A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DP
No. RM : P001861
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 84 tahun
Alamat : Itawaka
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen Prostestan
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Tanggal Masuk RS : 30 Januari 2017 (Pukul 11.30 WIT)
Ruang Perawatan : Kelas I
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan lemas sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan ini pertama kali terjadi dan diketahui oleh keluarga pasien.
Pasien sempat muntah 1 kali isi makanan. Keluhan ini juga disertai dengan demam yang
tidak terlalu tinggi. Menurut keluarganya pasien mengalami penurunan nafsu makan sejak
beberapa hari sebelumnya. Riwayat buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat tekanan darah tinggi
(+), riwayat vertigo (+). Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, dan asam urat
disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan serupa dengan pasien.
1
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum mendapat pengobatan untuk keluhan yang sedang dialami. Riwayat alergi
obat disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Lemah
2. Kesadaran : Apatis
3. Tanda tanda vital :
Tekanan darah : 90 /70 mmHg
Frekuensi nadi : 76 kali per menit
Frekuensi nafas : 28 kali per menit
Suhu : 37,9 C
4. Status generalis :
Kepala dan wajah : normosefal, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm)
Telinga : deformitas (-), secret (-), membrane timpani intak
Hidung : rinorea (-/-), deviasi septum nasal (-), pernapasan cuping hidung
(-)
Mulut : sianosis (-), stomatitis (-)
Leher : kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran kelenjar gondok (-)
Thoraks :
Pulmo :
- Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
- Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
2
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas atas : ICS II linea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS V linea axillaris anterior sinistra
- Auskultasi : bunyi jantung I/II murni, regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
- Inspeksi : datar, tidak tampak sikatrik
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
- Perkusi : timpani di seluruh region abdomen
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Batas Normal
WBC 18,2 x 103/L 4 10
LYM % 7,2 % 20 40
MID % 3,1 % 1 15
GRAN % 89,7 % 50 70
LYM # 1,3 x 103/L 0,6 4,1
MID # 0,6 x 103/L 0,1 0,8
GRAN # 16,3 x 103/L 2 7,8
RBC 4,08 g/dL 3,5 5,5
HGB 10,7 % 11 16
HCT 36,4 fL 36 48
MCV 84,4 % 80 99
MCH 26,2 pg 26 32
MCHC 29,3 g/dL 32 36
RDW SD 42,7 fL 37 54
3
RDW CV 13,7 % 11,5 14,5
PLT 104 x 103/L 100 300
MPV 8,8 fL 7,4 10,4
PDW 13,6 % 10 17
PCT 0,09 % 0,1 0,28
P LCR 15,5 % 13 43
Kimia Klinik
Pemeriksaan Hasil Batas Normal
Kreatinin 1,9 mg % 0,8 1,2 mg %
Ureum 68 mg % 10 50 mg %
SGOT 29 U/L 41 U/L
SGPT 29 U/L 31 U/L
E. RESUME
Seorang wanita 84 tahun dibawa keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan lemas sejak 6
jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini pertama kali terjadi dan diketahui oleh keluarga
pasien. Pasien sempat muntah 1 kali isi makanan. Keluhan ini juga disertai dengan demam
yang tidak terlalu tinggi. Menurut keluarganya pasien mengalami penurunan nafsu makan
sejak beberapa hari sebelumnya. Riwayat buang air besar dan buang air kecil tidak ada
keluhan. Riwayat hipertensi (+), riwayat vertigo (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum lemah, kesadaran apatis, tekanan darah 90/70 mmHg, frekuensi nadi 76 kali
per menit, frekuensi nafas 28 kali per menit, suhu 37,9 C. Pada pemeriksaan status generalis
didapatkan nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan:
