Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di


negara negara berkembang. Gizi merupakan salah satu sasaran dari Millennium Development
Goals 2015. Data statistik dari United Nation Foods and Agriculture Organization (FAO),
menyatakan bahwa kekurangan gizi di dunia mencapai 1,02 milyar orang yaitu kira kira 15%
populasi dunia dan sebagian besar berasal dari negara berkembang. Anak anak adalah
golongan yang sering mengalami masalah kekurangan gizi. Kira kira setengah daripada 10,9
juta anak yaitu kira kira 5 juta anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi (FAO,
2009). Menurut data World Health Organization ( WHO) tahun 2009, terdapat empat jenis
masalah kekurangan gizi utama dan berpengaruh pada golongan berpendapatan rendah di negara
berkembang. Masalah gizi utama tersebut adalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi
Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY).
Masalah malnutrisi pada anak usia bawah lima tahun dapat mengganggu proses tumbuh
kembang secara fisikal maupun mental dan ini dapat memberikan dampak yang negatif pada
sumber daya manusia pada masa mendatang.
Berdasarkan data terbaru dari UNICEF, jumlah balita penderita gizi kurang mengalami
lonjakan dari 1,8 juta (tahun 2005) menjadi 2,3 juta (tahun 2006). Jumlah penderita gizi kurang
ini sekitar 28% dari total balita di seluruh Indonesia.
Dari jumlah balita penderita gizi buruk dan gizi kurang, sekitar 10% berakhir dengan kematian.
Berdasarkan data SKDI (Survey Kesehatan dan Demografi Indonesia), angka kematian balita
pada tahun 2007, tercatat sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi sebesar
34 per 1000 kelahiran hidup, dari angka kematian bayi dan balita tersebut, separuhnya
disebabkan oleh kekurangan gizi.

Data mengenai status gizi balita di Puskesmas Saparua tahun 2015 menunjukkan dari
sejumlah 267 balita terdapat 2 balita gizi lebih, 206 balita gizi baik, dan 33 balita gizi kurang
(12,36%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus kasus gizi kurang

1
pada tahun 2015 di wilayah kerja Puskesmas Saparua. Jumlah standar nasional yang ditetapkan
untuk kejadian gizi kurang adalah <15%.

Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
Faktor Risiko Kejadian Gizi Kurang pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Saparua Periode
Januari 2016 sampai dengan Agustus 2016 ditinjau dari pola asuh, tingkat pengetahuan gizi ibu,
tingkat pendapatan, pola makan, dan penyakit infeksi.

1.2. Pernyataan Masalah

1. Berdasarkan data FAO (2009), kekurangan gizi di dunia mencapai 1,02 milyar orang
yaitu kira kira 15% populasi dunia dan sebagian besar berasal dari negara berkembang.
2. Menurut WHO (2009), terdapat empat jenis masalah kekurangan gizi utama di dunia
yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A
(KVA) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY).
3. Berdasarkan data SKDI (2007), angka kematian balita di Indonesia tercatat sebesar 44
per 1000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup,
dari angka kematian bayi dan balita tersebut, separuhnya disebabkan oleh kekurangan
gizi.
4. Dari data profil Puskesmas Saparua (2015), tercatat jumlah balita dengan gizi kurang
sebesar 12,36%.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui berbagai masalah penyebab gizi kurang pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Saparua pada tahun 2016 dengan menggunakan pendekatan sistem.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya cakupan gizi kurang balita di wilayah kerja Puskesmas Saparua periode
Januari 2016 sampai dengan Agustus 2016.
2. Diketahuinya sebaran faktor faktor yang mempengaruhi risiko gizi kurang balita di
wilayah kerja Puskesmas Saparua pada tahun 2016.

2
1.4. Manfaat

1.4.1. Bagi Evaluator

1. Mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama proses
pendidikan.
2. Menjadi suatu pengalaman dan pengetahuan tentang evaluasi program gizi khususnya di
wilayah kerja Puskesmas Saparua.
3. Mengetahui berbagai kendala yang dihadapi dalam menjalankan program puskesmas
khususnya mengenai program gizi dan merangsang cara berpikir kritis dan ilmiah.

1.4.2. Bagi Puskesmas yang Dievaluasi


1. Mengetahui berbagai masalah yang timbul dalam program gizi di Puskesmas dan
pemecahan masalahnya.
2. Memperoleh masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat khususnya
mengenai program gizi.

1.4.3. Bagi Masyarakat


1. Mendapatkan pelayanan gizi yang lebih baik dari puskesmas.
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai risiko gizi kurang pada balita serta
faktor faktor lain yang berpengaruh.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai risiko gizi kurang pada balita serta faktor
faktor lain yang berpengaruh.
4. Memperoleh pembinaan mengenai program perbaikan gizi sehingga meningkatkan peran
serta masyarakat untuk lebih memperhatikan status gizi balitanya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Konsumsi makanan
berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila
tubuh memperoleh cukup zat zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjagi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau
lebih zat zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat zat gizi dalam
jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi
terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih.

2.2. Penilaian Status Gizi


Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada periode kehidupan
yang lain. Pemeriksaan yang perlu lebih diperhatikan tentu saja bergantung pada bentuk kelainan
yang berhubungan dengan kejadian penyakit tertentu. Kurang kalori protein, misalkan, lazim
menjangkiti anak. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang mengarah kesana
termasuk pula kelainan lain yang menyertainya perlu dipertajam.

