Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

Demam Tifoid pada Anak Laki-laki Berusia 14 Tahun 6 Bulan

Penyaji : Amanda Hannan Tiffany (130100005)

Nehemia Hawan S. Meliala (130100372)

Hari/tanggal : / Oktober 2017

Jam/tempat : / BIKA HAM lantai 3

Pembimbing : Dr.dr. Oke Rina Ramayani,M.Ked(Ped),Sp.A(K)

PENDAHULUAN

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan
angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional
adalah 1,6%.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada
anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,
walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua
daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Bakteri
ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 66oC) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
klorinasi.
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis
biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti
nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Gambaran klinis demam tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan
gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan
dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis,
dan bakteriologis.
Tatalaksana antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteremia.
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 50-100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun,
sedangkan pada kasus yang diikuti dengan malnutrisi atau penyakit lainnya,
pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan satu kasus
Demam Tifoid pada anak Laki-laki berumur 14 tahun 6 bulan.

KASUS
Anak Laki-laki, umur 14 tahun 6 bulan , datang ke IGD RS Universitas Sumatera
Utara pada tanggal 5 oktober 2017 dengan keluhan utama demam . Hal ini telah
dialami sejak 2 minggu sebelum masuk rumah, demam bersifat tinggi dan juga
turun dengan obat penurun panas. Demam dijumpai setiap hari, disertai dengan
menggigil, dan dijumpai terutama pada sore hingga malam hari. Suhu demam
berkisar 37,8 38,5o C namun tidak disertai menggigil. Demam juga disertai
dengan batuk sejak 1 minggu ini.
Mual dan muntah dijumpai setiap pasien makan. Muntah yang keluar
adalah apa yang dimakan dan diminum. Frekuensi muntah 1 kali sehari dengan
volume 100cc. Pasien mengalami penurunan nafsu makan dan juga terdapat
penurunan berat badan 2 kg.
Nyeri kepala dan juga nyeri perut dijumpai pada pasien dan dialami sejak
2 minggu ini. BAB normal dengan frekuensi 1 kali setiap hari dengan kesan
normal, tidak terdapat adanya darah maupun lendir. BAK kesan normal tidak
terdapat nyeri saat berkemih. Riwayat perdarahan spontan seperti mimisan, gusi
berdarah dan petechie tidak dijumpai.
Riwayat Kehamilan : Ibu berumur 28 tahun saat mengandung pasien. Riwayat
demam, hipertensi dan DM tidak ditemukan. Riwayat pemakaian obat dan minum
jamu-jamuan juga tidak ditemukan
Riwayat Kelahiran : Pasien adalah anak pertama dan lahir secara PPV, BBL:
2600 gram, PB: 45 cm, sianotik (-) dan menangis spontan.
Riwayat Imunisasi : Imunisasi dasar 9 bulan lengkap.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak jelas
Riwayat Pemakaian Obat : Paracetamol
PEMERIKSAAN FISIK :
Status presen : Compos mentis
Kesadaran : CM, suhu 38,2C, BB: 40 kg, TB: 163 cm
BB/U : 78,43% BB/TB: 80%
TB/U : 99,3%
Keadaan umum: sedang, keadaan penyakit: sedang dan keadaan gizi : baik.
Tidak dijumpai dispnu, anemis, ikterik, sianosis, dan edema.
Status lokalisata:
Kepala : Mata : RC +/+, pupil isokor, konjungtiva palp inf pucat (-)
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Mulut : Faring hiperemi (-), Tonsil T2-T2 hiperemis, Thypoid
Tongue (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks : simetris fusiformis, retraksi (-) rose spot (-)
HR: 110x/menit, reguler, desah (-)
RR : 24 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : Pulse 85 x/menit, reguler, akral hangat, tekanan/volume cukup,
CRT <3
Diagnosis : Sangkaan Demam Tifoid
Terapi : Tirah baring
IVFD D5% NaCl 0,45% 20gtt/i
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 80 gram protein
Rencana : - Darah lengkap
- Kultur darah
- Tubex test
Hasil laboratorium (Tanggal: 05/10/2017)
Darah Lengkap Hasil Rujukan
Hemoglobin : 10.0 g/dL (14,0 - 17,0)
Eritrosit : 4,43 juta/L (4,4 - 5,9)
Leukosit : 4.37 /L (4.500 13.000)
Hematokrit : 29.70% (43-49)
Trombosit : 149.000 /L (150.000 440.000)
Hitung Jenis
Neutrofil : 61,6 % (50.00 - 70.00)
Limfosit : 30,2 % (20.00 - 40.00)
Monosit : 8,0 % (2.00 - 8.00)
Eosinofil :0 % (1.00 - 6.00)
Basofil : 0,2 % (0.00 - 1.00)
Neutrophil absolut :2,69 % (2,7 6,5)
Limfosit absolut :1,32 % (1,5 3,7)
Monosit absolut :0,35 % (0,2 0,4)
Eosinophil absolut :0,00 % (0 0,10)
Basophil absolut :0,01 % (0 0,1)

