Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI-FARMAKOKINETIK

FARMAKOKINETIKA SEDIAAN ORAL

Nuni Nurjanah : 10060310133


Arfiah Tuankotta : 10060310134
Nida Mahda Anida : 10060310137
Putri Andini : 10060310139

Kelompok : 4B
Tanggal praktikum: 31 Desember 2013
Tanggal pengumpulan : 07 Januari 2013

Asisten : Asri Anggraeni, S.Farm.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT E


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2014 M /1435 H
FARMAKOKINETIKA SEDIAAN ORAL

I. Tujuan Percobaan
Dapat mengetahui dan memahami prinsip dan cara menentukan profil
farmakokinetika sediaan oral pada tikus.

II. Teori Dasar


A. Definisi Farmakokinetik
llmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni,
ekskresi dan metabolisme) obat (Shargel & Yu, 1988), sehingga farmakokinetik
dianggap sebagai aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh,
yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Tubuh kita dapat dianggap sebagai suatu ruangan besar, yang terdiri dari
beberapa kompartemen yang terpisah oleh membran-membran sel. Sedangkan
proses absorpsi, distribusi dan ekskresi obat dari dalam tubuh pada hakekatnya
berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena proses ini tergantung pada
lintasan obat melalui membran tersebut. Membran sel terdiri dari suatu lapisan
lipoprotein (lemak dan protein) yang mengandung banyak pori-pori kecil, terisi
dengan air .Membran dapat ditembus dengan mudah oleh zat-zat tertentu, dan
sukar dilalui zat-zat yang lain, maka disebut semi permeabel. Zat-zat lipofil (suka
lemak) yang mudah larut dalam lemak dan tanpa muatan listrik umumnya lebih
lancar melintasinya dibanding kan dengan zat-zat hidrofil dengan muatan (ion)
(Shargel & Yu, 1988).

B. Proses-proses dalam Farmakokinetika


1. Absorpsi
Proses absorpsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada
umumnya obat yang tidak diabsorpsi tidak menimbulkan efek.Kecuali antasida
dan obat yang bekerja lokal. Proses absorpsi terjadi di berbagai tempat
pemberian obat , misalnya melalui alat cerna, otot rangka, paru-paru, kulit dan
sebagainya (Shargel & Yu, 1988).
Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a. Kelarutan obat.
b. Kemampuan difusi melintasi sel membrane
c. Konsentrasi obat.
d. Sirkulasi pada letak absorpsi.
e. Luas permukaan kontak obat.
f. Bentuk sediaan obat
g. Cara pemakaian obat.
(Katzung, 2004).

2. Distribusi.
Obat setelah diabsorpsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh
badan dan harus melalui membran sel agar tercapai tepat pada efek aksi.
Molekul obat yang mudah melintasi membran sel akan mencapai semua cairan
tubuh baik intra maupun ekstra sel, sedangkan obat yang sulit menembus
membran sel maka penyebarannya umumnya terbatas pada cairan ekstra sel
(Shargel & Yu, 1988).
Kadang-kadang beberapa obat mengalami kumulatif selektif pada
beberapa organ dan jaringan tertentu, karena adanya proses transport aktif,
pengikatan dengan zat tertentu atau daya larut yang lebih besar dalam lemak.
Kumulasi ini digunakan sebagai gudang obat (yaitu protein plasma, umumnya
albumin, jaringan ikat dan jaringan lemak) (Shargel & Yu, 1988).
Selain itu ada beberapa tempat lain misalnya tulang , organ tertentu, dan
cairan transel yang dapat berfungsi sebagai gudang untuk beberapa obat tertentu.
Distribusi obat kesusunan saraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus
yaitu sawar darah otak dan sawar uri.Obat yang mudah larut dalam lemak pada
umumnya mudah menembusnya (Shargel & Yu, 1988).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses distribusi, yaitu :
a. Perfusi darah melalui jaringan
b. Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makro molekul
c. Partisi ke dalam lemak
d. Transport aktif
e. Sawar, seperti sawar darah otak dan sawar plasenta, sawar darah cairan
cerebrospinal
f. Ikatan obat dan protein plasma.
(Katzung, 2004).
3. Metabolisme
Tujuan metabolisme obat adalah pengubahannya yang sedemikian rupa
hingga mudah diekskresi ginjal,dalam hal ini menjadikannya lebih hidrofil. Pada
umumnya obat dimetabolisme oleh enzim mikrosom di retikulum endoplasma
sel hati. Pada proses metabolisme molekul obat dapat berubah sifat antara lain
menjadi lebih polar. Metabolit yang lebih polar ini menjadi tidak larut dalam
lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Metabolit obat dapat lebih aktif
dari obat asal (bioaktivasi), tidak atau berkurang aktif (detoksifikasi atau bio-
inaktivasi) atau sama aktifitasnya.Proses metabolisme ini memegang peranan
penting dalam mengakhiri efek obat(Shargel & Yu, 1988).
Hal-hal yang dapat mempengaruhi metabolisme (Katzung, 2004):
a. Fungsi hati, metabolisme dapat berlangsung lebih cepat atau lebih lambat,
sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau lebih kuat dari yang kita
harapkan.
b. Usia, pada bayi metabolismenya lebih lambat.
c. Faktor genetik (turunan), ada orang yang memiliki faktor genetik tertentu
yang dapat menimbulkan perbedaan khasiat obat pada pasien.
d. Adanya pemakaian obat lain secara bersamaan, dapat mempercepat
metabolisme (inhibisi enzim).
4. Ekskresi.
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh
ginjal melalui air seni, dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit maupun bentuk
asalnya.disamping ini ada pula beberapa cara lain, yaitu (Katzung, 2004).:
Kulit, bersama keringat.
Paru-paru, dengan pernafasan keluar, terutama berperan pada anestesi
umum, anestesi gas atau anestesi terbang.
Hati, melalui saluran empedu, terutama obat untuk infeksi saluran empedu.
Air susu ibu, misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan alkaloid
lain. Harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek farmakologi atau
toksis pada bayi.
Usus, misalnya sulfa dan preparat besi.

