Anda di halaman 1dari 4

Kebijakan Impor Beras Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor
pertanian sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, petani Indonesia bukanlah merupakan mereka
yang tingkat kesejahteraannya tinggi. Mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan
terpinggirkan. Mereka sering dirugikan oleh masalah kebijakan perberasan yang dilakukan oleh
pemerintah. Belum lagi masalah sosial ekonomi lain yang mereka hadapi sebagai petani.
Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi Negeri ini. Sebuah ironi karena
Negara ini merupakan Negara peghasil beras, akan tetapi melakukan impor beras dalam jumlah
yang tidak sedikit. Pada umumnya sebagian masyarakat menganggap bahwa impor beras dipicu
oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Akan tetapi, pada
kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang
mengalami surplus beras. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Angka Ramalan II (ARAM II)
memperkirakan produksi padi pada tahun 2011 mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling
(GKG), naik 2,4 persen dibandingkan tahun 2010. Jika dikonversi ke beras, artinya pada tahun
ini produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Apabila dibandingkan dengan konsumsi beras
Indonesia sebanyak 34 juta ton per tahun, Indonesia sedang mengalami surplus beras sebanyak
kurang lebih 4 juta ton beras. Jadi, mengapa pemerintah masih melakukan impor beras pada
tahun ini ? Kebijakan usaha pertanian di Indonesia Menurut Surono (2001), berbagai kebijakan
dalam usaha pertanian (beras) yang telah ditempuh pemerintah pada dasarnya kurang berpihak
kepada kepentingan petani.
Pertama, terdapat kebijakan tariff impor yang sangat rendah sehingga mendorong
semakin mudahnya beras impor masuk dan melebihi kebutuhan dalam negeri. Kedua,
penghapuan subsidi pupuk yang merupakan sarana produksi utama petani dapat mengurangi
produktifitas petani. Selajutnya, teknologi yang dimiliki petani Indonesia juga sudah jauh
tertinggal sehingga kualitas beras yang dihasilkan pada umumnya kalah dengan kualitas beras
impor. Kebijakan impor beras tahun ke tahun Tahun 1998 Pada tahun 1998, terdapat kebijakan
tarif impor nol persen. Kebijakan ini dilakukan karena kondisi krisis ekonomi yang
menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan keadaan iklim yang tidak mendukung
produksi gabah.
Tahun 2000 Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan poteksi
terhadap pertanian padi nasional. Kebijakan tariff nol persen pun dihapuskan. Hal ini
dikarenakan impor beras dari Negara asing makin membanjiri pasar domestik Indonesia
semenjak diberlakukannya Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemet of
Agriculture, World Trade Organization) pada tahun 1995. Akhirnya kebijakan proteksi berupa
tariff ad-valorem sebesar 30 persen ditetapkan. Selain kebijakan tariff, terdapat juga kebijakan
proteksi non-tarrif. Pada saat itu, kedua kebijakan proteksi, yaitu tariff dan non tariff berjalan
sangat efektif. Petani lokal sangat terlindungi serta harga beras cenderung stabil. Akan tetapi,
kebijakan proteksi seperti ini sudah tidak relevan lagi jika diterapkan sekarang.
Saat ini kebijakan tersebut memang sudah tidak populer dan sudah sangat jarang dipakai
oleh Negara-negara di dunia. Hal ini dikarenakan globalisasi yang semakin memaksa Negara-
negara untuk terbuka terhadap Negara lain. Kalaupun Negara Indonesia menerapkan tarif
terhadap impor beras, tariff itu sangatlah rendah sehingga harga beras impor menjadi lebih
murah dari beras lokal. Dengan kualitas beras impor yang berada di atas kualitas beras lokal,
beras lokal pun menjadi kalah saing dengan beras impor. Tahun 2011 Berdasarkan data BPS,
sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini,
Impor beras terus dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras
melalui impor sebanyak 1,57 juta ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras impor
tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta.
Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1
juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina,
India, Pakistan, dan beberapa negara lainnya.
Mengapa Impor Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan
mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak
bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama
antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode
perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode
pandangan mata. Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini
kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi
beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada
data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras
pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS
memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional. Sebenarnya kebijakan
impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi
dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas
tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah.
Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang
teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani
bergiat menanam komoditas tanaman pangan. Mengapa Tidak Impor Kebijakan yang dipilih
pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan
importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu,
produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak
tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering
giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi
diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan
produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%).[7] Sementara itu, berdasarkan data
Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat
dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini
memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap
petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan
terserap oleh bulog. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan membuka kran impor yang
dilakukan oleh pemerintah ketika data menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus
beras memang mendatangkan pro dan kontra. Untuk mengamankan stok beras, seharusnya Bulog
melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan penyerapan beras dari
para petani lokal. Hal ini selain dapat mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan
pendapatan bagi petani sehingga kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif
menyerap gabah dari petani agar mereka tidak dirugikan. Selanjutnya, pemerintah diharapkan
dapat menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini tentunya harus diimbangi
dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus berkomitmen kuat mengatasi segala
persoalan perberasan nasional secara komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu
bergantung pada impor. Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor beras dengan alasan
pengamanan stok oleh Bulog ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan data
produksi dan data konsumsi beras yang masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada
akhirnya, tugas bagi berbagai pihak yang terkait adalah memperbaiki kinerja masing-masing.
BPS diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat lagi. Akan tetapi, diperlukan juga
kebijaksanaan oleh Bulog agar setiap kebijakan yang diambil tidak merugikan petani lokal yang
kesejahteraannya masih rendah tanpa mengorbankan ketahanan pangan Indonesia.
[1] Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. BPS. 2011
[2] Irawan, Andi. Integrasi Pasar Beras Indoesia.
[3] Kebijakan Proteksi Beras Indonesia
[4] CBN Portal (sumber: www.bps.go.id)
[5] www.kompas.com
[6] www.kompas.com
[7] Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. BPS. 2011 oleh : Almira Salsabila, Wakadiv
Penelitian Kanopi 2011

Anda mungkin juga menyukai