Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk
kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi
akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah
unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI),

dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI).1

Lebih dari 90% sindrom koroner akut disebabkan oleh gangguan dari plak
arterosklerosis yang diikuti dengan agregasi platelet dan pembentukan trombus
intrakoroner. Trombus yang terbentuk menyebabkan penyempitan oklusi berat
atau total dan gangguan aliran darah yang mengakibatkan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung.1 Akibat dari
ketidakseimbangan tersebut, terjadi nekrosis miokard yang berkembang cepat
sehingga menyebabkan infark miokard. Lokasi dan luasnya miokard infark

bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral.2 Jika trombus

mengobstruksi total pembuluh darah koroner, maka dapat terjadi iskemia berat
dan nekrosis dalam jumlah besar yang dapat bermanifestasi sebagai infark
miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI).1
Sindrom koroner akut merupakan suatu masalah kardiovaskuler yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
yang tinggi.2 Data WHO pada tahun 2007 menyatakan serangan jantung
merupakan penyebab kematian nomor satu pada individu berusia lebih dari 40
tahun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Diagnosis infark miokard
didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri
dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda
biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan
aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q
yang besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T. Pada nekrosis otot

1
jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke

sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.1,2


Diagnosis dilakukan dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik , elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika ditemukan pada pasien pria, diketahui
mempunyai penyakit arterosklerosis non koroner, mempunyai PJK atas dasar pernah
mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP, atau mempunyai faktor-
faktor resiko tertentu. 2
Elektrokardiogram (EKG) merupakan metode pemeriksaan non-invasif yang
mudah didapatkan untuk menegakkan diagnosis infark miokard akut. EKG membantu
menegakkan diagnosis sebelum peningkatan enzim kerusakan jantung terdeteksi.
Lokasi dan luas infark dapat ditentukan dari rekaman EKG berupa elevasi segmen
ST, gelombang T dan munculnya gelombang Q pada standar limb lead dan precordial
lead. Dengan metode EKG, infark miokard akut terbagi menjadi 2 grup mayor, yaitu
infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST
(Non-STEMI). 2,3
STEMI adalah sindoma koroner akut dimana pasien mengalami
ketidaknyamanan pada dada dengan gambaran elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan Non-STEMI adalah sindroma koroner akut dimana pasien mengalami
ketidaknyamanan dada yang berhubungan dengan non-elevasi segmen ST iskemik
yang transien atau permanen pada EKG.2,3
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan pertanda
biokimia untuk penyakit infark miokard. Keduanya merupakan marka nekrosis miosit
jantung. Pemeriksaan troponin sangat sensitif hingga dapat mendeteksi infark yang
sulit dilihat dari pemeriksaan patologis rutin. Troponin cepat meningkat ketika
serangan terjadi dan kadarnya bertahan lama setelah jejas terjadi. Peningkatan terus
terjadi selama 7-14 hari. 2,3,4,6
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Penanganan awal dengan memberikan terapi Mofin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (MONA) pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA
atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum adanya hasil pemeriksaan
EKG dan/atau marka jantung.2

2
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk
SKA. Beberapa stratifikasi risikko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis in
Myocardial Infarction), dan Grace (Global Registry of Acute Coronary Events),
sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable Angina Patients
Supress Adverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines)
digunakan untuk menstratifikaasi risiko terjadinya pendarahan.2

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit STEMI (ST-Elevation
Myocardial Infarction).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus
STEMI (ST-Elevation Myocardial Infarction) serta melakukan
penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan akurat sehingga mendapatkan
prognosis yang baik.

1.3 Manfaat
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang STEMI (ST-
Elevation Myocardial Infarction).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai STEMI
(ST-Elevation Myocardial Infarction).

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Jantung


Jantung merupakan organ berotot yang terletak secara oblik pada sebelah
kiri garis mediastinum medialis dan diatas diafragma. Bagian depan jantung
dibatasi oleh sternum dan iga 3, 4 dan 5. Posisi jantung miring kedepan kiri dan
apeks kordis berada paling depan dekat linea medio-klavikular kiri dalam rongga
dada. Umumnya pada dewasa jantung berukuran panjang 12cm, lebar 8cm-9cm
dan ketebalan 6cm. Berat jantung bervariasi pada wanita dan pria, dimana pada
wanita berat jantung normal adalah 230-280 gram sedangkan pada pria 248 - 340
gram. Anatomi jantung dapat dibagi dua, yaitu anatomi luar dan dalam.7

Gambar 2.1. Anatomi Jantung

Bagian luar kedua atrium dipisahkan oleh sulkus koronarius yang


mengelilingi jantung. Pada sulkus ini berjalan arteri koroner kanan dan arteri
sirkumfleks setelah dipercabangkan dari aorta. Bagian luar kedua ventrikel
dipisahkan oleh sulkus inter-ventrikular anterior di sebelah depan, yang ditempati

4
oleh arteri desendens anterior kiri, dan sulkus interventrikuler posterior di sebelah
benlakang, yang dilewati oleh arteri desendens posterior.7
Jantung dibungkus oleh jaringan ikat tebal yang disebut perikardium,
terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium viseral dan perikardium parietal.
Permukaan jantung yang diliputi oleh perikardium viseral lebih dikenal sebagai
epikardium, yang meluas sampai beberapa sentimeter diatas pangkal aort dan
arteri pulmonal. Selanjutnya jaringan ini akan berputar-lekuk (refleksi) menjadi
perikardium parietal sehingga terbentuk ruang pemisah yang berisi cairan bening
licin agar jantung mudah bergerak saat pemompaan darah. Pada orang normal
jumlah cairan perikardium adalah sekitar 10-20 ml.7
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel
kanan dan kiri. Bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh septum. Atrium kanan
berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh tubuh. Atrium
kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan
darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari
atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru. Ventrikel kiri berfungsi untuk
memompakan darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh. Oleh yang demikian
dinding ruang ventrikel lebih tebal dari dinding ruang atrium. 7
Antara atrium, ventrikuler dan pembuluh darah besar yang keluar dari
jantung terdapat katup-katup jantung, yaitu katup atrio-ventrikuler dan katup
semiluner. Bentuk katup semiluner aorta dan pulmonal adalah sama. Kedua katup
ini terletak pada alur keluar dari masing-masing ventrikel dengan katup pulmonal
yang terletak lebih antero-superior dan agak ke kiri. Aliran darah yang melewati
katup mitral atau trikuspid diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus,
daun katup, korda tendinea, otot papilaris dan otot ventrikel. Katup mitral terdiri
dari daun katup mitral anterior dan katup mitral posterior. Sedangkan katup
trikuspid terdiri dari 3 daun katup yang ukurannya tidak sama, yaitu katup
anterior, septal dan posterior. 7
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan saraf
parasimpatis. Serabut-serabut saraf simpatis mempersarafi derah atrium dan
ventrikel termasuk pembuluh darah koroner, Saraf parasimpatis terutama

5
memberikan persarafan pada nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan serabut-
serabut otot atrium, dapat pula menyebar ke dala ventrikel kiri. 7
Perdarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh darah
koroner utama yaitu arteri koroner kanan dan kiri. Kedua arteri ini keluar dari
sinus valsava aorta. Arteri koroner kiri berjalan di belakang arteri pulmonal
sebagai arteri koroner kiri utama (LMCA=left main coronary artery) sepanjang 1-
2cm kemudian bercabang menjadi arteri sirkumfleks (LCx=left circumflex artery)
dan arteri desendens anterior kiri (LAD=left anterior descendens artery). Arteri
sirkumfleks berjalan pada sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah atau
mengelilingi permukaan posterior jantung sedangkan arteri desenden anterior kiri
berjalan pada sulkus inter-ventrikuler sampai ke apeks. 7

Gambar 2.2. Percabangan arteri koroner

6
Setelah keluar dari sinus valsalva aorta, arteri koroner kanan (RCA=right
coronary artery) berjalan didalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah
mencapai kruks. Cabang pertama adalah arteri atrium anterior kanan (right atrial
anterior branch) yang memperdarahi nodus sino-atrial dan arteri desenden
posterior kanan (PDA=posterior descending coronary artery) yang mendarahi
nodus atrio-ventrikuler. 7
Aliran darah balik dari otot jantung dan sekitarnya melalui vena koroner
yang berjalan berdampingan dengan arteri koroner, akan masuk kedalam atrium
kanan melalui sinus koronarius. Pembuluh limfe pada jantung terdiri dari 3
kelompok pleksus, yaitu subendokardial, miokardial, subepikardial. Penampungan
cairan limfe dari kelompok pleksus yang paling besar adalah pleksus
subepikardial, dimana pembuluh-pembuluh limfe akan membentuk satu trunkus
yang berjalan sejajar dengan arteri koroner kemudian akan meninggalkan jantung
di depan arteri pulmonal dan berakhir pada kelenjar limfe antara vena kava
superior dan arteri inominata.7