C. Cara Pemberian Obat


Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat
yang berbeda-beda pula. Proses absorbsi merupakan dasar yang penting dalam
menentukan aktivitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama
proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan
pengobatan (Novianto, 2010).
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat
per oral, karena mudah, aman, dan murah [1].Pada pemberian secara oral,
sebelum oba masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh,
terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna (Novianto, 2010).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran
cerna antara lain:
a. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk
sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang
berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan
(Novianto, 2010).
b. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses absorpsi [2]. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam
bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak (Novianto, 2010).
c. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan
saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus,
serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi (Novianto, 2010).
d. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain
dan adanya penyakit tertentu (Novianto, 2010)..

D. Pemberian secara peroral


Oral Gavage.Gavaging digunakan untuk dosis seekor binatang dengan
volume tertentu materi langsung ke dalam perut.Hanya khusus, tersedia secara
komersial jarum gavage harus digunakan untuk mencoba prosedur ini.Jarum
untuk injeksi secara peroral (Oral Gavage) memiliki karakter ujung tumpul
(bulat). Hal ini untuk meminimalisir terjadinya luka atau cedera ketika hewan uji
akan diberikan sedian uji. Proses pemberian dilakukan dengan teknik seperti
Tempatkan ujung atau bola dari jarum ke mulut binatang. Secara perlahan geser
melewati ujung belakang lidah. Pastikan bahwa oral gavage tidak masuk ke dalam
tenggorokan karena akan berdampak buruk. Hal ini dapat diketahui bila dari
hidung hewan uji keluar cairan seperti yang kita berikan menunjukkan adanya
kesalahan dalam proses pemberian (Novianto, 2010).
Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua
yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik.
Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus danatau di hati pada
lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi
lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi
dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya
bersama makanan. Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain
adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama
dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma (Novianto, 2010).
Pemberian obat secara parenteral memiliki beberapa keuntungan,
yaitu: (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan
pemberian per oral; (2) dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif,
tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan
darurat. Kerugiannya antara lain dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa
nyeri, sulit dilakukan oleh pasien sendiri, dan kurang ekonomis (Novianto,
2010).
Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung
masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darah diperoleh
secara capat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita.
Kerugiannya adalah mudah tercapai efek toksik karena kadar obat yang tinggi
segera mencapai darah dan jaringan, dan obat tidak dapat ditarik kembali
(Novianto, 2010).
Hangatkan hewan uji di bawah lampu panas atau alat pemanas lainnya,
pastikan untuk tidak terlalu panas pada binatang.Suhu tidak boleh melebihi
85-90 Fahrenheit pada tingkat binatang.Lepaskan hewan uji dari sumber
panas harus segera setiap perubahan dalam tingkat respirasi atau air liur
berlebihan dapat diamati.Alat pemanas lainnya, seperti handwarmers sekali
pakai, dapat digunakan sebagai pengganti lampu yang panas (Novianto, 2010).
Prep ekor dengan 70% etanol. Memulai usaha suntikan di tengah atau
sedikit bagian distal ekor. Dengan ekor ketegangan di bawah, masukkan
jarum, bevel up, kira-kira sejajar dengan vena dan masukkan jarum minimal 3
mm ke dalam pembuluh darah. Dalam proses penyuntikan jangan sekali-kali
memasukkan udara karean akan menyebabakan vena rusak atau tidak stabil.
Menyuntikkan materi yang lambat, gerakan fluida.Anda harus dapat melihat
vena jarum pucat jika diposisikan dengan benar (Novianto, 2010).
Jika ada pembengkakan di tempat suntikan atau injeksi terjadi
perlawanan, keluarkan jarum dan Masukkan kembali itu sedikit di atas awal
injeksi.Pemberian secara injeksi intravena menghasilkan efek yang tercepat,
karena obat langsung masuk ke dalam sirkulasi.Efek lebih lambat diperoleh
dengan injeksi intramuskular, dan lebih lambat lagi dengan injeksi subkutan
karena obat harus melintasi banyak membran sel sebelum tiba dalam
peredaran darah (Novianto, 2010).

E. Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non
narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di
Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas di
berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-
antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat
flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Darsono, 2002).
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit
fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893.Parasetamol
(asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta
peradangan lambung(Katzung, 2004).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang
tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit
yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak
bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain
(Katzung, 2004).
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik
sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak
seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang,
dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagaiobat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol. Diantara ketigaobat tersebut, Parasetamol mempunyai efek
samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak.
Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan
Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter.
Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi
Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam
daripada jika diberikan sendiri-sendiri (Sartono, 1996).

Struktur Kimia Parasetamol


Sifat Zat Berkhasiat
Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah
sebagai berikut: Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.
Sifat Fisika (Dirjen POM, 1995)
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N;
mudah larut
dalam etanol.
Jarak lebur : Antara 168 dan 172 .
Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan
kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruhkira-kira
2 jam. Metabolisme dihati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak
berubah melalui urin dan 80-90% dikonjugasi dengan asam glukoronik
atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari
pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang
sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2002).
Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan
Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai
sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang
diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-
inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin
tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin
(PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak
terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa (Tjay dan Rahardja, 1978).
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui
efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang.Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat
sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin.
Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat
sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan
suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik(Tjay dan Rahardja, 1978).
III. Alat Bahan
Alat: Bahan:
- Spektrofotometer - Parasetamol
- Sonde oral - CMC-Na 0,5%
- Gunting - Propilenglikol 0,2%
- Sentrifuga - Sirupus simpleks
- Mikropipet - Aquadest
- Blue tip - Etanol
- Yellow tip - Serum
- Gelas kimia - Metanol
- - Asam asetat

Hewan Uji
Tikus jantan putih

IV. Prosedur
a. Pembuatan sediaan suspensi parasetamol
- Sediaan suspensi parasetamol 50 mg/mL dibuat yang mengandung CMC-
Na 0,5%, propilenglikol 0,2% dan sirupus simpleks hingga 60 mL.
b. Pembuatan kurva baku parasetamol
- Parasetamol 7,5% ditimbang, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur.
- Ditambahkan NaOH 25 mL dan aquadest 50 mL, kemudian dikocok 15
menit.
- Ditambahkan aquadest hingga 100 mL.
- Masing-masing dipipet dengan konsentrasi konsentrasi 0,5; 0,75; 1; 1,25;
1,5 mL, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL.
- NaOH 10 ml ditambahkan, kemudiaan ditambahkan aquadest hingga 10
mL.
c. Pemberian obat pada tikus
- Obat parasetamol diberikan pada tikus setelah dipuasakan 5 jam, obat
diberikan secara oral
d. Pengambilan darah
- Sampel darah diambil dari bagian ekor tikus setelah pemberian obat
sebanyak 0,5 ml pada menit ke- 15; 30; 60. 90; 120.
- Darah yang didapat disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 15
menit.
- Supernatan dipipet sebanyak 0,5 mL, kemudian diencerkan dengan
campuran metanol : asam aseat 1% (80:20). Disentrifugasi kembali pada
kecepatam 4000 rpm selama 15 menit.
- Supernatan dipipet sebanyak 0,5 mL, kemudian ditambahkan NaOH 0,5
mL.
- Kadar parasetamol dianalisis dengan spektrofotometer uv-vis.
- Perhitungan menentukan kadar parasetamol.
e. Tentukan persamaan dan parameter farmakokinetiknya

