Anda di halaman 1dari 31

BAB IV

DATA DAN PENGOLAHAN

Pengumpulan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini dilakukan melalui pengamatan
lapangan dan data sekunder berupa studi literatur maupun data dokumen milik perusahaan.
Data lapangan merupakan data yang diperoleh langsung dari daerah penelitian berupa data
singkapan batuan, data keberadaan sumur di sekitar lokasi pembuatan terowongan serta data
mata air yang juga berada di sekitar lokasi pembuatan terowongan. Selain itu, penelitian ini
didukung oleh data-data yang telah disediakan oleh pihak perusahaan berupa data topografi
daerah pembuatan terowongan, data lubang bor, data hasil uji permeabilitas dengan
menggunakan metode falling head dan uji lugeon, serta data geolistrik 2D.

4.1. Kondisi Geologi

Sebelum menginterpretasikan kondisi geologi daerah penelitian terlebih dahulu dibutuhkan


peta dasar berupa peta topografi dan peta geologi regional daerah penelitian tersebut. Penyajian
lokasi terowongan terhadap peta dasar tersebut menjadi sangat penting untuk mengetahui
posisi relatif terowongan terhadap formasi batuan pembentuk daerah tersebut dan juga untuk
mengenali kondisi geomorfologi yang membentuk daerah penelitian. Penyelidikan mengenai
kondisi geologi daerah pembuatan terowongan ditentukan berdasarkan data lubang bor daerah
penelitian yang dipadukan dengan data geologi regional serta data geolistrik 2D yang telah
dilakukan oleh pihak perusahaan.

4.1.1. Peta Topografi

Peta topografi suatu wilayah merupakan peta yang menunjukan tinggi rendahnya relief atau
permukaan bumi suatu wilayah relatif terhadap permukaan laut. Tinggi rendahnya suatu
tempat pada peta ini diwakili oleh garis-garis kontur yang mewakili ketinggian tertentu. Data
topografi merupakan data dasar yang dibutuhkan dalam melakukan suatu pekerjaan
terowongan. Data ini dapat membantu dalam menentukan kondisi morfologi pada daerah
pembuatan terowongan.

Terdapat dua peta topografi pada penilitian ini yaitu peta topografi yang disediakan oleh
perusahaan dan peta topografi yang diperoleh dari SRTM. Data topografi yang disediakan
oleh perusahaan hanya meliputi daerah yang akan dilintasi terowongan ditambah 100 meter
daerah yang berada di kiri dan kanan titik lintasan terowongan, sedangkan data topografi yang
diperoleh dari SRTM meliputi area yang lebih luas yaitu hampir keseluruhan Kecamatan
Patikraja.

0 200 m
Gambar 4. 1 Peta Topografi Daerah Penelitian ( PT PP )

Gambar 4. 2 Peta Topografi Daerah Penelitian ( SRTM )

4.1.2. Peta Geologi Regional

Pada peta geologi regional, daerah penelitian berada pada lembar Purwokerto dan Tegal (Djuri
dkk, 1996), dimana berdasarkan peta geologi tersebut daerah penelitian berada pada Formasi
Tapak (Tpt) dan Formasi Halang (Tmph).

Formasi Halang (Tmph) secara fisiografis dicirikan Batupasir andesit, konglomerat tufan dan
napal, bersisipan batu pasir. Di atas bidang perlapisan batupasir terdapat bekas-bekas cacing.
Kemudian di dalam Formasi Halang terdapat anggota breksi (Tmphb) berupa breksi aneka bahan
dengan komponen andesit, basal, batugamping, bersisipan batupasir dan lava basal. Perubahan
konfigurasi tektonik regional diduga terjadi pada kala Pliosen, ditandai dengan berhentinya
aktifitas vulkanisme Serayu Selatan. Pada awal Pliosen sedimentasi Formasi Tapak (Tpt) berupa
batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan konglomerat, setempat breksi andesit.

Gambar 4. 3 Peta geologi regional daerah penelitian (Lembar Purwokerto dan Tegal, Djuri dkk,
1996)
4.1.3. Geomorfologi

Data geomorfologi diperoleh dari citra satelit DEM yang kemudian dilakukan penarikan garis-
garis kelurusan berdasarkan penunjaman dan garis kelurusan sungai pada daerah penelitian.