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat


kesehatan. Bagian tubuh yang harus lebih diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah
kulit, gigi, gusi, bibir, lidah, dan mata. Pemeriksaan klinis diarahkan untuk mencari
kemungkinan adanya bintik bitot, xerosis konjungtiva, anemia, pembesaran kelenjar parotis,
kheilosis angular, fluorosis, karies, gondok, serta hepato dan splenomegali.
Penilaian antropometris yang penting dilakukan ialah penimbangan berat dan pengukuran
tinggi badan, lingkar lengan, dan lipatan kulit triseps. Pemeriksaan ini penting, terutama pada
anak prasekolah yang berkelas ekonomi dan sosial rendah. Pengamatan anak usia sekolah
dipusatkan terutama pada percepatan tumbuh. Uji pertumbuhan pada usia golongan ini

4
setidaknya diselenggarakan setahun sekali, karena laju pertumbuhan pada fase ini relatif
lambat. Sebagai patokan, pertambahan berat anak usia 5 10 tahun berkisar sampai 10% -
nya, sementara tinggi badan hanya bertambah sekitar 2 cm setahun (Arisman, 2004:59).
Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk
digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization National Centre for
Health Statistic (WHO NCHS).
Uji biokimiawi Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan adalah darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan
otot (Supariasa, dkk., 2006). Yang diperiksa ialah kadar hemoglobin, serta pemeriksaan
apusan darah untuk malaria. Pemeriksaan tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan
telur cacing saja.

Berdasarkan penilaian status gizi tersebut maka dikelompokan menjadi gizi baik, gizi
kurang, gizi lebih, dan gizi buruk.

2.3. Pengertian Balita

Anak balita adalah kelompok 12 bulan sampai kurang dari 60 bulan. Dan kelompok ini

dipisahkan antara kelompok 1 3 tahun dan kelompok usia 3 5 tahun.

Pertumbuhan balita dapat diamati secara cermat dengan menggunakan kartu menuju

sehat (KMS) balita. KMS berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan

menilai status gizi. Berbeda dengan KMS yang diedarkan Depkes RI sebelum tahun 2000, garis

merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk, melainkan garis

kewaspadaan. Manakala berat badan balita tergelincir di bawah garis ini, petugas kesehatan

harus melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap indikator antropometrik lain.

Ada beberapa faktor yang menimbulkan keperluan gizi untuk bayi dan balita yaitu

memelihara dan mempertahankan jaringan tubuh, perbaikan jaringan baru, variasi individual dan

5
aktivitas tubuh. Setiap ada sel atau jaringan yang rusak ini diperlukan gizi yang baik dan

seimbang, di mana adanya pembentukan jaringan baru maka terjadilah proses tumbuh kembang

anak, pembentukan jaringan ini juga yang tampak sebagai kenaikan berat badan anak.

Anak yang berumur 1 3 tahun akan mengalami pertambahan berat sebanyak 2 2,5 kg,

dan tinggi sebesar rata rata 12 cm setahun (tahun kedua 12 cm, ketiga 8 9 cm). Berat badan

baku dapat pula mengacu pada baku berat badan dan tinggi badan dari WHO NCHS, atau

rumus perkiraan berat badan anak: berat badan anak usia 1 6 tahun = [usia x 2 + 8]. Dengan

demikian, berat badan anak 1 sampai 3 tahun masing masing 10, 12, dan 14 kg.

Dengan baku WHO NCHS, rata rata berat anak usia 1, 2, dan 3 tahun berturut turut

10,2; 12,6; dan 14,7 kg untuk anak pria, sementara wanita 9,5; 11,9; dan 13,9 kg. Tinggi badan

pria masing-masing 76,1; 87,6; dan 96,5 cm. Tinggi badan wanita berturut turut 74,3; 86,5; dan

95,6 cm. Jika dibandingkan dengan tinggi badan yang dihitung dengan rumus, hasilnya tidak

jauh berbeda.

Pertambahan berat anak usia prasekolah berkisar antara 0,7 2 ,3 kg dan tinggi 0,9 1,2

cm/tahun sehingga menyebabkan tubuh mereka tampak kurus. Berat pada usia 7 10 tahun

bertambah sekitar 2 kg dan tinggi badan 5 6 cm setiap tahun. Menjelang puber pertambahan

berat dapat mencapai 4 4,5 kg setahun.

2.4. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Kurang

Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang telah ditemukan sebelumnya yaitu beberapa
variabel bebas (independen) yang merupakan faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian
gizi kurang pada balita.