4
Hb : 10,7 %
Leukosit : 18,2 x 103/L
Kreatinin : 1,9 mg%
Ureum : 68 mg%
GDS : 193 mg/dl
Kolesterol : 270 mg/dl
Asam urat : 13 mg/dl
F. Diagnosis Kerja
Gagal ginjal akut
Syok sepsis
Hiperurisemia
Dislipidemia
G. Diagnosis Banding
Gagal ginjal kronik
H. Penatalaksanaan
- Tirah baring
- IVFD RL guyur 200 cc cek tekanan darah ulang
- Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul (i.v)
- Injeksi cefotaxime 2 x 500 mg (i.v) ST
- Infus paracetamol botol 1000 mg (i.v)
- Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)
- Allupurinol 3 x 100 mg (p.o)
- Observasi tanda tanda vital dan keadaan umum
I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
5
J. Follow Up
6
A: 100 cc Nacl 0,9% 6 tetes
- Gagal ginjal akut per menit (dosis 10 mcg)
- Syok sepsis et causa suspek tidak tersedia
pielonefritis dd/ suspek - Injeksi asam traneksamat 2 x
glomerulonefritis 1 ampul (i.v)
- Hiperurisemia - Pro rujuk keluarga
- Dislipidemia menolak
31 Januari 2017 S: pasien gelisah - Tirah baring
- IVFD RL 14 tetes per menit
O: - Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul
- Kesadaran: apatis (i.v)
- TD 80/60 mmHg; suhu - Injeksi cefotaxime 2 x 500
37,5 C; Nadi: 88x/menit; mg (i.v)
RR: 26x/menit; Saturasi O2 - Infus paracetamol botol
96% 1000 mg (i.v) k/p
- Wajah: edema (+) - Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)
- Abdomen: sulit dievaluasi - Allupurinol 3 x 100 mg (p.o)
(pasien tidak kooperatif) - O2 2 4 L/menit
- Urin output: (-), darah (+) - Pasang monitor
berkurang - Dopamin 1 ampul dalam
100 cc Nacl 0,9% 6 tetes
A: per menit (dosis 10 mcg)
- Gagal ginjal akut tidak tersedia
- Syok sepsis et causa suspek - Injeksi asam traneksamat 2 x
pielonefritis dd/ suspek 1 ampul (i.v)
glomerulonefritis
- Hiperurisemia
- Dislipidemia
31 Januari 2017 (pukul 17.25 S: pasien tidak sadar setelah - RJP 5 siklus no response
WIT) pasang infus (phlebitis) pupil midriasis (+/+)
EKG asistol
7
O: - Pasien dinyatakan
- TD tidak teraba; nadi tidak meninggal pukul 17.35 WIT
teraba di hadapan keluarga dan
perawat.
A:
- Gagal ginjal akut
- Syok sepsis et causa suspek
pielonefritis dd/ suspek
glomerulonefritis
- Hiperurisemia
- Dislipidemia
8
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) 2012, gagal ginjal akut
didefinisikan sebagai:
Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal akut ditentukan berdasarkan kadar kreatinin serum, laju filtrasi
glomerulus (LFG) atau produksi urin. Stadium gagal ginjal akut mengikuti kriteria stadium yang
lebih tinggi. Contoh: kriteria kreatinin serum menunjukkan gagal ginjal akut stadium 1,
sementara kriteria produksi urin menunjukkan stadium 2. Maka, gagal ginjal pada kasus tersebut
termasuk dalam gagal ginjal akut stadium 2. Tabel 1.
9
selama lebih dari
12 jam
3 Kenaikan kreatinin serum Produksi urin < Failure Peningkatan kreatinin
> 3 kali nilai dasar, 0,3 serum 3x ATAU
ATAU kenaikan kreatinin ml/KgBB/jam kreatinin serum > 4
serum 4 mg/dL dengan selama lebih dari mg/dl dengan
peningkatan akut 0,5 24 jam. peningkatan akut 0,5
mg/dL. ATAU mg/dl ATAU penurunan
ATAU Anuri selama 12 LFG > 75%
Dimulainya terapi jam Loss Gagal ginjal akut
pengganti ginjal, persisten fungsi ginjal
ATAU hilang seluruhnya > 4
Pada pasien < 18 tahun, minggu
penurunan LFG menjadi < End ESRD > 3 bulan
35 ml/menit per 1,73m stage
Cukup penuhi salah 1 (satu) kriteria (peningkatan kreatinin serum atau penurunan produksi urin)
untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal akut. Pada kriteria AKIN peningkatan kreatinin serum
harus terjadi < 48 jam. Pada kriteria RIFLE penurunan fungsi ginjal harus bersifat akut (1 7
hari) dan bertahan selama > 24 jam.
