gallop (-)
- Inj Omeperazole
Abdomen : Supel, BU (+), Hepar
tidak teraba membesar, Lien. tidak 3x1 amp
teraba membesar. - Inj Tramadol
Ekstremitas: akral teraba hangat, 3x1 amp
oedem (-/-) - Inj Paracetamol
Vegetatif : Ma/Mi Baik 3x500 mg
Bab/Bak (+/+)
A : Kolesistolitiasis
22.09.2017 KU : Tampak sakit sedang Terapi oral Pulang
Kesadaran : Compos mentis - Cefixime 2x100mg
Control Polik
TTV: TD. 120/80 N. 88 Rr. 20, - Tramadol
Sb.36,7, SpO2. 99% 3x100mg
K/L : Normocephal, CA (-/-), SI (-
/-), OC (+) pembesaran KGB (-)
28
Thorax : Simetris, ikut gerak
napas, sonor, rhonki -/-, wheezing
-/-, BJ I-II Reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Supel, BU (+), Hepar
tidak teraba membesar, Lien. tidak
teraba membesar.
Ekstremitas: akral teraba hangat,
oedem (-/-)
Vegetatif : Ma/Mi Baik
Bab/Bak (+/+)
A : Kolesistolitiasis
29
BAB IV
PEMBAHASAN
30
Pemeriksaan fisik penderita batu kandung empedu terutama ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung
jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas. Pada pemeriksaan
palpasi daerah abdomen pasien ini ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah
kuadran kanan atas dan Murphy sign positif.
Pada dasarnya pentalaksanaan pasien dengan kolesistolitiasis bertujuan
untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalirkan aliran empedu.
Tindakan tersebut dapat berupa tindakan pembedahan pengangkatan batu
(kolesistektomi). Kolesistektomi dapat dilakukan baik dengan kolesistektomi
terbuka maupun kolesistektomi laparoskopik. Bila tindakan pembedahan tidak
mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab sumbatan, maka dilakukan
tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat dialirkan.
Drainase dilakukan keluar tubuh tubuh yaitu dengan pemasangan pipa pada
duktus koledokus atau kolesistostomi.
Prognosis pada pasien ini baik karena belum terdapat tanda-tanda perforasi
kandung empedu. Sekitar 95% kasus batu empedu gejalanya berkurang setelah
menjalani operasi, sehingga quality of life pasien juga meningkat.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
IV.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.479 481.
2. Lumbantobing S. M, Pemeriksaan fisik dan Mental, Jakarta: Fakultas
kedokteranUniveritas Indonesia, 1998.
3. Brunner&suddart, Keperawatanmedical bedah Vol 2. Jakarta.EGC, 2001
4. Wilkison, Judit M, buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta :
EGC,2006
5. http://www.scribd.com/doc/26152642/makalah-kolelitiasis
6. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles
of Surgery. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-
64.
7. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
PenerbitBuku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
8. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar
FisiologiKedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
9. ClinicStaff.Gallstones.Availablefrom:http:/www.6clinic.com/health/digeti
vesystyem/DG9999.htm.
10. Cholelithiasis.Availablefrom:http:/www.7.com/healthmanagement/Managi
ngYourHealth/HealthReference/Disease/InDepth.htm.
32