Laporan Kasus Anak (Paran&raina) - 1
Laporan Kasus Anak (Paran&raina) - 1
DEMAM TIFOID
Disusun oleh:
Paranthaman Thevar A/L Chandrasegaran (130100321)
Raina Benita Sinuraya (130100237)
Supervisor:
dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked (Ped), Sp.A
NIP: 197909282005012004
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Demam Tifoid Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid
fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran .11
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan
rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600 C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu: 12
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di
dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin.
2.3. Patogenesis
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut. 13
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.14
a. Demam
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata
antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan
usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5
10 %.15 Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat
terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada
umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate
pada umur 0 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.16
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam
tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per
100.000 penduduk.6 Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun,
di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000
penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000
penduduk.17
a. Faktor Host
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak
jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7). 20
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang
dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid.24
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan
standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat
terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,
sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000)
dengan desain case control, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang,
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas
air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak
tercemar berat coliform (OR=6,4) .19
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita
tifoid.4 Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu:13
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit
maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita
pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan
ginjalnya.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2
3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin.
Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber
infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu
atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan
obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya. 3
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas,
tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber
penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh
dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan
hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada
dipteri.
2.8. Komplikasi
b. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh
perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan
sampai syok. 13
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5
tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi
adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan
pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena
pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana
hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap
memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja
masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk
jangka waktu yang lama.
c.Diagnosis serologik12
c.1. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.25
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin
besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi
yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin
O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di
daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada
suspensi antigen dari strain lain.
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam
spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. Pencegahan sekunder dapat
berupa:
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus
tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus
mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang
sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah
jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan
relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III
karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh
karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoksilin.
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap
menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar
dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan
antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya
galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat
mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan.
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofl oxacin diberikan
dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi
ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprof oxacin
dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.
Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003
dapat dilihat di tabel 2.11 Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam
tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan
terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu
istirahat total serta terapi suportif.
Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet
makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Kasus
SF, anak perempuan berusia 4 tahun 6 bulan, dengan berat badan 13 kg dan tinggi
badan 102 cm, datang ke RS USU pada tanggal 27 Juni 2017 pukul 19.00 WIB
dengan keluhan utama demam.
Riwayat Penyakit
Demam dialami os kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Demam bersifat tinggi. Demam meningkat pada sore dan malam hari
hingga 40C kemudian turun sampai suhu normal pada pagi hari. Demam
turun dengan obat penurun panas. Demam tidak disertai kejang maupun
menggigil.
Mual dialami os 1 hari ini, namun muntah tidak dijumpai.
Batuk tidak dijumpai. Nyeri saat berkemih tidak dijumpai.
Riwayat BAB lembek dialami kurang lebih 1 minggu yang lalu dengan
frekuensi 3 kali sehari selama 7 hari. BAB tidak disertai lendir, darah
maupun berbiji.
Riwayat Obat Terdahulu : Chloramphenicol, sanmol, imboost,
antasida doen
Riwayat Penyakit Terdahulu : Sebelumnya pasien berobat ke bidan
dengan keluhan demam 3 hari.
Riwayat Kehamilan
Ibu os berusia 19 tahun saat mengandung os. Riwayat demam, hipertensi,
diabetes tidak dijumpai saat hamil. Riwayat konsumsi obat-obatan dan jamu saat
hamil juga tidak dijumpai. Ibu os teratur ANC setiap bulan ke bidan.
Riwayat Kelahiran
Os lahir secara spontan dengan bantuan bidan, bayi cukup bulan dan
segera menangis saat dilahirkan. Tidak dijumpai sianosis dan ikterik pada os.