Keterangan: AKIN (Acute Kidney Injury Network); ESRD (End Stage Renal Disease); LFG
(Laju Filtrasi Glomerulus); RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End Stage)
Etiologi
Secara garis besar dapat dibagi menjadi etiologi prerenal, renal, dan postrenal.
10
Penurunan curah jantung: penyakit miokardium, katup jantung, dan pericardium,
hipertensi pulmonal, gagal jantung, atau gangguan aliran balik ke jantung;
Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anafilaksis;
Obstruksi renovaskuler: aterosklerosis, thrombosis, emboli, vaskulitis;
Vasokonstriksi ginjal;
Gangguan autoregulasi ginjal;
Sindrom hepatorenal (gagal ginjal prerenal yang memperberat keadaan seperti sirosis
hati stadium lanjut atau gagal hati akut);
Sindrom kardiorenal.
2. Renal / Intrinsik (40%)
a. Penyakit glomerulus; glomerulonefritis, vaskulitis, lupus eritematous sistemik, koagulasi
intravaskuler diseminata, scleroderma;
b. Nekrosis tubular akut: iskemia, infeksi, toksin;
c. Nefritis interstisial: reaksi alergi obat, pielonefritis, limfoma, leukemia, sindrom sjogren;
d. Obstruksi intratubular: asam urat akibat sindrom lisis tumor, obat obatan.
3. Postrenal (obstruksi) pada ureter, leher kandung kemih, atau uretra (5%) dapat disebabkan
oleh urolitiasis, bekuan darah, keganasan, kompresi ekstrarenal (fibrosis retroperitoneum),
hipertrofi prostat, atau striktur.
Patofisiologi
1. Gagal ginjal prerenal terjadi hipoperfusi ke ginjal. Parenkim ginjal tidak mengalami
jejas, tetapi hipoperfusi yang lama / berat dapat menyebabkan iskemia (nekrosis tubular
akut). Hipovolemia mencetuskan respon seperti aktivasi saraf simpatis, system renin
angiotensi aldosteron (RAA), dan pelepasan arginin vasopressin. Pada hipoperfusi ringan,
perfusi autoregulasi ke glomerulus dapat dipertahankan dengan vasodilatasi arteri aferen
yang diinduksi oleh reflex miogenik local serta prostaglandin. Namun pada kondisi
hipoperfusi berat, kompensasi tidak adekuat sehingga LFG menurun maka terjadilah gagal
ginjal prerenal.
2. Gagal ginjal akut renal mekanisme jejas tergantung pada penyebab. Sebagai contoh
akan dijelaskan pathogenesis pada nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN).
Pada ATN terdapat 4 fase:
11
Fase inisiasi: terjadi penurunan LFG yang menyebabkan iskemia ginjal
Fase ekstensi: terjadi jejas iskemik dan inflamasi berkelanjutan. Jejas endotel berperan
dalam proses ini.
Fase maintenance: terjadi 1 2 minggu dengan LFG yang bertahan pada angka 5 10
ml/menit. Pada fase ini, produksi urin berada pada titik yang paling rendah dan
komplikasi uremia muncul. Hal ini diperkirakan terjadi karena vasokonstriksi intrarenal
yang persisten, iskemia medulla, serta peran mediator inflamasi. Semua mekanisme
tersebut turut merusak sel sel ginjal.
Fase pemulihan: LFG kembali kepada kondisi pramorbid. Pada kondisi ini, terjadi
perbaikan dan regenerasi sel epitel tubulus.
3. Gagal ginjal akut postrenal terjadi peningkatan tekanan intraluminal. Peningkatan
tekanan ini akan menyebabkan distensi ureter proksimal dan system pelviokalises ginjal.
Setelah itu terjadi penurunan LFG.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal ginjal akut bergantung kepada penyebab yang mendasari. Lihat tabel 2.
