Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan data Depertemen kesehatn (Depkes) pada periode Juli-
September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif ditanah air
telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang (Media Indonesia, 2006).
HIV/AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum
ditemukan obat yang dapat memulihkannya hingga saat ini. Menderota
HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan
psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan
disekeliling penderita.
Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya.
Jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada
pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS. Modulasi
respon imun penderitan HIV/AIDS akan menurun secara signifikan, seperti
aktivitas APC (makrofag); ThI (CD4); IFN; IL-2; Imunoglobulin A, G, E,
dan anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan
sejumlah CD4 hingga mencapai 180 sel/l per tahun.
Pada umumnya penanganan pasien HIV menurut konsep
psikoneuroimunologis, stimulus yang akan melalui sel astrosit pada cortical
dan amigdala pada sistem limbik berefek pada hipotalamus, sedangkan
hipofisis akan menghasilkan CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF
memacu mengeluarkan ACTH (Adrenal Corticotropi Hormone) untuk
mengetahui kelenjar korteks adrenal agar menghasilkan kortisol. Kortisol ini
bersifat Immunosupressive terutama pada sel zona fasikulata. Apabila stres
yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan
kortisol dalam jumlah besar sengga dapat menekan sistem imun (Apasou dan
Sitkorsky, 1999), yang meliputi aktivita APC (makrofag); Th-1 (CD4); sel
plsa; INF; il-2; IgM, dean antobodi-HIV (Ader, 2001).
Perawat merupakan faktor yang berperan penting dalam pengelolaan
stres, khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang

1|Keperawatan Medikal Bedah II


konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya. Selain itu juga
perawat berperan dalam pemberian dukungan sosial berupa dukungan
emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996; Folkam dan
Lazarus, 1988).
Salah satu metode dalam penerapan teknologi ini adalah model asuhan
keperawatan. Pendekatan yang digunakan adalah menggunakan strategi
koping dan dukungan sosial yang bertujuan untuk mempercepat respon
adaptif pada pasien terinfeksi HIV, meliputi modulasi respons imun (Ader,
1991; Setyawan, 1996; Putra, 1999), respons psikologis dan respons sosial
(Steward, 1997). Dengan demikian penelitian bidang imunologi memiliki 4
variabel yakni, fisik, kima, psikis, dan sosial dapat membuka nuansa baru
dalam bidang keperawatan dalam mengembangkan model pendekatan asuhan
keperawatan yang berdasarkan pada paradigma psikoneuroimunologi
terhadap pasien terinfeksi HIV (Nursalam, 2005).

B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa Respons Spesifikasi Penderita HIV/AIDS secara Biologis ?
2. Seperti apa Respons Spesifikasi Penderita HIV/AIDS secara Adaptif
Psikososial ?
3. Seperti apa Respons Spesifikasi Penderita HIV/AIDS secara Spiritual ?
4. Bagaimana Isu Etik dan Legal pada Penderita HIV/AIDS ?
5. Seperti apa Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS ?
6. Apa saja Konseling VCT pada Klien HIV/AIDS ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami tentang Konsep Asuhan Keperawatan
pada Klien HIV/AIDS
2. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan memperbaiki dari bahasan makalah
ini dan menguasai minimal salah satu pengetahuan pada rumusan masalah
yang kelompok sajikan untuk seminar kali ini.

2|Keperawatan Medikal Bedah II


D. Sistematika Penulisan
Makalh ini tersusun dengan sistematika dari tiga bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan yang tersiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, sistematika penulisan.
Bab II : Pembahasan yang terdiri dari konsep asuhan keperawatan pada
klien dengan HIV/AIDS.
Bab III : Penutupan berupa kesimpulan dan saran.

3|Keperawatan Medikal Bedah II


BAB II

PEMBAHASAN

A. Respons spesifikasi pada penderita HIV/AIDS secara biologis


1. Respons biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara secara kuantitas
maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langusng maupun
tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek
toksik akan menghabat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung,
lapisan luar protein HIV yang disebut sampu gp 120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian mengabambat aktivitas sel
yang mempresentaikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui
reseptor CD4+ dan ko-resptornya, bagian sampul tersebut melakukan fusi
dengan membran sel dan bagian intinya masuk kedalam sel membran.
Pada bagian inti terdapat enzim reverse treanscriptase yang terdiri atas
DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA,
enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim
ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian
membentuk kopi DNA kedua kedua dari DNA pertama yang tersusun
sebagai cetakan (Stewart, 1997; Barawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka
akan masuk keinti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA kopi virus
disisipkan dalan DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit
CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4
mengalami sitolisis (Stewart,1997).
Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia diotak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar
limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans dikulit. Efek infeksi
pada sel mikroglia diotak adalah ensefalopati dan pada sel epitel usus
adalah diare yang kronis (Stewart, 1997).

4|Keperawatan Medikal Bedah II


Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut
biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak
mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak
memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang
perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya
dari 1000/l sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/ setelat
terinfeksi 2-10 tahun (Stewart, 1997).

B. Respons spesifikasi pada penderita HIV/AIDS secara adaptif psikososial


1. Respons adaptif sosial
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 hal,
yaitu:
a. Stigma sosial dapat memperparah depresi dan pendangan yang negatif
tentang harga diri pasien.
b. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi Hiv, misalnya penolakan
bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika
akan berakibat terhadap kurangnya dukungan sosial, hal ini akan
memperparah stres pasien.
c. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai
penolakan, marah-marah, tawar-menawar, dan depresi berakibat
terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien
akhirnya mengonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stres
yang dialami.
Respons adaptif sosial dikembangkan peneliti berdasarkan konsep dari
Pearlin dan Aneshense (1986) meliputi 3 hal, yakni :
a. Emosi.
b. Cemas.
c. Interaksi sosial.
2. Respons adaptif psikologis (penerimaan diri)
Apabila seseorang sudah dinyatakan HIV positif tentu secara otomatis
bukanlah hak yang dapat diterima. Seseorang akan merasa bahwa dirinya

5|Keperawatan Medikal Bedah II


tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah dan muncul
perasaan lainnya. Adapun faktor-faktor psikologi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup adalah perasaan positif dan negatif, berfikir,
belajar, memori, konsentrasi, harga diri, citra tubuh dan penampilan.
Kualitas hiduo terdiri dari sebuah pendekatan untuk meningkatkan
kesenangan atau keintervensi psikologi yang positif (Frisch, 2006).
Pengalaman suatu penyakitr yang membangkitkan berbagai perasaan
dan reaksi stres, frustasi, kecemasaan, kemarahan, penyangkalan, rasa
malu, berduka dan ketidakpastian menuju pada adaptasi terhadap
penyakit.
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV (Gramer Stewart, 1997) adalah
seperti terlihat pada tabel berikut :
Reaksi psikologi pasien HIV
Hal-hal yang biasa
No Reaksi Proses psikologis
dijumpai
Shock (kaget, Merasa bersalah, marah, Rasa takut, hilang
goncangan tidak berdaya akal, frustasi, rasa
1.
batin) sedih, susah, acting
out
Mengucilkan Merasa cacat dan tidak Khawatir
2. diri berguna, menutup diri menginfeksi orang
lain, murung
Membuka Ingin tahu reaksi orang Penolakan, stres,
3. status secara lain, penglihatan stres, konfontasi
terbatas ingin dicintai
Mencari orang Berbagi rasa, Ketergantungan,
lain yang HIV penengenalan, campur tangan,
4. positif kepercayaan, penguatan, tidak percaya pada
dukungan sosial pemegang rahasia
dirinya
Status khusus Perubahan keterasingan Ketergantungan,
5.
menjadi manfaat khusus, dikotomi, kita dan