Terowongan

Gambar 4. 4 Kelurusan geomorfologi daerah penelitian

Dari hasil kelurusan geomorfologi, daerah penilitian dipengaruhi oleh adanya sesar mendatar
berarah utara-selatan pada bagian barat dan sesar mendatar berarah barat daya-timur laut pada
bagian timur. Keberadaan sesar ini memungkinkan terdapatnya sesar-sesar minor pada daerah
penilitian yang akan berpengaruh terhadap kestabilan terowongan. Selain itu, pada gambar
kelurusan geomorfologi di atas terlihat bahwa kemiringan lapisan batuan penyusun daerah
penelitian secara umum berarah tenggara-barat laut pada bagian utara terowongan dan barat
daya timur laut pada bagian selatan terowongan.

4.1.4. Data Lubang Bor

Untuk mendapatkan gambaran batuan yang berada di bawah permukaan pada lokasi
pembuatan terowongan pihak perusahaan telah melakukan kegiatan pemboran eksplorasi
sebelum pembuatan terowongan. Terdapat enam lubang bor (B1-B6) yang memanjang
sepanjang terowongan dan terletak tepat pada sumbu terowongan dengan jarak antar lubang
bor rata-rata 100 meter. Selain itu, telah dilakukan pemboran terdahulu pada tahun 2014 yang
juga berada di sepanjang terowongan (TB1-TB5) (Lampiran I).
?

Gambar 4. 5 Data lubang bor pada penampang memanjang arah utara-selatan ( dilihat dari arah barat)
Gambar data lubang bor di atas menunjukan adanya anomaly stratigrafi batuan penyusun
daerah penelitian dimana pada bagian inlet data lubang bor menunjukan litologi yang ada
berupa breksi dan antara B3 dan TB3 terdapat penipisan batupasir pada borelog.

Data lubang-lubang bor yang telah ada tersebut kemudian diplot dalam bentuk penampang
memanjang searah dengan sumbu terowongan yang selanjutnya akan dilakukan korelasi
litologi yang dipadukan dengan data geolistrik, geomorfologi, geologi regional daerah
penelitian dan pemetaan untuk menjawab anomaly-anomali data lubang bor di atas.

4.1.5. Data Geolistrik 2D

Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika untuk mempelajari sifat aliran listrik
di dalam bumi dan cara mendeteksinya di permukaan bumi dalam hal ini berupa pengukuran
potensial, pengukuran arus balik secara alamiah maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi
(Koibur, 2014). Metode ini cukup baik dalam mendeteksi adanya struktur geologi seperti
patahan pada suatu daerah dalam kaitannya dengan pekerjaan geoteknik.

Untuk data geolistrik pada penelitian ini telah disediakan oleh pihak perusahaan yang mana
kegiatan geolistrik itu sendiri telah dilaksanakan pada bulan Januari 2017 dengan
menggunakan alat Automatic Resistivity (ARES) G4. Konfigurasi yang digunakan pada
pengukuran ini ialah konfigurasi Wenner. Data yang diperoleh dari pengukuran ini berupa data
nilai tahanan jenis batuan yang berada di bawah titik pengukuran. Data-data ini kemudian
diolah menjadi penampang geolistrik yang menunjukan nilai tahanan jenis batuan yang berada
pada lokasi pembuatan terowongan. Adapun peta lintasan geolistrik dapat dilihat pada gambar
4.5.
N
Portal Inlet

Portal Outlet

Gambar 4. 6 Tampak atas lintasan geolistrik

Setelah dilakukan pengambilan data tahanan jenis lapisan batuan pada lintasan yang sudah
ditentukan (Gambar 4.6) kemudian dilakukan pembuatan penampang memanjang utara selatan
daerah pembuatan terowongan berdasarkan nilai tahanan jenis yang terekam. Dari penampang
yang ada dilakukan interpretasi pada penampang geolistrik yang tepat di lalui oleh terowongan.
Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa lintasan yang bersesuaian dengan lintasan terowongan adalah
jalur C dan D sehingga interpretasi dilakukan pada jalur ini.