12
Sepsis dan sebagainya. Hipertensi maligna
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis jumlah urin, berat jenis urin, sedimen, elektrolit, hematuria, piuria.
o Sedimen granuler berwarna coklat seperti lumpur merupakan karakteristik nekrosis
tubular akut;
o Sedimen eritrosit dismorfik menandakan adanya jejas pada glomerulus;
o Sedimen leukosit dan tidak berpigmen menunjukkan nefritis interstisial.
Indeks gangguan ginjal (renal failure indices) untuk membedakan gagal ginjal prerenal dan
renal:
o FeNa (Fraksi Ekskresi Na) = (UNa / PNa) / (UCr / PCr)
(UNa = Na+ urin ; PNa = Na+ plasma ; UCr = kreatinin urin ; PCr = kreatinin plasma)
Hasil < 1% prerenal, akibat zat kontras, atau glomerulonefritis
Hasil > 2% nekrosis tubular akut
Laboratorium darah perifer lengkap, kreatinin serum, elektrolit (Na+, K+, fosfat, Ca2+),
asam urat, dan kreatinin kinase. Dari hasil serum kreatinin, dapat dihitung LFG dengan
beberapa rumus, antara lain:
o Rumus Cockroft Gault
(140 ) []
LFG (ml/min) =
[ ] 72
hasilnya dikali 0,85 jika pasien berjenis kelamin perempuan
o Rumus studi MDRD (Modification of Diet in Renal Disease)
LFG (ml/min/1,73 m2) = 175 x Scr[-1,154] x Usia[-0,203] x (0,742 jika perempuan) x (1,21
jika berkulit hitam)
Pemeriksaan radiologi USG ginjal merupakan pilihan CT scan dan MRI juga dapat
dilakukan.
Biopsy ginjal untuk diagnosis pasti pasien dengan kecurigaan gagal ginjal renal.
13
Tatalaksana
Tatalaksana gagal ginjal akut terbagi dalam tata laksana spesifik dan tatalaksana suportif.
A. Tatalaksana Spesifik
1. Gagal ginjal prerenal. Apabila penyebab hipovolemia, diperlukan penggantian cairan.
Perdarahan transfusi packed red cell (PRC);
Perdarahan ringan sedang atau hilangnya cairan plasma: infus Nacl 0,9%;
Hilangnya cairan saluran kemih dan gastrointestinal: infus Nacl 0,45% atau Nacl 0,9%.
Pada kondisi gagal jantung, dapat dipertimbangkan penggunaan agen inotropik, antiaritmia,
agen penurun afterload atau preload.
14
o Hiperfosfatemia: restriksi asupan fosfat, agen pengikat fosfat, dialysis;
o Hipokalsemia: Ca glukonat atau Ca karbonat 10% (10 20 cc);
o Hipermagnesemia: hindari pemakaian antasida yang mengandung Mg;
Koreksi hiperurisemia: alopurinol apabila kadar asam urat > 15mg/dl, dialysis;
Keluhan gastrointestinal: antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton;
Penggantian kateter dan akses intravena serta alat lain sebagai pencegahan infeksi;
Pilihan obat yang tidak nefrotoksik.
Terdapat 5 kondisi dilakukannya dialysis segera. Perlu diingat bahwa dialysis hanya
dilakukan apabila kondisi kondisi berikut tidak bisa diperbaiki dengan terapi konvensional:
Definisi
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi. Respons inflamasi sistemik
tersebut atau disebut sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS), terjadi akibat
cedera klinis yang berat, misalnya trauma, luka bakar, pancreatitis, infeksi, dan sebagainya. Oleh
sebab itu, sepsis ditegakkan bila curiga atau terbukti bakteremia pada pasien pasien dengan
SIRS. Dalam perjalanannya, sepsis dapat menjadi sepsis berat, syok sepsis, hingga menjadi
multiple organ dysfunction syndrome/MODS.
15
Istilah Definisi
Systemic Inflamatory Minimal memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
Response Syndrome 1. Suhu tubuh >38 C atau <36 C;
(SIRS) 2. Frekuensi nadi > 90 kali /menit;
3. Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg;
4. Jumlah hitung leukosit > 12.000/mm3, atau < 4.000/mm3, atau
jumlah neutrofil batang > 10%
Sepsis SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia.
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi. Kriteria ini
juga mencakup sepsis dengan:
1. Asidosis laktat
2. Oligouria (keluaran urin < 0,5 ml/kgBB/jam selama > 2 jam meski
telah diberi reusistasi cairan secara adekuat)
3. Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2 < 200 (bila tidak ada
pneumonia), atau PaO2/FiO2 < 250 (bila ada keterlibatan
pneumonia)
4. Kreatinin serum > 2,0 mg/dL
5. Bilirubin > 2 mg/dL
6. Hitung trombosit < 100.000/mm3
7. Koagulopati (INR > 1,5)
Syok sepsis Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak membaik dengan
resusitasi cairan awal.
Multiple Organ Adanya gangguan fungsi organ organ tubuli secara akut sehingga
Dysfunction Syndrome homeostasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
(MODS)
Manajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam periode emas (golden hours) 6
jam pertama. Secara ringkas, strategi terapi sepsis berat mencakup tiga hal berikut: resusitasi
awal dan control infeksi, terapi dukungan hemodinamik, serta terapi suportif lainnya.
16
A. Resusitasi Awal dan Kontrol Infeksi
1. Resusitasi cairan (dalam 6 jam pertama). Berikan sesegera mungkin pada kondisi
hipotensi atau peningkatan laktat serum > 4 mmol/L. resusitasi menggunakan cairan
fisiologis, baik kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) maupun koloid.
Berikan cairan kristaloid minimal 30 mL/kgBB bolus cepat selama 30 menit dengan
prinsip fluid challenge techniques. Volume yang lebih besar dan cepat dapat diberikan
bila terjadi hipoperfusi jaringan. Kecepatan pemberian harus dikurangi apabila tekanan
pengisian jantung meningkat tanpa adanya perbaikan hemodinamik. Catatan khusus
diberikan pada pasien yang berisiko acute lung injury/acute respiratory distress
syndrome (ALI/ARDS): cairan harus dibatasi, serta dilakukan peninggian posisi
tungkai secara pasif sewaktu melakukan fluid challenge test.
Albumin boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan kristaloid dalam jumlah
yang adekuat.
Target resusitasi: CVP 8 12 mmHg, MAP 65 mmHg, produksi urin 0,5
ml/kgBB/jam, saturasi oksigen vena cava superior (ScvO2) atau vena campuran /
mixed vein (SvO2) 65 70%, serta normalisasi kadar laktat serum.
2. Pemberian antibiotic. Diberikan sesuai etiologi berdasarkan hasil kultur darah. Sambil
menunggu hasil kultur, berikan antibiotic intravena secara empiris dalam jam pertama;
sesuai dengan lokasi atau sumber infeksi.
Kultur darah sampel untuk kultur darah seyogyanya diambil sebelum terapi
antibiotic, bila memungkinkan (maksimal 45 menit, antibiotic empiris harus
diberikan). Kultur dilakukan secara duplo, masing masing menggunakan satu botol
aerob dan satu botol anaerob, serta ambil diambil secara perkutaneus dan dari
perangkat akses vascular (meski baru dipasang).
Antibiotic empiris dalam jam pertama lokasi dan sumber infeksi merupakan
pertimbangan utama dalam menentukan antibiotic empiris. Terapi empiris diberikan
dalam durasi terbatas 7 10 hari, atau lebih lama bila ada fokus infeksi yang sulit
dicapai oleh obat atau kondisi imunodefisiensi.
Kontrol sumber infeksi lokasi anatomis infeksi harus ditentukan dan diintervensi
dalam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Bila perangkat akses vascular yang
17
dicurigai sebagai sumber infeksi, lakukan penggantian segera setelah akses baru
dipasang.
B. Terapi Dukungan Hemodinamik
1. Pemberian agen vasopresor dan inotropik vasopresor diberikan untuk menjaga tekanan
arteri rerata (MAP) 65 mmHg dan inotropik diberikan pada pasien dengan disfungsi
miokardium (peninggian tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah).
Vasopresor pilihan pertama ialah norepinefrin. Pemberian epinefrin (ditambahkan setelah
norepinefrin) dapat dipertimbangkan untuk menjaga tekanan darah tetap adekuat.
