Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak
berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat
terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan Deklarasi Bogor.
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai
Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik
paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno
dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat
itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalam Politik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik
menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam
penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung
demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung
sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS
1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu
konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai
politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah
yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno
melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan
pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai
politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan
Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang
seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya telah
beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap
berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini
mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah
Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi
kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak
desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad
Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: Saya tidak akan membacakan
Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau
menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah
satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu
percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun 1949, ia meminta agar
Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang
bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat
dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat
diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan
lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya.
Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin
pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di
Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya
berisi:
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden.
Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak
politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara
Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad
Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu,
sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada
pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta
menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan
Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20
Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta
aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas
Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR
mengajukan mosi mengenai Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR
kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari bentuk
kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal
sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan
ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat
Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu
kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan
konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil
Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil
Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika
Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik
ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini,
Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan
perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945;
Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan
Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem
parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta
pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan
oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian
jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka
tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang terdiri dari sistem
parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen
atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama
pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih
negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih
menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang
menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya
yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika
Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak
hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label Demokrasi Terpimpin. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju
non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang
menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut
berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955dalam KTT Asia-Afrika untuk
mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-
negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan
massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di
negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut
adalah sebuah rencana neo-kolonial untuk mempermudah rencana komersial Inggris di
wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan
memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan
celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia.
Menanggapi keputusan PBBuntuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran
diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan
Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai
tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan
pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan
terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju
pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia
gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962.
Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia
dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia
mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno
untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno,
memulai kampanye untuk membentuk Angkatan Kelima dengan mempersenjatai
pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan
berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih
kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh.
Jumlah korban jiwa pada 1966mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi
di Jawa dan Bali.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu
disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan
kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan
yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde
Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi
Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas
dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk
mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim
Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan
dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres
tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-
Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat
Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil
Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GPAnsor) dan KH.Moh.
Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang
timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan
menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan;
dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga
merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:
(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,
marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala
bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d)
mempertahankan eksistensi Partijwezen;
(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan
dalam menuju perdamaian dunia.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut
di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada
yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang
bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan
sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor
waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas
suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut
bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal
timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya
memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.
Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir
pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam
buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan
muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang
korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-
bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat
itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah
Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar
umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu
sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan
penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah
mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu
yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu
adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai
Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula
yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI
yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan
memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari
memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.
1. C. Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan Era Reformasi.Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena
itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai Era Pasca Orde Baru.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda.
Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun
melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan
reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu
pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan
kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan.
Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P.
Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan
kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada
pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.