6|Keperawatan Medikal Bedah II


perbedaan menjadi hal mereka (semua
yang istimewa, dibutuhkan orang dilihat sebagai
oleh yang lainnya terinfeksi HIV dan
direspon seperti itu),
over identification
Prilaku Komitmen dan kesatuan Pemadaman, reaksi
mementingkan kelompok, kepuasan dan kompensasi
6.
orang lain memberi dan berbagi, yang berlebihan
persaan sebagai kelompok
Penerimaan Integrasi status positif HIV Apatis, dan sulit
dengan identitas diri, berubah
keseimbangan antara
7. kepentingan orang lain
dengan diri sendiri, bisa
menyebutkan kondisi
seseorang
Sumber : Stewart, 1997

Tidak semua orang dengan HIV mengalami fase-fase yang sama


seperti itu, tetapi fase-fase tersebut penting dalam menelaah kemungkinan
responyang timbul terhadap infeksi HIV. Sewaktu-waktu timbul
perubahan yang memerlukan penanganan, dan pada waktu yang lain
mungkin timbul reaksi dalam arti tidak membutuhkan atau menolak
pengibatan dan nasehat medis yang diperlukan, atau berperilaku yang
beresiko terhadap dirinya atau pasangannya.
3. Respons psikologis (penerimaan diri) terhadap penyakit
Kubler Ross (1974) menguraikan lima tahapan reaksi emosi
seseorang terhadap penyakit, yaitu :
a. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama, pasien menunjukkan karakteistik prilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna
rasional dan dampak emosional dari diagnosis. Pengingkaran ini
dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau

7|Keperawatan Medikal Bedah II


sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat
dinilai dari ucapan pasien saya disini istirahat. Pengingkaran dapt
berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyekasikan pada apa
yang diterima bahwa alat yang tidak berfungi dengan baik, kesalahan
laopran laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan
perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan. Pengingkaran ini merupakan
buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran
biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain
dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarhan. Prilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien
akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada
disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri
dan kemudian timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas
kemarahan adalah perawat. Semua tindakan perawat menjadi serba
salah. Pasien menjadi banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak
bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat
marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian, dan iri hati. Jika
keluarga mengunjungi, mereka menunjukan sikap menolak sehingga
mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini menyebabkan
bentuk keagresifan (Hudak dan Gallo, 1996).
c. Sikap tawar-menawar (bargaining)
Setelah fase marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan
merasakan bahwa protesnya tidak berarti. Pasien mulai timbul rasa
bersalah dan mulai membina hubungan dengan Tuhan. Pasien
berdoa, meninta dan berjanji pada tuhan, tindakan ini merupakan ciri
yang jelas, yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila
jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).

8|Keperawatan Medikal Bedah II


d. Depresi
Selama fase ini pasien bersedih/berkabung mengesampingkan rasa
marah dan sikap pertahanannya, serta mulai mengatsi kehilangan
secara konstruktif. Pasien mencoba prilaku baru yang konsisten
dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak
berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian, dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Prilaku
fase ini termasuk didalamnya adalah ketakutan akan masa depan,
bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung
pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).
e. Penerimaan dan partisipasi
Seiring dengan belalunya waktu pasien mulaai dapat beradaptasi,
kepedihan yang menyakitkan berkurang, dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan karena
penyakitnya dan sebagai seorang yang cacat. Pasien mampu
bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan
dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak dan Gallo, 1996).

C. Respons spesifikasi pada penderita HIV/AIDS secara spiritual


Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien
terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000), sehingga PHIV akan
dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mempu
mengabil hikmah. Asuhan keperawatan yang dapat diberikan adalah :
1. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan
sosial. Orang bijank mengatakan hidup tanpa harapan akan membuat
orang putus asa dan bunuh diri. Perawat harus meyakinkan kepada
pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, akan memberikan ketenangan
dan keyakinan pasien untuk bertobat.

9|Keperawatan Medikal Bedah II


2. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan
kepada pasien untuk selalu berfikir positif terhadap semua cobaan yang
dialaminya. Pasien untuk selalu berpikiran positif terhadap semua cobaan
yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasen, pasti ada
maksud dari sang pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih
mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan jalan melakukan ibadah
secara terus-menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu
ketenangan selama sakit.
3. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhak dan ketabahan hati
dala menghadpi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat
akan tabah dalam menghadapi cobaan. Individu tesebut biasanya
mempunyai keteguhan hati dalam menentukan hidupnya.
Ketabhan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat
menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan mengutip
kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa tuhan tidak akan memberikan
cobaan kepada umat-Nya, melebihi kemampuannya (Al Baqarah, 2:286).
Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti
mengandung hikmah yang sangat penting dalam kehidupannya.
Pada respons spiritual pasien HIV, penggunaan strategi koping
meningkatkan harapan dan ketabahan pasien serta memacu pasien untuk
pandai mengambil hikmah.

D. Isu Etik dan Legal pada Penderita HIV/AIDS


1. Konsep etik dan hukum dalam asuhan keperawatan pada pasien
HIV/AIDS
Etik berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan yang
baik atau yang seharusnya dilakukan. Dalam organisasi profesi kesehatan
pedoman baik atau buruk dalam melakukan tugas profesi telah
dirumuskan dalam bentuk kode etik yang penyusunannya mengacu pada
sistem etik dan asas etik yang ada. Meskipun terdapat perbedaan aliran

10 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
dan pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam tata nilai kehidupan
masyarakat secara global, tetapi dasar etik dibidang kesehatan,
Kesehatan klien senantiasa akan saya utamakan tetap merupakan asas
yang tidak pernah berubah. Asas dasar tersebut dijabarkan menjadi 6 asas
etik, yaitu :
a. Asas Menghormati Otonomi Klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa
yang dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi yang
cukup.
b. Asas Kejujuran
Tenaga kesehatan hendaknya mengerjakan yang sebenarnya tentang
apa yang terjadi, apa yang akan dilakukan serta risiko yang dapat
terjadi.
c. Asas Tidak Merugikan
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan
dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien secara
mengupayakan risiko yang paling minimal atas tindakan yang
dilakukan.
d. Asas Manfaat
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi
klien untuk mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.
e. Asas Kerahasiaan
Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.
f. Asas Keadilan
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial
ekonomi, pendidikan, jender, agama, dan lain sebagainya (Hariadi,
2004).
Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang, masyarakat, nasional, dan
internasiaonal, dalam menghadapi HIV/AIDS adalah :
a. Empati
Ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh
simpati, kasih sayang dan kesedihan selain menolong.