Vasopressin dosis 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin untuk
meningkatkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.
Penggunaan dopamine sebagai vasopresor alternative norepinefrin hanya diberikan pada
pasien tertentu, seperti risiko rendah mengalami takiartmia, bradikardia absolute atau
relative).
2. Kortikosteroid pemberian hidrokortison intravena (dosis 50 mg setiap 6 jam selama 7
hari) hanya direkomendasikan bagi pasien dewasa dengan syok septic yang tidak
mengalami perbaikan tekanan darah setelah resusitasi cairan dan terapi vasopresor.
Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk mengobati sepsis tanpa adanya kejadian
syok, kecuali adanya riwayat penyakit endokrin atau pemakaian steroid sebelumnya.
C. Terapi Suportif Lainnya
1. Transfusi darah transfusi packed red cells (PRC) diberikan bila Hb < 7,0 g/dL. Target
transfuse ialah Hb 7,0 9,0 g/dL pada dewasa. Pada kasus sepsis berat, transfuse
trombosit diberikan apabila jumlah trombosit < 5.000/mm3 tanpa adanya perdarahan, atau
pada jumlah trombosit 5.000 30.000/mm3 bila ditemukan ada perdarahan yang
signifikan. Batasan lebih tinggi ( 50.000/mm3) seringkali dibutuhkan untuk keperluan
operasi atau prosedur invasive. Penggunaan eritropoietin maupun fresh frozen plasma
tidak direkomendasikan untuk pemberian rutin tanpa adanya indikasi khusus.
2. Kontrol glikemik kondisi hiperglikemia ditambah dengan resistensi insulin yang telah
ada sebelumnya dapat memperburuk infeksi, menyebabkan polineuropati, hingga menjadi
kegagalan organ multiple dan kematian. Dalam hal ini, pemberian insulin dan glukosa
ditujukkan untuk mencegah katabolisme, menekan inflamasi, dan meningkatkan
imunitas. Kontrol kadar glukosa tinggi pada pasien sakit kritis (critically ill) hanya boleh
18
dilakukan dengan pemberian insulin dan glukosa. Target: gula darah serum 180 mg/dL.
Kadar glukosa serum harus dimonitor setiap 1 2 jam hingga laju insulindan glukosa
stabil, lalu dilanjutkan monitor setiap 4 jam. Pemeriksaan glukosa melalui darah kapiler
tidak direkomendasikan.
3. Profilaksis thrombosis vena dalam profilaksis dilakukan dengan pemberian low
molecular weight heparin (LMWH) setiap hari; enoxaparin 40 mg SC sehari sekali,
dengan target aPTT 1,5 2,5 kali kontrol. Bila bersihan kreatinin < 30 ml/menit, gunakan
dalteparin 2500 5000 IU SK sehari sekali atau jenis lain yang lebih minimal
dimetabolisme oleh renal. Kontraindikasi pemberian heparin ialah pada pasien dengan
trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif, dan riwayat perdarahan intraserebri.
Pada kasus tersebut, direkomendasikan teknik profilaksis mekanik, seperti kompresi
dengan stoking atau perangkat lainnya, kecuali ada kontraindikasi.
4. Profilaksis ulkus stress (stress ulcer) penggunaan H2 antagonis (ranitidine IV 50 mg
/ 8 jam) atau penghambat pompa proton (omeprazol IV 40 mg / 12 jam atau pantoprazol
IV 40 80 mg / 12 24 jam) dapat diberikan pada pasien dengan faktor risiko. Pasien
tanpa faktor risiko tidak perlu diberikan.
5. Manajemen nutrisi prioritaskan rute oral atau enteral, bila memungkinan, dalam 48
jam pertama setelah diagnosis sepsis berat/syok septic. Rute enteral ditambah intravena
glukosa juga lebih direkomendasikan daripada nutrisi parenteral total. Pemberian kalori
diberikan secara bertahap (500 kalori/hari), dan ditingkatkan bila memungkinkan.
Hindari pemberian nutrisi kalori tinggi pada minggu pertama.
