Anda di halaman 1dari 14

PETA POLITIK SASTRA INDONESIA (1908-2008)

oleh Asep Sambodja


Program Studi Indonesia FIB UI

Prolog
Bagaimanakah peta politik sastra Indonesia selama 100 tahun (1908-
2008)
belakangan ini? Dalam makalah ini akan dijelaskan secara deskriptif peta
politik sastra
Indonesia d alam satu abad kebangkitan nasional. Kita tahu bahwa
perkembangan politik
di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia.
Siklus
perubahan politik 20 tahunan, misalnya, bisa terbaca dalam penyebutan
angkatan yang
diberikan kritikus sastra H.B. Jassin.
Di masa kolonialisme, pengaruh itu tampak dalam karya sastra, baik
yang
memiliki semangat antikolonialisme di zaman Belanda maupun
berkembangnya
simbolisme di zaman Jepang akibat situasi yang sangat represif. Di masa
pemerintahan
Soekarno, perbedaan ideologi yang demikian tajam nasionalisme, agama,
komunisme juga berdampak langsung terhadap perkembangan sastra Indonesia,
y akni
dengan mer asukny a ideologi dalam diri sastrawan maupun dalam karya
sastra yang
dihasilkannya. Hal ini dapat terbaca dengan jelas dalam polemik antara
sastrawan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung nilai-nilai realisme
sosialis
dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai
humanisme universal.
Di masa pemerintahan Soeharto, polemik antara sastrawan Manikebu
dengan
sastrawan Lekra sedikit menyusut dalam paruh pertama masa
pemerintahannya, namun
semakin mencuat di paruh kedua masa pemerintahan Soeharto. Indikasinya
adalah
munculnya polemik hadiah Magsaysay pada 1995, saat sastrawan Lekra,
Pramoedya
Ananta Toer, memp eroleh hadiah tersebut. Polemik itu dimotori oleh Taufiq
Ismail, salah
satu ujung tombak sastrawan Manikebu.
Pemerintahan Soeharto yang cenderung sentralistis juga menimbulkan
reaksi di
kalangan sastrawan, yakni dengan munculnya suara-suara revitalisasi sastra
pedalaman
yang menolak Jakarta sebagai pusat. Selain itu, kecenderungan apolitis yang
diterapkan
pemerintah Soeharto juga direspons dengan gagasan sastra kontekstual y ang
disuarakan
Arief Budiman dan Ariel Heryanto.
Kini, di era reformasi, sastrawan Indonesia juga merasakan adanya
kebebasan
berpendapat, kebebasan berekspresi, dan lahirnya semangat untuk menghargai
perbedaan
(multikulturalisme). Jiwa bhinneka tunggal ika yang terdapat dalam karya
sastra klasik
Indonesia abad ke-14, kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, seperti
dibangkitkan
kembali dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya di Indonesia.

Pendahuluan
Dalam sejarah sastra Indonesia, selalu ada dua kutub yang saling
bersinggungan
dan bernegosiasi. Relasi kuasa antara pihak yang merepresi dengan pihak
yang tertekan
senantiasa menimbulkan gejolak, konflik, dan perubahan. Penelitian ini dibatasi
pada satu
abad kebangkitan nasional Indonesia, yakni dimulai pada 1908 saat kesadaran b
erbangsa
mulai tumbuh di kalangan pemuda-pemuda Indonesia y ang
mendirikan organisasi Boedi
Oetomo hingga 2008, yang bertepatan dengan satu abad perjalanan
bangsa Indonesia.
Dalam p enelitian terdahulu, saya telah menyinggung
adanya dua kiblat dalam
sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia y ang masih
memperlihatkan pengaruh
Hindu/Budha yang sangat kuat, yang terpusat d i Jawa dan
sastra Indonesia yang masih
memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di
Sumatera (Sambodja,
2005: 174). Kedua kiblat itu bisa men jadi rujukan dan r unutan
berkaitan dengan
penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan itu juga
diperkuat dengan hasil
penelitian Kratz (1987) yang memperlihatkan bahwa pada 1983,
sastrawan Indonesia
yang menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia banyak berasal
dari kedua kiblat itu,
yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%).
Saya tidak mempersoalkan benturan dari kedua kiblat itu,
karena masing-masing
memiliki kekhasannya tersendiri. Karya-kary a sastra Jawa lebih
banyak terpengaruh oleh
karya sastr a India (Zoetmulder, 1985). Naskah Jawa tertua yang
puitis, Arjunawiwaha
karya Empu Kanwa, misalny a, terbaca adan ya pengaruh
Mahabarata karya Vyasa.
Sementara kary a sastra Melayu abad ke-16 dan 17 lebih banyak
dipengaruhi karya sastra
Arab dan Persia (Hadi, 1995). Ajaran tasawuf dalam karya-karya
Hamzah Fansuri,
misalnya dalam Sid ang Ahli Suluk , memperlihatkan pengaruh
pemikiran sufi sebelum
abad ke-13, seperti Al Hallaj, I mam Al-Ghazali, dan Ibn Arabi
(Hadi, 1995: 21).
Hamzah Fansuri dibunuh dan karyanya diberangus atas anjuran
ulama-ulama Aceh yang
berafiliasi dengan pusat kekuasaan.
Dalam pembacaan Sikorsky (1970), karya sastra Jawa y
ang lebih modern, seperti
karya Ronggowarsito, yang menggunakan bahasa Jawa,
seharusnya diperhatikan oleh
penulis sejarah sastra Indonesia, karena message yang
disampaikan pengarang masih
relevan bahkan hingga hari ini.
Sikorsky juga menilai, selama ini pakar sastra seperti A.
Teeuw dan H.B. Jassin
menggolongkan sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa yang
digunakan dalam
penulisan karya sastra, yakni bahasa Melayu tinggi.
Penggolongan semacam itu
menafikan karya sastra lainnya yang menggunakan bahasa
Melayu rendah, sep erti karya
Semaun dan Mas Marco Kartodikromo. Kedua nama tersebut
tidak tercantum dalam
khasanah sastra Indonesia karena dianggap meracuni masyarakat,
berbau komunis, dan
mengandung pornografi. Padah al, penilaian itu menggunakan
perspektif atau kacamata
kolonial Belanda. Kalau menggunakan perspektif lain, mak a
yang tampak adalah
pencerahan, yakni pemikiran baru yang keluar dari batas-batas
konvensi, yang berisi
semangat Indonesia, karena mengandung antiimperialisme atau
antikolonialisme.
Penggolongan sastra Indonesia berdasar kan penggunaan
bahasa Melayu tinggi
tidak saja men afikan kary a sastra yang menggunakan bahasa
Melayu rendah, tapi juga
menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa daerah.
Betapa banyak karya sastra
yang tidak ter masuk dalam khasanah sastra Indonesia hanya karena
menggunakan bahasa
daerah, seperti karya Ronggowarsito, misalnya, padahal message
karya Ronggowarsito
itu tetap abadi hingga kini. Semangat Indonesianya, y ang
antifeodalisme, sangat
kentara dalam karya-karyanya. Sayang kalau kary a sastra produk
anak bangsa yang
berbobot seperti itu luput dari perhatian para ahli sastra atau
penulis sejarah sastra
Indonesia.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski
halaman 2 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Sebelum 1908, terjadi benturan antara pihak keraton deng
an pihak di luar keraton
(Mohamad, 2003). Selain itu, antara sastrawan dan ulama su fi
dengan kaum puritan juga
terjadi gejolak dan benturan sebagaimana dialami Hamzah Fansuri
dan Syekh Siti Jenar.
Bagaimana dengan relasi kuasa yang ada pada periode 1908-2008?
Kita tahu bahwa pada periode 1908-1945 adalah masa
penjajahan yang
memberangus kemerdekaan bangsa Indonesia, baik di bawah
kolonial Belanda maupun
Jepang (1942-1945). Jelas, b ahwa ketegangan yang terjadi
adalah antara pihak kolonial
dengan pihak inlander (pribumi). Ketika berada di b awah
kolonial Belanda, sastrawan
Indonesia memperjuangkan kemerdekaan deng an menyuarakan
antiimperialisme, dengan
menggunakan bahasa Melayu Rendah bahasa yang tidak
dikehendaki Balai Pustaka
saat itu (Sikorsky, 1970). Sastrawan Indonesia yang menerbitkan
karyanya di Balai
Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial Belanda, mengalami
nasib penyensoran,
karena naskah yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan
kebijakan pemerintah
Belanda. Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis,
misalnya, berbeda jauh
dengan isi naskah aslinya. Begitu juga nasib novel Belenggu
kary a Army n Pane yang
ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Sementara novel-novel yang
terbit di luar Balai
Pustaka dilecehkan dengan dicap sebagai bacaan liar , novel
picisan , dan dianggap
bisa meracuni masyarakat .
Ketika berada d i bawah pemerintah kolonial Jepang,
penyensoran tetap terjadi
bahkan makin menjadi. Sastrawan Indonesia dilarang menulis dalam
bahasa Belanda atau
menyinggung hal-hal yang berbau Barat. Di satu sisi, pelarangan
ini membatasi
kreativitas sastrawan saat itu, tapi di sisi lain, perkembangan
bahasa Indonesia
mengalami pertumbuhan yang sangat cepat karena menjadi
bahasa utama dalam
komunikasi, pendidikan, dan sastra (Rosidi, 1995). Keimin Bunka
Sidhoso (Kantor Pusat
Kebudayaan) menjadi alat represi pemerintah Jepang yang sangat
efektif. Lembaga ini
membatasi ruang gerak seniman dan sastr awan, karena
diarahkan untuk menulis sastra
propaganda demi kemenangan Asia Timur Raya dan antiAmerika
dan sekutu-sekutunya.
Seniman yang mencoba menyuarakan pikiran dan perasaannya
sesuai dengan hati
nuraninya sendiri, seperti yang disuarak an Cak Durasim, maka
berujung pada kematian
(Poeponegoro, 1984; Wasono, 2007).
Sejarah kemudian mencatat bah wa Polemik Kebudayaan
yang dipicu Sutan
Takdir Alisjahbana dan polemik antara sastrawan Lekra dengan
sastrawan Manifes
Kebudayaan banyak mewarnai perjalanan sastra Indonesia.
Polemik Kebudayaan
melahirkan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dan kelompok
Manifes Kebudayaan.
Di samp ing itu, polemik antara Lekra deng an Manikebu tidak hany
a terjadi pada 1960-an
(menjelang naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan), melainkan juga
terjadi pada 1990-an
(menjelang jatuhnya Soeharto dari puncak kekuasaan).

Perspektif Baru
Terbitnya dua buku Ernst Ulrich Kratz, A Bibliography
of Indonesian Literature
in Journals Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah:
Drama, Prosa, Puisi
(1988) dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
(2000) telah memberikan
perspektif baru bagi pembacanya bahwa sejarah sastr a Indonesia
harus selalu ditulis
ulang, terus-menerus, dan diperbaiki dari tahun ke tahun. Demikian
pula dengan terbitnya
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski
halaman 3 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1995)
karya P.J. Zoetmulder
dan buku Yang Indah, Berfaedah, dan Kamil: Sejarah Sastra
Melayu dalam Abad 7-19
(1998) karya V.I. Braginsky.
Setidaknya ada dua alasan utama kenapa sejarah sastra
Indonesia harus selalu
diperbaiki. Pertama, sesuai d engan perkemb angan waktu
perkembangan zaman, jumlah
sastrawan dan karya sastra yang dihasilkan akan selalu
bertambah. Semakin lama akan
semakin banyak jumlahny a. Kedua, penulisan sejarah
sastra seringkali hanya
memperhatikan sastra kanon, sehingga karya sastra y ang muncul
pada masa yang
bersamaan hanya menjadi fosil atau artefak yang tidak diperhatikan.
A. Teeuw dalam Kratz (1988) mengatakan bahwa
kanonisasi dalam sastr a itu
sangat penting dan berguna, namun sekaligus juga sangat
berbahay a, karena kanonisasi
itu akan menimbulkan kecenderungan untuk memfosilkan sastra
dan apresiasi sastra
dalam masyarakat serta akan men cegah orang untuk membaca
dengan perspektif baru,
untuk membuat penemuan- penemuan baru, dan
membentuk pandangan-pandangan segar.
Dalam buku A Bibliography of Indonesian Literature in
Journals itu, Kratz
mencatat ada 27.078 judul karya sastra yang terbit di majalah
pada 1922-1982 yang
ditulis oleh 5.506 sastrawan. Dengan rincian, puisi sebany ak
16.507 judul, prosa 10.389
judul, dan drama 182 judul. Dalam kurun waktu 60 tahun, jumlah
sastrawan berikut karya
sastra yang berbahasa Indonesia tercatat dalam jumlah yang
fantastis. Namun, buku
sejarah sastra Indonesia yang ditulis melalui proses kanonisasi y
ang r umit karena tidak
saja ditentukan oleh faktor kesusastraan dan kebudayaan,
melainkan juga dipengaruhi
faktor ekonomi, sosial, dan bahkan politik itu tidak bisa menampung
semuanya.
Sementara buku Kratz yang lain, Sumber Terpilih Sejarah
Sastra Indonesia Abad
XX, memper lihatkan bahwa sastrawan dan kritikus sastra
Indonesia juga sudah bertahun-
tahun memikirkan dan membicarakan kesusastr aan dan
kebudayaan Indonesia. Banyak
hal yang dibicarakan dalam buku ini, namun yang menonjol
adalah sejarah pemikiran
para sastrawan dan budayawan Indonesia mengenai sastra dan
budaya Indonesia pada
1928-1997. Beragam pemikiran yang dihimpun Kratz tersebut
memperlihatkan
beragamnya visi atau perspek tif yang bisa digunakan dalam
melihat suatu peristiwa
sejarah.
Sementara empat buku Keith Foulch er, y akni Sumpah
Pemuda: Makna dan
Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia
(2000), Pujangga Baru:
Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942
(1991) , Angkatan 45: Sastra,
Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social
Commitment in Literature
and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-
1965 (1986) saya
urutkan secara kronologis berdasar kan topik yang dibicarakan,
dan bukan berdasarkan
tahun terbitnya memperlihatkan intensitasnya dalam membaca
sejarah nasional
Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesusastraan dan
kebudayaan Indonesia.
Model penulisan sejarah semacam ini, yang mengaitkan
sastra dengan faktor
sosial politik, yang juga menjad i model penulisan Harry
Aveling, misalnya dalam buku
Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003),
sedikit banyak
mempengaruhi pembahasan mengenai peta politik sastra Indonesia
(1908-2008) ini.
Dalam Keith Foulcher (1991) misalnya, ia tidak hany a
membahas karya sastra
yang terbit pada masa 1930-an, tetapi juga membahas panjang
lebar mengenai polemik
kebudayaan yang terjadi pada pertengahan 1930-an sekaligus
situasi sosial politik pada

Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski


halaman 4 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
saat itu. Hal ini membu ktikan bahwa sastrawan ber ikut karya
sastranya tidak terasing
dari persoalan yang ada di masyarakatnya. Bahkan terjadi in
teraksi secara langsung
antara sastrawan, karya sastra, realitas kehidupan, dan masyarakat.
Sastrawan menciptakan karya sastra berdasarkan
kenyataan yang dilihat dan
dialami sesuai d engan visinya. Dengan kata lain, sastrawan
memotret kenyataan yang
diketahuinya dan kemudian menuangkannya dalam
bentuk karya sastra. Analoginya, bila
wartawan memotret keny ataan menjadi berita, mak a sastrawan
memotret kenyataan
menjadi cerita. Baik berita yang ditulis wartawan maupun cerita
yang ditulis sastrawan
akan diwarnai visi penulisnya. Dan itu sah-sah saja.
Sebuah fakta akan menjadi berita yang berbeda-beda jika
ditulis oleh para
wartawan yang memiliki latar belakang yang berbeda-bed
a pula, misalnya, latar belakang
agama, suku (etnik), pendidikan, ideologi, partai politik,
komunitas, gender, dan
sebagainya. Bagaimana bila fakta yang sama itu ditulis oleh p
ara sastrawan? Tentu
hasilnya akan lebih mencengangkan, karena setiap sastrawan
memiliki licentia poetica,
semacam hak prerogatif untuk menggunakan metafora yang khas,
personal, bahkan bebas
melakukan penyimpangan terhadap konvensi bahasa yang ada.
Claire Holt (2000) mengatakan, satu abad hanyalah sebuah
periode singkat dalam
sejarah sebuah peradaban. Perlu dicatat di sini bahwa dalam
rentang waktu 1908-2008
telah terjadi sebuah peristiwa politik yang sangat penting bagi
bangsa Indonesia yakni
peristiwa 30 September 1965 yang dampaknya masih terasa hingga
sekarang. Misalnya,
keluarga anggota PKI yang ikut menjadi korban dalam per
istiwa itu, meskipun mereka
tidak berhubungan secara langsung dengan PKI, belum
mendapatkan keadilan. Nama
baik mer eka belum direhabilitasi, apalagi mendapat kompensasi
k arena selama Orde
Baru mereka dibatasi ruang geraknya untuk mencari nafkah..
Penelitian ini akan difokuskan ke persoalan sastra dan bud
aya, yang secara tidak
langsung terseret ke persoalan politik karena sastrawan-sastrawan
Lekra menggaungkan
politik ad alah panglima , terutama setelah Presiden Soekarno
mengumumkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, tentang Demokrasi Terpimpin, yang antara
lain memberikan
wewenang yang sangat besar pada Lekra underbouw PKI, salah
satu partai pendukung
kebijakan-kebijakan Soekarno untuk mengembangkan kebudayaan.

Polemik Kebudayaan
Ada pendapat yang mengatakan bahwa semua per buatan
manusia pasti
dipengaruhi pikiran. Dan, kita tahu bahwa tidak ada yang baru
sama sekali di bawah
kolong langit ini. Oleh kar ena itu, pengaruh pemikiran
sebelumny a pasti kita lihat pada
semua pemikiran yang berkembang sekarang ini (Kuntowijoyo,
2003: 189-192). Roland
N. Stromberg, dalam Kuntowijoyo (2003), men definisik an
sejarah pemikiran (history of
thought, history of ideas, atau intellectual history) sebagai the study
of the role of ideas in
historical events and process. Oleh kar enanya, sejarah manusia
tidak dapat lepas dari
proses perkembangan pemikiran.
Sutan Takdir Alisjahbana, y ang pada 1935 berusia 27
tahun, menghentak
kalangan intelektual Indonesia dengan pemikirannya yang radikal
melalui sebuah artikel
berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang dimuat
di majalah yang
didirikan dan dipimpinnya sendiri, Pujangga Baru. Dalam
tulisannya itu, Sutan Takdir

Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski


halaman 5 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008

Anda mungkin juga menyukai