11 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
b. Solidaritas
Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan ketidak
adilan yang diakibatkan HIV/AIDS.
c. Tanggung jawab
Bertanggung jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan
pada ODHA (Depkes RI, 2003).
2. Isu etik dan hukum pada konseling pre-post tes HIV
a. Konseling pre-post tes HIV
Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus
ikhlas dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan
keahliannya untuk membatu klien mempelajari dirinya, mengenali,
dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang
diberikan lingkungan. Voluntary counseling and testing (VCT) atau
koseling dan tes sukarela merupakan kegiatan konseling yang bersifat
sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah
dilaboratorium. Tes HIV consent yaitu surat persetujuan setelah
pendapatkan penjelasan yang dilengkapi dan benar. Pelayanan VCT
harus dilakukan oleh petugas yang sangat relatif dan memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman dan HIV/AIDS. Konseling
dilakukan oleh konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat
berprofesi perawat, pekerjaan sosial, dokter, psikolog, psikiater, atau
profesi lainnya.
b. Informed consent untuk tes HIV/AIDS
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan apakah seseorang sudah
positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya
antibodi HIV didalam sampel darahnya.
Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui
secara pasti status kesehatan dirinya. Terutama menyakut risiko dari
perilakunya selama ini. Tes HIV haru bersifat :
1) Sukarela : bahwa seseorang yang melakukan tes Hiv haruslah
bedasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan/tekanan
orang lain ini juga berarti bahwa dirinya setuju untuk di tes

12 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
seltelah mengetahui hal-hali apa d=saja yang tercakup dalam tes
itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes HIV, serta apa saja
implikasi dari hasil positif ataupun negatif tersebut.
2) Rahasia : apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif)
hasilnya hanya bolhe diberitahukan lansung kepada orang yang
bersangkutan.
3) Tidak boleh dilakukan kepada siapapun, baik orang tua/pasangan,
atasan atau siapapun.
c. Aspek etik dan legal tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau
keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut (Permenkes, 1989). Dasar dari
Informed consent yaitu :
1) Asas mengormati otonomi pasien setelah mendaptkan informasi
yang memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang
akan dilakukan terhadapnya.
2) Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasa 16 : dalam
melaksanakan kewenangan perawat wajib menyampaikan
informasi dan meminta persetujuan tindakn yang akan dilakukan.
3) PP No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1 :
bagi tegana keshatan dalm menjalankan tugas wajib memberikan
informasi dan meminta persetujuan.
4) UU No. 23 tahun 1992 tentang tenaga kesehatn pasal 15 ayat 2 :
tindakan medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan
yang bersangkutan atau keluarga.

Semua tes HIV harus mendapat Informed consent dari klien setelah
klien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi
hasil tes positif atau negatif yang berupa konseling prates. Dalam
menjalankan fungsi perawa sebagai advokat bagi klie, sedangkan
tugas perawat dalam Informed consent adalah memastikan bahwa
Informed consent telah meliputi tiga aspek penting yaitu :

13 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
1) Persetujuan harus diberikan secara sukarela.
2) Persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai
kapasitas dan kemampuan untuk memahami.
3) Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang
cukup sebagai pertimbangan untuk membuat keputusan.

Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya
persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau
tindakan perawatan lain (Kelly, 1997 dalam Chittty, 1993).
Persetujuan juga sebaiknya dalam bentuk tertulis, karena pesetujuan
secara verbal memungkinkan pasien untuk menyangkal persetujuan
yang telah diberikannya dikemudian hari. Depkes Afrika pada Bulan
Desember 1999 mengeluarkan kebijankan tentang perkecualian
dimana Informed consent untuk tes HIV tidak diperlukan, yaitu untuk
skrening HIV pada darah pendonor dimana darah ini tenpa nama.
Selain itu Informed consent juga tidak diperlukan pada memeriksaan
tes inisial HIV (Rapid Test) pada kasus bila ada tenaga kesehatan
yang terpapar darah klien dicurugai terinfeksi HIV, sementara klien
menolak dilakukan tes HIV dan terdapat sampel darah.

d. Kerahasian status HIV


Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik
asas kerahasiaan yaitu kerahasian klien harus dihormati meskipun
klien telah meninggal. Untuk itu tenaga kesehatan merahasiakan
apapun yang berhubungan dengan klien. Hak klien atas kerahasiaan
ini juga dilindungi oleh hukum sehigga apabila kita melanggarnya
bisa terkena sanksi hukum.
Terdapat perkecualian dimana rahasia pasien HIV/AIDS bisa dibuka
yaitu bila mana :
1) Berhubungan dengan administrasi (Steward Graeme, 1997).
2) Bila kita diminta keterangan dioersidangan (Steward Graeme,
1997).

14 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
3) Informasi bisa diberikan pada orang yang merawat atau
memberikan konseling dan informasi diberikan dengan tujuan
merawat, mengobati, atau memberikan konseling pada klien
(Steward Graeme, 1997).
4) Informasi diberikan kepada Depkes. Berdasarkan Instruksi
Menkes no. 72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban
melaporkan penderita dengan gejala AIDS : petugas kesehatan
yang mengetahui atau menemukan seseorang dengan gejala AIDS
wajib melaporkan kepada sarana pelayanan kesehatan yang
diteruskan pada Dirjen P2M dan diteruskan ke Depkes. Hal ini
penting untuk menjaga kepentingan masyarakat banyak dari
tertulat HIV/AIDS (Depkes RI, 2003).
5) Informasi diberikan kepada pertner seks/keluaraga yang merawat
klien dan berisiko terinfrksi oleh klien karena klien tidak mau
menginformasikan pada keluarga/pasangan seksnya dan
melakukan hubungan seksual yang aman. Hal ini berkaitan dengan
tugas tenaga kesehatn untuk melindungi masyarakat, keluarga dan
orang terdekat klien dari bahaya tertular HIV. Dalam hal ini,
petugas kesehatan boleh membuka status HIV pasien hanya jika
petugas mengidentifikasi keluarga/partner seks klien berisiko
tinggi tertular, pasien menolak memberi tahu pasangannya atau
melakuakn hubungan seks yang aman, pasien telah diberikan
konseling tentang pentingnya memberitahu pasangan/keluarganya
dan melakukan hubungan seks yang aman, tenaga kesehatan telah
memberitahu klien bahwa klien bekewajiban melindungi orang
lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien tetap menolak
memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status
penyakitnya (Steward Graeme, 1997).
e. Pekerjaan
ODHA mempunyai hak yang sama dalam pekerjaan karena ODHA
yang masih berstatus HIV bisa hidup produktif seperti orang normal.
Hingga saat ini, ODHA masih mengalami banyak diskriminasi

