PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu
ekosistem buatan yang bertugas menyediakan bahan makanan bagi manusia dan
mahluk hidup lainnya. Untuk mendapatkan produksi yang optimal seperti yang
diharapkan, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam bertani, diantaranya adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi dan teknik tepat dalam bertani. Untuk
mengetahui bagaimana teknik dan perlakuan yang tepat dalam bertani, maka
sudah barang tentu kita harus mengetahui dan memahami sifat, dan kejadian apa
saja yang terjadi baik pada tanaman itu sendiri maupun pada lingkungan
sekitarnya. Untuk dapat memahami bagaimana hubungan yang terjadi antara suatu
organisme dengan lingkungannya, dan pengaruh-pengaruhnya terhadap pertanian,
maka kita perlu mempelajari Ekologi pertanian, yakni suatu ilmu yang
menerapkan prinsip-prinsip ekologi didalam merancang, mengelola, dan
mengevaluasi sistem pertanian yang produktif dan lestari, yang disana akan
dipelajari tentang agroekosistem. Pertanian sebagai suatu ekosistem buatan,
mempunyai hubungan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dan
lingkungan sekitarnya, baik yang menguntungkan bagi pertanian itu sendiri
maupun yang merugikan.
Seperti yang kita ketahui, di dalam suatu ekosistem tentunya terdapat
berbagai komponen, dari yang abiotic sampai dengan yang biotik. Di dalam
agroekosistem juga demikian, dan antara komponen-komponen tersebut menjalin
interaksi satu sama lain yang apabila interaksi tersebut normal, akan terjadi
sebuah keseimbangan ekosistem dan sebaliknya apabila tidak normal, atau ada
salah satu di antara komponen tersebut yang jumlahnya melampaui batas, missal
meledaknya hama maka interaksinya akan terganggu dan tidak akan seimbang.
2. Komponen Biotik
a. Manusia
Di dalam agroekosistem ataupun ekosistem buatan manusia yang
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, manusia sangat berperan
penting di dalamnya, mulai dari persiapan awal sampai dengan pasca panen,
dan bahkan sebagai konsumen hasil produksi.
b. Biota tanah
Di dalam tanah, berdasarkan berdasarkan fungsinya dalam budidaya
pertanian secara umum terdapat dua golongan jasad hayati tanah, yaitu yang
mrnguntungkan dan yang merugikan. Berdasarkan spesifikasi fungsinya,
jasad hayati tanah digolongkan menjadi:
Jasad fungsional, contohnya bakteri nitromonas dan nitrobacter yang
berperan dalam nitrifikasi, bakteri rhizobium alam fiksasi N-bebas,
endomikoriza dalam penyediaan dan penyerapan hara P oleh tanaman.
Jasad nonfungsional, contohnya media decomposer bahan organic.
c. Hewan ternak
Kehadiran hewan ternak seperti kerbau juga dapat menjadi komponen
yang menguntungkan dalam pertanian, terutama dalam tipe persawahan.
Kerbau dapat digunakan sebagai alat bantu manusia dalam membajak sawah
secara tradisional.
d. Pathogen
Pathogen dapat diartikan sebagai mikroorganisme yang menyebabkan
timbulnya penyakit pada tanaman.
e. Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki, atau tumbuhan yang
umbuh tidak sesuai dengan tempatnya. Kehadiran gulma pada suatu lahan
pertanian menyebabkan berbagai kerugian yakni menurunkan ngka hasil,
menurunkan mutu hasil, menjadi inang alternative hama atau patogen,
mempersulitpengolahan dan mempertinggi biaya produksi, dapat
menumbuhkan zat beracun dari golongan fenol bagi umbuhan lainnya, dan
mengurangi debit dan kualitas air.
f. Hama
Ada beberapa hama yang dikenal dalam pertanian yakni Nematoda
parasitic tanaman, serangga hama tanaman, tungau, siput, hewan vertebrata,
satwa liar dan burung.
Adapun alat dan bahan yang dilakukan dalam fieldtrip yang mencakup 3
aspek yaitu BP, HPT dan TANAH yaitu :
Alat :
1. Alat tulis : Untuk mencatat hasil pengamatan dan wawancara
2. Form wawancara : Berisi daftar pertanyaan untuk narasumber
3. Pit fall : Perangkap untuk hama
4. Yellow sticky trap : Perangkap untuk hama
5. Pan trap : Perangkap untuk hama
6. Sweep net : Menangkap hama secara langsung (manual)
7. Kamera : Mendokumentasikan hasil pengamatan dan wawancara
8. Ring sampel : Mengambil sampel tanah utuh
9. Cetok : Memisahkan dan mengambil sampel tanah utuh
10. Plastik : Wadah sampel tanah utuh.
11. Frame : Sebagai batas pengukuran biodiversitas
12. Fial film : Wadah sampel tanah untuk pengukuran pH
13. Amplop coklat : Wadah seresah dan ranting yang jatuh.
14. Oven : Menghilangkan kadar air tanah
15. Timbangan : Menghitung massa sampel tanah.
16. Kertas label : Memberi label pada sampel tanah
17. Botol piknometer : Wadah tanah kering dari oven
Bahan :
1. Sampel tanah utuh : Bahan perlakuan di laboratorium
2. Pohon jambu Kristal : Bahan pengamatan intensitas penyakit
3. Air dan detergen : Bahan untuk perangkap serangga
4. Aseton : Membilas botol piknometer
Letakkan ring contoh tegak lurus dengan tanah, tekan hingga sebagian masuk ke
dalam tanah, letakkan ring contoh lain di atas ring contoh dan tekan hingga
sebagian ring master masuk ke dalam tanah
Gali tanah di sekeliling ring contoh dengan sekop, ambil tanah beserta ring
contoh.
Pisahkan ring pertama dan kedua dengan hati-hati, kemudian potong kelebihan
tanah yang berada di bagian atas dan bawah ring dengan hati-hati sampai rata.
Tutup bagian atas dan bawah tanah beserta tabung untuk menghindari contoh
tanah terganggu selama penyimpanan dan perjalanan
Cuci botol piknometer dengan sabun dan bilas dengan air suling, kemudian
keringkan dengan cara membilas botol dengan aceton.
Tambahkan air kurang lebih setengah, sambil membilas tanah yang ada di
leher labu
Dinginkan labu sampai suhu ruangan, tambahkan air dingin yang telah
dididihkan sampai batas volume
1. Pengamatan Hama
Menyiapkan alat (pitfall, yellow sticky trap, pan trap, dan sweep net)
Mengamati hama dan serangga yang terjebak di yellow sticky trap, pit fall, dan
pan trap
Meletakkan hama dan serangga yang didapat dari alat penangkap hama dan
serangga pada kertas HVS putih.
Menghitung jumlah daun yang terkena penyakit karat daun dan embun jelaga
Menarik kesimpulan
Aspek BP
Menentukan Narasumber
Sweepnet
Titik Jumlah Individu Presentase
Pengamatan Hama Musuh Serangga Total Hama Musuh Serangga
Sampel Alami Lain Alami Lain
4 0 2 3 5 0% 40% 60%
b. Segitiga Faktorial
(Pantrap)
(Sweepnet)
Titik 1
( )
= 100%
74
= 100%
1680
= 4.4 %
( )
= 100%
44
= 100%
1680
= 2.6 %
Titik 2
( )
= 100%
45
= 100%
2492
= 1.8 %
( )
= 100%
78
= 100%
2492
= 3.1 %
( )
= 100%
43
= 100%
2492
= 7.1 %
Titik 3
( )
= 100%
515
= 100%
4200
= 12.3 %
Titik 4
( )
= 100%
379
= 100%
9200
= 4.1 %
250
= 100%
9200
= 2.7 %
Titik 5
( )
= 100%
165
= 100%
1700
= 9.7 %
( )
= 100%
76
= 100%
1700
= 4.4 %
d. Pembahasan Umum
Pembahasan hama yang ditemukan
Pengamatan hama dan penyakit tanaman jambu (Psidium guajava L.) ini
dilakukan di desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Pengamatan dilakukan
pada 5 titik yang berbeda dengan menggunakan perangkap Yellow Sticky Trap,
Pitfall dan Pantrap pada setiap titik pengamatannya. Namun pada pengamatan
titik ke 4 ditambah dengan menggunakan sweepnet. Yellow Sticky Trap
merupakan sebuah perangkap yang dirancang untuk menarik perhatian serangga
yang terbang. Perangkap ini terbuat dari botol yang dilapisi dengan kertas
berwarna kuning dengan perekat. Sama dengan Yellow sticky trap yang dirancang
untuk hama terbang namun perangkap ini berbentuk wadah berisi detergen.
Sedangkan Pitfall adalah perangkap yang diletakkan ditanah untuk serangga yang
aktif di permukaan tanah yang berupa wadah yang berisi larutan detergen. Yang
selanjutnya adalah sweepnet perangkap yang sama untuk menangkap serangga
terbang.
Dari hasil perangkap Yellow Sticky Trap, dan Pitfall dari titik 1 sampai titik
5 diperoleh berbagai jenis hama. Diantaranya hama yang mendominasi lahan ialah
lalat buah dan kutu kebul karena jumlahnya yang banyak. Lalat buah (Bactocera
dorsalis) merupakan hama penting pada tanaman jambu biji. Lalat buah
menyerang pada buah yang sudah matang sehingga buah menjadi busuk dan
kualitasnya rendah. Pada buah yang terserang lalat buah apabila dibukan
dalamnya akan terdapat ulat atau belatung. Menurut Sutrisno (1991) Salah satu
hambatan yang paling utama dalam meningkatkan produksi tanaman jambu biji
adalah dalam peningkatan mutu buah, yaitu adanya serangan hama lalat buah
(Bactrocera dorsalis).Tingkat kerusakan dari hama lalat buah ini bahkan bisa
mencapai 90-100%. Natalia, (2006) menambahkan diperlukan cara yang tepat
dalam mengendalikan atau membasmi lalat buah ini. Sifat khas lalat buah ini
adalah meletakkan telurnya di dalam buah. Tempat peletakan telur itu ditandai
dengan adanya noda/ titik kecil hitam yang tidak terlalu jelas. Noda-noda kecil
bekas tusukan ovipositor ini merupakan gejala awal serangan lalat buah. Telur
yang menetas menghasilkan larva (belatung). Akibat gangguan larva yang
menetas dari telur tersebut, noda-noda kecil berkembang menjadi bercak coklat di
sekitarnya. Selanjutnya larva akan merusak daging buah,sehingga buah menjadi
busuk dan gugur sebelum tua/masak (sering disebut buah berulat).
Selanjutnya hama yang mendominasi lainnya ialah kutu kebul karena
hampir dari semua titik pengamatan ditemukan kutu kebul. Kutu kebul (Bemisia
pada tabaci) ini menyerang daun-daun tua, mengkolonisasi pada bagian bawah
bawah daun. Daun yang dikolonisasi oleh kutu kebul pada permukaan atasnya
akan terbentuk embun jelaga. Menurut Syukur., M dkk (2015), kerusakan
langsung berupa kerusakan disebabkan oleh bekas tusukan stiletnya, akibat
aktivitas makan tersebut tanaman akan menjadi lemah dan layu sehingga
menurunkan pertumbuhan tanaman dan hasil. Kerusakan tidak langsung berupa
akumulasi embun madu yang dihasilkan oleh kutu kebul. Embun madu
merupakan substrat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada daun dan
buah, akibatmya menurunkan efesiensi fotosintesis dan menurunkan mutu buah.
Kerusakan karena kemampuannya sebagai vektor virus tanaman, populasi kutu
kebul yang kecil sudah dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman, karena
serangga ini merupakan vektor virus tanaman.
Populasi musuh alami yang dijumpai pada lahan yang diamati sangat sedikit
dan sangat jauh apabila dibandingkan dengan populasi hama yang ada. Pada lahan
tersebut terlihat tidak adanya tanaman yang dapat digunakan sebagai habitat bagi
musuh alami. contohnya adalah tanaman refugia yang dapat berfungsi sebagai
habitat bagi musuh alami dan tempat persediaan makanan. Selain itu penggunaan
pestisida berlebihan dapat mengganggu perkembangan musuh alami sehingga
musuh alami mati. Musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan
mengatur populasi hama pada tingkat keseimbangan umum (general equilibrium
position), baik secara alamiah maupun buatan. Pemanfaatannya secara alamiah
dapat dilakukan melalui konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami,
antara lain dengan menerapkan teknik budi daya yang baik, dan menggunakan
pestisida secara bijaksana, sehingga tidak mengganggu kehidupan musuh alami.
Pemanfaatan musuh alami secara buatan dapat dilakukan dengan cara pelepasan
(augmentation) setelah dibiakkan/diperbanyak di laboratorium, introduksi, dan
kolonisasi musuh alami (Watson et al. 1976).
Sedangkan serangga lain yang ditemukan pada lahan tersebut jumlahnya
juga sangat sedikit. Contoh serangga lain yang ditemukan pada lahan tersebut
ialah mrutu dan nyamuk. Hal tersebut dapat disebabkan karena memang pada
lahan tersebut hanya didominasi oleh tanaman jambu sehingga populasi serangga
lain pada lahan tersebut sedikit.
Berdasarkan segitiga fiktorial juga dapat dilihat bahwa pada lahan tersebut
lebih mendominasi untuk serangga hama. sedangkan untuk musuh alami dan
serangga lain sangat sedikit. Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa pada lahan
jambu biji tersebut agroekosistem kurang seimbang sehingga perlu dilakukannya
perbaikan pada lahan tersebut.
Pembahasan Intensitas Penyakit
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada lahan tersebut penyakit
yang sering dijumpai pada tanaman jambu dari titik 1 sampai 5 ialah embun
jelaga, karat merah dan bercak daun. Perhitungan penyakit dilakukan dengan
menggunakan metode skoring. Dari data intensitas penyakit terbesar untuk embun
jelaga yaitu 4,4% pada titik 5. Dan paling rendah pada titik ke 1 yaitu 2,6%.
Untuk embun jelaga gejala yang timbul yaitu bercak bercak hitam pada
permukaan daun yang kemudian menebal berdebu dan tampak kotor. Penyakit ini
disebabkan oleh jamur Capnodium sp (Puslitbangbun, 2009). Jamur tersebut
menjadi patogen dikarenakan mengurangi kapasitas permukaan daun yang dapat
melakukan fotosintesis (Sinaga, 2006). Lapisan miselium yang hitam dan tebal
yang terbentuk pada permukaan daun akan mengurangi jumlah cahaya yang
masuk ke daun (Sinaga, 2006), sehingga kemampuan fotosintesis dari daun akan
mengalami penurunan akibat energi matahari yang akan digunakan sebagai bahan
pembentuk energi kimiawi berupa ATP tidak terserap optimal.
Untuk intensitas penyakit pada karat merah terbesar yaitu 12,3% pada titik
ke 5. Dan terendah pada titik ke 2 yaitu 1,8%. Penyakit karat merah disebabkan
oleh Cephaleuros spp. yang dapat menyerang berbagai bagian tanaman yaitu
daun, buah, ranting, dan batang. Namun pada tanaman jambu biji yang diamati
kebanyakan karat merah meneyerang pada daun. Menurut Misra (2004)
Cephaleuros menginfeksi daun jambu biji muda. Bercak pada daun dapat berupa
titik kecil sampai bercak yang besar; menyatu atau terpencar. Daun diinfeksi pada
bagian pada tepi, pinggir atau seringkali pada area dekat tulang daun. Kemudian
penyakit bercak daun sebesar 1,7% yang diperoleh pada titik ke 3. Gejala pada
bercak daun diawali dengan adanya nekrosis pada tepi daun. Bercak tidak
mempunyai bentuk dengan warna kuning kecoklatan bercak kemudian melebar
dengan batas tepi yang lebih tua. Pada bagian tengah bercak seperti berbentuk
lingkaran dengan warna lebih coklat tua kemerah-merahan.Bercak daun dapat
disebabkan antara lain oleh Cercosporaspp., Pestalotiopsi sp., dan Colletotrichum
sp. (Semangun 1994).
4.2.2 BP
Pada fieldtrip Manajemen Agroekosistem aspek BP dilakukan
wawancara terhadap produsen atau petani pada lahan tersebut. Dengan
narasumber Bapak Rahmat sebagai direktur UD. Bumi Aji Sejahtera yang
notabenenya sebagai Badan Usaha Komoditas Jambu jenis Jambu Kristal,
awal proses produksi benih didapat dari ATM-RUI yang benihnya berasal
dari Taiwan. Sistem penanaman pada lahan tersebut adalah monokultur,
dilakukan polikultur hanya sebagai pemanfaatan lahan kosong, agar tidak
ditumbuhi gulma. Jumlah benih yang ditanam adalah 90-94 per 1000 m2
dalam luasan lahan 4 ha dengan jarak tanam 2,5 x 2.5 m atau 3 x 3 m. Pada
saat proses produksi penggunaan pupuk juga diperhatikan, hal ini terbukti
narasumber menyebutkan bahwa pemberian pupuk dilakukan sesuai
dengan kebutuhan tanaman atau bergantung pada masa pertumbuhan
tanaman, mengenai irigasi yang beliau gunakan adalah irigasi campuran,
beliau mengungkapkan bahwa irigasi yang digunakan bergantung pada
musim, semisal pada musim hujan maka digunakan irigasi tadah hujan,
dan pada musim kemarau dilakukan irigasi permukaan yang teraliri dari
sungai, Bapak Rahmat juga memelihara eceng gondok, dikarenakan fungsi
tanaman tersebut yang bisa digunakan sebagai filter aliran irigasi dari
kandungan logam berbahaya. Pada saat panen dilakukan dengan cara petik
manual dengan hasil 90 kg per minggu per 1000 m2 dengan harga jual
15ribu per kilogramnya.
Narasumber mengungkapkan permasalahan awal yang dialaminya
seperti kekurangan modal finansial dan kekurangan modal ilmu, tenaga
kerja pada saat awal karier, tinggi hama seperti lalat buah akan tetapi tidak
melebihi ambang batas ekonomi. Narasumber juga menyebutkan bahwa
mereka tidak melakukan rotasi tanaman, dan alasan bahwa memilih jambu
kristal sebagai komoditas produksinya dikarenakan peluang bisnis yang
cukup besar, Potensi peluang bisnis jambu Kristal masih sangat besar, hal
ini dikarenakan permintaannya yang tinggi sedangkan pasokannya masih
rendah.
Dari wawancara tersebut dapat dianalisis mengenai komponen
manajemen agroekosistem yaitu mengenai productivity dimana
produktivitas dari komoditas ini terbilang cukup baik, hal ini karena jambu
kristal yang panen tidak bergantung pada musim, setiap seminggu bisa
menghasilkan produk 90 kg, dengan harga jual 15ribu. Dilihat dari aspek
stabilitas, badan usaha ini terbilang cukup stabil dan manajemen
agroekosistemnya pun stabil, hal ini terlihat dari perawatan pohon jambu
dengan peremajaan pohon, dilakukan pemangkasan sehingga pohon tetap
berproduksi, dan dilakukan pula pengendalian hama terpadu,
menggunakan pestisida organik. Mengenai komponen kemerataan atau
keseragamaan hasil produksi terbilang kurang, hal ini karena kemerataan
produksi disalurkan hanya pada daerah- daerah tertentu. Sustainability dari
badan usaha ini terbilang cukup baik, hal ini terlihat dari usaha produsen
untuk tetap bercocok tanam jambu kristal, dan tidak melakukan
pemberantasan hama secara brutal, akan tetapi dilihat dari segi ambang
batas ekonominya.
4.2.3 Tanah
A. Data dan Interpretasi Data
Tabel Hasil Pengamatan Lapangan
No Pengamatan Hasil
1 Penggunaan lahan Perkebunan
Jenis tanaman Jambu kristal yang ditumpangsarikan
2
dengan tanaman jeruk
3 Berat basah seresah -
4 Berat basah kascing 2 gram
Berat basah tanaman -
5
bawah
Gejala defisiensi Tidak ada
6
tanaman
7 Erosi Percik
8 Berat kering seresah 3,2 gr
9 Berat kering kascing 0.4 gr
Berat kering tanaman 13 gr
10
bawah
11 Berat isi 0.81 cm3/gr
12 Berat jenis 3,16
13 Porositas 25 %
14 Ph 6,7
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa manajemen agroekosistem dari
aspek tanah pada lahan ini cukup baik. Jika dilihat dari penggunaan lahan sudah
ada sistem tanam dengan tumpang sari dimana menurut Santoso (1990)
keuntungan dari sistem tanam tumpangsari mengurangi resiko kerugian harga
(sosial ekonomi), menekan biaya operasional, memperbaiki sifat tanah. Selain itu,
sedikit kascing ditemukan dilahan ini sehingga aktifitas cacing sebagai
penggembur tanah dipastikan ada. Gejala erosi tidak ditemukan dan erosi pada
lahan hanya erosi percik saja jika dilihat dari segi sifat fisik berat isi, berat jenis
tanah disini optimal dimana berat isi dan berat jenis ini akan mempengaruhi
porositas tanah. Menurut Prabowo (2007) proporsi tanah yang seimbang yaitu
45% mineral, 5% bahan organik dan 50% air dan udara. Porositas tanah
berhubungan dengan ruang pori dimana didalam ruang pori ini yang berguna
untuk perakaran tanaman serta ruang untuk tanah dan udara sehingga bisa kita
lihat bahwa tanah padalahan ini cukup baik karena ruang pori yang tersedia cukup
tinggi.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Maredia, K.M., Dakouo, D., and Mota Sanchez, D. 2003. Integrated Pest
Management In The Glibal Area. USA : CABI Publishing.
Misra AK. 2004. Guava diseases: their symptoms, causes and management. Di
dalam: Naqvi SAMH, editor. Diseases of Fruits and Vegetables Diagnosis
and Management Volume II. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Hlm
81-119
Untung, K., 1993. Konsep Pengendalian Hama terpadu. Andi ofset. Yogyakarta.
150 h
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management:
a self-instructuion manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.