BBL: 3100 gram
PBL: 49 cm
Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi os lengkap sampai usia 4 bulan.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Keluarga penderita tifoid (+). Kakak sepupu os yang serumah dengan os
didiagnosa menderita tifoid 3 minggu yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Status Presens :
Sensorium : Compos Mentis
Temp : 38C
BB : 13 kg
TB : 102 cm
BB/U : -2 <z score< 2
TB/U : z score = -2
BB/TB : -3 <z score< -2
KU/KP/KG : Baik/Baik/Kurang
Anemia (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoea (-), edema (-).
Status Lokalisata :
Kepala :
Mata : refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior
pucat -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : coated tounge (+)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Toraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-)
HR : 120 kali/menit, regular, murmur (-)
RR : 24 kali/menit, regular, rhonki -/-
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal
Hepar dan Lien : tidak teraba
Ekstremitas: Nadi : 120 kali/menit, regular, tekanan/volume cukup, akral
hangat, CRT <3 detik.
Anogenital : jenis kelamin perempuan, tidak terpasang kateter.
Diagnosa Banding
1. Demam tifoid
2. ISK
3. Dengue Fever
Diagnosa Kerja
Demam tifoid
Terapi
Bed rest
IVFD D5% NaCl 0,45%, 40 gtt/i (mikro)
Inj, Paracetamol 150 mg/8 jam iv
Rencana
Periksa darah lengkap
Periksa tubex test
Periksa urinalisa
Prognosis : baik
FOLLOW UP
HASIL LABORATORIUM
Hasil Laboratorium Klinik SM Raja
17 Juni 2017
IMUNOSEROLOGI
WIDAL TEST
S. Typhi-0 1/160 INTERPRETASI:
S. Paratyphi A-O 1/80 Titer lebih besar
S. Paratyphi B-O 1/80 dari 1/80
S. Paratyphi C-O 1/160 mencerminkan
S. Paratyphi-H 1/320 adanya infeksi.
S. Typhi A-H 1/80
S. Paratyphi B-H 1/80
S. Paratyphi C-H 1/80
IMUNOSEROLOGI
WIDAL TEST
S. Typhi IgM (Tubex) Skala 6 Skala 2 : negatif
Skala 3 : Borderline
Skala 4-5 : positif lemah
Skala 6-10 : positif kuat
URINALISA
MAKROSKOPIK
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
KIMIA
pH 7.0 58
Berat Jenis 1.015 1.005 1.030
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal
Keton Negatif Negatif
Blood Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
SEDIMENT (MIKROSKOPIK)
Leukosit 01 <6 LPB
Eritrosit 01 <3 LPB
Epitel 01
Silinder Negatif
Kristal Negatif Negatif LPK
Bakteri Negatif Negatif LPB
28 Juni 2017 (Hari ke-2)
S Demam (-) Muntah (-)
O Sensorium : Compos Mentis
T : 36,7C
BB : 13 kg
Kepala :
Mata : refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : coated tounge (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Dada : simetris fusimormis, retraksi (-)
HR : 122 kali/menit, reguler, murmur (-)
RR : 22 kali/menit, reguler, rhonki (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) normal
Hepar/Lien : tidak teraba
Ekstremitas : Nadi : 122 kali/menit, reguler, T/V cukup, akral hangat, CRT
<3
A Demam tifoid
P Bed rest
IVFD D5% NaCl 0,45% 40 gtt/i mikro
Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV (H2)
Paracetamol 3 x150 mg
SF, anak perempuan berusia 4 tahun 6 bulan, dengan berat badan 13 kg dan tinggi
badan 102 cm, datang ke RS USU pada tanggal 27 Juni 2017 pukul 19.00 WIB
dengan keluhan utama demam. Pada pemeriksaan fisik dijumpai coated tounge
(+) dan dari hasil lab Widal Test menunjukkan adanya infeksi serta hasil
pemeriksaan serologi anti S.typhi IgM menunjukkan positif kuat. Pasien ini
didiagnosa dengan Demam Tifoid dan ditatalaksana dengan IVFD D5% NaCl
0,45% 40 gtt/i mikro, Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV, dan Paracetamol 3 x150
mg.
DAFTAR PUSTAKA