15 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
ditempat kerja sehingga mereka di PHK atau tidak diterima bekerja.
Untuk melindungi hak ODHA ini, maka telah disepakati bahwa tes
skrining HIV tidak boleh menjadi persyaratan untuk masuk.bekerja
disuatu perusahaan/kantor. Selain itu, untuk menghindari diskriminasi
tersebut, SADC (South African Medical Council) mengelurakan the
code of good practice sebagai pedoman bagi perusahaan dan para
pekerja tentang bagaimana mengelola ODHA ditempat kerja. Tujuan
pedoman ini meliputi :
1) Melindungi hak ODHA untuk tidak diperlakukan secara
diskriminatif.
2) Melindungi hak ODHA atas kerahasiaan dan privasi.
3) Melindungi hak ODHA atas keselamatan kerja.
4) Melindungi hak ODHA atas imbalam yang adil sesuai hasil
kerjanya.
f. Stigma dan diskriminasi
Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk
moral/perilakunya sehingga mendapatkan penyakit tersebut. Orang-
orang yang distigma biasanya dianggap memalukan untuk alasan
tertentu dan segai akibatnya mereka dipermalukan, dihindari,
didiskredirkan, ditolak, dan ditahan. Oenelitian yang dilakukan oleh
Kristin (2005) di kalimantan selatan dan Cipto (2006) di Jember Jawa
Timur tentang pengaruh pendidikan kesehatn terhadap pengetahuan
dan sikap siswa mengenai stigma pada orang dengan HIV/AIDS
menunjukan bahwa 72% orang yang berpendidikan cukup (SMU)
kurang menerima ODHA dan hanya 5% yang cukup menerima.
Faktor yang berhubungan dengan prilaku menyimpang seperti seks
semsama jenis, penggunanaan oabt terlarang, seks bebas, serta HIV
diakibatkan oleh kesalahan moral sehingga patut mendapatkan
hukuman (Kristina, 2005 dan Cipto, 2006).
Diskriminasi didefinisikan UNAIDS sebagai tindakan yang
disebabkan perbedaan, menghakimi orang berdasarkan status HIV
mereka baik yang pasti atau yang diperkirakan. Diskriminasi dapat

16 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
terjadi dibidang kesehatan, kerahasiaan, kebebasan, keamanan pribadi,
perilaku kejam, penghinaan atau perlakuan kasar, pekerjaa,
pendidikan, keluarga, dan hak kepemilikan maupun hak untuk
berkumpul.
ODHA mengahadapi diskriminasi dimana saja diberbagai negara hal
ini berdampak pada kualitas hidup mereka. Membiarkan diskriminasi
akan merugikan upaya penanggulangan infeksi HIV/AIDS.
g. Persetujuan untuk berpartisipasi dalam riset kesehatan
Norma etik dalam riset biomedis berdasarkan pada empat prinsip
yaitu autonomy, beneficience, nonmaleficience, and justice
(Declaration of Helsinki, 1975). Dalam kaitannya dengan HIV, pasien
sebagai obyek riset berhak atas informed concent sebelum mereka
berpartisipasi dalam riset. Partisipasi seseorang dalam riset harus
diberikan secara sukarela dan berdasarkan pengetahuan tentang risiko
dan keuntungan berpartisipasi.

E. Asuhan Keperawatan HIV/AIDS


1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Dahulu :
Pasien memiliki riwata melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang positif mengidap HIV/AIDS, pasangan seksual
multiple, aktivitas seksual yang tidak terlindungi, seks anal,
homoseksual, penggunaan kondom yang tidak konsisten,
pengunaan pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan
tehadap virus pada wanita yang terpajan karena peningkatan
kekeringan/friabilitas vagina), pemakaian obat-obatan IV dengan
jarum suntik yang bergantian, riwayat menjalani transfusi darah
berulang, dan mengidap penyakit defesiensi imun.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap
aktivitas biasanya, sulit tidur, merasa tidak berdaya, putus asa,

17 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
tidak berguna, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri, depresi, nyeri
panggul, rasa terbakar saat miksi, diare intermitten, terus-menerus
yang disertai/tanpa kram abdominal, tidak nafsu makan,
mual/muntah, rasa sakit/tidak nyaman pada bagian oral, nyeri
retrosternal saat menelan, pusing, sakit kepala, tidak mampu
mengingat sesuatu, konsentrasi menurun, tidak merasakan
perubahan posisi/getaran, kekuatan otot menurun, ketajaman
penglihatan menurun, kesemutan pada ekstremitas, nyeri, sakit,
dan rasa terbakar pada kaki, nyeri dada pleuritis, nafas pendek,
sering batuk berulang, sering demam berulang, berkeringat
malam, takut mengungkapkan pada orang lain dan takut ditolak
lingkungan, merasa kesepian/isolasi, menurunnya libido dan
terlalu sakit untuk melakukan hubungan seksual.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat HIV/AIDS pada keluarga, kehamilan keluarga dengan
HIV/AIDS, keluarga pengguna obat-obatan terlarang.
b. Pengkajian Fisik
1) Aktivitas dan Istirahat
Massa otot menurun, terjadi respon fisiologis terhadap aktivitas
seperti perubahan pada tekanan darah, frekuensi denyut jantung,
dan pernafasan.
2) Sirkulasi
Takikardi, perubahan tekanan darah postural, penurunan volume
nadi perifer, pucat/sianosis, kapillary refill time meningkat.
3) Integritas Ego
Perilaku menarik diri, mengingkari, depresi, ekspresi takut,
perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis, kontak mata
kurang, gagal menepati janji atau banyak janji.
4) Eliminasi
Diare intermitten, terus menerus dengan/tanpa nyeri tekan
abdomen, lesi/abses rektal/perianal, feses encer dan/tanpa disertai

18 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
mukus atau darah, diare pekat, perubahan jumlah, warna, dan
karakteristik urine.
5) Makanan/Cairan
Adanya bising usus hiperaktif; penurunan berat badan: parawakan
kurus, menurunnya lemak subkutan/massa otot; turgor kulit buruk;
lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan
warna; kurangnya kebersihan gigi, adanya gigi yang tanggal;
edema.
6) Hygine
Penampilan tidak rapi, kekurangan dalam aktivitas perawatan diri.
7) Neurosensori
Perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental
sampai dimensia, lupa, konsentrasi buruk, kesadaran menurun,
apatis, retardasi psikomotor/respon melambat. Ide paranoid,
ansietas berkembang bebas, harapan yang tidak realistis. Timbul
refleks tidak normal, menurunnya kekuatan otot, gaya berjalan
ataksia. Tremor pada motorik kasar/halus, menurunnya motorik
fokalis, hemiparase, kejang Hemoragi retina dan eksudat (renitis
CMV).
8) Nyeri
Pembengkakan sendi, nyeri tekan, penurunan rentang gerak,
perubahan gaya berjalan/pincang, gerak otot melindungi yang
sakit.
9) Penapasan
Takipnea, distress pernafasan, perubahan bunyi nafas/bunyi nafas
adventisius, batuk (mulai sedang sampai parah)
produktif/nonproduktif, sputum kuning (pada pneumonia yang
menghasilkan sputum).
10) Keamanan
Perubahan integritas kulit : terpotong, ruam, mis. Ekzema,
eksantem, psoriasis, perubahan warna, ukuran/warna mola, mudah
terjadi memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Rektum luka,