PIELONEFRITIS
Diagnosis Pielonefritis
Demam, mual dan muntah, nyeri abdomen dan diare. Dapat ditemukan gejala sistitis;
Nyeri tekan dan kemerahan pada sudut kostovestebra atau palpasi abdomen dalam;
Urinalisis: ditemukan sedimen leukosit.
19
Tatalaksana Pielonefritis Akut
Terapi Farmakologis
Indikasi rawat: adanya tanda tanda toksisitas sistemik, tidak mampu minum antibiotic oral.
Antibiotic parenteral pilihan: seftriakson 1 x 1 gram atau levofloksasi 4 x 500 mg atau
siprofloksasin 2 x 400 mg selama 7 14 hari;
Gejala ringan: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 7 hari;
Gejala berat: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 14 hari.
Terapi Nonfarmakologis
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Definisi
Kelainan ginjal pada GN akut disebabkan oleh pembentukan kompleks imun yang
terdeposisi di glomerulus. Selain itu pada glomerulonefritis pascainfeksi streptokokus, pencetus
pasti pembentukan kompleks imun belumlah diketahui dengan jelas.
Pada kelainan glomerulus primer, sel mesangial dan sel epitel glomerulus mengekspresikan
epitop yang menyerupai protein imunogenik yang dibuat di tempat lain dalam tubuh;
20
Pada GN infeksi, bakteri, virus, atau parasit dapat secara langsung menginfeksi ginjal dengan
menciptakan antigen sendiri;
Pada penyakit inflamasi sistemik, proses inflamasi meluas ke ginjal menyebabkan jejas
glomerulus sekunder. Pada sindrom Goodpasteur, target dari antigen adalah kolagen.
Pada glomerulonefritis akut terjadi perubahan structural dan fungsional. Perubahan structural
yang terjadi dapat bersifat local atau global serta difus atau segmental:
1. Proliferasi sel (endotel, mesangial, dan sel epitel). Proliferasi dapat terjadi endokapiler
(dalam kapiler glomerulus) atau ekstrakapsiler (dalam ruang Bowman);
2. Proliferasi leukosit, ditandai dengan adanya neutrofil dan monosit dalam lumen glomerulus;
3. Penebalan membrane basal glomerulus;
4. Hialinisasi atau sklerosis, menandakan jejas sudah ireversibel.
Diagnosis
Anamnesis
21
Ruam ruam kulit biasanya pada vaskulitis hipersensitivitas, SLE, purpura Henoch
Schonlein.
Pemeriksaan Fisik
Tanda tanda kelebihan cairan: edema periorbital/ edema di kaki, hipertensi, ronkhi basah
halus (jika ada edema paru), peningkatan tekanan vena jugularis, asites, atau efusi pleura;
Cari tanda tanda seperti ruam kulit, pucat, nyeri ketok costovertebral angel (CVA),
pembengkakan sendi;
Pemeriksaan neurologis yang tidak normal, gangguan kesadaran.
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap: anemia (bisa delusional karena kelebihan cairan), peningkatan laju endap
darah (LED), kreatinin serum meningkat;
Level komplemen: C3 dan C4; kadar immunoglobulin. Pada pascainfeksi streptokokus, kadar
C3 rendah;
Urinalisis (makroskopis dan mikroskopis): proteinuria, hematuria, sedimen eritrosit,
leukosituria;
Urin 24 jam: protein urin kuantitatif (meningkat), bersihan kreatinin;
Tes untuk antigen streptokokus: ASTO;
Pemeriksaan laboratorium lainnya: anti ds DNA, serologi hepatitis B dan C, ANCA, c
ANA, kadar trigliserida;
USG: ukuran ginjal membesar serta terdapat fibrosis. Korteks ginjal biasanya tidak rata
ekogenositasnya;
Biopsy ginjal, biasanya tidak diperlukan pada glomerulonefritis dengan penyebab infeksi.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto C, Hustrini NM. Gangguan ginjal akut. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.632-5.
2. Liwang M, Mansjoer A. Sepsis dan syok sepsis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.857-60.
3. Tanto C, Hustrini NM. Infeksi saluran kemih. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.640-1.
4. Tanto C, Hustrini NM. Sindrom nefritik akut. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.648-9.
23