6
Pola Makan
Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang
dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu
kelompok.
Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok masyarakat tertentu. Pola makan
suatu daerah dapat berubah ubah. Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada
umumnya diwarnai oleh jenis jenis bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat.
Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah daerah pantai ikan merupakan makanan sehari
hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah daerah pertanian padi, masyarakat
berpola makan pokok beras.
Pengertian pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai
macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri
khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain adalah : kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan
sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi
rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran,
kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu
ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi.
Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur unsur tertentu. Pertama,
sumber sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari
hari. Termasuk dalamsumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah : sistem
sosial keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan
media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari hari.
Unsur aset dan akses terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya
yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau
sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh
panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan hubungan
bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui
usaha tani majikan.
Kebiasaan makan adalah cara cara individu dan kelompok individu memilih,
mengkonsumsi, dan menggunakan makanan makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada

7
faktor faktor sosial dan budaya dimana mereka hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan
masyarakat dipengaruhi oleh :
1. Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir, berperasaan, berpandangan tentang
makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan.
Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan.
2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, tingkat, dan sifat sifatnya.
3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya.
4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, system usaha tani, sistem
pasar, dan sebagainya.
5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi kondisi yang bersifat hasil
karya manusia seperti sistem pertanian (perladangan), prasarana dan sarana kehidupan (jalan
raya dan lain lain), perundang undangan, dan pelayanan pemerintah.
6. Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang menghasilkan jenis jenis bahan
makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya.
Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat mempengaruhi
kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan. Oleh karena itu, di
lingkungan anak hidup terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan
kesehatan dan gizi.

Pengetahuan Ibu Tentang Gizi


Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkat tingkat tersebut di atas.
Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan
adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan
yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari
gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan
informasi tersebut dalam kehidupan sehari hari. Rendahnya pengetahuan gizi dapat
mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas

8
dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan
penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.

Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan dalam bidang kesehatan
Seseorang dapat dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan. Bertitik tolak dari
konsep pendidikan kesehatan itu juga proses pendidikan dan proses belajar pada individu,
kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu dan mampu
mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri.

Dengan demikian pemahaman seseorang terhadap suatu masalah dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan seseorang. Artinya semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin kecil kemungkinan
balitanya menderita gizi buruk.

Penyakit Infeksi
Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam
tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya
mungkin tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar
tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi
merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda.
Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya
dan meningkatnya kehilangan zat zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun
ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan
malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit
infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
Mekanisme patologisnya dapat bermacam macam, baik secara sendiri sendiri maupun
bersamaan, yaitu :
1. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan
kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.

9
2. Peningkatan kehilangan cairan / zat gizi akibat diare, mual / muntah dan pendarahan yang
terus menerus.
3. Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan
parasit yang terdapat dalam tubuh.
Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi
penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Penelitian yang dilakukan, ditemui
bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada
infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan
kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga
menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi
lebih dan gizi kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara
sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang
lebih berat. Ini dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering terjadi di
negara negara berkembang, menyebabkan tingginya angka kematian di negara tersebut.
Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi kurang maupun
gizi buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya
tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain anak yang menderita sakit infeksi
akan cenderung menderita gizi buruk.

Pekerjaan Orang Tua


Di negara seperti Indonesia yang jumlah pendapatan penduduk sebagian besar adalah
golongan rendah dan menengah akan berdampak kepada pemenuhan bahan makanan terutama
makanan yang bergizi. Hal ini berkaitan erat dengan jenis pekerjaan dari orang tua. Sebagian
besar masyarakat memiliki pekerjaan hanya sebagai petani dan nelayan tradisional, sehingga
tingkat penghasilan rendah. Keterbatasan ekonomi yang berarti ketidakmampuan daya beli
keluarga yang berarti tidak mampu membeli bahan makanan yang berkualitas baik, maka
pemenuhan gizi pada balitanya juga akan terganggu.
Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak
dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan
untuk keluarga sehari hari, baik kualitas maupun jumlah makanan.

10
Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga
faktor penyebab kekurangan gizi di atas, tetapi untuk mencegah gizi buruk tidak harus menunggu
berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Pembangunan
ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin
dari 40% (1976) menjadi 11% (1996). Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program
perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi
bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat.
Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua anggota keluarga, termasuk
semua jenis pemasukan yang diterima oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang,
pinjaman dan lain lain.

Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, akan sangat berdampak rendahnya daya beli
keluarga tersebut. Pada masyarakat nelayan, rendahnya tingkat pendapatan keluarga, sangat
berdampak terhadap rendahnya rata rata tingkat pendidikan, yang pada gilirannya akan
berimplikasi terhadap rendahnya tingkat pengetahuan dan perilaku (khususnya pengetahuan dan
perilaku gizi). Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam
keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya
kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi
pada anak balita.

Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu fasilitas perumahan, penyediaan air
bersih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat berperan terhadap timbulnya penyakit infeksi.
Selain itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan,
sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah tangga dan
pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi.

2.5. Gejala Klinis Gizi Kurang


Gejala klinis gizi kurang secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus,
kwashiorkor, atau marasmus kwashiorkor. Tanpa mengukur atau melihat berat badan bila
disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat / gizi buruk tipe kwashiorkor.

11
1) Kwashiorkor
Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki;
Wajah membulat;
Pandangan mata sayu;
Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit atau
rontok;
Perubahan status mental, apatis, dan rewel;
Pembesaran hati;
Otot mengecil (hipotrofi);
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas;
Sering disertai penyakit infeksi, anemia, diare.
2) Marasmus
Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit;
Wajah seperti orangtua;
Cengeng, rewel;
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada;
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang);
Diare kronis atau konstipasi / susah buang air
3) Marasmus-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus, dengan BB/U < 60% baku median WHO NCHS disertai edema yang tidak
mencolok.
2.6. Patofisiologi Gizi Kurang

Patofisiologi gizi kurang pada balita yaitu anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi
karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik sperti suasana makan, pengaturan makanan dan
lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan
vitamin E. Karena keempat elemen ini meurpakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga
mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina
ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan

12
gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang
mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada
cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun
senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.

Tugor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella
negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendo patella dan degenerasi saraf motorik
akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan,
hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi
penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan VLDL dan LDL. Karena
penurunan VLDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan,
pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.

Yang khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema
yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya
protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi
ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada
penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal
natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain
defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari
ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel. Untuk kembalinya membutuhkan
waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah
karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik.

2.7. Dampak Gizi Kurang


Gizi kurang bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan
dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi
yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi kurang akan mempengaruhi banyak organ dan
sistem, karena kondisi gizi kurang ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan
mikro / makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi kurang akan memporak
porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik
sehingga mudah sekali terkena infeksi.

13
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi kurang bisa mengancam jiwa karena
berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah
kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun
tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar
ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan
maupun perkembangannya.
Akibat gizi kurang terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat
kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya. Yang lebih memprihatinkan
lagi, perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan
otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri.
Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi vital karena otak adalah salah satu aset yang
vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi kurang terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,
penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian,
gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak.
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan
kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal hal yang dapat
mencegah terjadinya kondisi gizi kurang pada anak.

2.8. Pemberian Makanan Tambahan


Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah kegiatan pemberian makanan kepada
balita dalam bentuk kudapan yang aman dan bermutu beserta kegiatan kegiatan pendukung
lainnya dengan memperhatikan aspek mutu dan keamananan pangan. Serta mengandung nilai
gizi yang sesuai dengan kebutuhan sasaran.

PMT ada dua macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. Memiliki tujuan yang
sama yaitu untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh balita. PMT Pemulihan
dimaksudkan memenuhi kebutuhan gizi balita sekaligus sebagai pembelajaran bagi ibu dari
balita sasaran. PMT pemulihan diberikan dalam bentuk makanan atau bahan makanan local.

14
Hanya dikonsumsi oleh balita gizi buruk dan sebagai tambahan makanaan sehari hari bukan
sebagai makanan pengganti makanan utama.

PMT Penyuluhan adalah makanan tambahan yang diberikan kepada balita yang
disediakan oleh kader posyandu. Tujuan PMT Penyuluhan adalah sebagai sasaran penyuluhan
orang tua balita tentang makanan kudapan (snack) yang baik diberikan untuk balita, sebagai
sarana untuk menggerakkan perta serta masyarakat dalam mendukung kesinambungan
penyelenggaraan posyandu.

2.9. PMT Pemulihan

Prinsip PMT Pemulihan

1. PMT Pemulihan diberikan dalam bentuk makanan atau bahan makanan local dan tidak
diberikan dalam bentuk uang.
2. PMT Pemulihan hanya sebagai tambahan terhadap makanan yang dikonsumsi oleh balita
sasaran sehari hari, bukan sebagai pengganti makanan utama.
3. PMT Pemulihan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita sasaran sekaligus
sebagai proses pembelajaran dan sarana komunikasi antara ibu dari balita sasaran.
4. PMT Pemulihan merupakan kegiatan di luar gedung puskesmas dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat yang dapat diintegrasikan dengan kegiatan lintas program dan
sector terkait lainnya.
5. PMT Pemulihan dibiayai dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Selain itu PMT
Pemulihan dapat dibiayai dari bantuan lainnya seperti partisipasi masyarakat, dunia usaha
dan Pemerintah Daerah.

Persyaratan Jenis dan Bentuk Makanan

1. Makanan tambahan pemulihan diutamakan berbasis bahan makanan local. Jika bahan
makanan local terbatas, dapat digunakan makanan pabrikan yang tersedia di wilayah
setempat dengan memperhatikan kemasan, label dan masa kadaluarsa untuk keamanan
pangan.
2. Makanan tambahan pemulihan diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita sasaran.

15
3. PMT Pemulihan merupakan tambahan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita dari
makanan keluarga.
4. Makanan tambahan balita ini diutamakan berupa sumber protein hewani maupun nabati
(misalnya telur / ikan / daging / ayam, kacang kacangan atau penukar) serta sumber vitamin
dan mineral yang terutama berasal dari sayur sayuran dan buah buahan setempat.
5. Makanan tambahan diberikan sekali sehari selama 30 hari berturut turut.
6. Makanan tambahan pemulihan berbasis bahan makanan / makanan local ada 2 jenis yaitu
berupa:
a. MP ASI (untuk bayi dan anak usia 6 23 bulan)
b. Makanan tambahan untuk pemulihan balita usia 24 59 bulan berupa makanan keluarga.
7. Bentuk makanan tambahan pemulihan yang diberikan kepada balita dapat disesuaikan
dengan pola makanan sebagaimana Gambar 1.

Gambar 1. Pola Pemberian Makanan Bayi dan Anak Balita

16
BAB III

METODE

3.1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, kuesioner, pengukuran langsung, dan


data laporan Puskesmas Saparua periode tahun 2016.

3.2. Sasaran Kegiatan

Subjek kegiatan ini adalah seluruh ibu yang membawa anak balitanya yang mengalami gizi
kurang yang datang pada saat posyandu balita di wilayah kerja Puskesmas Saparua.

3.3. Instrument

Instrument yang digunakan berupa alat tulis, lembaran kuesioner, timbangan berat badan,
mikrotois, dan data laporan Puskesmas Saparua periode tahun 2016.

3.4. Tempat dan Waktu Kegiatan

Lokasi kegiatan dilakukan pada saat kegiatan posyandu balita di wilayah kerja Puskesmas
Saparua dan Puskesmas Saparua, tanggal 6 September 21 Oktober 2016.

17
BAB IV

HASIL

4.1. Profil Komunitas Umum

Secara umum masyarakat dengan jumlah 4.588 jiwa dengan distribusi usia mulai dari
balita hingga lansia tersebar di 3 desa dalam wilayah kerja Puskesmas Saparua.

4.2. Data Geografis

Puskesmas Saparua mempunyai wilayah kerja di 3 desa yaitu desa Saparua, desa Tiouw,
dan desa Kulur dengan luas wilayah 180 km2.

4.3. Data Demografis

Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Saparua adalah 4.588 jiwa, yang terdiri dari
desa Saparua sebanyak 2.459 jiwa, desa Tiouw sebanyak 1.237 jiwa, dan desa Kulur sebanyak
892 jiwa. Kepadatan penduduk wilayah kerja Puskesmas Saparua adalah 25 jiwa/km 2. Rata
rata jumlah jiwa per rumah tangga sebesar 3,7 jiwa. Jumlah keluarga miskin sebanyak 714
Kepala Keluarga. Rata rata jarak tempuh masyarakat ke puskesmas sekitar 5 menit dan terjauh
sekitar 1 jam.

4.4. Fasilitas Kesehatan

No. Desa Posyandu Puskesmas Pembantu


1. Saparua 3 -
2. Tiouw 2 -
3. Kulur 1 1

4.5. Tenaga Kesehatan

Jumlah dokter :-
Jumlah bidan dan perawat :9

18
Jumlah kader posyandu aktif : 20

4.6. Dana

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)


Swadaya masyarakat

4.7. Sarana
Medis
o Inventaris
a) Timbangan bayi : 5 buah di puskesmas dan 2 buah di pustu
b) Timbangan dacin balita : 3 buah di puskesmas dan 1 buah di pustu
c) Alat ukur tinggi badan / microtoa : 5 buah
d) Alat ukur panjang badan : 2 buah di puskesmas dan 1 buah di pustu
e) WHO Child Growth Standard : 1 buah/posyandu
o Habis pakai
a) KMS balita : Tersedia
b) Buku KIA : Tersedia
Non Medis
a) Poster/gambar/alat peraga berupa contoh bahan makanan: Ada
b) Alat tulis: Tersedia

4.8. Struktur Organisasi Program Gizi di Puskesmas Saparua

Kepala Puskesmas

Rymond Sopamena
Tata Usaha
Unit pelayanan teknis fungsional puskesmas

Unit kesehatan masyarakat

Unit perbaikan gizi masyarakat

19
4.9. Data Primer

Tabel 4.1. Cakupan Penimbangan Balita di wilayah kerja Puskesmas Saparua periode Januari
sampai dengan Agustus 2016

Bulan S K D N O T Kurang Kurus


Januari 271 230 230 197 5 6 21 33
Februari 327 280 280 159 72 45 24 24
Maret 333 293 293 203 60 18 19 19
April 333 283 283 279 46 5 17 17
Mei 340 304 304 236 32 32 13 13
Juni 308 296 296 243 20 12 12 12
Juli 308 272 272 220 25 11 21 21
Agustus 326 282 282 222 43 1 18 18
Rata rata 318 280 280 219 38 16 18 19

Keterangan:

S : Jumlah seluruh balita di wilayah kerja posyandu.

K : Jumlah balita yang memiliki KMS pada bulan ini di wilayah kerja posyandu.

D : Jumlah balita yang datang ke posyandu bulan ini.

N : Balita yang naik berat badannya pada penimbangan di posyandu.

T : Balita yang ditimbang dengan berat badan tetap (dan atau turun)

BGM : Balita yang BB nya di bawah garis merah pada KMS.

O : Balita yang tidak datang ke posyandu 2 bulan berturut turut

B : Balita yang baru pertama kali datang dan ditimbang di posyandu.

20
Cakupan pencapaian program penimbangan (K/S)
= 280/318 x 100% = 88,05 %
Cakupan peran dan partisipasi masyarakat dalam program gizi (D/S)
= 280/318 x 100% = 88,05 %
Cakupan kelangsungan program penimbangan (D/K)
= 280/280 x 100% = 100 %
Cakupan keberhasilan program gizi (N/S)
= 219/318 x 100% = 68,86 %
Cakupan kecenderungan status gizi (N/D)
= 219/280 x 100% = 78,21 %

Grafik 4.1. Presentase Balita Gizi Kurang dan Balita Kurus

35
30
25
20
15 Kurang
10 Kurus
5
0

Grafik 4.1 menunjukkan presentase balita gizi kurang dan balita kurus memiliki angka yang
perbedaannya tidak terlalu bermakna, sehingga di lapangan tenaga medis lebih menggunakan
rumus BB/TB atau BB/PB untuk menentukan status gizi balita saat posyandu.

21
Tabel 4.2. Cakupan Penimbangan Balita Desa Saparua, Tiouw, dan Kulur periode Januari sampai
dengan Agustus 2016

Desa S K D N O T Kurang Kurus


Saparua 1003 865 865 694 111 32 34 32
Tiouw 856 735 736 593 99 28 35 37
Kulur 681 638 638 471 79 50 69 77

Grafik 4.2. Faktor Penyebab Gizi Kurang Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Saparua

25
20
15
10
Resiko Rendah
5 Resiko Tinggi
0

Grafik 4.2 diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu yang memiliki balita gizi kurang di
wilayah kerja Puskesmas Saparua.

Jarak (pertanyaan no. 1)


o Risiko tinggi : rata rata waktu tempuh masyarakat ke posyandu sekitar 45 60 menit
o Risiko rendah : rata rata waktu tempuh masyarakat ke posyandu sekitar 5 30 menit.
Tingkat ekonomi / pendapatan (pertanyaan no. 11 dan 12)
o Risiko tinggi : Jika pendapatan keluarga responden < Rp. 500.000,00 per bulan.

o Risiko rendah : Jika pendapatan keluarga responden Rp.500.000,00 per bulan.

Pendidikan ibu (pertanyaan no. 1)

o Risiko tinggi : bila buta huruf, tamat atau tidak tamat SD atau yang sederajat, tamat atau
tidak tamat SMP atau yang sederajat, tidak tamat SMA atau yang sederajat.

22
o Risiko rendah: bila tamat SMA atau yang sederajat
Pengetahuan kesehatan (pertanyaan no. 7 9)
Skor tertinggi : 30 (jawaban benar skor 10)

Skor terendah : 6 (jawaban salah skor 2)

Interval skor : 24

Pengetahuan baik (risiko rendah) : (60% x 24) + 6 = 20 30

Pengetahuan rendah (risiko tinggi) : 6 19

Pola Makan (pertanyaan no. 3 6)

Skor tertinggi : 40 (jawaban benar skor 10)

Skor terendah : 8 (jawaban salah skor 2)

Interval skor : 32

Pola makan baik (risiko rendah) : (75% x 32) + 8 = 32 40

Pola makan buruk (risiko tinggi) : 8 31

Penyakit infeksi (pertanyaan no. 10)

o Risiko tinggi: Jika anak balita pernah menderita penyakit infeksi seperti diare atau ISPA

> 2 kali dalam 1 bulan.

o Risiko rendah: Jika anak balita menderita penyakit infeksi seperti diare atau ISPA 2

kali dalam 1 bulan.

23
BAB V

DISKUSI

Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan ditujukan untuk mewujudkan


manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah
masalah gizi. Gizi sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada anak dapat
menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap
penyakit, menurunnya tingkat kecerdasan, dan terganggunya mental anak. Kekurangan gizi yang
serius dapat menyebabkan kematian anak (Suwiji, 2006)

Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam
pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka
kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak
kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta
lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007).

Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8
tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara
menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia,
indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang
mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak anak berusia 5 tahun (balita)
yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).

Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan analisis secara menyeluruh dengan


menggunakan pendekatan system untuk mencapai target MDGS yang ada. Analisis yang
dilakukan meliputi masukan, proses pelaksanaan program gizi, faktor lingkungan, sampai
diperolehnya angka kejadian gizi kurang pada balita.

24
Masukan (input)

Tenaga Kesehatan
o Jumlah tenaga kesehatan yang ada sudah cukup baik. Namun untuk program gizi
dipegang oleh 1 bidan yang juga bertanggung jawab untuk poskesdes. Hal ini bisa
menyebabkan kemungkinan progamer kurang fokus terhadap program gizi, oleh karena
itu penting untuk lebih memberdayakan kader yang ada, meningat jumlah kader yang ada
di wilayah kerja Puskesmas Saparua cukup banyak. Dengan lebih diberdayakannya kader
ini diharapkan dapat membantu programmer untuk menurunkan angka kejadian gizi
kurang di wilayah kerja Puskesmas Saparua. Selain itu seharusnya untuk program gizi
dipegang oleh petugas gizi, sehingga penulis mengharapkan diadakan pengadaan perawat
gizi.
Sarana
o Fasilitas kesehatan seperti posyandu dan pustu di wilayah kerja Puskesmas Saparua
sudah ada, jumlahnya juga cukup memadai, namun untuk desa Kulur hanya terdapat 1
posyandu. Hal ini justru berbanding terbalik dengan desa lain yang memiliki posyandu
lebih dari 1. Mengingat lokasi desa Kulur yang cukup jauh dari Puskesmas Saparua dan
wilayah desa Kulur yang cukup luas sangat disayangkan jika hanya terdapat 1 posyandu.
Adapun dari data 2016 didapatkan angka gizi kurang pada balita paling banyak terdapat
di desa Kulur. Oleh karena itu bila memungkinkan dapat dibuka 1 posyandu lagi di desa
Kulur namun di tempat yang berbeda dengan posyandu yang sudah ada sebelumnya.
Dengan begitu diharapkan balita yang kurang gizi dapat lebih dijangkau oleh petugas
kesehatan.
o Dari data Laporan Tahunan (LT3) Puskesmas Saparua tahun 2015 sarana medis yang ada
di Puskesmas sudah lengkap dan jumlahnya pun memadai, namun pada kenyataannya di
lapangan ternyata ada beberapa sarana sarana medis yang rusak. Oleh karena itu bila
memungkinkan diadakan pengadaan sarana medis yang baru.

