Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) mulai muncul secara

sporadik pada dekade 80-an, kemudian mewabah pada awal dekade 90-an,

pada awalnya wabah DBD mengikuti siklus 5 tahunan kemudian menjadi

siklus tahunan dan akhirnya menjadi kasus endemik sepanjang tahun

(Kasnodihardjo dkk., 2009). Penyakit DBD dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, adanya kontainer

buatan ataupun alami di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) ataupun

di tempat sampah lainnya, penyuluhan dan perilaku masyarakat, antara

lain: pengetahuan, sikap, kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN),

fogging, abatisasi, dan perilaku 3M (menguras, menutup, dan mengubur)

(Febryana dkk., 2010).

Angka kematian DBD dari tahun ke tahun menurun secara

konsisten, meskipun angka kesakitan cenderung meningkat.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang Insidensi Rate (IR)

DBD tahun 2011 sebesar 71,89/100.000 penduduk, dimana IR DBD

Nasional adalah 55/100.000 penduduk (Dinkes Kota Semarang,

2012). Laporam temuan kasus penderita DBD sampai bulan Januari

2013 terdapat 249 kasus, dimana temuan kasus per 8 Februari 2013

mencapai 321 kasus DBD, dengan dua penderita meninggal.

Angka kejadian (IR) kasus DBD pada Puskesmas Pegandan

merupakan IR DBD tertinggi yaitu 169,82/100.000 penduduk, dan IR

1
terendah yaitu Puskesmas Karang Malang (19,49/100.000

penduduk).Terdapat 15 atau 40,4% Puskesmas yang ada di wilayah Kota

Semarang telah memiliki IR DBD diatas IR Kota Semarang, akan tetapi

seluruh Puskesmas telah memenuhi target IR DBD Kota Semarang

termasuk Puskesmas Halmahera (Dinkes Kota Semarang, 2012).

Kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor

pokok, yaitu faktor perilaku, faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor

pelayanan kesehatan. Salah satu yang menentukan faktor perilaku adalah

faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan,

tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri

individu dan masyarakat serta sistem nilai yang dianut masyarakat.

Sehubungan dengan belum ditemukan obat untuk membunuh virus dengue

ini, serta belum adanya vaksin yang efektif untuk mencegahnya, maka

pencegahan penyebaran penyakit ini lebih ditujukan kepada

pemberantasan nyamuk aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD (Chen

dkk., 2009). Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD yang

tepat guna dilakukan pada stadium jentik nyamuk aedes aegypti (Respati

& Keman, 2007). Tanpa pengetahuan yang memadai, orang mungkin tidak

sadar dan tidak peduli tentang masalah kesehatannya dan tidak mampu

untuk mengelola perilaku kesehatannya. Pengetahuan merupakan aspek

penting dari perubahan perilaku. Perhatian terhadap faktor perilaku sama

pentingnya dengan perhatian terhadap faktor lingkungan, khususnya dalam

hal upaya pencegahan penyakit (Notoadmojo, 2007). Perilaku 3M Plus

dan abatisasi yang dilaksanakan oleh masyarakat akan mempengaruhi

keberadaan jentik aedes aegypti (Yudhastuti & Vidiyani, 2005). Di

2
samping itu, rendahnya tingkat pengetahuan, kemampuan, dan sikap

masyarakat yang kurang memperhatikan lingkungan pemukimannya,

memberikan kontribusi yang besar pada angka kejadian DBD.

Surveilen epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting

dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular,

tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit

DBD. Surveilans adalah kegiatan yang bersifat terus menerus dan

sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan

diseminasi kepada pihak terkait, untuk melakukan tindakan yang tepat

dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Hasil kegiatan surveilans

sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial program penyakit

DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan

evaluasi dari program kesehatan yang ada (Ditjen P2PL Depkes RI, 2003).

Hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD yang telah

dilakukan oleh Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai harapan. Hal

ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan PE yang dilakukan oleh Dinkes dan

jajarannya hanya mencapai 30% sampai 50 % saja dari kasus yang

dilaporkan (Kusnodiharjo dkk., 2009).

Berdasarkan data statistik di Puskesmas Bangetayu dari tahun 2004-

2008 mengalami peningkatan kejadian DBD. Tahun 2004 angka kejadian

DBD sebanyak 10 orang, tahun 2005 sebanyak 14 orang, tahun 2007

sebanyak 65 orang, dan tahun 2008 sebanyak 135 orang. Pada tahun 2013

angka kejadian DBD sebanyak 107 orang dan pada bulan Januari-Juni

tercatat sebanyak 54 orang.

Berdasarkan pertimbangan berbagai hal tersebut diatas, penulis

3
bermaksud ingin mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

terjadinya DBD pada An. Nasrul berdasarkan pendekatan H.L.Blum.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap DBD berdasarkan pendekatan HL. Blum.

2. Tujuan Khusus

a. Memperoleh informasi mengenai faktor lingkungan yang

mempengaruhi terjadinya DBD.

b. Memperoleh informasi mengenai faktor perilaku yang

mempengaruhi terjadinya DBD.

c. Memperoleh informasi mengenai faktor pelayanan kesehatan yang

mempengaruhi terjadinya DBD.

d. Memperoleh informasi mengenai faktor kependudukan yang

mempengaruhi terjadinya DBD.

e. Memberikan alternatif pemecahan masalah berdasarkan

pendekatan HL.Blum terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya DBD.

C. Manfaat Pengamatan

1. Bagi Masyarakat

a. Masyarakat mengetahui apa yang dimaksud DBD.

b. Masyarakat mengetahui apa yang menjadi faktor resiko DBD.

c. Masyarakat mengetahui alternatif pencegahan dan pengobatan

DBD.

4
2. Bagi Mahasiswa

a. Mahasiswa mengetahui secara langsung permasalahan yang ada di

lapangan.

b. Mahasiswa menjadi terbiasa melaporkan masalah mulai dari

penemuan masaslah sampai memberikan alternative pemecahan

masalah

Anda mungkin juga menyukai