Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam bidang penelitian obat tradisional bertujuan agar mengenal dan
mengidentifikasi suatu jenis atau spesies bahan alam yang berkhasiat obat
berdasarkan morfologi dan kegunaannya bagi masyarakat di suatu daerah.
Obat tradisional di dunia ini sedang marak digunakan dalam masyarakat. Penggunaan obat
tradisional bukan hanya dikembangkan di Indonesia tapi sudah dikembangkan di negara-negara maju.
Sehingga bahan alam merupakan salah satu sumber bahan baku obat yang perlu digali, diteliti dan
dikembangkan.
Perkembangan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat dari tahun ke tahun pun semakin
berkembang pesat dan mengalami kemajuan. perkembangan mulai terarah mulai dari cara atau metode
pembuatannya sampai cara penggunaannya dibuat sesederhana mungkin tanpa mengurangi ataupun
menghilangakan kandungan obat pada tanaman tersebut.
Untuk mencari sumber obat yang baru dari tumbuhan, para peneliti tidak terkecuali mahasiswa
telah melakukan penelitian mengenai suatu tanaman yang belum pernah diteliti untuk mendapatkan
komponen obat yang dapat digunakan untuk pengobatan. Komponen dari tumbuhan tersebut kemudian
diisolasi dan diidentifikasi komponen bahan aktifnya yang mengandung nilai terapeutik atau bahan
berkhasiat.
Beberapa metode kromatografi diantaranya adalah kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis
atau yang biasa disebut KLT. Kromatografi kertas sebagai penyerap digunakan sehelai kertas
dengan susunan serabut pada lapisan selulosa yang lazim, menyebabkan lebih banyak terjadi difusi ke
samping dan bercak lebih besar.
Pada praktikum ini kita akan lakukan identifikasi golongan komponen kimia
dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dari tumbuhan Daun jambu biji
(Psidium guajava)
1.2 Maksud dan Tujuan Praktikum
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara identifikasi komponen ekstrak metanol daun jambu biji (Psidium
guajava) secara kromatografi lapis tipis.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Identifikasi komponen kimia ekstrak methanol daun jambu biji (Psidium guajava) secara kualitatif
dengan metode kromatografi lapis tipis dengan melihat warna noda dan nilai Rf nya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi dalam bidang kimia merupakan sebuah teknik analisis yang
digunakan untuk memisahkan sebuah campuran ataupun persenyawaan
kimia (adnan, 1997).
Kromatografi adalah suatu metoda untuk separasi yang menyangkut
komponen suatu contoh di mana komponen dibagi-bagikan antara dua tahap, salah
satu yang mana adalah keperluan selagi gerak yang lain. Di dalam gas
chromatography adalah gas mengangsur suatu cairan atau tahap keperluan padat.
Di dalam cairan chromatography adalah campuran cairan pindah gerakkan melalui
cairan yang lain , suatu padat, atau suatu 'gel' agar. Mekanisme separasi komponen
mungkin adalah adsorpsi, daya larut diferensial, ion-exchange,
penyebaran/perembesan, atau mekanisme lain (David. 2001)
Adsorpsi Chromatography telah membantu untuk menandai komposisi
kelompok minyak mentah dan produk hidrokarbon sejak permulaan abad ini. Jenis
dan sanak keluarga jumlah kelas hidrokarbon tertentu di (dalam) acuan/matriks
dapat telah a efek dalam pada atas pencapaian dan mutu dari produk hidrokarbon
dan dua orang metoda test standard telah digunakan sebagian besar dari tahun ke
tahun (ASTM D2007, ASTM D4124). Adsorpsi indikator yang berpijar (FIA) metoda
(ASTM D1319) telah melayani untuk di atas 30 tahun sebagai metoda pejabat dari
minyak tanah industri untuk mengukur yang mengandung paraffin olefinic dan isi
bahan bakar pancaran dan bensin berbau harum. Teknik terdiri dari dalam
pemindahana mencicip di bawah isopropanol memaksa melalui suatu kolom tanah
kerikil 'gel' agar-agar ramai; sesak di (dalam) kehadiran tentang indikator berpijar
dikhususkan untuk masing-masing keluarga hidrokarbon. Di samping penggunaan
tersebar luas nya, adsorpsi indikator berpijar mempunyai banyak (Speight, 2006)
Penentuan jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi
lapis tipis (KLT) dengan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan
komponen-komponen pada KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai
panduan untuk memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan kolom
kromatografi dan sebagai fase diam dapat digunakan silica gel dan eluen yang
digunakan berdasrkan basil yang diperoleh dari KLT dan akan lebih baik kalau
kepolaran eluen pada kolom kromatografi sedikit sibawah eluen pada KLT (Lenny,
2006)
Pada hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang melibatkan
dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa campuran pelarut
pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai
permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga
untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Fase diam pada KLT sering disebut
penyerap walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair di dalam sistem
kromatografi cair-cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai
penyerap pada KLT, contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida),
kiselgur (tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling
banyak dipakai dalam KLT (Iskandar, 2007)
Cara pemisahan dengan adsorbsi pada lapisan tipis adsorben yang sekarang
dikenal dengan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography atau TLC) telah
dipakai sejak tahun 1983. Tekhnik ini bertujuan untuk memisahkan komponen kimia
secara cepat berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi.TLC atau KLT dapat
digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion ion anorganik,
kompleks senyawa-senyawa organik dengan dengan senyawa senyawa
anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun
senyawa-senyawa organik sintetik (adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih
cepat (adnan, 1997).
Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben
bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang umum digunakan
adalah silica gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde), kieselghur (diatomeus
earth) dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut, yang paling banyak
dipakai adalah silica gel karena mempunyai daya pemisahan yang
baik (adnan, 1997).
Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT ini adalah
sebagai berikut : pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat
kaca atau plat lain, misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x 20 cm. tebal lapisan
adsorben tersebut dapat bervariasi, tergantung penggunaannya. Larutan campuran
yang akan dipisahkan diteteskan pada kira kira 1,5 cm dari bagian bawah plat
tersebut dengan menggunakan pipet mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat
pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan lebih dulu. Selanjutnya
plat kromatografi tersebut dikembangkan dengan dengan mencelupkannya pada
tangki yang berisi campuran zat pelarut (solvent system). Dengan pengembangan
tersebut masing masing komponen senyawa dalam sampel akan bergerak ke atas
dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini merupakan
akibat terjadinya pengaruh proses dengan KLT, mulai pemilihan adsorben sampai
identifikasi masing masing komponen yang telah terpisah (adnan, 1997).
b. Penampakan Bercak Pada KLT
a. Pada UV (Ultra violet)
Ultra violet adalah penampakan berdasarkan serapan panjang gelombang
cahaya. Sedangkan spekstroskopi adalah untuk mengetahui panjang gelombang
dan variabelnya (misalnya untuk uji kualitatif dan kuantitatif) (Mufidah, 2001)
Pemisahan komponen kimia berdasarkan pada proses terjadinya eksitasi dari
tingkat energi yang rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi akibat adanya
penyerapan radiasi dalam daerah UV-Visibel oleh suatu molekul yang memiliki
ikatan rangkap yang terkonjugasi atau gugus kromofor yang terikat dengan gugus
auksokrom (Mufidah, 2001).
Bila suatu molekul dikenakan sinar oleh spektrofotometer, maka akan terjadi
interaksi antara cahaya dan molekul tersebut yang mengakibatkan molekul akan
mengalami transisi elektron ketingkat energi yang lebih tinggi dan saat molekul
tersebut kembali ke tingkat energi yang semula akan mengeluarkan emisi yang
dapat ditangkap oleh spektrofotometer sebagai data absorban (Stahl, 1969).
Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang
encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometer
yang merekam otomatis. Senyawa dan warna diukur pada jangka 200 nm sampai
400 nm, senyawa berwarna diukur pada jangka 400 nm sampai 700 nm. Panjang
gelombang serapan maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang
diperoleh direkam dalam nm. Demikian juga kekuatan absorbansi (keterserapan).
Bahan yang dignakan hanya dalam jumlah sedikit diisi dengan 3 ml larutan. Dengan
manggunakan sel khusus hanya diperlukan sepersepuluh volume tersebut.
Pengukuran spektrum yang demikian itu penting pada identifikasi kandungan
tumbuhan termasuk untuk mendeteksi golongan senyawa tersebut(Stahl, 1969).
Pelarut yang banyak digunakan untuk spektroskopi UV adalah etanol 95 %,
metanol, air, heksan dan eter. Alkohol mutlak niaga harus dihindari karena
mengandung benzen yang menyerap di daerah UV pendek. Pelarut seperti
kloroform harus dihindari karena menyerap kuat di daerah 200 600 nm, tetapi
sangat cocok untuk mengukur spektrum tumbuhan karotenida didaerah spektrum
tampak (Stahl, 1969).