Bidang Patahan

Portal inlet

Gambar 4. 7 Penampang memanjang utara-selatan geolistrik jalur C lintasan 1


Dari penampang pada Gambar 4.7 diduga terdapat adanya bidang patahan yang cirikan oleh
adanya penurunan nilai tahanan jenis secara drastis dan bidang yang diduga patahan yang
relatif tegak.

Portal outlet

Bidang gelincir

Gambar 4. 8 Penampang memanjang utara-selatan geolistrik jalur D lintasan 3

Pada penampang geolistrik Gambar 4.8 diduga adanya bidang gelincir berupa material
lempung dengan nilai tahanan jenis 4,31 - 8 . Pada lintasan ini diinterpretasikan bidang
gelincir berada pada kedalaman 10-30 meter. Bidang gelincir tersebut diduga merupakan
bidang kontak antara batu pasir yang berada di atas batu lempung. Untuk keseluruhan data
geolistrik yang ada pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran II.
Gambar 4. 9 Model 3D tahanan jenis daerah penelitian

Setelah semua penampang dari setiap jalur pengukuran didapatkan, kemudian dilakukan
proses pembuatan model 3D dari nilai tahanan jenis hasil pengukuran (Gambar 4.9). Pada
gambar di atas dapat dilihat bahwa pada daerah penelitian bagian utara (portal inlet) terdapat
batuan yang memiliki nilai tahanan jenis cukup besar yaitu sekitar 125 . Apabila
dihubungkan dengan data lubang bor, maka batuan yang memiliki nilai tahanan jenis paling
besar ini merupakan Endapan Breksi yang terdapat di sekitar inlet terowongan. Selain itu,
daerah penelitian juga tersusun dari perselingan Batu Pasir dan Batu Lempung yang ditunjukan
dengan nilai tahanan jenis yang berada pada nilai 15 -35 untuk Batu Pasir dan 0 10
untuk Batu Lempung.
4.1.6. Data Pemetaan Lapangan

Untuk mengkonfirmasi data lubang bor, dilakukan pemetaan singkapan batuan yang berada di
sekitar daerah terowongan. Pemetaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran sifat fisik
secara langsung dari batuan penyusun daerah penelitian dan untuk mencari keberadaan struktur
geologi terutama patahan yang akan berpengaruh pada kestabilan terowongan yang akan
dibuat.

Pemetaan lapangan pada penelitian ini berupa proses pencarian singkapan batuan yang
menyusun daerah penilitian, batas kontak litologi, serta keberadaan struktur geologi di
lapangan. Selain itu, juga dilakukan pengambilan sampel batuan dari masing-masing litologi
penyusun daerah penelitian untuk dideskripsi secara megaskopis. Kegiatan pemetaan geologi
di lapangan berupa pengukuran kedudukan singkapan batuan ataupun struktur geologi,
penandaan posisi singkapan / struktur geologi pada peta dasar, pengambilan foto singkapan /
struktur, serta pengambilan sampel batuan.

Tabel 4.1 Data pemetaan litologi

Batas Kontak
Nomor Koordinat
Litologi Kedudukan
x y z
K-20-1 302723 9171335 60 Breksi-Lempung N315E/45
K-20-2 302703 9171333 96 Breksi-Lempung N315E/45
SIS-21-1 302558 9171102 54 Sisipan clay pada breksi N272E/57
SI-21-1 302567 9171052 82 Batu Pasir N215E/31
K-20-3 302663 9171266 86 Breksi-Lempung
K-20-4 302669 9171243 74 Breksi-Lempung
K-20-5 302416 9171129 77 Breksi-Lempung N33E/5
K-20-6 302441 9171129 78 Breksi-Lempung N57E/33
K-20-7 302538 9171158 75 Batu Pasir-Lempung N268E/15
K-20-8 302612 9171194 70 Breksi-Lempung N276E/30
K-20-9 302662 9171228 65 Breksi-Lempung
K-18-1 302645 9170845 51 Breksi-Lempung N11E/19
K-18-2 302620 9170876 48 Breksi-Lempung N300E/53
SI-18-1 303191 9171109 46 Batu Pasir N294E/18
SI-18-2 303127 9171094 70 Batu Pasir
SI-18-3 303109 9171306 42 Batu Pasir
13-8-01-SP 302841 9171406 41 Batu Pasir N290E/70
11-8-BR1 302752 9171370 47 Breksi
11-8-01-K 302731 9171307 35 Breksi-Lempung N290E/70
11-8-05-S 302693 9171257 68 Breksi
11-8-02-K 302466 9171148 71 Pasir-Lempung N280E/33
11-8-04-SG 302439 9171121 75 Gamping