Morfologi darah tepi Hasil


Eritrosit hipokrom normositer
Leukosit bentuk normal
Trombosit Big trombosit (+)

HASIL LAB TGL 6 BUAT YA MAN, ADA HASIL TUBEX!

Pemantauan ( 5 Oktober 2017)


S : demam (+),batuk (+), sesak napas (-)
O : Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 38,2C, bb: 40 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga: tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T2-T2 hiperemis, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 120 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 20 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 120 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
Diagnosis kerja : DD: demam tifoid
Tonsilofaringitis

Terapi : IVFD D5% NaCl 0,45% 20gtt/i


Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein
R/ Kultur darah
Tubex test

Hasil laboratorium (Tanggal: 06/10/2017)


Imunoserologi Hasil Rujukan
Serologi
Anti S.typhi IgM (Tubex) skala 8 skala <2 : negative
Skala 3 : borderline
Skala 4-5: positif lemah
Skala 6-10: positif kuat

Pemantauan (6 Oktober 2017)


S : demam malam hari (+),batuk (+), muntah (+)
O : Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 37,8C, bb: 40 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga: tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T2-T2 hiperemis, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 95 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 21 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 95 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
Diagnosis kerja : DD: demam tifoid
Tonsilofaringitis

Terapi : IVFD D5% NaCl 0,45% 20gtt/i


Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein

Pemantauan (7 Oktober 2017)


S : demam malam hari (+),batuk (+), muntah (+)
O : Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 37,9C, bb: 40 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga: tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T2-T2 hiperemis, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 98 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 18 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 98 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3, plantar
dan palmar pucat
Diagnosis kerja : demam tifoid

Terapi : IVFD D5% NaCl 0,45% 20gtt/i


Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein

Pemantauan (8 Oktober 2017)


S : Demam (-),batuk (+), muntah (-)
O: Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 37,2C, bb: 40 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga : tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T2-T2 hiperemis, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 94 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 20 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 94 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
A : demam tifoid
P : IVFD D5% NaCl 0,45% 60cc/jam
Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein

Pemantauan (9 Oktober 2017)


S : Demam (-),batuk (+), muntah (-)
O: Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 37,2C, bb: 40 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga : tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T2-T2 hiperemis, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 94 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 20 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 94 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
A : demam tifoid
P : IVFD D5% NaCl 0,45% 60cc/jam
Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein
Pemantauan (10 Oktober 2017)
S : Demam (-),batuk (+), muntah (-)
O: Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 38,8 C, bb: 42 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga : tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T1-T1, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 94 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 20 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 94 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
A : demam tifoid
P : IVFD D5% NaCl 0,45% 60cc/jam
Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein
Ambroxol 3x1 tab
Vit B Comp 3x1
Pemantauan (11 Oktober 2017)
S : Demam (-),batuk (+), muntah (-)
O: Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 36.2 C, bb: 44 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga : tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T1-T1, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 94 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 20 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 94 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
A : demam tifoid
P : IVFD D5% NaCl 0,45% 60cc/jam
Inj. Dexamethason 1 amp/IV
Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg (k/p)
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein
Ambroxol 3x1 tab
Vit B Comp 3x1

Pemantauan (12 Oktober 2017)


S : Demam (-),batuk (-), muntah (-)
O: Kesadaran : Sens: GCS 15 (E4V5M6), suhu : 36.0 C, bb: 44 kg
Kepala : Mata: RC +/+, pupil isokor, konj palp inf pucat (-)/(-)
Telinga : tidak ada kelainan. Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : Tonsil T1-T1, Typhoid tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR: 90 x/menit, reguler, desah (-)
RR: 22 x/menit, regular, ronki (-/-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal. Hati / limpa: tidak teraba
Ekstremitas : HR: 90 x/menit, reguler, tekanan/volume cukup, CRT <3
A : demam tifoid
P : Inj. Ceftriaxone 1gram/12jam/iv
Paracetamol tab 3 x 500 mg
Diet MB 1600 kkal dengan 20 gram protein
Ambroxol 3x1 tab
Vit B Comp 3x1
R/ PBJ