19 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
luka-luka perianal atau abses. Timbulnya nodul-nodul, pelebaran
kelenjar limfe pada dua/lebih area tubuh (leher, ketiak, paha)
Penurunan kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya
berjalan.
11) Seksualitas
Herpes, kutil atau rabas pada kulit genitalia.
12) Interaksi Sosial
Perubahan pada interaksi keluarga/orang terdekat, aktivitas yang
tak terorganisasi, perobahan penyusunan tujuan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatang yang mungkin muncul :
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah
ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar-
kapiler (atelektasis, kolaps jalan nafas/alveolar edema paru/efusi,
sekresi berlebihan/perdarahan aktif).
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan/penyumbatan
pembuluh darah arteri koronaria.
c. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
sumbatan arteri ditandai dengan penurunan curah jantung.
d. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-
faktor listrik penurunan karakteristik miokard
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplay oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemia/nekrosis
jaringan miokard

20 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
3. Perencanaan Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan
1 Gangguan NOC : NIC :
pertukaran gas 1. respiratory status : Airway management
gas exchange 1. Buka jalan nafas,
2. Respiratory status : gunakan teknik chin
ventilation lift atau jaw thrust
3. Vital sign status bila perlu
Kriteria hasil : 2. Posisikan pasien
1. Mendemonstrasikan untuk
peningkatan ventilasi memaksimalkan
dan oksigenisasi yang ventilasi
adekuat 3. Identifikasi pasien
2. Memelihara perlunya pemasangan
kebersihan paru-paru alat jalan nafas
dan bebas dari tanda- buatan
tanda distress 4. Pasang mayo bila
pernafasan perlu
3. Mendemonstrasikan 5. Lakukan fisioterapi
batuk efektif dan dada jika perlu
suara nafas yang 6. Keluarkan sekret
bersih, tidak ada dengan batuk atau
sianosis dan dispneu suction
(maupun 7. Auskultasi suara
mengeluarkan nafas, catat adanya
sputum, maupun suara tambahan
bernafas dengan 8. Lakukan suction pada
mudah, tidak ada mayo
pursed lips) 9. Berikan
4. Tanda-tanda vital bronkodilator bila

21 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
dalam rentang normal perlu
10. Berikan pelembab
udara Kassa basah
NaCl Lembab
11. Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi
dan status O2
2 Ketidakefektifan NOC : NIC :
perfusi jaringan 1. Ciculation status Manajemen sensai
perifer 2. Tissue perfusion : perifer
cerebral 1. Monitor adanya
Kriteria hasil : daerah tertentu yang
1. Tekanan systole dan hanya peka terhadap
dyastole dalam panas/ dingin/ tajam/
rentang yang tumpul
diharapkan 2. Monitor adanya
2. Tidak ada artostatik paretese
hipertensi 3. Intruksikan keluarga
3. Tidak ada tanda-tanda untuk mengobservasi
peningkatan tekanan kulit jika ada isi atau
intrakranial (tidak laserasi
lebih dari 15 mmHg) 4. Gunakan sarung
tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada
kepala, leher, dan
punggung
6. Monitor kemampuan
BAB
3 Nyeri akut NOC : NIC :

22 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
1. Pain level 1. Lakukan penkajian
2. Pain control nyeri secara
3. Comfort level komprehensif
Kriteria hasil : termasuk lokasi,
1. Mampu mengontrol karakteristik, durasi,
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas,
nyeri maupun dan faktor prepitasi
menggunakan teknik 2. Observasi reaksi
nonfarmakologi untuk nonverbal dari
mengurangi nyeri, ketidaknyamanan
mencari bantuan) 3. Gunakan teknik
2. Melaporkan bahwa komunikasi terapetik
nyeri berkurang untuk mengetahui
dengan menggunakan pengalaman nyeri
manajemen nyeri pasien
3. Mampu mengenali 4. Kaji kultur yang
nyeri (skala, mempengaruhi
intensitas, frekuensi, respon nyeri
dan tanda nyeri) 5. Evaluasi pengalaman
4. Menyatakan rasa nyeri masa lalu
nyaman setelah nyeri 6. Evaluasi bersama
berkurang pasien dan tim
kesehatan lain
tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
7. Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menemukan
dukungan

23 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
8. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan, dan
kebisingan
9. Kurangi faktor
prepitasi nyeri
4 Penurunan curah NOC : NIC :
jantung 1. Cardiac pump 1. Evaluasi adanya nyeri
effectiveness dada (intensitas,
2. Circulation status lokal, durasi)
3. Vital sign status 2. Catat adanya
Kriteia hasil : distrimia jantung
1. Tanda vital dalam 3. Catat adanya tanda
rentang normal dan gejala penurunan
(tekanan darah, nadi, cardiac putput
respirasi) 4. Monitor status
2. Dapat mentoleransi kardiovaskuler
aktivitas, tidak ada 5. Monitor status yang
kelelahan menandakan gagal
3. Tidak ada edema jantung
paru, perifer, dan 6. Monitor TD, nadi,
tidak ada asistes suhu, dan RR
4. Tidak ada penurunan 7. Catat adanya
kesadaran flukatasi tekanan
darah
8. Auskultasi TD pada
kedua tangan dan
bandingkan
9. Monitor TD, nadi,
RR, sebelum, selama,

24 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
dan aktivitas
10. Monitor kualitas
dari nadi
11. Monitor bunyi
jantung
12. Monitor suara paru
13. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign
5 Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
1. Energy concervation 1. Kolaborasi dengan
2. Activity tolerance tenaga rehabilitasi
3. Self care : ADLs medik dalam
Kriteria hasil : merencanakan
1. Berpartisipasi dalam program terapi yang
aktivitas fisik tanpa tepat
disertai peningkatan 2. Bantu klien untuk
TD, nadi, dan RR menidentifikasi
2. Mampu melakukan aktivitas yang mapu
aktivitas sehari-hari dilakukan
(ADLs) secar 3. Bantu untuk
mandiri memilih aktivitas
3. TTV normal konsisten yang
4. Energy psikomotor sesuai dengan
5. Level kelemahan kemampuan fisi,
6. Mampu berpindah : psikologi dan sosial
dengan atau tanpa 4. Bantu untuk
bantuan alat mengidentifikasi
7. Status dan mendapatkan
kardiopulmonari sumber yang
adekuat diperlukan untuk
8. Sirkulasi status baik aktivitas yang

25 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
9. Status respirasi : diinginkan
pertukanan gas dan 5. Bantu untuk
ventilasi adekuat mendapatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda,
krek
6. Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
7. Bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
8. Bantu pasien/
keluarga untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
9. Sediakan penguatan
positif bagi yang
aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk
mengenbangkan
motivasi diri dan
penguatan
11. Monitor respon
fisik, emosi, sosial,
dan spiritual