Gambar 4.10. Peta sebaran titik singkapan batuan

Dari data-data pemetaan lapangan di atas yang dipadukan dengan data lubang bor diketahui
bahwa daerah penelitian tersusun atas lima satuan batuan. Satuan-satuan ini berurutan dari
umur tua ke muda sebagai berikut :
1. Satuan batulempung

Satuan ini terdiri dari batulempung, batupasir, dan setempat sisipan breksi (outlete
terowongan), namun beradasarkan pengamatan di lapangan satuan batuan ini didominasi oleh
batulempung berlapis yang bersilangan dengan napal.

Karakteristik batulempung pada daerah penilitian antara lain berwarna abu-abu putih, agak
lunak, sedimen klastik, struktur batuan berlapis, bentuk butir rounded, kemas terbuka, sortasi
baik. Menurut kesebandingan regional (Djuri, dkk, 1996) satuan ini berumur Miosen Tengah
setara dengan Formasi Halang.

Formasi Tapak
(Tpt)

Formasi Halang
( Tmph)

Gambar 4. 11 Lokasi pengamatan pada satuan batulempung


2. Satuan batupasir gampingan

Kenampakan satuan ini berupa batupasir berbutir kasar yang bereaksi tinggi ketika diteteskan
HCl yang menunjukan material klastik batupasir ini berupa material karbonatan. Satuan ini
menindih satuan batulempung dengan batas kontak tegas. Menurut kesebandingan umur
regional satuan ini termasuk ke dalam Formasi Tapak (Pliosen Awal). Hasil deskripsi
singkapan satuan batuan ini dilapangan menunjukan bahwa batupasir berwarna coklat muda,
agak keras sampai lunak, berukuran pasir kasar sampai sedang, membundar tanggung,
pemilahan baik.

Formasi Tapak
(Tpt)

Formasi Halang
( Tmph)

Gambar 4. 12 Lokasi pengamatan pada satuan batupasir gampingan


3. Satuan breksi andesit

Kenampakan satuan breksi andesit pada daerah penelitian terlihat jelas di inlet terowongan saat
penggalian terowongan menuju ke 18 meter. Satuan ini berdasarkan data lubang bor menindih
satuan batupasir gampingan secara tidak selaras. Satuan ini dinamakan breksi andesit karena
fragmen batuan yang berupa batuan andesit berukuran >15 cm sedangkan matriks berupa
material lava yang berwarna abu-abu, lapuknya coklat kemerahan, struktur masif, tekstur
porfiro-afanitik, serta kemas tertutup. Berdasarkan kesebandingan umur satuan ini berada pada
Formasi Tapak (Pliosen).

Formasi Tapak
(Tpt)

Formasi Halang
( Tmph)

Gambar 4. 13 Lokasi pengamatan pada satuan breksi andesit


4. Satuan endapan aluvium

Endapan ini tersebat di bagian tenggara dan timur laut daerah penilitian. Kenampakan satuan
ini berupa pasir, lempung, lanau dan lumpur.

Formasi Tapak
(Tpt)

Formasi Halang
( Tmph)

Gambar 4. 14 Lokasi pengamatan pada satuan endapan aluvium

Selain data mengenai singkapan batuan, pada pemetaan daerah penelitian ditemukan adanya
struktur geologi berupa adanya patahan pada daerah penilitian. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan model penampang memanjang pada terowongan dilakukan proyeksi kelurusan
patahan yang ditemukan di sepanjang sungai yang berada di sebelah barat terowongan terhadap
posisi terowongan.
Tabel 4.1 Data pemetaan struktur geologi

Koordinat Kedudukan
Kode
East North Elevation Strike (NE) Dip
11-8-01-ST 302669 9171252 52 167 40
11-8-02-ST 302723 9171335 60 325 70
11-8-03-ST 302484 9171143 68 185 30