V. Pengamatan dan Perhitungan


a. Pengamatan
Dosis obat
Dosis parasetamol pada manusia = 500 mg
Dosis parasetamol pada tikus = dosis manusia x faktor konversi
= 500 mg x 0,018 = 9 mg/200 g bb
Tikus I
Bobot = 180 gram
Dosis parasetamol
180
= 9 = 8,1
200 200
Volume pemberian
8,1
1 = 1 = 0,162
50 50
Tikus II
Bobot = 200 gram
Dosis parasetamol
200
= 9 = 9
200 200
Volume pemberian
9
1 = 1 = 0,18
50 50
Metanol : Asam asetat 1% (80 : 20) 0,5 mL
80
Metanol = 0,5 = 0,4
100
20
Asam asetat = 100 0,5 = 0,1

Waktu Absorbansi
(menit) Tikus I Tikus II
15 0,851 0,872
30 0,333 0,235
60 0,375 0,361
90 0,876 0,288

b. Perhitungan
Kurva Kalibarasi
Konsentrasi ln C
Volume Absorbansi
(mg/mL)
0,5 3,75 0,263 1,32
0,75 5,625 0,395 1,73
1 7,5 0,523 2,01
1,25 9,375 0,672 2,24
1,5 11,25 0,79 2,42
Grafik Kurva Kalibrasi
0.9
0.8 y = 0.071x - 0.0038
0.7 R = 0.9991
0.6
Absorbansi

0.5
0.4 Y-Values
0.3
Linear (Y-Values)
0.2
0.1
0
0 5 10 15
Konsentrasi

Regresi antara ln C dan Absorbansi


y =a+bx
y = -0,402+0,479x
r2 = 0,97
Perhitungan parameter farmakokinetik tikus I
Waktu
Absorbansi Konsentrasi Pengenceran C (g/mL) ln C (g/mL)
(menit)
0,851+0,402
15 0,851 x= = 2,615 x4 10,46 2,35
0,479
0,333+0,402
30 0,333 x= = 1,534 x4 6,136 1,81
0,479
0,876+0,402
60 0,876 x= = 2,668 x4 10,672 2,37
0,479
0,375+0,402
90 0,375 x= = 1,622 x4 6,488 1,87
0,479

Tikus I antara ln C dengan waktu


2.5
2 y = -0.0028x + 2.2388
R = 0.0988
Konsentrasi

1.5
1 Y-Values

0.5 Linear (Y-Values)

0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
Regresi linier antara ln C ( t : 60, 90) dengan t (waktu)
y = 3,37 + 0,016x
Intersep B = 29,08
Konstanta eliminasi = 0,016
r2= 1

Kurva Eliminasi Tikus I (ln C - waktu)


2.5

2 y = -0.0167x + 3.37
R = 1
konsentrasi

1.5

1 Y-Values
Linear (Y-Values)
0.5

0
0 50 100
waktu (menit)

Waktu C
Absorbansi Konsentrasi Ekstrapolasi C residual
(menit) (g/mL)
15 0,851 10,46 y = 3,37 + 0,016(15) = 3,61 6,85
30 0,333 6,136 y = 3,37 + 0,016(30) = 3,85 2,28

Regresi linier antara t terhadap ln C residual


y = 3,02 0,073x
intersep A = 20,49
konstanta absorbsi = 0,073
r2= 1
Kurva Absorbsi Tikus I (ln C
residual - waktu)
2.5
2
konsentrasi

1.5
1 y = -0.0733x + 3.02 Y-Values
0.5 R = 1
Linear (Y-Values)
0
0 10 20 30 40
waktu (menit)

Parameter Farmakokinetik:
[Cp = 20,49 e-0,073t 29,08e-0,016t]