KURVA DEMAM ( 05 Oktober 2017 12 Oktober 2017)

39.5
39
38.5
38
37.5
37 8
36.5 17
36
21
35.5
35
34.5

DISKUSI
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel

fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini
juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi
A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen
(H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis
luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel
antibiotik.1
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3
minggu, kuman bermultiplikasi di organorgan ini kemudian meninggalkan
makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11 Di dalam
hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena
makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, INF,
GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11 Di dalam plak Peyer, makrofag yang
telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah di sekitar plak Peyer yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus dan dapat mengakibatkan perforasi usus.11
Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung
antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.11 Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang
meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin
tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore
hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu
39-40C. Pasien akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti
salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5 dan akan
menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri
di dermis.11 Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka
waktu yang tidak terbatas.
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode 8 terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi. Pada demam tifoid sering disertai anemia dari
yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan
eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama
bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun
shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran
sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal,
jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis. Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam
tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini
dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam
perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: 1. Aglutinin O
(dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagel kuman) 3. Aglutinin Vi (simpai
kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi
peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang.
Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun.

Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita


sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat.
Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan

angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination

(prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal


positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur

pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang

terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin
H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti
mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat
timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
b) Tes TUBEX. Tes TUBEXR merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian
yang menggunakan tes TUBEXR ini, beberapa penelitian pendahuluan
menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena
cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6 Ada 4 interpretasi
hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. Skala 4-5
adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid. Skala > 6 adalah positif.
Indikasi kuat infeksi demam tifoid
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman. Diagnosis
pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan
dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif
memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam
tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Untuk mendiagnosis, demam tifoid pada anak biasanya memberikan
gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat
bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1)
demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit
dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-
dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada
dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran
klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam
tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai
dignosis banding.1
Untuk tatalaksana, bisa diberikan secara non farmakologi dan farmakologi.
Penanganan non farmakologi meliputi tirah baring, pemberian nutrisi, cairan dan
kompres. Pemberian nutrisi bisa diberikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein (TKTP) rendah serat. Diet tersebut paling membantu dalam memenuhi
nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah
selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim,
dan nasi biasa. Kemudian penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik
secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita
sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Tatalaksana secara farmakologi meliputi tatalaksana secara simptomatik dan
diberikan antibiotik. Untuk tatalaksana simptomatik, panas yang merupakan
gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya
diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
Untuk pemberian antibiotik, dapat diberikan chloramphenicol, antibiotik
ini merupakan pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia.
Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-
14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini
adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier. Cotrimoxazole,
merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole
dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara
syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten. Kemudian dapat diberikan Ampicillin dan
Amoxicillin, walaupun memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan
obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak
100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam
biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol. Kemudian bisa
juga diberikan Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
antibiotik ini merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari.
Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila
mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama
10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam
tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah.
Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol.
Untuk pencegahan berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran
demam tifoid, dengan cuci tangan, hindari minum air yang tidak dimasak, pilih
makanan yang masih panas dan vaksin. Cuci tangan dengan teratur meruapakan
cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya.
Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama
sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.
Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air. Hindari minum
air yang tidak dimasak, minum air yang terkontaminasi merupakan masalah pada
daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka
seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi
dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi. Pilih makanan yang
masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu
ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu
57C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella
typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman,
hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi. Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi beberapa ahli
percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaankesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul

beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi

umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid.1

REFERENSI
Clinical guidelines - diagnosis and treatment manual. Edisi 2016. Medecins Sans
Frontieres, 2016. Hal. 186-187.
2
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-345.
3
Purba, Ivan Elisabeth; Wandra, Toni; Nugrahini, Naning; Nawawi, Stephen;
Kandu, Nyoman. Program pengendalian demam tifoid di Indonesia. Media
Litbangkes:2016, hal. 100.
4
World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization 2008;86
(5):32146.
5
Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
6
Kliegman R M, Stanton B M, St. Geme J W, Schor N F. Nelson Textbook of
Pediatrics ed 20th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2016.
7
Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever.
New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782.
8
Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
9
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
10
Centers for Disease Control and Prevention.[ Internet]. [cited 2017 Oktober 16].
Available from: http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2018/infectious-
diseases-related-to-travel/typhoid-paratyphoid-fever.php
11
World Health Organization. Background document: The Diagnosis, Treatment
and Prevention of Typhoid Fever. Geneva. Switzerlaand: 2013

Anda mungkin juga menyukai