0 200 m
Gambar 4. 15 Overlay kedudan struktur patahan pada terowongan

Dari data pemetaan struktur ditemukan adanya 3 struktur berupa patahan pada daerah
penilitian. Dari hasil proyeksi kedudukan patahan terhadap terowongan diketahui bahwa
terdapat 2 patahan (11-8-01-ST dan 11-8-02-ST) yang memotong terowongan. Hal ini nantinya
akan menjadi perhatian khusus karena keterdapatan struktur ini akan berpengaruh terhadap
kestabilan terowongan yang akan dibangun. Adapun ketiga struktur patahan tersebut adalah
sebagai berikut :

1. Sesar Outlet (11-8-01-ST)

Patahan ini ditemukan pada dinding sungai yang menerus hingga dasar sungai dan pada satuan
batulempung dengan kedudukan seperti yang tertera pada Tabel 4.2. Disekitar bidang patahan
ini (pada lantai sungai) ditemukan adanya kekar gerus dan slickenside yang memperkuat
dugaan terhadap bidang patahan tersebut. Selain itu, juga terdapat mata air pada bidang
rekahan yang diindikasikan sesar tersebut. Dari hasil analisis pengamatan lapangan dan offsite
stratigrafi pada daerah penelitian diketahui bahwa jenis sesar ini adalah sesar mendatar naik
dengan pergerakan dekstral. Bukti lapangan keterdapatan sesar ini ditunjukan oleh Gambar
4.16. Hasil proyeksi keterdapatan sesar 11-8-01-ST ini menunjukan sesar ini mengalami
perpotongan dengan terowongan di dekat outlet terowongan (antara bor B4 dan B5).

Slickenside
Mata air
Kekar gerus

Gambar 4. 16 Sesar mendatar outlet (11-8-01-ST)

2. Sesar Inlet (11-8-02-ST)

Patahan ini ditemukan pada batas kontak antara batulempung degan breksi polimik. Bidang
kontak yang relatif tegak dan tegas ini mengindikasikan adanya sesar naik pada daerah
penilitian. Ditemukan juga adanya kekar-kekar gerus (shear) disekitar bidang kontak ini,
penafsiran tentang keterdapatan bidang patahan pada batas kontak ini semakin jelas ketika
bidang ini diproyeksikan terhadap terowongan yang menunjukan adanya kesesuaian lokasi
dengan indikasi patahan berdasarkan data geolistrik (gambar 4.7). Berdasarkan offsite
stratigrafi pada data lubang bor dan geologi regional yang mempengaruhinya, sesar inlet ini
merupakan sesar mendatar naik dengan pergerakan dekstral.

Breksi Polimik

Kekar gerus Batulempung


Gambar 4. 17 Sesar mendatar Inlet (11-8-02-ST)

3. Sesar Notog (11-8-03-ST)

Dari hasil proyeksi menunjukan bahwa keberadaan patahan ini terhadap terowongan adalah
berarah utara selatan dan tidak memotong sumbu terowongan. Dari hasil pengamatan lapangan
diketahui bahwa jenis sesar ini merupakan sesar mendatar menganan turun yang secara geologi
regional dinamakan sebagai Sesar Notog. Adapun bukti lapangan dari keberadaan struktur ini
ditunjukan oleh gambar 18.

Batupasir Batupasir

O
X Batulempung

Gambar 18. Sesar Notog (11-8-03-ST)

Hasil pengamatan di lapangan terhadap kemungkinan keterdapatan struktur geologi di


lapangan disimpulkan bahwa terdapat 3 struktur berupa patahan dengan arah dan kemiringan
yang berbeda-beda (Tabel 2) yang apabila diproyeksikan terhadap terowongan hanya sesar
mendatar inlet dan outlet saja yang memotong terowongan dan harus menjadi perhatian khusus
pada konstruksi terowongan.
4.1.7. Korelasi Lubang Bor

Korelasi lubang bor dilakukan dengan menggabungkan keseluruhan data yang ada untuk
mendapatkan penampang memanjang terowongan yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Penggabungan keseluruhan data menjadi penting karena jarak antara lubang bor yang cukup
jauh (100 m) mengakibatkan korelasi menjadi bias jika antar batas litologi hanya dihubungkan
secara langsung.

Model penampang memanjang utara-selatan ini menjadi penting dalam konstruksi terowongan
sebab akan menjadi landasan utama dalam merencanakan kegiatan penggalian massa batuan
nantinya. Selain itu, dari model penampang memanjang ini juga dapat dibuat penampang
melintang pada titik tertentu untuk dianalisis kestabilan secara numerik.

Berdasarkan penampang memanjang utara-selatan (gambar 4.19) kegiatan konstruksi


terowongan akan menembus lapisan batulempung sepanjang 395 meter dari outlet dan breksi
polimik sepanjang 76 meter dari inlet. Selain itu berdasarkan penampang memanjang gambar
4.19. terowongan akan menembus zona sesar pada penggalian 76 meter dari inlet (stasiun
359+232) dan penggalian 57 meter dari outlet (stasiun 359+535).
Gambar 19. Penampang memanjang Utara-Selatan Terowongan Notog
4.1.8. Data Uji Permeabilitas

Akuifer adalah suatu unit geologi yang dapat menyimpan air dan mengeluarkan sesuai dengan
ikecepatan dengan baik dan dibutuhkan dalam pembuatan sumur. Baik permeabilitas maupun
gk akuifer pada umumnya berkisar 10-3 hingga 10-5 m/s.

Akuifer dapat berada dekat dengan permukaan tanah, dengan kemenerusan lapisan yang
memotong permukaan tanah. Kondisi tersebut dikatakan bahwa akuifer tersebut termasuk
akuifer bebas (unconfined aquifer). Akuifer bebas mendapat recharge akibat rembesan yang
melewati zona yang tidak jenuh. Recharge juga dapat terjadi melewati kenaikan muka
airtanah secara lateral.

Akuifer tertekan adalah lapisan akuifer yang tertutup oleh lapisan pengekang. Kedua sistem
akuifer ini digambarkan pada. Pada terlihat bahwa recharge akuifer tertekan dapat melewati
bagian yang terbuka (akuifer bebas) atau dapat juga melewati lapisan pengekang namun
dengan kecepatan recharge yang lambat.
Gambar 3. 2 Sistem Akuifer Tertekan, Akuifer Bebas, dan Lapisan Pengekang ( sumber: Fetter,
1994)

Lapisan pengekang (confining layer) merupakan unit geologi yang mempunyai permeabilitas
intrisik yang sangat kecil atau realtif tidak sama sekali. Lapisan pengekang mempunyai
permeabilitas intrisik kurang dari 10-5 m/s. Namun, lapisan pengekang terkadang dilihat
berdasarkan lingkungan sekitarnya.

Lapisan pengekang dibagi menjadi sebagai berikut:

Akuifug, yaitu lapisan batuan kedap air (impermeable), sehingga tidak memiliki
kemampuan menyimpan dan meloloskan air.
Contoh: batuan beku masif (granit, basalt tanpa ada rekahan)
Akuiklud, yaitu lapisan batuan yang memiliki kemampuan untuk menyimpan air namun
tidak memiliki kemampuan dalam meloloskan air. Nilai konduktivitas berada diantara
akuitar dan akuifug.
Contoh: batulempung
Akuitar, yaitu lapisan batuan yang memiliki kemampuan menyimpan dan meloloskan air
dalam jumlah yang kurang berarti atau kecil, lebih kecil dibandingkan dengan akuifer.
Contoh: batupasir lempungan

Kualitas dan kuantitas akuifer ditentukan oleh beberapa factor yang mempengaruhi akuifer
tersebut. Hal ini disebut properti akuifer. Properti akuifer terdiri dari porositas, konduktivitas
hidraulik, transmisivitas, dan storativitas.
4.2.Properti Akuifer

4.2.1. Porositas
Porositas dari suatu material adalah presentase atau banyaknya volume rongga dari batuan atau
tanah (Fetter, 1994). Atau dengan kata lain jumlah ruang yang kosong pada suatu volume
batuan, yang dinyatakan dalam persen. Adapun porositas dibagi menjadi dua, yaitu porositas
efektif (persen volume rongga yang dapat dialiri air terhadap volume keseluruhan batuan), dan
porositas total (total volume rongga) baik yang terkunci, sehingga tidak dapat dialiri air,
maupun yang dapat mengaliri air, dibanding dengan volume total batuan. Sehingga secara
matematis, porositas dapat dinyatakan dalam rumus:


= %

keterangan:
n : porositas (%)
VV : volume rongga (m3)
V : volume total material (m3)
Nilai porositas juga dapat dinyatakan sebagai jumlah dari specific yield dan specific retention
seperti tertera dalam rumus berikut:

= +
keterangan:
n : porositas (%)
Sy : specific yield (%)
Sr : specific retention (%)
Definisi specific yield (Sy) itu sendiri adalah perbandingan antara volume air yang keluar dari
batuan yang jenuh dengan air karena gaya gravitasi terhadap volume total batuan. Dan Specific
retention (Sr) adalah perbandingan antara volume air pada material yang dapat bertahan
melawan gaya gravitasi terhadap volume total material tersebut (Meinzer dalam Fetter 1994).

4.2.2. Konduktivitas Hidraulik


Konduktivitas hidraulik (K) adalah suatu besaran yang menunjukkan tingkat kemampuan
material untuk meloloskan suatu jumlah air tiap satuan waktu tertentu.

Gambar 3. 3 Ilustrasi Hukum Darcy (sumber : Fetter, 1994)

Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Henry Darcy, pada tahun 1856, ditemukan bahwa
aliran yang melewati pipa berisi tanah sebanding dengan perbedaan head muka airtanah dan
berbanding terbalik dengan panjang pipa yang dilewati. Rasio perbandingan head dengan
panjang pipa tersebut dikatakan sebagai gradien hidraulik (Fetter, 1994). Debit aliran air yang
melewati pipa tersebut juga tergantung dengan koefisien tanah/batuan (K (konduktivitas
hidraulik)) serta luasan penampang yang menjadi batas air yang dilewatinya. Hukum Darcy
tersebut, secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:


=

keterangan:
Q : debit aliran airtanah (m3/s)
K : konduktivitas hidraulik (m/s)
A : luas penampang akuifer (m2)
dh : selisih head kedua tempat (m)
dl : jarak kedua tempat (m)

4.2.3. Transmisivitas
Transmisivitas adalah kemampuan laju air secara horizontal yang dapat mengalir pada lapisan jenuh
air yang dikontrol oleh ketebalan dari lapisan akuifer tersebut. Apabila terdapat beberapa lapisan
akuifer maka untuk mencari seberapa besar nilai transmisivitas, cukup dengan menjalankan setiap nilai
transmisivitas pada setiap lapisan akifer. Persamaan transmisivitas adalah sebagai berikut:

=
keterangan:
T : transmisivitas (m3/hari)
b : ketebalan akuifer (m)
K : konduktivitas hidraulik (m/hari)

4.2.4. Storativitas
Menurut Todd (1980), storativitas (S) adalah nilai koefisien yang menunjukkan besarnya
volume air yang dapat dikeluarkan atau disimpan oleh akuifer setiap satu satuan luas per unit
perubahan kedudukan muka air bawah tanah atau bidang pisometrik (Todd, D.K., 1980). Nilai
storativitas pada akuifer bebas berkisar antara 0,01 hingga 0,35, sedangkan pada akuifer
tertekan berkisar antara 0,00005 hingga 0,005 (Todd, D.K., 1980). Persamaan storativitas (S)
untuk akuifer tertekan yaitu:

= .
keterangan:
S : storativitas
b : tebal akuifer (m)
Ss : specific storage (1/m)
Sedangkan persamaan storativitas pada akuifer bebas yaitu sebagai berikut:

= +
keterangan:
S : storativitas
h : tebal akuifer (m)
Ss : specific storage (1/m)
Sy : specific yield
Specific storage itu sendiri adalah volume air pada formasi batuan jenuh yang masuk atau
keluar akibat kompresibilitas akuifer dan perubahan head pada pori-pori batuan. Nilai specific
storage dapat dinyatakan sebagai berikut:

= w ( + )
keterangan:
Ss : specific storage (1/m)
w : massa jenis air (kg/m3)
g : percepata gravitasi (m/s2)
: kompresibilitas akuifer (m2/N)
: kompresibilitas air (m2/N)
n : porositas (%)

4.3.Teori Pemodelan Air Tanah


Model merupakan suatu pendekatan terhadap kenyataan di alam yang kompleks
dan bukan merupakan kenyataan itu sendiri (Kinzelbach, 1986). Adapun untuk
suatu model digunakan untuk merepresentasi kondisi daerah penelitian, dilakukan
dengan menggunakan sebuah pendekatan matematis/numerikal. Suatu model
matematik mensimulasikan secara tidak langsung aliran airtanah menggunakan
pemisalan dengan persamaan yang menunjukkan proses fisik yang terjadi di dalam
sistem (Anderson dan Woessner, 1992).

4.3.1. Metode Beda Hingga

Metode beda hingga (finite difference) adalah salah satu teknik numerikal untuk dapat mencari
solusi persamaan diferensial (dalam hal ini persamaan aliran airtanah) menggunakan
pendekatan dengan persamaan simultan/matriks. Ide dasar dari metode beda hingga ini adalah
untuk mengganti turunan pada titik perbandingan perubahan pada interval yang kecil tetapi
terbatas. Langkah-langkah dalam metode beda hingga ini adalah sebagai berikut,

1. Pendekatan diferensial
2. Pembagian sistem dalam grid.
3. Penulisan pendekatan persamaan diferensial pada setiap titik dalam sistem grid.
4. Pemasukan kondisi batas dan inisial.
5. Penyelesaian persamaan linier simultan/matriks.

Penyelesaian persamaan beda hingga untuk aliran yang bersifat tunak dengan spasi grid yang
seragam menggunakan persamaan Laplace berikut:

hi-1,j + hi+1,j + hi,j-1 + hi, j+1 4hi,j = 0

Metode pendekatan eksplisit digunakan untuk menentukan jumlah aliran air yang mengalir
saat head mengalami perubahan. Head dari nodal point merupakan fungsi dari waktu. Untuk

menurunkan pada nodal point, maka dibutuhkan pendekatan eksplisit terhadap waktu. Jika

waktu n dimana n+1 menunjukkan satu langkah sesudah waktu n dan n-1 menunjukkan satu
langkah sebelum waktu n, maka:

+
+
~=

Apabila diasumsikan bahwa x = y = a untuk +


, maka penyelesaian analitik nilai head

pada waktu n+1 dapat diselesaikan dengan persamaan pendekatan eksplisit maju, yaitu:

, + +, + , + ,+
+
= ( ) + ( ) ( ) +

4.3.2. Kondisi Batas

Pada suatu model aliran airtanah, terdapat tiga tipe kondisi batas yang dapat digunakan, yaitu:

a) Kondisi batas tipe Dirchlet

Kondisi batas ini berupa head yang telah ditentukan, dan memiliki persamaan matematis yang
dapat dituliskan sebagai berikut:

= (, , )
Batas dapat berupa garis lurus maupun lengkung dalam bidang xy, dan f(x,y,t) adalah fungsi
yang diketahui. Dalam pemodelan numerikal, domain yang diperlukan paling tidak satu
kondisi batas dari tipe Dirchlet.

b) Kondisi batas tipe Neumann

Kondisi batas ini berupa fluks aliran yang telah ditentukan, dan memiliki persamaan matematis
sebagai berikut:

= (, , )

dengan batas berpotongan tegak lurus dengan gradient hidaulik dan f(x,y,t) adalah fungsi yang
diketahui.

c) Kondisi batas tipe Chaucy

Kondisi batas ini berupa kombinasi antara head dan fluks. Kondisi batas ini dapat
digunakan pada batas semi-kedap air. Kondisi batas ini biasanya mengandung informasi hubungan
antara variabel dalam persamaan dan turunannya.

Tabel 2. 1 Kondisi Batas Model

Tipe Kondisi Batas Kondisi Batas Contoh Penggunaan

Dirchlet (1829) Head yang telah ditentukan Sungai, danau, mata air,
constant head well

Neumann (1912) Fluks yang telah ditentukan Batas kedap air, batas pemisah
air, infiltrasi, penguapan

Chaucy(1825) Batas semipermeabel atau fluks Leaky river, drain, seepage face
yang bergantung head

4.4.Falling Head Test


Falling head test merupakan salah satu metode penentuan konduktifitas hidraulik yang
diperkenalkan oleh Hvorslev (1950). Uji ini biasanya digunakan untuk tanah maupun batuan yang
memiliki butiran halus dan memiliki nilai konduktifitas hidarulik yang rendah.
4.5.Uji Lugeon

Anda mungkin juga menyukai