b. Penampakan Senyawa Kimia (Auksokrom)
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena
adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh
ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom
yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan
rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur
molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-
seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi
yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan
perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda
setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini
bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang
gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang
dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini dapat
menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang gelombang
yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang
yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah
10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun
jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan pemutusan ikatannya tidak
maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu
proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV
dengan panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak
senyawa organik yang dapat berflouresensi jika disinari UV 254 nm. Pada lampu UV
254 nm noda yang tampak berwarna gelap (ungu) karena yang berflouresensi
adalah lempengnya yang mengandung indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada
lampu UV 366 nm warna noda yang tampak adalah terang atau tampak jelas karena
lempengnya tidak berflouresensi tetapi sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan intensitas pita
absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat pemutusan ikatan
rangkap, menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke daerah ultra violet dekat
(190-380).
Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap radiasi
elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi).
Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh
bila dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap mewakili pendek (190-280)
dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini dianggap mewakili panjang (280-380).
Analisis dengan KLT dapat dilakukan untuk mengidentifikasi simplisia yang
kelompok kandungan kimianya telah diketahui. Kelompok kandungan kimia tersebut
antara lain :(Ditjen POM, 1987)
a. Alkaloid
b. Glikosida jantung
c. Flavanoid
d. Saponin
e. Minyak atsiri
f. Kumarin dan asam fenol karboksilat
g. Valepotriat
Lempeng yang digunakan lempeng silika gel 254 P dengan ukuran 10 x 10
cm. Lempeng dapat berupa lempeng kaca atau lempeng lain yang cocok. Untuk
menentukan kelompok kandungan kimia suatu simplisia sekurang-kurangnya
diperlukan 10 lempeng (Ditjen POM, 1987).
Cairan elusi :(Ditjen POM, 1987)
a. Dietil eter:toluena (1 : 1) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga
mengandung kumarin.
b. Etil asetat:asam format:asam asetat glacial:air (100 : 11 : 11 : 27) untuk mengeluasi
pemeriksaan KLT yang diduga mengandung flavanoid.
c. Etil asetat : methanol : air (100:13,5:10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang
diduga mengandung flavanoid, alkaloid, antraglikosida, arbutin, glikosida jantung, zat
pahit, flavanoid atau saponin.
d. Kloroform : etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1 ) untuk mengeluasi pemeriksaan
KLT yang diduga mengandung minyak atsiri.
e. Kloroform:methanol:air (64 : 50 : 10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang
diduga mengandung saponin.
f. Toluena:etil asetat (93 : 7) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga
mengandung minyak atsiri, kumarin, valepotriat, asam-asam pada tumbuh-
tumbuhan.
g. Toluena:etil asetat:dietilamina (70 : 20 : 10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT
yang diduga mengandung alkaloid.
Faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah : (Stahl,1985)
a. Ukuran partikel pada adsorben
b. Derajat keaktifan dari lapisan penjerap
c. Ketetapan perbandingan dari eluen
d. Konsentrasi zat yang dipanaskan
e. Kejenuhan chamber
f. Diameter penotol
g. Tehnik percobaan
h. Suhu
i. Keseimbangan
j. Jumlah cuplikan yang digunakan
k. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
l. Pelarut
m. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
n. Dan lain-lain
Manfaat penggunaan KLT antara lain; (Tim Penyusun, 2003)
a. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat.
b. Pemeriksaan simplisia hewani dan tanaman.
c. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.
d. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif campuran senyawa obat.

II.2 Uraian Bahan


1. Dietil eter (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi : DIETIL ETER
Nama lain : Dieti, eter
Rumus molekul : C2H5O
Jarak didih : Tersuling sempurna pada suhu antara 340C
dan 360C.
2. Metanol (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi : METANOLUM
Nama lain : methanol
Rumus molekul : CH2OH
Berat jenis : 0,796 0,798
Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, bau khas
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air membentuk
cairan jernih tidak berwarna.
3. n-heksana (Ditjen POM, 1979)
Nama remi : HEXAMINUMUM
Nama lain : Heksamina
RM/BM : C6H12N4 / 140,19
Pemerian : Hablur mengkilap, tidak berwarna atau
serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa
membakar , manis kemudian agak
pahit. Jika di panaskan dalam suhu 260
menyublim
Kelarutan : Larut dalam 1,5 bagian air, dalam 12,5 ml
etanol (95%) P dan dalam lebih kurang 10
bagian kloroform P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

BAB III
PROSEDUR KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Aluminium foil, batang pengaduk, cawan porselin, chamber, bult, pipet skala,
gelas kimia, gelas ukur, gunting, lampu UV254 dan UV366 lempeng KLT, mistar, pipa
kapiler, pinset, pensil 2B, dan vial.
III.1.2 Bahan
Aquadest, label, tissue, ekstrak kering jambu biji (Psidium guajava), methanol,
dietil eter, etil asetat, n-heksan dan n-butanol.
III.1.3 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Dibuat eluen n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 8:2, dan2:6
3. Dimasukkan sedikit ekstrak kering jambu biji(Psidium guajava) kedalam 3 vial
4. Ditambakan larutan metanol ke vial 1, dietil eter ke dalam vial 2, n-heksana kedalam
vial 3
5. Dibiarkan hingga sampel melarut
6. Disiapkan lempeng KLT dengan ukuran 7 x 1 cm
7. Ditotolkan masing-masing sampel pada lempeng KLT yang disediakan
8. Dimasukkan Lempeng KLT kedalam chamber yang telah berisi eluen dengan
perbandingan yang telah dibuat
9. Dibiarkan eluen hingga mencapai batas dari lempeng
10. Dikeluarkan lempeng dari gelas chamber
11. Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366 dan ditentukan nilai Rf dari bercak yang
tampak pada lempeng.
12. Dilakukan dgn hal yang sama pada pembuatan eluen n-heksan dan etil asetat pada
perbandingan 8:2.
13. Disiapkan 4 lempeng KLT , ditotol dimasukkan ke dalam chamber berisi eluen.
14. Ditunggu hingga mencapat batas dari lempeng.
15. Dikeluarkan dari chamber
16. Disemprotkan lempeng pertama dgn prekasi drangendrof.
17. Diteteskan lempeng kedua dgn perekasi FeCI3
18. Diteteskan lempeng ketiga dengan perekasi H2SO4
19. Diteteskan lempeng ke empat dengan pereaksi karboksilat
20. Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366 dan di foto.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN
1. Foto profil KLT
a. Hasil pengamatan
Nama Simplisia : Psidium guajava
Uji Pendahuluan : mengandung alkaloid dan saponim
Fase diam : silika gel
Fase gerak : n-Heksan : Etil asetat (8:2)
Ukuran Lempeng : 7 cm x 1 cm
Pelarut Nonpolar (n-hexan)
Eluen n-heksan : etil asetat (8 : 2)

UV 254 nm UV 366 nm H2SO4 10 %

Pelarut nonpolar (n-heksan)


Eluen n-heksan : etil asetat (8 : 2)

UV 254 nm UV 366 nm FeCl3 %

Ekstrak semipolar (n-butanol)


Eluen n-heksan : etilasetat (8 : 2)
UV 254 nm UV 366 nm karboksilat

Ekstrak semipolar (n-butanol)


Eluen n-heksan : etilasetat (8 : 2)

UV 254 nm UV 366 nm Dragendrof

b. Tabel Pengamatan eksktrak metanol


UV 254 nm UV 366 nm
Noda Nilai Rf Nilai Noda Nilai Rf Nilai
1 1 cm 1 0,18 cm 1 0,9 cm 1 0,16 cm
2 1,3 cm 2 0,23 cm 2 1,4 cm 2 0,25 cm
3 2,1 cm 3 0,38 cm 3 1,8 cm 3 0,32 cm
4 3 cm 4 0,54 cm 4 2,3 cm 4 0,41 cm
5 4,4 5 0,8 cm 5 3 cm 5 0,54 cm
6 3,9 cm 6 0,70 cm
7 4,4 cm 7 0,8 cm

Perhitungan :
UV 254 Nm
Noda 1 = 1cm, Rf1 = 1/5,5 = 0,18 cm
Noda 2 = 1,3 cm, Rf2 = 1,3 /5,5 = 0,23 cm
Noda 3 = 2,1 cm, Rf3 = 2,1/5,5 = 0,38 cm
Noda 4 = 3 cm, Rf3 = 3/5,5 = 0,54 cm
Noda 5 = 4,4 cm, Rf3 = 4,4/5,5 = 0,8 cm