25
Proses

Pelaksanaan
o Berdasarkan data cakupan penimbangan balita di wilayah kerja Puskesmas Saparua
periode Januari sampai dengan Agustus 2016 peran dan partisipasi masyarakat dalam
program gizi (D/S) sebesar 88,05 %. Angka ini sudah cukup baik mengingat target tahun
2015 sebesar 75%. Namun dalam periode tersebut rata rata jumlah balita yang tidak
datang dalam 2 bulan berturut turut sebesar 38 dari 318 balita yang ada dengan
berbagai alasan salah satunya kesadaran orang tua. Dari observasi di lapangan, hal ini
paling banyak disebabkan oleh kesadaran orang tua yang rendah apalagi ketika anak
sudah mendapat imunisasi dasar. Hal ini menyebabkan apabila anak mengalami gizi
kurang tidak bisa segera ditangani. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk
dilakukan arisan orang tua yang memiliki balita di wilayah kerja Puskesmas Saparua.
Uang yang terkumpul dari hasil arisan per bulan digunakan untuk membiayai PMT
Pemulihan bagi balita yang mengalami gizi kurang. Dengan adanya arisan juga dapat
digunakan sebagai tempat untuk berbagi informasi mengenai perbaikan gizi atau
dilakukan penyuluhan. Selain arisan orang tua, untuk mengatasi keadaan tersebut para
kader dapat melakukan kunjungan ke rumah balita yang tidak datang saat dilakukannya
kegiatan posyandu.
o Pembagian PMT pada kegiatan posyandu sudah dilaksanakan dengan baik, menunya
pun bervariasi. Namun di lapangan, PMT yang dibagikan ini terkadang tidak hanya
diberikan kepada balita yang bersangkutan, tapi diberikan juga untuk anggota keluarga
yang lain. Hal ini menyebabkan tidak maksimalnya PMT yang diberikan, hal ini
terutama terjadi pada PMT Pemulihan yang diberikan bagi balita gizi kurang. Oleh
karena itu penting bagi kader yang tinggal di sekitar rumah balita tersebut untuk
mengontrol pemberian PMT ini dengan melakukan kunjungan setiap hari atau setiap 2
hari, sehingga PMT yang dibagikan benar benar tepat sasaran.
o Pada prinsipnya pemberian PMT bisa berupa bahan mentah atau berupa makanan yang
sudah diolah. Bila diberikan PMT dalam bentuk bahan mentah maka para ibu akan
diajarkan cara mengolah makanan tersebut oleh kader sambil diberikan penyuluhan
mengenai manfaat dari bahan makanan yang dimasak. Dalam hal ini kebanyakan
penyuluhan ini tidak berjalan, kader hanya memberikan bahan makanan tanpa

26
mengajarkan cara mengolahnya dan tidak dilakukan penyuluhan. Untuk mengatasi hal
tersebut bisa dipertimbangkan diberikan PMT berupa makanan yang sudah diolah dan
diberikan catatan mengenai cara mengolah dan manfaat dari bahan makanan yang
digunakan. Sehingga para ibu bisa mengerti cara mengolahnya dan manfaat dari bahan
makanan yang dipakai.
Lingkungan

Dari ketiga desa di wilayah kerja Puskesmas Saparua, desa Kulur merupakan desa terjauh
dari puskesmas oleh karena itu biasanya kegiatan puskesmas seperti posyandu, pusling, dan
penyuluhan kesehatan di sekolah biasanya dilakukan secara bersamaan di waktu yang sama
(biasanya 1 hari). Hal ini menyebabkan tidak fokusnya kegiatan posyandu yang dilakukan di
desa Kulur. Oleh karena itu penulis menyarankan apabila memungkinkan kegiatan posyandu
di desa Kulur tidak dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan puskesmas yang lain seperti
pusling atau penyuluhan kesehatan di sekolah.
Dari hasil kuesioner yang dibagikan faktor pengetahuan orang tua tentang faktor risiko gizi
kurang, makanan yang bergizi seimbang, dan pola makan yang baik merupakan faktor risiko
terbesar yang menyebabkan kejadian gizi kurang pada balita, disusul dengan tingkat
ekonomi, pendidikan orang tua, dan penyakit infeksi yang diderita balita. Untuk itu
pentingnya dilakukan penyuluhan bagi para orang tua, penyuluhan yang diberikan tidak
hanya terbatas saat kegiatan posyandu, namun bisa juga dilakukan di tempat ibadah berupa
pemutaran video tentang pengetahuan gizi, saat dilakukannya arisan ibu ibu yang memiliki
balita, ataupun dapat berupa pamflet yang dibagikan sehingga para orang tua tetap dapat
memperoleh informasi tentang faktor risiko gizi kurang, gizi seimbang dan diharapkan dapat
mengubah pola makan untuk balitanya.
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu faktor penyebab kejadian gizi kurang balita
berdasarkan kuesioner yang dibagikan. Sebagian besar responden menjawab pendapatan
keluarganya dibawah Upah Minimuml Regional (UMR) Maluku Tengah. Angka ini juga
berbanding lurus dengan tingkat pendidikan orang tua balita. Oleh karena itu bila
memungkinkan dilakukan kerjasama lintas sektoral di bidang ekonomi untuk lebih
memaksimalkan penjualan hasil bumi yang ada, misalnya dengan memperdayakan
pekarangan rumah untuk dijadikan kebun bercocok tanam. Dengan begitu diharapkan

27
pendapatan penduduk akan meningkat yang selanjutnya juga meningkatkan kesejahteraan
ekonomi masyarakat khususnya di wilayah kerja Puskesmas Saparua.
Untuk penyakit infeksi sebagai faktor penyebab kejadian gizi kurang pada balita dapat
dikurangi dengan lebih meningkatkan cakupan imunisasi dan pemberian rutin vitamin untuk
meningkatkan daya tahan tubuh balita. Selain itu dapat juga dilakukan peningkatan frekuensi
pelayanan kesehatan seperti pusling sehingga apabila terdapat gejala gejala penyakit infeksi
dapat segera ditangani dan tidak mempengaruhi status gizi balitanya.

28
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Dari hasil kuesioner yang dibagikan kepada para responden, faktor pengetahuan orang
tua tentang faktor risiko gizi kurang pada balita, makanan yang bergizi seimbang, dan pola
makan yang baik merupakan faktor risiko terbesar yang menyebabkan kejadian gizi kurang pada
balita, disusul dengan tingkat ekonomi, pendidikan orang tua, dan penyakit infeksi yang diderita
balita.

Hal ini kemungkinan karena belum maksimalnya kegiatan seperti edukasi dan sosialisasi
tentang gizi seimbang. Untuk itu pentingnya dilakukan penyuluhan bagi para orang tua,
penyuluhan yang diberikan tidak hanya terbatas saat kegiatan posyandu, namun bisa juga
dilakukan di tempat ibadah berupa pemutaran video tentang pengetahuan gizi, saat dilakukannya
arisan ibu ibu yang memiliki balita, ataupun dapat berupa pamflet yang dibagikan sehingga
para orang tua tetap dapat memperoleh informasi tentang faktor risiko gizi kurang pada balita,
gizi seimbang dan diharapkan dapat mengubah pola makan untuk balitanya.

Untuk penyakit infeksi sebagai faktor penyebab kejadian gizi kurang pada balita dapat
dikurangi dengan lebih meningkatkan cakupan imunisasi dan pemberian rutin vitamin untuk
meningkatkan daya tahan tubuh balita. Selain itu dapat juga dilakukan peningkatan frekuensi
pelayanan kesehatan sehingga apabila terdapat gejala gejala penyakit infeksi dapat segera
ditangani dan tidak mempengaruhi status gizi balitanya.

6.2. Saran

Bagi Puskesmas Saparua

Puskesmas dapat membuat suatu media informatif tentang gizi seimbang dan pola makan
yang baik di posyandu.
Dapat dibuat pelatihan tentang pengaturan pola makan dan dengan menggunakan alat peraga.
Diharapkan adanya evaluasi dan monitoring terhadap kegiatan ini.

29
Bagi Para Kader

Kader dapat secara aktif dan mandiri terjun ke masyarakat untuk memberikan edukasi
mengenai gizi seimbang dan pola makan yang baik untuk balita.
Kader dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan kesehatan Puskesmas untuk bersama
sama membantu menurukan angka kejadian gizi kurang pada balita.
Dengan adanya edukasi kader kepada para orang tua diharapkan para orang tua dapat
memperoleh informasi tentang gizi seimbang dan diharapkan dapat mengubah pola makan
untuk balitanya.

Bagi Dinas Kesehatan

Dapat melakukan pengadaan tenaga gizi untuk memegang program gizi di Puskesmas
Saparua

Bagi Masyarakat

Meningkatkan kerjasama lintas sektoral untuk lebih meningkatkan kesejahteraan ekonomi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Global database on child growth and malnutrition. 16 Agustus 2014. Diunduh dari
http://www.who.int/nutgrowthdb/database/countries/idn/en. 3 November 2016.
2. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Pedoman usaha perbaikan gizi keluarga. Volume 40.
Edisi I. Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta; 2007.
3. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Buku kader posyandu: dalam usaha perbaikan gizi
keluarga. Edisi XX. Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta; 2007.
4. Direktorat Bina Gizi. Petunjuk pelaksanaan surveilans gizi. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI; 2012.h.26-7.
5. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman gizi seimbang. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2015.h.27, 51.
6. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Panduan penyelenggaraan
pemberian makanan tambahan pemulihan bagi balita gizi kurang (bantuan operasional
kesehatan). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.h.5-15.
7. Forum Koordinasi Jejaring Informasi Pangan dan Gizi. Info pangan dan gizi media penyalur
informasi pangan dan gizi. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.h.8, 28.
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Keputusan menteri kesehatan
Republik Indonesia nomor : 1995/menkes/sk/XII/2010 tentang standar antropometri
penilaian status gizi anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.

31
LAMPIRAN

32

Anda mungkin juga menyukai