Perhitungan parameter farmakokinetik tikus II


Waktu
Absorbansi Konsentrasi Pengenceran C (g/mL) ln C (g/mL)
(menit)
0,872+0,402
15 0,872 x=
0,479
= 2,66 x4 10,64 2,36
0,235+0,402
30 0,235 x=
0,479
= 1,33 x4 5,32 1,67
0,361+0,402
60 0,361 x=
0,479
= 1,59 x4 6,36 1,85
0,288+0,402
90 0,288 x=
0,479
= 1,44 x4 5,76 1,75

Kurva antara ln C dengan waktu


2.5

2
y = -0.0054x + 2.1714
konsentrasi

1.5 R = 0.3361

1 Y-Values
Linear (Y-Values)
0.5

0
0 50 100
waktu
Regresi linier antara ln C ( t : 60, 90) dengan t (waktu)
y = 2,05 + 0,003x
Intersep B = 7,768
Konstanta eliminasi = 0,003

Kurva Eliminasi Tikus II (ln C -


Waktu)
1.9
1.85
Axis Title

1.8
y = -0.0033x + 2.05 Y-Values
1.75
R = 1 Linear (Y-Values)
1.7
0 50 100
Axis Title

Waktu C
Absorbansi Konsentrasi Ekstrapolasi C residual
(menit) (g/mL)
15 0,361 10,64 y = 2,05 + 0,003(15) = 2,09 8,55
30 0,288 5,32 y = 2,05 + 0,003(30) = 2,14 3,18

Regresi linier antara t terhadap ln C residual


y = 3,13 0,066x
intersep A = 22,87
konstanta absorbsi = 0,066
Kurva Absorbsi Tikus II (ln C residual -
waktu)
2.5

2
konsentrasi

1.5
y = -0.0653x + 3.12
1 R = 1 Y-Values

0.5 Linear (Y-Values)

0
0 10 20 30 40
waktu

Parameter Farmakokinetik:
[Cp = 22,87 e-0,066t 7,768 e-0,003]

VI. Pembahasan
Pada praktikum biofarmasi-farmakokinetik kali ini (Selasa, 31 Desember
2013) kami melakukan percobaan farmakokinetika sediaan oral. Percobaan kali
ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami prinsip dan cara menentukan
profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus.

Pada percobaan ini kita membuat sediaan suspensi parasetamol terlebih


dahulu. Dibuat dalam bentuk sediaan suspensi karena kelarutan parasetamol
dalam air adalah larut dalam 70 bagian air (Farmakope III, 1979, Halaman 37).
Hal ini sesuai dengan definisi suspensi, yaitu preparat yang mengandung partikel
obat terbagi halus disebarkan secara merata dalam pembawa dimana obat
menunjukkan kelarutan yang sangat minimum.(Ansel, 2005,Halaman 354).
Suspensi parasetamol yang dibuat 50 mg/ml mengandung CMC Na 0,5 %,
propilenglikol 0,2% dan sirupus simpleks hingga 60 ml. Tujuan penggunaan
propilenglikol adalah sebagai pelarut atau pembawa pada sediaan
suspensi.(Rowe,2006,Halaman 624). Tujuan penggunaan CMC Na adalah
sebagai peningkat viskositas dan sebagai suspending agent.
(Rowe,2006,Halaman 120). Tujuan penggunaan suspending agent ini adalah
untuk menjaga stabilitas sediaan suspensi agar partikel obat tidak cepat
mengendap. (Ansel, 2005, Halaman 355). Tujuan penggunaan sirupus simpleks
pada sediaan suspensi yang dibuat adalah untuk menutupi rasa obat yang pahit
(karena rasa parasetamol pahit). (Ansel, 2005, Halaman 356).

Kemudian membuat kurva baku parasetamol. Caranya adalah parasetamol


7,5% ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur. Kemudian
ditambahkan NaOH 25 ml dan aquadest 50 ml, kemudian dikocok selama 15
menit. Tujuan penambahan NaOH adalah untuk melarutkan parasetamol, karena
parasetamol larut dalam larutan alkali hidroksida. (Farmakope III, 1979,
Halaman 37). Sedangkan tujuan pengocokan adalah agar obat dapat larut secara
homogen. Kemudian ditambahkan aquadest hingga 100 ml. Masing-masing
dipipet dengan konsentrasi 0,5;0,75;1;1,25;1,5 ml, kemudian dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 ml. Kemudian ditambahkan NaOH 10 ml, kemudian
ditambahkan lagi aquadest hingga 10 ml.