UV 366 nm
Noda 1 = 0,9 cm , Rf1 = 0,9/5,5 = 0,16 cm
Noda 2 = 1,4 cm, Rf2 = 1,4/5,5 = 0,25 cm
Noda 3 = 1,8 cm, Rf3 cm = 1,8/5,5 = 0,32 cm
Noda 4 = 2,3 cm, Rf3 cm = 2,3/5,5 = 0,41 cm
Noda 5 = 3 cm, Rf3 cm = 3/5,5 = 0,54 cm
Noda 6 = 3,9 cm, Rf3 cm = 3,9/5,5 = 0,70 cm
Noda 7 = 4,4 cm, Rf3 cm = 4,4/5,5 = 0,8 cm

Fraksi N-heksan
UV 254 nm UV 366 nm
Noda Nilai Rf Nilai Noda Nilai Rf Nilai
1 3,8 cm 1 0,69 cm 1 4,2 cm 1 0,704 cm
0,209
2 1,15 cm 2 2 3,65 cm 2 0,664 cm
cm
* * * * 3 2,7 cm 3 0,491 cm
* * * * 4 1 4 0,182 cm
Perhitungan :
UV 254 nm
Noda 1 = 3,8 cm, Rf1 = 3,8/5,5 = 0,69 cm
Noda 2 = 1,15 cm, Rf2 = 1,15/5,5 = 0,209 cm
UV 366 nm
Noda 1 = 4,2 cm, Rf1 = 4,2/5,5 = 0,704 cm
Noda 2 = 3,65 cm, Rf2 = 3,65/5,5 = 0,664 cm
Noda 3 = 2,7 cm, Rf3 = 2,7/5,5 = 0,491 cm
Noda 4 = 1, Rf4 cm = 1/5,5 = 0,182 cm
BAB V
PEMBAHASAN
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin dideteksi
dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran.
Prinsip kerjanya adalah berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana sampel
akan berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarutyang
digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk platsilika dan
fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin
dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa
oleh fase gerak tersebut.
Fase diam (adsorben) contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium
oksida), kieslguhr (diatomeous earth), dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben
tersebut, yang paling banyak dipakai ialah silika gel dan masing-masing terdiri dari
beberapa jenis yang mempunyai nama perdagangan bermacam-macam. Silika gel
ini menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara
pembuatannya. Selain itu harus diingat bahwa penyerap yang berpengaruh nyata
terhadap daya pemisahnya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang digunakan
untuk proses elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang lebih polar dan eluen yang
kurang polar. Penggunaan eluen yang kurang polar dimaksudkan untuk mengelusi
ekstrak heksan dan ekstrak metanol, sedangkan eluen yang lebih polar untuk
mengelusi ekstrak n-butanol jenuh air dan ekstrak metanol. Eluen yang digunakan
merupakan kombinasi dari dua macam pelarut, Hal ini dimaksudkan untuk mencapai
semua tingkat kepolaran sehingga eluen ini dapat mengangkat noda yang tingkat
kepolarannya berbeda-beda. Perbandingan jumlah eluen yang digunakan
berdasarkan pengalaman dapat menarik komponen kimia yang maksimal. Namun
jika pada penampakan noda, belum diperoleh jumlah noda yang maksimal atau
posisi noda terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan ini dapat
dikombinasikan kembali.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam (terelusi naik ke atas)adalah
bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan teradsorpsi pada
permukaan dan mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap, kemudian terpartisi
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga
menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah
pemisahan. Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan
kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh terlalu tinggi,
maka kecepatannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran.Namun apabila
nodanya lambat bergerak atau hanya ditempat, maka kepolaran dapat ditambah.
Pemilihan sinar UV yang digunakan yaitu UV 254 nm dan UV 366 nm,
karena kedua UV ini telah mampu mewakili kedua jenis UV dekat. Dimana UV
panjang diwakili oleh UV 366 nm dan UV pendek diwakili oleh 254 nm.
Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan
tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena
adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat
pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat
energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan
semula sambil melepaskan energi
Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna
gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya
interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang
ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya
yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari
tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke
keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada
lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi
pada sinar UV 366 nm
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena
adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh
ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom
yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan
rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur
molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-
seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi
yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan
perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda
setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini
bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang
gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH
yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini
dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang
gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang
digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat
merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan
pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik
dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV
yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena
berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berflouresensi jika
disinari UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap
(ungu) karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung indikator
sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna noda yang tampak
adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya tidak berflouresensi tetapi
sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan intensitas pita
absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat pemutusan ikatan
rangkap, menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke daerah ultra violet dekat
(190-380).
Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap radiasi
elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi).
Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh
bila dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap mewakili pendek (190-280)
dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini dianggap mewakili panjang (280-380).
Sebelum dilakukan pengujian KLT, lempeng KLT harus diaktifkan terlebih
dahulu. Pengaktifan dilakukan dengan cara lapisan lumpuran silica gel atau
aluminium harus dibiarkan selama 30 menit atau lebih pada suhu kamar, kemudian
diaktifkan pada suhu 110 oC sekurang-kurangnya 1 jam, dengan demikian lapisan itu
mempunyai keaktifan Brockmann II-III dan harus disimpan dalam kotak kering atau
desikator besar sampai dipakai.
Adapun tahapan dari pengerjaan kromatografi lapis tipis adalah mula-mula
sampel dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, dimana ekstrak metanol dilarutkan
dengan metanol, ekstrak eter dilarutkan dengan eter dan ekstrak n-butanol
dilarutkan dengan n-butanol. Kemudian sampel yang telah dilarutkan ditotolkan
pada lempeng KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Lempeng kemudian diangin-
anginkan sedikit. Lalu lempeng dimasukkan ke dalam chamber yang berisi eluen (n-
heksan:etil asetat, 8:2), dimana sebelumnya chamber dijenuhkan dengan cara
memasukkan kertas saring kedalam chamber yang telah berisi eluen dan ditunggu
hingga kertas saring terelusi seluruhnya oleh eluen. Kemudian lempeng KLT yang
berada di dalam chamber dibiarkan terelusi oleh eluen hingga tanda batas eluen.
Bila lempeng KLT telah terelusi, maka lempeng KLT kemudian diangkat dan
dikeringkan. Proses berikutnya adalah visualisasi, dimana noda pada lempeng KLT
diamati dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Juga digunakan penyemprotan
dengan menggunakan H2SO4 10%. Setelah dilakukan tahap visualisasi, noda yang
telah terpisah kemudian diukur nilai Rf nya
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan
kromatografi kolom. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat
dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.
Faktor-faktor eluen terelusi antara lain :
Kapilaritas
Kepolaran
Kelembaban
Suhu
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :
1. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
2. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
3. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau
dengan cara elusi 2 dimensi.
4. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan
merupakan bercak yang tidak bergerak.
Masalah-masalah yang dapat timbul dalam pelaksanaan kromatografi lapis
tipis (KLT), yaitu :
1. Bercak berekor. Adanya perbedaan pH, ataupun senyawa mengandung gugus yang
bersifat asam atau basa kuat (amina atau asam karboksilat). Tambahkan beberapa
tetes NH4OH (amonia) atau asam asetat (asam karboksilat) pada eluen.
2. Bercak tidak membulat. Sampel terlalu pekat. Kembangkan lagi KLT setelah sampel
diencerkan.. Sampel terlalu banyak mengandung komponen. Perlu dilakukan partisi
terhadap sampel.
3. Tidak nampak bercak. Sampel terlalu encer. Pekatkan sampel, atau tambahkan
volume sampel yang ditotolkan.. Beberapa senyawa memang tidak menunjukkan
pemadaman di bawah lampu UV. Pakailah reagen semprot untuk menampakan
bercak (biasanya uap iodin atau serium sulfat)
4. Garis batas atas tidak rata. Chamber tidak/kurang jenuh eluen (penjenuhan kurang
optimum).. Pemasangan plat dalam chamber tidak pas (miring).
Noda-noda yang diperoleh biasanya berekor disebabkan karena :
1. Penotolan yang berulang-ulang dan letaknya tidak tepat
2. Kandungan senyawa yang terlalu asam atau basa
Pada KLT Nilai Ekstrak metanol pada UV 254 Nm Noda 1 adalah 1 cm
dengan Rf1 0,18 cm, Noda 2 adalah 1,3 cm, dengan Rf2 0,23 cm, Noda 3 adalah
0,9 cm dengan 0,164 cm dan UV 366 nm Noda 1 adalah 3,9 cm , Rf1 adalah 0,709
cm, Noda 2 adalah 2,7 cm, Rf2 yaitu 0,49 cm Noda 3 yaitu 1,15, Rf3 adalah 0,209
cm.
Sedangkan Fraksi N-heksan UV 254 nm Noda 1 adalah 3,8 cm, Rf1 yaitu 0,69
cm, Noda 2 adalah 1,15 cm, Rf2 yaitu 0,209 cm, pada UV 366 nm Noda 1 adlah
4,2 cm, Rf1 yaitu 0,704 cm, Noda 2 adalah 3,65 cm, Rf2 yaitu 0,664 cm,Noda 3
adalah 2,7 cm, Rf3 yaitu 0,491 cm, Noda 4 adalah 1, Rf4 cm yaitu 0,182 cm, serta
Ekstrak metanol Ke II pada UV 254 nm dengan Noda 1 adalah 5 cm, Rf1 yaitu
0,909 cm, Noda 2 adalah 4,3 cm, Rf2 yaitu 0,781 cm , Noda 3 adalah 3,3 cm,
Rf3 yaitu 0,6 cm, Noda 4 adalah 2,1 cm, Rf4 yaitu 0,821 cm,Noda 5 adalah 0,9
cm, Rf5 yaitu 0,163 cm, UV 366 nm anatara lain Noda 1 adalah 5,05 cm, Rf1 yaitu
0,918 cm, Noda 2 adalah 4,2 cm, Rf2 yaitu 0,763 cm, Noda 3 adalah 3,45 cm,
Rf3 yaitu 0,627 cm, Noda 4 adalah 2,2 cm, yaitu 0,4 cm, Noda 5 adalah 0,9 cm,
Rf5 yaitu 0,163 cm,
Fraksi N-kexan ke II pada UV 254 nm, Noda 1 adalah 5 cm, Rf1 yaitu 0,909 cm,
Noda 2 adalah 4,2 cm, Rf2 yaitu 0,763 cm, Noda 3 adalah 3,25 cm, Rf3 yaitu
0,590 cm, Noda 4 adalah 2,2 cm, Rf4 yaitu 0,4 cm, Noda 5 adalah 0,9 cm,
Rf5 yaitu 0,163 cm, UV 366 nm antara lain Noda 1 adalah 5 cm, Rf1 yaitu
0,909 cm, Noda 2 adalah 4,2 cm, Rf2 yaitu 0,763 cm, Noda 3 adalah 3,35 cm,
Rf3 yaitu 0,609 cm, Noda 4 adalah 2,2 cm, Rf4 yaitu 0,4 cm
Dalam percobaan KLT juga dilakukan penyemprotan FeCL3 1 N dan H2SO4
10 % pada lempeng KLT setelah diamati pada lampu UV 254 nm dan 366 nm
dengan menggunakan alat khusus untuk penyemprotan yang disambung dengan
gas yang menghasilkan udara ketika di hidupkan sehingga gas/angin yang diserap
mendorong cairan FeCL3 dan H2SO4 memancarkan air pada lempeng KLT dengan
posisi terbaring yang sejajar dengan mulut (tempat keluar air) pada alat
penyemprotan. Adapun hasilnya pada penyemprotan FeCL3 1 N mengandung
gugus fenolik yang ditandai dengan warna hjiau kehitaman pada lempeng begitupun
juga pada H2SO4 10 %. Dalam percobaan menggunakan pelarut methanol, n-
heksan : etil asetat dengan perbandingan 8 : 2 dalam dibuat dalam 10 ml.
BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang dilakukan didapatkan kesimpulan yaitu:
Nilai Rf pada sampel dengan eluen etil asetat : n-heksan pada pelarut
methanol yaitu Rf1= 0,18 cm sampai Rf5 = 0,8 cm pada UV 254 sedangkan pada
UV 366 yaitu Rf1 = 0,16 cm sampai Rf7 = 0,8 cm.
Nilai Rf pada sampel dengan eluen etil asetat : n-heksan pada pelarut N-
heksan yaitu Rf1 0,69 sampai Rf2 0,209 cm pada UV 254 sedangkan pada UV 366
yaitu Rf1 0,704 cm sampai 0m182 cm.
VI. 2 Saran
Sebaiknya alat-alat di laboratorium ditambah jumlahnya agar proses praktikum
dapat berjalan lancar.

http://riankhairuls.blogspot.co.id/2014/10/laporan-klt.html

Anda mungkin juga menyukai