26 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
F. Konseling dan VCT pada Klien HIV/AIDS
Gunarsa S (2000) merangkum pendapat beberapa ahli yang mendefinisikan
konseling sebagai beriku :
1. Roblis (1942) mengatakan bahwa konseling adalah hubungan yang bebas
dan berstruktur dengan cara membiarkan klien memperoleh pengertian
secara mandiri yang membimbingnya untuk menentukan langkah positif
ke arah orientasi baru.
2. Pepinsky (1954) mengatakan bahwa konseling merupakan interaksi yang :
a. Terjadi antara 2 orang, yang satu disebut sebagai konselor dan lainnya
sebagai klien.
b. Berlangsung dalam kerangka profesional.
c. Diarahkan agar memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada
klien.
3. Smith (1955) mengatakan bahwa konseling adalah proses yang terjadi
dalam hubungan pribadi antara seseorang yang mengalami kesulitan
dengan seorang profesional terlatih berpengalaman, dan pengalamannya
mungkin dapat digunakan untuk membantu orang lain sehingga mampu
memecahkan persoalan pribadinya.
4. Blocker (1966) mengatakan bahwa konseling adalah upaya menolong
seseorang agar menyadari berbagai reaksi pribadi terhadap pengaruh
prilaku lingkungan dan juga membantu seseorang menjalani makna dari
prilakunya. Konseling juga membantu klien dalam membentuk dan
memperjelas rangkaian dari tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku
selanjutnya.
5. Lewis (1970) mengatakan bahwa konseling adalaha proses ketika
seseorang yang mengalami kesulitan (klien) dibantu untuk merasakan dan
selanjutnya bertindak dengan cara yang lebih memuaskan dirinya melalui
interaksi dan seseorang yang tidak terlihat yakni konselor. Konselor
memberikan informasi dan reaksi untuk mendorong klien
mengembangkan perilaku agar dapat berhubungna secara lebih efektif
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.

27 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
6. Elinsenbenrg (1983) mengatakan bahwa konseling menambah kekuatan
pada klien untuk menghadapi, mengikuti aktivitas yang mengarah pada
kemajuan, dan untuk menentukan suatu keputusan konseling sehingga
membantu klien agar mampu menguasai masalah yang sedang dan kelak
akan dihadapi.

Beberapa faktor penting dalam konseling adalah bahwa :


1. Konseling berhubungan dengan tujuan untuk membantu orang lain
menentukan pilihan dan tindaknnya.
2. Dalam proses konseling terjadi proses belajar.
3. Terjadi perubahan dan perkembangan kepribadian.

ciri-ciri konseling :
1. Konseling berkaitan dengan mempengaruhi secara sengaja agar terjadi
perubahan perilaku pada sebagian dari kepribadian klien.
2. Tujuan dari konseling adalah untuk membuat kondisi yang memudahkan
terjadinya perubahan yang disengaja pada sebagian diri klien.
3. Seperti halnya dalam semua hubungan, pada klien harus ada pembatasan
untuk hal-hal yang bersifat pribadi bagi konselor. Hanya hal yang
berhubungan dengan penyakit saja yang dibahas.
4. Kondisi yang mempermudah terjadinya perubahan perilaku diperoleh
melalui wawancara.
5. Kegiatan mendengarkan harus ada konseling, tetapi tidak semua
konseling adalah mendengarkan.
6. Konselor harus memahami kliennya.
7. Konseling dilakukan dengan tertutup (privacy) dan diskusi bersifat
rahasia (confidential).
8. Pattersen dalam Hasbullah (1999) memperjela mengenai hal-hal yang
bukan konseling dan penjelasannya merupakan perbaikan dari apa yang
pernah dikemukakan sebelumnya ditahun 1967. Perbaikan ini
memperjelas bahwa :
a. Konseling bukan kegiatan pemberian informasi, meskipun informasi
bisa diberikan dalam konseling.

28 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
b. Konseling bukan kegiatan pemberian nasihat, sugesti, atau
rekomendasi.
c. Konseling bukan kegiatan untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan
atau perilaku dengan cara memaksa, mengatur atau meyakinkan.
d. Konseling bukan seleksi dari tugas yang harus dilakukan dalam
menghadapi bermacam-macam pekerjaan dan aktivitas.
e. Konseling bukan kegiatan melakukan wawancara, sekalipun
wawancara bisa dilakukan dalam konseling.

Tujuan utama konseling


1. Menyediakan fasilitas untuk perubahan perilaku
Tujuan suatu konseling adalah melakukan perubahan paradigma dan
perilaku pada klien untuk menuju ke arah perubahan yang memungkinkan
klien dapat hidup lebih produktif dan menikmati kepuasan hidup sesuai
dengan pembatasan-pembatasan yang ada dalam masyarakat. Tujuan
konseling harus jelas, jadi perubahan perilaku yang dikehendaki ialah
perubahan yang seperti apa dan selanjutnya bagaimana melakukan
perubahan tersebut dengan bantuan dari konselor.
2. Meningkatkan keterampilan untuk mengahdapi sesuatu
Dalam hal ini konselor akan membantu mengajarkan bagaimana
seharusnya dan sebaiknya klien bersikap ketika mengadapi masalah dan
menyelesaikan masalah tersebut. George dan Crishani (1981) dalam
Hasbullah (1999) mengatakan bahwa membantu orang belajar untuk
mengahadapi situasi dan tuntutan baru adalah tujuan penting dari
konseling.
3. Meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan
Konseling bertujuan membantu klien agar dapat memperoleh informasi
dan penjelasan diluar pengaruh emosi dan ciri kepribadiannya yang bisa
mengganggu proses pengambilan keputusan.
Konseling bertujuan membantu seseorang belajar mengenai keseluruhan
proses pengambilan keputusan dari awal hingga akhir, sehingga pada
akhirnya ia bisa melakukannya sendiri.

29 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
George dan Crisnani (1981) juga mengutip Reaves dan Reaves (1965)
yang mengemukakan bahwa tujuan utama konseling ialah merangsang
seseorang untuk melakukan penelitian, menentukan, menerima, dan
bertindak atas dasar pilihannya.
4. Meningkatkan dalam hubungan antarperorangan
Sebagai makhluk sosial individu diharapakan mampu membina hubungan
yang harmonis dengan lingkungan sosialnya, sejak kecil di sekolah,
kemudian ketika dewasa dengan teman sebaya dan rekan
sepekerjaan/seprofesi. Dalam keluarga, kegagalan dalam hubungan
antarperorangan adalah kegagalan dalam penyelesaian diri, yang antara
lain disebabkan oleh kurang tepatnya individu dalam memandang atau
menilai diri sendiri atau kurangnya keterampilan dalm penyesuaian diri.
5. Menyediakan fasilitas untuk pengembangan kemapuan klien
Konseling berupaya memaksimalkan kebebasan pribadi sesuai dengan
kemungkinan dalam batas-bats yang diperoleh dari dirinya sendiri atau
lingkungannya. Konseling juga berupaya untuk memaksimalkan
efektivitas pribadi dengan cara mengembangkan kemapuan penguasaan
klien terhadap lingkungan dan berbagai respons didalam dirinya.

Dari uraian mengenai tujuan konseling tersebut diatas, dijelaskan bahwa


tujuan konseling sangat dipengaruhi oleh latar belakang teori dan teknik yang
dipakai oleh konselor, sehingga sepertinya terdapat tiga macam tujuan yakni
tujuan utama, tujuan antara, dan tujuan segera. Meskipun demikian
nempaknya tetap terdapat kesamaan dalam tujuan konseling yakni membatu
klien agar :
1. Mengetahu apa yang harus dan akan dilakukan berbagai bidang
kehidupan.
2. Dapat merasa lebih baik, jauh dari ketegangan, dan tekanan terus-menerus
karena ada persoalan.
3. Berfungsi maksimal sesuai dengan potensi yang dimiliki.
4. Dapat mencapai sesuatu yang lebih baik karena bersifat positif dan
optimis.