Kemudian dilakukan pemberian obat pada tikus. Sebelum diberikan


sediaan oral parasetamol, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama kurang lebih 5
jam. Tujuan tikus dipuasakan adalah agar pengaruh makanan terhadap proses
farmakokinetik obat dapat dihindari. Setelah dipuasakan, tikus ditimbang bobot
badannya. Tikus pertama bobotnya 180 gram. Tikus kedua bobotnya 200 gram.
Kemudian dilakukan perhitungan dosis parasetamol dan volume pemberian
berdasarkan bobot badan tikus. Tikus pertama dosis parasetamolnya 8,1 mg dan
volume pemberiannya 0,162 ml. Tikus kedua dosis parasetamolnya 9 mg dan
volume pemberiannya 0,18 ml. Kemudian sediaan suspensi parasetamol
diberikan secara oral pada kedua tikus menggunakan sonde oral.

Sebelum melakukan pengambilan darah, praktikan harus menggunakan


perlengkapan pelindung (masker, jas lab dan sarung tangan). Tujuannya adalah
untuk melindungi praktikan dari kuman penyakit yang mungkin saja terdapat
pada tikus yang akan diambil darahnya (sampel). (Alexander, 2008). Setelah itu,
dilakukan pengambilan darah pada tikus melalui ekor setelah pemberian obat
sebanyak 0,5 ml pada menit ke 15;30;60;90 dan 120. Pengambilan darah
dilakukan dengan cara menggunting ekor tikus menggunakan gunting steril.
Gunting steril ini maksudnya adalah gunting yang direndam terlebih dahulu pada
etanol. Karena etanol berkhasiat sebagai bakterisid dan fungisid (Tjay, 2010,
Halaman 249). Selain itu juga, supaya darah tikus yang diambil (sampel) tidak
terkontaminasi oleh kuman sekunder yang dapat mempengaruhi hasil uji yang
akan kita lakukan pada sampel darah. (Alexander, 2008). Tujuan pengambilan
darah melalui ekor adalah karena pada ekor terdapat pembuluh darah vena .
(Alexander, 2008). Setelah itu darah yang didapat disentrifugasi pada kecepatan
4000 rpm selama 15 menit. Tujuan sentrifugasi adalah untuk mendapatkan
supernatan yang mengandung obat. Kemudian dipipet 0,5 ml dan diencerkan
dengan campuran metanol : asam asetat 1% (80:20). Kemudian disentrifugasi
kembali. Setelah itu, supernatan dipipet 0,5 ml, kemudian ditambahkan NaOH
0,5 ml. Kemudian kadar parasetamol dianalisis dengan spektrofotometer uv-vis.
Parasetamol dapat dianalisis dengan spektrofotometri karena parasetamol
memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. (Munson, 1991). Kemudian ditentukan
kadar parasetamol, persamaan dan parameter farmakokinetiknya.

Pada sediaan oral (suspensi parasetamol) yang kita berikan pada tikus
terjadi proses farmakokinetika meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi. Yang dimaksud absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya
molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh
setelah melewati sawar biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila molekul
zat aktif dalam bentuk terlarut. (Aiache, 1993, Halaman 8). Oleh karena itu
parasetamol dibuat dalam bentuk suspensi agar mudah diabsorbsi oleh tubuh.

Kemudian terjadi proses distribusi. Pada tahap ini zat aktif tersebut
(parasetamol) akan disebarkan ke seluruh bagian tubuh dan kemudian disalurkan
ke tempat kerjanya. (Aiache, 1993, Halaman 9).
Kemudian terjadi proses metabolisme adalah proses perubahan senyawa
obat sehingga lebih mudah larut dalam air dalam organisme dan biasanya terjadi
di dalam hati. Sehingga obat menjadi aktif dan dapat dieksresikan melalui
saluran eksresi. (Mutschler, 1991, Halaman 20).

Kemudian obat dikeluarkan atau dieksresikan. Eksresi suatu obat dan


metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam
tubuh. Pada percobaan ini bahan berkhasiat adalah parasetamol. (Mutschler,
1991, Halaman 34).

Dari hasil pengamatan yang didapat, grafik menunjukkan bahwa sediaan


suspensi parasetamol yang diberikan secara oral mengikuti orde ke satu. Pada
orde ke satu dianggap bahwa pada saat diabsorpsi obat tidak sepenuhnya sampai
di saluran sistemik. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan fraksi obat
yang sampai di saluran sistemik yaitu F (bioavaibilitas). Selain itu ada pula Ka
atau tetapan laju absorpsi obat di saluran gastrointestinal. (saluran cerna).
(Shargel, 2012, Halaman 24). Pada data yang didapat, nilai konstanta absorbsi
adalah 0,073 pada tikus I dan 0,066 pada tikus II. Sedangkan untuk eliminasi
faktor yang berpengaruh adalah tetapan laju eliminasi (K). Pada data yang
didapat, nilai konstanta eliminasi adalah 0,016 pada tikus I dan 0,003 pada tikus
II. Metode yang digunakan adalah metode residual. Metode residual
menganggap Ka>K, harga eksponensial kedua akan menjadi kecil yang tidak
bermakna terhadap waktu, oleh karena itu dapat dihilangkan. Pada keadaan
tersebut, laju absorbs obat cepat dan absorpsi obat dianggap sempurna. (Shargel,
2012, Halaman 144).

Pada beberapa individu absorbsi obat setelah dosis oral tunggal tidak
terjadi dengan segera, sehubungan dengan faktor-faktor fisiologik seperti waktu
pengosongan lambung dan pergerakan usus. Penundaan waktu absorbsi sebelum
permulaan absorbsi obat orde kesatu terjadi terkenal sebagai lag time. (Shargel,
2012, Halaman 146).Lag time untuk suatu obat dapat diamati jika dua garis
residual yang diperoleh dengan cara residual kurva kadar plasma absorpsi obat
waktu berpotongan pada suatu titik setelah t=0 pada sumbu x. Waktu pada titik
perpotongan pada sumbu x merupakan lag time. Lag time t=0 menyatakan
permulaan absorpsi obat yang menyatakan waktu yang diperlukan obat untuk
mencapai konsentrasi efektif minimum. (Shargel, 2012, Halaman 146).


Lag time ini akan dihilangkan dengan digunakannya persamaan Cp = Be
Kt
Ae Kat . Dimana A dan B intersep pada sumbu y setelah ekstrapolasi garis-
garis residual berturut-turut untuk absorpsi dan eliminasi. (Shargel, 2012,
Halaman 147).

VII. Kesimpulan
1. Sediaan oral suspensi parasetamol mengikuti orde kesatu. Pada orde ke satu
dianggap bahwa pada saat diabsorpsi obat tidak sepenuhnya sampai di saluran
sistemik.
2. Parameter farmakokinetikanya meliputi konstanta laju absorbsi, konstanta laju
eliminasi, fraksi obat terabsorpsi secara sistemik, dan volume distribusi.
3. Obat dibuat dalam bentuk sediaan suspensi karena parasetamol memiliki
kelarutan yang kecil di dalam air (70 bagian air) dan rasanya pahit, oleh
karena itu dalam formulanya digunakan CMC Na (suspending agent),
propilenglikol (pembawa) dan sirupus simpleks (pemanis).
4. Proses farmakokinetiknya meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eksresi. (ADME).
Daftar Pustaka

Aiache, J.M.1993.Biofarmasi Edisi Kedua. Penerbit Universitas Airlangga :


Surabaya.
Alexander DJ & Senne DA.2008. Disease of Poultry,20th Ed.Blackwell
Publishing : United Kingdom.
Anonim. 1979. Farmakope III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia :
Jakarta.
Ansel, Howard. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat.
Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta.
Munson, James. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Penerbit
Universitas Airlangga : Surabaya.
Darsono, Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan
Parasetamol Jurnal KimiaVol. 2, No. 1.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(1995). Farmakope
Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Katzung, B.G. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8.
Penerjemah dan editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR. Penerbit Salemba
Medika, Surabaya.
Novianto, Agiel. (2010). Cara Pemberian vs Profil Farmakokinetika
Obat.http://agiel-novianto.blogspot.com/2010/02/pengaruh-cara-pemberian-
versus-absorbsi.html Diunduh pada tanggal 4 Januari 2014
Sartono.(1996). Obat-obat Bebas Dan Bebas Terbatas.Penerbit PT.Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Shargel L and ABC Yu.1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan, edisi kedua.Airlangga University Press. Surabaya.
Tjay, dan Rahardja.(1978). Obat-obat Penting edisi IV.Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai