Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun oleh:
Paranthaman Thevar A/L Chandrasegaran (130100321)
Raina Benita Sinuraya (130100237)

Supervisor:
dr. Rini Savitri Daulay, M.Ked (Ped), Sp.A
NIP: 197909282005012004

ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional


yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa
Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan
umum dari tujuan nasional.
Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang
Pembangunan Nasional (RPJP N) Tahun 2005 2025 pembangunan kesehatan
diarahkan untuk peningkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang, agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud.1
Di dalam Deklarasi Millenium (Millenium Development Goals 2015) mempunyai
delapan tujuan umum yaitu mencakup kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender, angka
kematian bayi, kesehatan ibu, beberapa penyakit menular, lingkungan, permasalahan
global, bantuan dan uang. Tujuan umum tersebut Salah satunya adalah lingkungan.
Lingkungan berperan besar sekali dalam penyebaran penyakit menular, seperti sanitasi
umum, polusi udara dan kualitas air merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebaran penyakit.2
Demam tifoid (thypoid fever atau tifus abdominalis) merupakan salah satu
penyakit menular yang erat hubungannya dengan lingkungan, terutama lingkungan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum yang tidak Universitas
Sumatera Utara memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Penyakit
ini disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. 3
Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan
masyarakat kita, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan kualitas yang rendah dari higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang
kurang serta prilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat.4
Berdasarkan laporan WHO tahun 2003 terdapat 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia, dimana 600.000 diantaranya meninggal (CFR 3,5 %).5
Berdasarkan hasil penelitian Crump, J.A,dkk (2000), insiden rate demam tifoid di
Eropa yaitu 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk dan di
Asia yaitu 274 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2005 insiden rate demam tifoid di
Dhaka yaitu 390 per 100.000 penduduk. 6
Angka insiden demam tifoid di Indonesia selama kurun waktu lima tahun dari
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mempunyai kecendrungan penurunan dari 64 per
100.000 penduduk pada tahun 2002 menjadi 2.6 per 100.000 penduduk pada tahun 2006.7
Berdasarkan Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun
2005, angka kesakitan demam tifoid adalah 500 per 100.000 penduduk, dengan
kematian(CFR 0,6 % - 5 %) 8
Berdasarkan Data Surveilans tahun 2007, insiden demam tifoid tahun 2007 sangat
tinggi sebesar 110,7 per 100.000 penduduk. Propinsi Lampung merupakan propinsi di
seluruh Indonesia yang merupakan insiden demam tifoid yang tertinggi sebesar 344,7 per
100.000 penduduk.9
Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Sumatera
Utara tahun 2008, demam tifoid yang rawat jalan di Rumah Sakit menempati urutan ke-5
dari 10 penyakit terbesar yaitu 661 penderita dari 12876 pasien rawat jalan (5.1%),
sedangkan rawat inap di Rumah Sakit menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbesar
yaitu sebanyak 1.276 penderita dari 11.182 pasien rawat inap (11.4 %).10
1.2 Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk lebih mengetahui tentang demam tifoid.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Demam Tifoid Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid
fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran .11

2.2. Infectious Agent 4

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan
rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600 C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu: 12

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di
dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin.
2.3. Patogenesis

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia


melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. 13

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut. 13

2.4. Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.14

Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu: 14

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris


remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu


apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

2.5. Epidemiologi Demam Tifoid

2.5.1. Distribusi dan Frekwensi

a. Orang

Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata
antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan
usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5
10 %.15 Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat
terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada
umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate
pada umur 0 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.16

b. Tempat dan Waktu

Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam
tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per
100.000 penduduk.6 Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun,
di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000
penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000
penduduk.17

2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya


penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar
bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.18

Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak
jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7). 20

b. Faktor Agent

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang
dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid.24

c. Faktor Environment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan
standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat
terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,
sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000)
dengan desain case control, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang,
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas
air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak
tercemar berat coliform (OR=6,4) .19

2.6. Sumber Penularan (Reservoir)

Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita
tifoid.4 Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu:13

2.6.1. Penderita Demam Tifoid

Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit
maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita
pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan
ginjalnya.

2.6.2. Karier Demam Tifoid.

Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2
3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin.
Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber
infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu
atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan
obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya. 3

Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.21


a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung
unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit
poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.

b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas,
tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber
penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.

c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh
dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan
hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada
dipteri.

d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama


seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

2.7 Diagnosis Demam Tifoid

2.7.1. Tes Tubex TF

Tes Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang


sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
Tubex TF ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.

Gambar 2. Mekanisme Reaksi Negatif dan Mekanisme Reaksi Positif Pada


Pemeriksaan Tubex TF.

2.8. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:

2.8.1. Komplikasi Intestinal

a. Perdarahan Usus Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami


perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. 13

b. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh
perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan
sampai syok. 13

2.8.2. Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),


miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. 22
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis

e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis

g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis


perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

2.9. Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit,


yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.23

2.9.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat


agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu : 4

a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.

b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5
tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi
adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan


pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan
cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene
makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih
dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.4

2.9.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara


dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis
demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk
mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :24

a.Diagnosis klinik

Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan
pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena
pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.

b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana
hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap
memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja
masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk
jangka waktu yang lama.

c.Diagnosis serologik12

c.1. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.25

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin
besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi
yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:12

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi

c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :11,25

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita


a. Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.

b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit Aglutinin baru dijumnpai


dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai
puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.

c. Pengobatan dini dengan antibiotik Pemberian antibiotik dengan obat


antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.

d. Penyakit-penyakit tertentuPada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid


tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma
lanjut.

e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan


antibodi.

f. Vaksinasi

Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin
O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di
daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.

2. Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silang

Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.

b. Konsentrasi suspensi antigen


Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi
hasilnya.

c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada
suspensi antigen dari strain lain.

c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12

a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.

b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi

Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam
spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. Pencegahan sekunder dapat
berupa:

a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.

b. Perawatan umum dan nutrisi

Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus
tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus
mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang
sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)

Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah
jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan
relaps.

Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III
karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh
karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoksilin.

2.9.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap
menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar
dari infeksi ulang demam tifoid.

Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

2.10. Penatalaksanaan Demam Tifoid

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan
antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya
galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat
mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan.

Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok


chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan
resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO
tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.11

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)


merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu
penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S.
typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam
kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk
menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah
diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak,
dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofl
oxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.

Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofl oxacin diberikan
dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi
ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprof oxacin
dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.

Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan


gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama
digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari
chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka
kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada
kurang dari 4%.1 Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen,
atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasiendengan gejala klinis tersebut
diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.

Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003
dapat dilihat di tabel 2.11 Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam
tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan
terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu
istirahat total serta terapi suportif.

Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet
makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Kasus
SF, anak perempuan berusia 4 tahun 6 bulan, dengan berat badan 13 kg dan tinggi
badan 102 cm, datang ke RS USU pada tanggal 27 Juni 2017 pukul 19.00 WIB
dengan keluhan utama demam.
Riwayat Penyakit
Demam dialami os kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Demam bersifat tinggi. Demam meningkat pada sore dan malam hari
hingga 40C kemudian turun sampai suhu normal pada pagi hari. Demam
turun dengan obat penurun panas. Demam tidak disertai kejang maupun
menggigil.
Mual dialami os 1 hari ini, namun muntah tidak dijumpai.
Batuk tidak dijumpai. Nyeri saat berkemih tidak dijumpai.
Riwayat BAB lembek dialami kurang lebih 1 minggu yang lalu dengan
frekuensi 3 kali sehari selama 7 hari. BAB tidak disertai lendir, darah
maupun berbiji.
Riwayat Obat Terdahulu : Chloramphenicol, sanmol, imboost,
antasida doen
Riwayat Penyakit Terdahulu : Sebelumnya pasien berobat ke bidan
dengan keluhan demam 3 hari.
Riwayat Kehamilan
Ibu os berusia 19 tahun saat mengandung os. Riwayat demam, hipertensi,
diabetes tidak dijumpai saat hamil. Riwayat konsumsi obat-obatan dan jamu saat
hamil juga tidak dijumpai. Ibu os teratur ANC setiap bulan ke bidan.
Riwayat Kelahiran
Os lahir secara spontan dengan bantuan bidan, bayi cukup bulan dan
segera menangis saat dilahirkan. Tidak dijumpai sianosis dan ikterik pada os.
BBL: 3100 gram
PBL: 49 cm
Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi os lengkap sampai usia 4 bulan.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Keluarga penderita tifoid (+). Kakak sepupu os yang serumah dengan os
didiagnosa menderita tifoid 3 minggu yang lalu.

Pemeriksaan Fisik
Status Presens :
Sensorium : Compos Mentis
Temp : 38C
BB : 13 kg
TB : 102 cm
BB/U : -2 <z score< 2
TB/U : z score = -2
BB/TB : -3 <z score< -2
KU/KP/KG : Baik/Baik/Kurang
Anemia (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoea (-), edema (-).
Status Lokalisata :
Kepala :
Mata : refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior
pucat -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : coated tounge (+)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Toraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-)
HR : 120 kali/menit, regular, murmur (-)
RR : 24 kali/menit, regular, rhonki -/-
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal
Hepar dan Lien : tidak teraba
Ekstremitas: Nadi : 120 kali/menit, regular, tekanan/volume cukup, akral
hangat, CRT <3 detik.
Anogenital : jenis kelamin perempuan, tidak terpasang kateter.
Diagnosa Banding
1. Demam tifoid
2. ISK
3. Dengue Fever
Diagnosa Kerja
Demam tifoid
Terapi
Bed rest
IVFD D5% NaCl 0,45%, 40 gtt/i (mikro)
Inj, Paracetamol 150 mg/8 jam iv
Rencana
Periksa darah lengkap
Periksa tubex test
Periksa urinalisa
Prognosis : baik
FOLLOW UP
HASIL LABORATORIUM
Hasil Laboratorium Klinik SM Raja
17 Juni 2017

JENIS HASIL NILAI SATUAN


PEMERIKSAAN RUJUKAN
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 12 11.5 16.5 g/dl
Leukosit 6.9 4.4 11.3 103/L
Trombosit 191 150 - 450 103/L
Hematokrit 36 35 47 %
Eritrosit 4.25 4 5.9 106/L
MCV 80 80 100 f/l
MCH 27 26 34 pg
MCHC 33.2 31 37 g/dL
RDW 14.5 11.5 14.5 %
MPV 7.4 6.5 12 f/l
PDW 13.3 7 20 %
PCT 0.141 0.1 0.5 %
LED 20 0 20 mm/jam

IMUNOSEROLOGI
WIDAL TEST
S. Typhi-0 1/160 INTERPRETASI:
S. Paratyphi A-O 1/80 Titer lebih besar
S. Paratyphi B-O 1/80 dari 1/80
S. Paratyphi C-O 1/160 mencerminkan
S. Paratyphi-H 1/320 adanya infeksi.
S. Typhi A-H 1/80
S. Paratyphi B-H 1/80
S. Paratyphi C-H 1/80

Hasil Laboratorium RS USU


27 Juni 2017

JENIS HASIL NILAI SATUAN


PEMERIKSAAN RUJUKAN
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 12 12.0 16.0 g/dl
Leukosit 8.01 5 14.5 103/L
Trombosit 359 150 - 440 103/L
Hematokrit 37 37 41 %
Eritrosit 4.44 3.6 5.2 106/L
MCV 82 82 92 f/l
MCH 28 27 31 pg
MCHC 32.3 32 36 g/dL
RDW 16.4 11.0 15.5 %
MPV 9.5 9.2 12 f/l
PDW 10 9.6 15.2 f/l

IMUNOSEROLOGI
WIDAL TEST
S. Typhi IgM (Tubex) Skala 6 Skala 2 : negatif
Skala 3 : Borderline
Skala 4-5 : positif lemah
Skala 6-10 : positif kuat

URINALISA
MAKROSKOPIK
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih

KIMIA
pH 7.0 58
Berat Jenis 1.015 1.005 1.030
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal
Keton Negatif Negatif
Blood Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif

SEDIMENT (MIKROSKOPIK)
Leukosit 01 <6 LPB
Eritrosit 01 <3 LPB
Epitel 01
Silinder Negatif
Kristal Negatif Negatif LPK
Bakteri Negatif Negatif LPB
28 Juni 2017 (Hari ke-2)
S Demam (-) Muntah (-)
O Sensorium : Compos Mentis
T : 36,7C
BB : 13 kg
Kepala :
Mata : refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : coated tounge (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Dada : simetris fusimormis, retraksi (-)
HR : 122 kali/menit, reguler, murmur (-)
RR : 22 kali/menit, reguler, rhonki (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) normal
Hepar/Lien : tidak teraba
Ekstremitas : Nadi : 122 kali/menit, reguler, T/V cukup, akral hangat, CRT
<3
A Demam tifoid
P Bed rest
IVFD D5% NaCl 0,45% 40 gtt/i mikro
Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV (H2)
Paracetamol 3 x150 mg

29 Juni 2017 (Hari ke-3)


S
O Sensorium : Compos Mentis
T : 36,8C
BB : 13 kg
Kepala :
Mata : refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : coated tounge (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Dada : simetris fusimormis, retraksi (-)
HR : 120 kali/menit, reguler, murmur (-)
RR : 22 kali/menit, reguler, rhonki (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) normal
Hepar/Lien : tidak teraba
Ekstremitas : Nadi : 120 kali/menit, reguler, T/V cukup, akral hangat, CRT
<3
A Demam tifoid
P Bed rest
IVFD D5% NaCl 0,45% 40 gtt/i mikro
Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV (H3)
Paracetamol 3 x150 mg

30 Juni 2017 (Hari ke-4)


S Demam (-) Muntah (-)
O Sensorium : Compos Mentis
T : 37C
BB : 13 kg
Kepala :
Mata : refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-)
Dada : simetris fusimormis, retraksi (-)
HR : 120 kali/menit, reguler, murmur (-)
RR : 20 kali/menit, reguler, rhonki (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) normal
Hepar/Lien : tidak teraba
Ekstremitas : Nadi : 120 kali/menit, reguler, T/V cukup, akral hangat, CRT
<3
A Demam tifoid
P Bed rest
IVFD D5% NaCl 0,45% 40 gtt/i mikro
Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV (H4)
Paracetamol 3 x150 mg
BAB IV
DISKUSI KASUS
TEORI DISKUSI
Anamnesis: Pada kasus dijumpai :
Demam yang Demam dialami os kurang lebih 2
berlangsung 3 minggu minggu sebelum masuk rumah sakit.
bersifat febris remiten. Demam bersifat tinggi. Demam
Biasanya suhu tubuh meningkat pada sore dan malam hari
meningkat pada sore hari hingga 40C kemudian turun sampai
dan menurun pada suhu normal pada pagi hari. Demam
malam hari. turun dengan obat penurun panas.
Konstipasi atau diare Demam tidak disertai kejang maupun
menggigil.
Mual dialami os 1 hari ini, namun
muntah tidak dijumpai.
Batuk tidak dijumpai. Nyeri saat
berkemih tidak dijumpai.
Riwayat BAB lembek dialami kurang
lebih 1 minggu yang lalu dengan
frekuensi 3 kali sehari selama 7 hari.
BAB tidak disertai lendir, darah
maupun berbiji.
Pemeriksaan Fisik Pada kasus dijumpai :
Nafas berbau tidak sedap Kepala :
Bibir kering dan pecah- Mata : refleks cahaya +/+, pupil
pecah isokor, konjungtiva palpebra inferior
Coated tounge pucat -/-
Meteorismus Telinga : dalam batas normal
Hepatosplenomegali Hidung : dalam batas normal
serta nyeri saat palpasi Mulut : coated tounge (+)
Leher : pembesaran kelenjar getah
bening (-)
Toraks : Simetris Fusiformis, retraksi
(-)
HR : 120 kali/menit,
regular, murmur (-)
RR : 24 kali/menit,
regular, rhonki -/-
Abdomen : Soepel, peristaltik (+)
normal
Hepar dan Lien : tidak
teraba
Ekstremitas: Nadi : 120 kali/menit,
regular, tekanan/volume cukup, akral
hangat, CRT <3 detik.
Anogenital : jenis kelamin perempuan,
tidak terpasang kateter.
Pemeriksaan Penunjang Pada kasus dijumpai :
Uji Widal adalah suatu Hasil dari widal test menunjukkan
reaksi aglutinasi antara adanya infeksi
antigen dan antibodi Hasil serologi anti S.typhi IgM
(aglutinin). Aglutinin menunjukkan positif kuat
yang spesifik terhadap
Salmonella typhi
terdapat dalam serum
penderita demam tifoid,
pada orang yang pernah
tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang
pernah mendapatkan
vaksin demam tifoid.
Penatalaksanaan Pada kasus diberikan :
Cairan untuk koreksi elektrolit Bed rest
Antipiretik IVFD D5% NaCl 0,45% 40 gtt/i mikro
Antibiotik Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV (H2)
- Fluorokuinolon Paracetamol 3 x150 mg
- Fluorokuinolon atau
cefixime
- Azitromisin atau
ceftriaxone
Diet makanan yang lembut dan
mudah dicerna
BAB V
KESIMPULAN

SF, anak perempuan berusia 4 tahun 6 bulan, dengan berat badan 13 kg dan tinggi
badan 102 cm, datang ke RS USU pada tanggal 27 Juni 2017 pukul 19.00 WIB
dengan keluhan utama demam. Pada pemeriksaan fisik dijumpai coated tounge
(+) dan dari hasil lab Widal Test menunjukkan adanya infeksi serta hasil
pemeriksaan serologi anti S.typhi IgM menunjukkan positif kuat. Pasien ini
didiagnosa dengan Demam Tifoid dan ditatalaksana dengan IVFD D5% NaCl
0,45% 40 gtt/i mikro, Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam/IV, dan Paracetamol 3 x150
mg.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, 2009. SistemKesehatan Nasional. Jakarta.


2. Depkes RI, 2008. Millenium Development Goals 2015. Jakarta.
3. Eddy SoewandojoSoewando, 2002. Seri PenyakitTropikInfeksi; Perkembangan
TerkiniDalamPengelolaanBeberapaPenyakitTropikInfeksi. PenerbitAirlangga
University Press.
4. Ditjen P2M & PL. Depkes RI, 2005. PedomanPengendalianDemamTifoidBagi
Tenaga Kesehatan. Jakarta.
5. WHO, 2004. Thypoid Fever. www. WHO. Int.
6. Crump. J.A, dkk, 2004. The Global Burden of Thypoid fever. Buletin WHO
7. Ditjen PP & PL. Depkes RI, 2007. Buku Data 2006. SubditSurveilans
Epidemiologi. Dit. SepimKeswa. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2007.
8. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2006. ProfilPengendalianPenyakitdanPenyehatan
LingkunganTahun 2005. Jakarta.
9. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2008. Data SurveilansEpidemiologiTahun 2007.
Jakarta.
10. DinasKesehatanPropinsi Sumatera Utara, 2008. ProfilKesehatanPropinsi
Sumatera Utara Tahun 2008. Sumatera Utara.
11. T. H. Rampengan. PenyakitInfeksiTropikPadaAnak. PenerbitBuku
Kedokteran. EGC. Cetakan I. Tahun 1993.
12. Indro Handojo. ImunoasaiTerapanPadaBeberapaPenyakitInfeksi. Airlangga
University Press. 2004.
13. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Buku Ajar IlmuPenyakitDalamjilid III
edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
14. Rusepno Hasan. BukuKuliah 2 IlmuKesehatanAnak. PenerbitBagianIlmu
KesehatanAnak. PenerbitBagianIlmuKesehatanAnak FK-UI. Jakarta. 1995.
Universitas Sumatera Utara
15. DinasKesehatanKab. KaranganyerTahun 2007. ProfilKesehatanKabupaten
Karanganyer.Tahun 2007. Karanganyer.
16. Simanjuntak, C. H, 1993. DemamTifoid, EpidemiologidanPerkembangan
Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.
17. Ariyanti, T. Dan Supar, 2006. Problematika Salmonellosis
padaManusia.www.
Peternakan. Litbang. Deptan.go.id.
18. Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. Buku Ajar Infeksi& Pediatric Tropis.
IkatanDokterAnak Indonesia. Jakarta. 2008.
19. Lubis, R, 2001. FaktorResikoKejadianDemamTifoidPenderita Yang Dirawat
di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis Program PascaSarjana. Universitas
Airlangga. Surabaya.
20. HeruLaksono, 2009. Faktor- Faktor Yang BerhubunganDenganKejadian
DemamTifoidPadaAnak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun 2009. Tesis
Program PascaSarjana FK- Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2009.
21. Nur Nasry Noor. PengantarEpidemiologiPenyakitMenular. PenerbitRineka
Cipta. 2006.
22. Arif Mansjoer, KuspujiTriyanti, dkk. KapitaSelektaKedokteran. Edisi III jilid
I.
Penerbit Media Aesculapius. FK-UI. 2001.
23. Beaglehole, R dan Bonita, R. 1997. Dasar-DasarEpidemiologi. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
24. AgusSyahrurahman. Buku Ajar MikrobiologiKedokteranEdisiRevisi. Penerbit
BinarupaAksara. 1994.
25. Juwono R, 1996. DemamTifoid. Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. Jilid I Edisi
III. BalaiPenerbit FK-UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai