Oleh :
ARIF AWALUDIN
DIAN HASANAH
ENTIN WINDESTI
1
BAB I
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pendahuluan
Dalam khazanah hukum positif, hukum menurut isinya dapat
dibagi menjadi Hukum Privat (Hukum Sipil) dan Hukum Publik. Hukum
Sipil dalam arti luas meliputi Hukum Perdata (Burgelijkrecht) dan Hukum
Dagang (Handelsrecht), sedangkan dalam arti sempit meliputi Hukum
Perdata saja. Hukum Publik terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional.
Berbeda dengan hukum positif, hukum Islam tidak membedakan
dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan
karena menurut sistem hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi
segi publik dan pada hukum publik ada segi segi perdatanya. Itulah
sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum
itu. Yang disebutkan hanyalah bagian bagiannya saja, seperti misalnya;
Munakahat, Wirosah, Muamalat dalam arti khusus, jinayat atau Al
uqubah, al ahkam as sulthoniyyah, siyar, dan mukhosamat.
2
orang-orang mukallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil
hukum yang terperinci dari Al Quran dan Hadist.1
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Syariat Islam dimaksud secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi
setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat
yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada
pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya
pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah
dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.2
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah
mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut
terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha, perkataan
Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara. Meskipun
demikian, pada umunya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya
untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara. Meskipun
demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya
untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti
pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha
yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam
dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang
diancam dengan tazir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat
adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara yang diancam Allah
dengan hukuman had atau tazir.
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang
yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama
dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syariat Islam adalah
1
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Study Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), hlm.86.
2
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.1.
3
ketentuan-ketentuan hukum syara yang melarang untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut
dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana
pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang
berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai
dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam
(Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan tazir.
1. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
menyatakannya. Asas ini berdasarkan pada Quran Surat Al-Isra ayat 15
dan Surat Al-Anam ayat 19.
Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa Al-Quran
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW supaya menjadi
peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu.
2. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan
mendapat imbalan yang setimpal.
4
setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh
orang lain.
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak
bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan
dengan tegas persalahannya itu.3
3
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.5-7
4
Zainuddin Ali, Ibid, hal. 22.
5
masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-
Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah
dikutip oleh H. Hakam Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.5
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. (QS. al-Baqarah [2]:
179).
Yang dimaksud dengan ada jaminan kehidupan sebagai akibat
pelaksanaan qishash adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan
kehidupan sang terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan
bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebutbagi
orang-orang yang berakaltentulah menjadi tidak berani membunuh,
sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya
5
H.Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 19kum 98), hlm.68.
6
dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya
kriminalitas yang merajalela.
Yang dimaksud dengan tindakan kriminal adalah suatu perbuatan
yang dipandang tercela oleh syara. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak
dapat dikategorikan tindakan kriminal, kecuali apabila telah ditetapkan
melalui nash syara (al-Quran, hadits, dan apa-apa yang ditunjuk
keduanya). Jika manusia melanggar perintah/larangan Allah, berarti dia
telah melakukan perbuatan tercela, dan dianggap telah melakukan tindakan
kriminal, sehingga harus dijatuhi hukuman atas kriminalitas yang
dilakukannya. Sebab, tanpa pemberlakuan hukuman bagi para pelanggar,
hukum tidak akan memiliki arti apa-apa. Suatu perintah tidak akan bernilai
apa-apa jika tak ada balasan (hukuman) bagi pelanggar yang mengabaikan
perintah tersebut.
Syariat Islam telah menjelaskan bahwa pelaku kriminalitas akan
mendapatkan hukuman, baik hukuman di dunia maupun hukuman di
akhirat. Allah akan mengazab mereka di akhirat, dengan hukuman yang
nyata, sebagaimana firmanNya:
7
Kemudian dalam Firman yang lain :
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada
(pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak
ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. (QS. al-
Haaqqah [69]: 35-37)
8
Negara Islam (Khilafah), baik berupa hudud, tazir, maupun kafarat
(denda). Hukuman yang dijatuhkan ini akan menggugurkan siksaan di
akhirat terhadap pelaku kejahatan.
Dalilnya, adalah apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dari
Ubadah bin Shamit, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda:
Kalian berbaiat kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-
anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri, dan
tidak bermaksiat dalam kebaikan. Siapa saja yang menepatinya maka
Allah akan menyediakan pahala dan siapa saja yang melanggarnya
kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus
baginya. Dan siapa saja yang melangggarnya kemudian Allah
menutupinya (tidak sempat dihukum di dunia), maka urusan itu diserahkan
kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan menyiksanya. Dan
jika Allah berkehendak, maka Dia akan memaafkannya.
Oleh karena itu, tidak aneh jika kita jumpai dalam sejarah, kaum
muslimin yang berbondong-bondong meminta hukuman dunia, walaupun
hanya dia dan Allah sajalah yang mengetahui perbuatan dosa yang
dilakukannya. Mereka rela menahan sakitnya cambuk, rajam (dihujani
batu sebagai hukuman atas pezina yang telah menikah), potong tangan,
maupun hukuman mati, demi mendapatkan keridhoan Allah di akhirat.
9
tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau
walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama sepakat
bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina,
menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah),
minum-minuman keras (surbah), dan murtad (riddah). Yaitu perbuatan
melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh
nash yaitu hukuman had (hak Allah).
10
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku
pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh
keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu
denda senilai 100 onta (al Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum
Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (al uqubah badaliah)
dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (al uqubah ashliyah)
dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
Jarimah Tazir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang
penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur
akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran
terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu
lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah tazir prinsip utama yang mejadi
acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap
anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu,
penegakan jarimah tazir harus sesuai dengan prinsip syari (nash).
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat
dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan
publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama
sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini
diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi
diantara hudud dan tazir dalam hal beratnya hukuman. Tazir sendiri
merupakan hukuman paling ringan diantara jnis-jenis hukuman yang lain.
3. Tazir
Jarimah hudud bisa berpindah menjadi Jarimah Tazir bila ada
syubhat, baik itu shubhat fi al fili, fi al fail, maupun fi al mahal.
Demikian juga bila Jarimah hudud tidak memenuhi syarat, seperti
percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari
jarimah tazir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri
sesuai dengan nilai nilai, prinsip prinsip dan tujuan syariah, seperti
peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi
kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain.
11
Secara bahasa tazir merupakan mashdar (kata dasar) dari azzaro
yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan,
memuliakan, membantu. Tazir juga berarti hukuman yang berupa
memberi pelajaran. Disebut dengan tazir, karena hukuman tersebut
sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah
atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqaha
mengartikan tazir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Quran
dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan
hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum
dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Tazir sering
juga disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat
yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.
Bisa dikatakan pula, bahwa tazir adalah suatu jarimah yang
diancam dengan hukuman tazir (selain had dan qishash diyat).
Pelaksanaan hukuman tazir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh
nash atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak
perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Hukuman dalam jarimah tazir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya,
artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syariah
mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan benruk bentuk dan
hukuman kepada pelaku jarimah.
Abd Qodir Awdah membagi jarimah tazir menjadi tiga, yaitu:
Pertama Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung
unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap
sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan
ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
12
sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari
janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
Ketiga Jarimah tazir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara
penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan
umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu
lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Dalam menetapkan jarimah tazir, prinsip utama uang menjadi
acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap
anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu,
penegakkan jarimah tazir harus sesuai dengan prinsip syari.
Hukuman hukuman tazir banyak jumlahnya, yang dimulai dari
hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi
wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu
hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Hukuman hukuman tazir antara lain:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syariah Islam, hukuman tazir adalah
untuk memberikan pengajaran (tadib) dan tidak sampai membinasakan.
Oleh karena itu, dalam hukum tazir tidak boleh ada pemotongan anggota
badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqaha
memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan
dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian,
atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang
membahayakan. namun menurut sebagian fuqaha yang lain, di dalam
jarimah tazir tidak ada hukuman mati.
2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi
hukuman jilid dalam tazir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan
13
ulama Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena
hukuman tazir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar
berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat
bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam tazir adalah 39 kali, dan
menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafii ada tiga pendapat.
Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf.
Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada tazir boleh lebih dari 75
kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah tazir
yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya
sama dengan pendapat madzhab Syafii di atas. Pendapat ke empat
mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak
boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang
sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak
sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman tazir tidak
boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda
sebagai berikut: Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali,
kecuali dalam salah satu hukuman hudud.
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam.
Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman.
Pertama hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman
ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama berbeda pendapat.
Ulama Syafiiyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena
mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.
Sementara ulama lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan
maslahat.
Kedua hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa
hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
14
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya.
Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau
orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa
hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya.
Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau
orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan
keamanan (hirabah) dan untuk jarimah ini hukuman tersebut merupakan
hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah tazir hukuman salib tidak
dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si
terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak
dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup
dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqaha tidak lebih dari
tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman tazir, dengan
syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya
dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman
yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman
teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang
memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah
saw berkata, Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek
jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat
masa jahiliyah.
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syariat Islam dengan jalan
memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini
dicantumkan dalam al Quran sebagaimana hukuman terhadap istri yang
berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
15
6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman tazir
yang disyariatkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah
melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta
dalam Perang Tabuk, yaitu Kaab bin Malik, Miroroh bin Rubaiah, dan
Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak
bicara, sehingga turunlah firman Allah:
Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa
sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka,
serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali
padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka
bertaubat.
7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syariat Islam sebagai
hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung
dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah
tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya
tersebut. Sabda Rasulullah saw, Dan barang siapa yang membawa
sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya beserta
hukuman. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang
menyembunyikan barang hilang.
Dalam Islam, sumber hukum bersumber dari Allah dan Rasul-
Nya, serta dari ijtihad para ulama (ahl ijtihad). Tujuan dari hukum Islam
itu adalah kemaslahatan umat. Islam yang memiliki ajaran yang sempurna
dan universal juga mengandung ajaran tentang hukum pidana yang dalam
hal ini dapat diistilahkan dengan jinayah, atau sebagian Ulama
mengistilahkan dengan sebutan jarimah. Jinayah adalah suatu nama untuk
perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan seseorang yang yang
dilarang Syara, baik itu perbuatan atas jiwa, harta atau selain jiwa dan
harta. Jarimah adalah segala larangan-larangan yang haram karena
dilarang oleh Allah dan diancam dengan hukuman baik had ataupun tazir.
16
Jika dilihat dari segi hukuman dalam hukum pidana Islam akan
kita temui tiga macam hukuman, yaitu;
Pertama Jarimatul Hudud, yang berarti bahwa tindak pidana
dimana kadar hukumannya itu telah ditentukan oleh Allah SWT.
Kedua Jarimatul Qisash dan diyat yakni tindak pidana yang
dikenakan sanksi qisash dan diyat. Qisash dan diyat ini adalah hukuman
yang ditentukan hukumannya, tetapi merupakan hak individu-individu,
artinya bahwa hukuman itu ditentukan karena hanya mempunyai satu had
(hukuman) yang telah ditentukan. Sebagai hak ini individu, bila pihak
individu yang dirugikan karena tindak pidana itu menghendaki kemaafan,
ini adalah merupakan haknya dan dapat diterima dan dibenarkan secara
hukum, sehingga hukuman hadnya hilang karena adanya kemaafan
tersebut.
Ketiga Jarimah Tazir yakni perbuatan-perbuatan pidana yang
hukumannya tidak disyariatkan menurut syara, tetapi ditentukan oleh
hakim (penguasa). Hakim sangat berperan penting dalam menentukan
setiap keputusan agar sesuai dan memenuhi rasa keadilan serta
kemaslahatan. Oleh karena itu, hakim harus lebih bijak dalam memahami
hakikat kesalahan seriap orang yang terpidana.
Adapun kamaludin al-hamam, pengikut madzhab hanafi, bahwa
qishsash dan diyat termasuk dalam jarimah hudud. Karena, kadar
hukumannya ditentukan oleh Allah. Sehingga jarimah hudud terbagi
menjadi dua, yaitu:
Jarimah hudud yang merupakan haq Allah seperti mencuri,
berzina, berjudi, mabuk, riddah, qadaf. Maka pada jarimah hudud ini,
tidak ada pengampunan setelah perkaranya dibawa kepada hakim.
G. Kesimpulan
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh
jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak
pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf
17
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari
Al Quran dan Hadist.
Asas-asas hukum pidana Islam adalah asas-asas hukum yang
mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam, diantaranya Asas Legalitas,
Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain, Asas Praduga
Tak Bersalah.
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan
berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan
ketentraman masyarakat.
Perbedaannya dalam hukum pidana islam berlaku Qishash dan
Diyat, sementara dalam hukum positif di indonesia yang di berlakukan
adalah pidana penjara, kurungan, denda seperti pidana mati dan seumur
hidup.
18
DAFTAR PUSTAKA
Rosyada, Dede. 1992. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Study
Islam dan Kemasyarakatan.
Unik Karlita, Perbandingan hukum Pidana Islam dangan Hukum Pidana Positif,
(http://unikkarlita.blogspot.com/2011/03/perbandingan-hukum-pidana-
islam-fiqh.htm,l, diakses 14 November 2011 )
19