30 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
5. Bisa hidup lebih efektif sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan
menyesuaikan diri sesuai tuntuan lingkungan.

Konseling HIV/AIDS
Konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien) dengan
pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan
orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres dan
sanggup membuat keputusan beritndak berkaitan dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan jenis konseling lainnya, walaupun


keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal
yang unik karena :
1. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/AIDS.
2. Membutuhkan pembahasan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi.
3. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian.
4. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat
dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh
konselor itu sendiri.
5. Mumbutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV yang
positif.
6. Membutuhkan keterampilan dalam mengahdapi kebutuhan pasangan
maupun anggota keluarga klien.

Tujuan konseling HIV


1. Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah prilaku. Untuk
mengubah prilaku, odha (orang dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informasi belaka, tetapi yang jauh lebih penting adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dalam perilaku seks aman, tadak berganti-ganti jarum suntik,
dan lain-lain.
2. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling burtujuan untuk
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif.

31 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
Dalam hal ini, konselor juga diharapkan dapat membantu mengatasi rasa
putus asa, rasa duka yang berkelanjutan, kemungkinan stigma, diskriminasi,
penyampaian status HIV pada pasangan seksual, pemutusan hubungan kerja,
dan lain-lain.

Ciri-ciri konseling HIV


Konseling merupakan kegiatan membantu klien agar dapat :
1. Memeroleh akses informasi yang benar
2. Memahami dirinya dengan lebih baik.
3. Agar mampu mengahdapi masalahnya.
4. Agar mampu berkomunikasi lebih lancar.
5. Mengantisipasi harapan-harapan, kerelaan, dan perubahan perilaku.

Konseling bukan merupakan percakapan tanpa tujuan, juga bukan memberi


nasihat atau intruksi pada orang untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak
konselor. Konseling bersifat sangat pribadi, sehingga membutuhkan
pengembangan rasa saling percaya. Hal ini bukan suatu hal yang baku, dapat
bervariasi tergantung kondisi daerah/wilayah, latar belakang klien, dan jenis
layanan medis/sosial yang tersedia. Konseling bersifat tidak eksklusif, artinya
setiap orang yang diberi pelatihan khusus dapat menjadi seorang konselor.

Konseling HIV dianjurkan untuk keadaan berikut :


1. Orang yang sudah diketahui menderita AIDS atau terinfeksi HIV, dan
keluarganya
2. Mereka yang sedang dites untuk HIV (sebelum dan sesudah tes)
3. Mereka yang sedang mencari pertolongan diakibatkan prilaku risiko yang
lalu dan sekarang sedang merencanakan masa depannya
4. Mereka yang tidak mencari pertolongan namun berperilaku risiko tinggi
5. Orang yang mempunyai masalah akibat infeksi HIV (pekerjaan,
perumahan, keuangan, keluarga, dan lain-lain), sehingga akibat infeksi
HIV

32 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
Petugan konseling
Selain dokter, perawat, psikolog, psikoterapis, pekerja sosial, dan orang
dengan profesi lain dapat dianjurkan dan dilatih untuk memberikan dukungan
konseling. Petugas konseling tidak harus merupakan petugas kesehtan yang
ahli.guru, penyuluh kesehatan, petugas laboratorium, pemuka agama,
kelompok kerja muda, dukun tradisional, dan anggota kelompok masyarakat
dapat menolong dalam konseling pencegahan maupun konseling dukungan
untuk ODHA. Jadi, pada dasarnya yang dapat menjadi petugas konseling
adalah mereka yang masih mempunyai ruang untuk orang lain dalam dirinya.

Konseling versus edukasi kesehatan


Perbedaan antara konseling dan edukasi kesehatan dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut.
Tabel 4.1. perbedaan Konseling dan Edukasi Kesehatan
Konseling Edukasi kesehatan
1. Proses penyesuaian 1. Proses belajar
2. Bersifat individu atau kelompok kecil 2. Kelompok besak atau kecil
3. Berorientasi pada masalah 3. Beroroentasi pada isi
4. Menurunkan stres 4. Meningkatkan pengetahuan
5. Didominasi mood dan perasaan 5. Didominasi oleh komprehensi
Sumber. Depkes RI (2003).

Sedangkan persamaanya adalah sebagai berikut :


1. Keuanya memberikan pengetahuan dan mengubah sikap.
2. Merupakan komunikasi dua arah.
3. Memerlukan pelaihat dama aspek teknik.

Jenis konseling HIV/AIDS


Ada beberapa jenis konseling yang dapat dilakukan untuk para penderita
HIV/AIDS. Jenis konseling itu adalah sebagai berikut :
1. Konseling untuk pencegahan terjadinya HIV/AIDS.
2. Konseling pra-tes.
3. Konseling pasca-tes.
4. Konseling keluarga.

33 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
5. Konseling berkelanjutan.
6. Konseling pada mereka yang menghadapi kematian.

VCT (Voluntary Counseling Testing)


Definisi VCT
VCT adalah pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus
antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mncegah penularan HIV,
memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada
ODHA, keluarga, dan lingkungannya.

Tujuan VCT
VCT mempunyai tujuan sebagai :
1. Upaya pencegahan HIV/AIDS.
2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/
pengetahuan mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV.
3. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehungga secara dini
mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiroviral, serta membantu mengurangi stigma
dalam masyarakat.

Tahap VCT
1. Sebelum deteksi HIV (Pra-konseling)
Pra-konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang
penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang
menyebabkan dapat klien beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan
apakan klien mengetahui tantang HIV/AIDS dengan benar.
Apabila perilaku klien tidak berisiko, biasanya setelah mengetahui dengan
benar bagaimana cara AIDS menular, maka klien akan membatalkan
pemeriksaan. Konselor harus lebih berhati-hati pada klien dengan prilaku
berisiko tinggi karena harus diteruskan dengan rinci tentang akibat yang
akan timbul apabila hasil tes harus sudah keluar. Tujuan dari konseling ini
adalah untuk mengubah pola tingkah laku. Di Amerika Serikat setelah
konseling ini berhasil, maka klien akan membutuhkan tanda tangan pada

34 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
surat persetujuan diperiksa yang antara lain berisi keamanan klien
bahwa identitasnya tidak akan dibocorkan.
Hal perlu ditanyakan oleh koselor yaitu ada tidaknya sumber dukungan
moral dalam hidup klien yang dapat membantu ketika menunggu hasil tes
sampai hasil diagnosa keluar (apapun hasli, tesnya baik posotif atau
negatif). Masa ketika menunggu hasil tes adalah masa yang paling berat
bagi klien. Saat, itu jika tidak ada seorangpun sebagai pendukung moral
maka konselor diharapkan dapat bertindak sebagai keluarga bagi klien.

Tujuan konseling pra-tes HIV/AIDS


Terdapat beberapa tujuan dilakukan konseling pra-tes pada klien yang
akan melakukan tes HIV/AIDS. Tujuan tersebut adalah agar :
1. Klien memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS
2. Klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya.
3. Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya.
4. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya.
5. Klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah
HI/AIDS atau tidak.

