Anda di halaman 1dari 3

dr.

Karen Esrella

GIGITAN ULAR BERBISA


Definisi dan Etiologi
Merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat gigitan ular berbisa. Bisa ular tersusun dari
kumpulan toksin dan enzim yang dapat merusak jaringan local, berakibat disfungsi multiorgan,
hingga kematian. Sebagian besar ular berbisa ditandai dengan adanya taring, baik di sisi depan
atau belakang mulut. Berdasarkan data epidemiologi SEARO, jenis ular berbisa di wilayah Asia
Tenggara berasal dari familia Elapidae dan Viperidae.

Patofisiologi
Bisa ular bersifat hemotoksik, neurotoksik, nekrotoksik, kardiotoksik, dan nefrotoksik;
tergantung spesies ular. Setelah digigit, bisa ular akan diaktifkan oleh suhu tubuh dan pH
jaringan.

Enzim hyalurinase hidrolisis jaringan, permbeabilitas jaringan , serta membantu


penyebaran bisa.
Enzim proteolitik merusak endotel dan membrane basal kapiler permeabilitas ,
kebocoran albumin, tekanan onkotik jaringan edema penyebaran toksin lebih jauh.
Enzim L arginin esterase pelepasan bradikinin nyeri, hipotensi, mual, muntah,
banyak berkeringat.
Serotonin dan histamine vasodilatasi dan hipotensi hipovolemia, kolaps, syok, atau
tanda tanda iskemia miokardium.
Menghambat transmisi impuls pada neuromuscular junction gangguan neurologis dan
neuromuscular.
Enzim Protease Sindrom hemoragik melalui beberapa jalur aktivasi system koagulasi.
Penyebab kematian tersering akibat gigitan ular berbisa ialah syok. perdarahan saluran cerna,
gagal ginjal akut, serta perdarahan intracranial.

Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala awal:

Nyeri yang semakin memberat (rasa terbakar, rasa tertekan, dan berdenyut) pada lokasi
gigitan. Pembengkakan dapat semakin meluas ke proksimal.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional (sesuai arah penyerapan) yang disertai
nyeri. Dapat pula terjadi limfangitis regional.
Pada kondisi yang lebih berat, dapat terjadi infeksi local, abses, hingga nekrosis jaringan.
Tanda dan gejala sistemik:

Mual, muntah, malaise, nyeri perut, lemas, mengantuk.


Kardiovaskular: sinkop, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema konjungtiva
(kemosis);
Kelainan hemostasis (Vipiridae): perdarahan traumatis (akibat gigitan), perdarahan spontan.
Kelainan neurologis: parestesia, gangguan pengecapan atau penghidu, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis nervus kranialis, hingga paralisis flaksid umum dan otot pernapasan;

1
dr. Karen Esrella

Pemecahan otot rangka: nyeri otot, kaku otot, trismus, mioglobinuria, hiperkalemia, henti
jantung, gagal ginjal akut;
Gangguan ginjal: hematuria, hemoglobinuria, mioglobinuria, oligouria/anuria, serta tanda
tanda uremia;
Kelainan endokrin: syok, hipoglikemia. Atau pada fase kronis, terjadi kelemahan, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidisme, dan sebagainya;
Lainnya: thrombosis arteri serebral;
Pada komplikasi kronis, dapat terjadi nekrosis yang harus diamputasi, ulkus kronis, infeksi,
osteomielitis, kontraktur, serta atrodesis.

Diagnosis
Seringkali pasien datang dengan riwayat tergigit ular. Dalam anamnesis, sangat penting
untk mengidentifikasi lokasi gigitan, lama kejadian, jenis ular, serta keluhan yang dirasakan saat
pemeriksaan. Penentuan jenis ular sangat penting untuk memprediksi derajat kegawatan pasca
gigitan ular.

Tata Laksana
1. Pertolongan Pertama (segera setelah kejadian gigitan di lokasi kejadian) untuk
mencegah absorpsi sistemik dan mencegah mortalitas.
Cegah penyebaran bisa dengan menekan tempat gigitan dan imobilisasi daerah tergigit
dengan splint atau sling.
Tindakan insisi dan pengisapan bisa tidak dianjurkan bila dalam 45 menit pasien dapat
sampai ke rumah sakit. Pengisapan pun hanya dilakukan dengan alat.
Intervensi terhadap luka lainnya (menggosok, pemijatan, penggunaan herbal atau zat
kimiawi, bantal es) tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan infeksi, meningkatkan
absorpsi bisa ular, serta meningkatkan perdarahan lokal.
Penggunaan tourniket arterial yang ketat tidak direkomendasikan, terlebih ketika
tourniket dipasang terlalu lama (40 menit), karena dapat menimbulkan iskemia jaringan.
Pada kasus dengan komplikasi akut syok atau paralisis otot pernapasan, lakukan bantuan
hidup dasar.
Transportasi ke fasilitas kesehatan terdekat.

2. Tata laksana di fasilitas kesehatan:


Lakukan resusitasi bila menemukan tanda tanda hipotensi dan syok, gagal napas, henti
jantung atau perburukan mendadak akibat penyerapan sistemik bisa ular);
Pemeriksaan uji koagulasi (20 minute whole blood clotting test) direkomendasikan
untuk setiap kasus gigitan ular, di samping pemeriksaan laboratorium lainnya;
Berikan injeksi intravena toksoid tetatus (TT) 0,5 ml (sediaan 2 ml/vial) dan
pertimbangkan serum antibisa ular (SABU):
SABU merupakan serum polivalen dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular.
Setiap 1 ml SABU (sediaan 1 vial: 5 ml) berisi:
- 10 50 LD50 bisa ular tanah (Ankystrodon rhodostoma),
- 25 50 LD50 bisa ular belang (Bungarus fasciatus),
- 25 50 LD50 bisa ular kobra (Naja Sputarix), dan
- Larutan fenol 0,25%

2
dr. Karen Esrella

Indikasi: adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Cara pemberian: SABU 10 ml (2 vial) intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dekstrosa 5% dengan kecepatan 40 80 tetes/menit. Maksimal pemberian 100 ml
SABU (20 vial). Infiltrasi local SABU tidak dianjurkan.
Monitor: lakukan pemeriksaan koagulasi pada 3 jam setelah pemberian SABU, bila
tidak ada perbaikan (fibrinogen tidak meningkat, waktu koagulasi tetap memanjang),
ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikut,
demikian seterusnya.
Efek samping: reaksi anafilaktik (jarang terjadi), serum sickness (berupa demam,
pruritus, eksantema, dan gejala alergi lainnya), serta nyeri pada penyuntikan dosis
besar.
Pemberian antibiotic (penisilin prokain 900.000 IU) diberikan pada kasus dengan
kecurigaan infeksi bakterialis sekunder (bila terjadi nekrosis).
Pemeberian antihistamin IV (defenhidramin, hidroksilin) atau steroid IV
(metilprednisolon) dapat dipertimbangkan bila terjadi reaksi alergi terhadap SABU.
Berikan terapi suportif lainnya (sesuai indikasi), seperti transfusi darah atau komponen
darah pada perdarahan atau koagulopati berat, koreksi gangguan elektrolit dan asam
basa, serta anti nyeri (hindari golongan narkotik depresan).
Fasciotomi bila edema semakin meluas dan terjadi compartement syndrome.

Analisis Kasus

Pada pasien wanita usia 21 tahun dengan gejala nyeri pada kaki kanan akibat digigit ular
sejak 1 jam SMRS. menurut pengakuan pasien, ular yang menggigit berwarna hitam berbintik
bintik putih. Nyeri di kaki dirasakan menjalar sampai ke paha kanan. Nyeri ulu hati (+), mual
(+), muntah (-). Riwayat alergi obat disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien kompos mentis, tanda tanda vital:
tekanan darah 110/60 mmHg, frekuensi nadi 102 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, suhu:
38C. Pemeriksaan fisik umum mata, hidung, mulut, pulmo, dan cor dalam batas normal,
pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium (+), supel, bising usus (+) normal.
Pemeriksaan extremitas tungkai kanan bawah (region kruris dextra 1/3 distal) didapatkan 2 luka
tusuk disertai edema, kemerahan, dan nyeri tekan. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
maka pasien didiagnosis dengan snake bite.

Pada pasien dilakukan insisi luka pada lokasi gigitan, diberikan intravena SABU 2 vial
dalam 500 ml NaCl 0,9% dengan kecepatan 40 80 tetes/menit (tidak tersedia), injeksi
Dexamethasone 1x1 ampul (IV), injeksi TT 0,5 cc (IM), injeksi Difenhidramin 1x1 ampul (IV),
Ibuprofen tablet 3x1 (PO), Ranitidine tablet 2x1 (PO), Klindamisin tablet 4 x 150 mg, Asam
mefenamat tablet 3x1 jika nyeri (PO), dan dilakukan observasi tanda tanda vital dan keadaan
umum di IGD selama 2 jam. Pasien diperbolehkan pulang dan diedukasi untuk dilakukan
imobilisasi dan kembali ke RSU Saparua jika terjadi perburukan.

Anda mungkin juga menyukai