Lima prinsip praktik konseling pra-tes HIV


Ada lima prinsip praktis yang bisa dilakukan saat konseling pra-tes HIV.
Lima prinsip praktis tersebut diuraikan secara singkat dibawah ini :
1. Motif dari klien HIV/AIDS
Klien yang secara sukarela (Voluntary) dan secara paksa (compulsory)
mempunyai perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala
kemungkinan, baik pra-tes atau pasca-tes
2. Interpretasi hasil pemeriksaan
a. Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi.
b. Asimptomatik atau gejala nyata (Full Blown Symtom).
c. Tidak dapat disembuhkan (HIV) tetapi masih dapat diobati
(infeksi sekunder).
3. Estimasi hasil
a. Pengkajian risiko bukan hasil yang diharapkan

35 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
b. Masa jendela.
4. Rencana ketika hasil diperoleh
Apa yang akan dilakukan oleh klien ketika telah mengetahui hasil
pemeriksaan, baik positif maupun negatif.
5. Pembuatan keputusan
Klien dapat memutuskan untuk mau dan tidak mau diambil darahnya
guna dilakukan pemeriksaan HIV.

2. Deteksi HIV (Sesuai keinginan klien dan setelah klien


menandatangani lembar persetujuan-informed consent)
Tes HIV adalah teh darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Caranya adalah
dengan cara mendeteksi ada tidaknya antibodi HIV dalam sampel
darahnya. Hal ini perlu dilakukan agar seseorang bisa mengetahui secara
pasti status kesehatan dirinya, terutama status kesehatan yang
menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.

Tes HIV harus bersifat :


1. Sukarela orang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan
atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan/tekanan orang lain. Ini
juga berarti bahwa ia setuju untuk dites, setelah ia mengetahui hal-hal
apa saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian
dari tes, serta apa saja implikasi dari hasil tes yang positif ataupun
hasil negatif.
2. Rahasia apapun hasil tes ini, baik positif ataupun negatif, hanya boleh
diberitahukan langsung kepada orang yang bersangkutan.
3. Tidak boleh diwakili kepada orang lain, baik orang tua/pasangan,
atasan, atau siapapun.

3. Pascakonseling Konseling setelah Deteksi HIV


Pascakonseling merupakan kegiatan konseling yang harus diberikan
setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif, konseling

36 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
pasca-tes sangat penting untuk membantu mereka yang hasilnya HIV
positif agar dapat mengetahui cara menghindari penularan HIV kepada
orang lain. Cara untuk bisa mengatasinya dan menjalani hidup secara
positif. Bagi mereka yang hasil tes nya HIV negativ, maka konseling
pasca-tes bermanfaat untuk membantu tentang berbagai cara mencegah
infeksi HIV di masa mendatang.
Tujuan konseling pasca-tes
1. Hasil negatif
a. Klien dapat memahami arti periode jendela.
b. Klien dapat membuat keputusan akan tes ulang atau tidak, kapan
waktu tepat untuk mengulang.
c. Klien dapat mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.
2. Hasil positif
a. Klien dapat memahami dan menerima tes secara tepat.
b. Klien dapat menurunkan masalah psikologi dan emosi karena hasil
tes.
c. Klien dapat menyesuaikan kondisi dirinya dengan infeksi dan
menyusun pemecahan masalah serta dapat menikmati hidup.
d. Klien dapat mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.

Jenis tes untuk mendeteksi HIV


Jenis tes yang bisa digunakan untuk mendeteksi seseorang terinfeksi
HIV/AIDS adalah dengan menggunakan tes ELISA Latex
Agglutination dan Westem Blot. Apabila tes ELISA atau Latex
Agglutination menunjukan bahwa klien terinfeksi HIV, maka hasilnya
perlu dikonformasikan lagi dengan tes Westem Blot sebelum klien
benar-benar dipastikan positif HIV.

Tes juga dapat dilaksanakan untuk menguji antigen HIV, yaitu tes
antigen P24 atau PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR ini hanya
dipakai untuk penelitian pada kasus-kasus yang sulit dideteksi dengan

37 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
tes antibodi, misalnya untuk tes pada bagi yang lahir dari ibu yang
positif terinfeksi HIV dan kasus-kasus yang diperlukan berada dalam
periode jendela. Periode jendela adalah trnggang waktu antara
masuknya biasanya antara 1 sampai 6 bulan. Selama periode tersebut
seseorang yang sudah terinfeksi HIV masih menunjukan hasil tes
negatif.

Yang terpenting adalah bahwa pelayanan VCT harus dilakukan oleh


petugas yang sangat terlatih dan berkualitas tinggi dalam melakukan
konseling dan deteksi HIV. Hal ini penting mengingat terinfeksinya
seseorang dengan HIV/AIDS akan berdampak pada kehidupan pada
penderitanya dan orang-orang yang berinteraksi dengannya.

38 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara secara kuantitas
maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langusng maupun tidak
langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan
menghabat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar
protein HIV yang disebut sampu gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan
CD4+ yang kemudian mengabambat aktivitas sel yang mempresentaikan
antigen (APC).

Respons adaptif sosial dikembangkan peneliti berdasarkan konsep dari


Pearlin dan Aneshense (1986) meliputi 3 hal, yakni :
a. Emosi.
b. Cemas.
c. Interaksi sosial.

Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan


pasien terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000), sehingga PHIV
akan dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mempu
mengabil hikmah.

Dalam organisasi profesi kesehatan pedoman baik atau buruk dalam


melakukan tugas profesi telah dirumuskan dalam bentuk kode etik yang
penyusunannya mengacu pada sistem etik dan asas etik yang ada.

Roblis (1942) mengatakan bahwa konseling adalah hubungan yang


bebas dan berstruktur dengan cara membiarkan klien memperoleh pengertian
secara mandiri yang membimbingnya untuk menentukan langkah positif ke
arah orientasi baru.

39 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
Pepinsky (1954) mengatakan bahwa konseling merupakan interaksi
yang :

a. Terjadi antara 2 orang, yang satu disebut sebagai konselor dan lainnya
sebagai klien.
b. Berlangsung dalam kerangka profesional.
c. Diarahkan agar memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada klien.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah yang akan datang.

40 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
LAMPIRAN

41 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I
DAFTAR PUSTAKA

Cipto Susilo. 2006. Pengaruh Penyuluhan terhadao Penurunan Stigma Masyarakat


tentang HIV/AIDS. Skripsi. Surabaya, PSIK FK Unair.

M. Nurs. Nursalam dan Ninuk DK. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.

Hardi dan Amin. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Jilid 1. Jakarta:
Mediaction Publishing.

Baratawidjaja, K.G. 200.Sindroma Defisiensi Imun Didapat:Imunologi Dasar.


Edisi Ke-4; Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. Hal. 221.

Depkes RI. 2002. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Voluntary
Counseling and Testing). Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik.

http://www.scribd.com/doc/29765381/Konsep-Dasar-Hiv.

http://caratips.com/tips/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan-hiv-aids-
pdfqueen-pdf

42 | K e p e r a w a t a n M e d i k a l B e d a h I I

Anda mungkin juga menyukai