2.2. Sindroma Koroner Akut

2.2.1. Definisi
Sindroma koroner akut (SKA) mengacu pada spektrum presentasi klinis
mulai dari infark miokard elevasi ST-segmen sampai presentasi yang ditemukan
pada infark miokard Non-elevasi ST-segmen (NSTEMI) atau angina yang tidak
stabil. Hal ini hampir selalu dikaitkan dengan ruptur plak aterosklerotik dan
trombosis secara parsial atau total dari arteri terkait infark.8

2.2.2. Faktor Risiko


Menurut American Heart Association faktor resiko Sindroma Koroner
Akut (SKA) dibagi menjadi dua. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
(nonmodifiable risk factor)seperti: umur, jenis kelamin, ras dan keturunan.
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor) seperti:
riwayat merokok, kolestrol, hipertensi, obesitas.2,9

7
Non modifiable risk factor :2,3,10
1. Usia
Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan bertambahnya
umur, diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Dengan riwayat
keluarga yang memiliki penyakit jantung juga merupakan faktor risiko, termasuk
penyakit jantung pada ayah dan saudara pria yang didiagnosa sebelum umur 55
tahun, dan pada ibu atau saudara perempuan yang didiagnosa sebelum umur 65
tahun.
2. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini diduga
karena adanya faktor hormonal seperti estrogen yang melindungi wanita.
Walaupun setelah menopause, tingkat kematian perempuan akibat penyakit
jantung meningkat, tapi tetap tidak sebanyak tingkat kematian laki- laki akibat
penyakit jantung.
3. Ras/Suku
Insidensi kematian pada PJK pada orang Asia yang tinggal di inggris lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk lokal, sedangkan angka yang rendah terdapat
pada ras Apro-Karibia.

Modifiable risk factor : 2,3,10

1. Merokok
Peran rokok dalam PJK, antara lain menimbulkan aterosklerosis,
peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi, peningkatan tekanan darah, pemicu
aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam
sehari bisa meningkatkan resiko 2-3 kali dibandingkan individu yang tidak
merokok.Hal tersebut dapat terjadi karena rokok mengandung nikotin dan karbon
monoksida yang dapat mengurangi HDL dalam darah dan meningkatkan LDL
dalam darah sehingga merusak dinding arteri.

8
2. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang secara tidak langsung
akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu
hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload yang
pada akhirnya meningkatkan kebutuhan jantung.
3. Kolestrol LDL
Kolestrol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung.
Kolestrol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung, maka akan terbentuk plak sehingga pembuluh
arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan
mengalami aterosklerosis.
4. Obesitas
Pada umumnya, obesitas cenderung meningkatkan kadar kolestrol total
dan trigliserida dan menurunkan kadar HDL. Perubahan- perubahan ini
meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.

2.2.3. Klasifikasi12
Umumnya terdapat 3 tipe ACS, yaitu ST elevasi Miokard Infark (Q-wave),
Non-ST elevasi Miokard Infark (non-Q wave), Unstable angina (UA). STEMI
dan Non-STEMI secara tipikal dikarakteristikan dengan peningkatan dan/atau
penurunan pada biomarker injury myocyte.
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.

9
Gambar 2.3. Perbedaan Antara STEMI, NSTEMI dan UAP

2.2.4. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).5,11,12

Bila arteri left anterior descending yang oklusi, infark mengenai dinding
anterior ventrikel kiri dan bisa mengenai septum. Bila arteri left circumflex yang
oklusi, infark mengenai dinding lateral atau posterior dari ventrikel kiri. Bila arteri
koroner kanan yang oklusi, infark terutama mengenai dinding inferior dari
ventrikel kiri, tetapi bisa juga septum dan ventrikel kanan.7
Merokok dapat merangsang proses arterosklerosi karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksid dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri,
nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi
trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan

10
glikoprotein tembakau dapaat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
Hipertensi dapat merangsang terjadinya arterosklerosis karena tekanan tinggi ini
dapat menyebabkan beban tekanan pada dinding arteri.Diabetes melitus
menybabkan gangguan lipoprotein. Ini diduga sebagai penyebab gangguan
vaskuler berupa mikroangiopati. Kegemukan sendiri bukan faktor resiko yang
berdiri sendiri, karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lain 7
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis dua
sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marker jantung.6,11,12

2.3. ST ELEVATION MIOKARD INFARCT (STEMI)


2.3.1. Definisi

Menurut American Heart Association (AHA), STEMI adalah sindroma


klinis yang didefinisikan dengan karakteristik simptom iskemik miokardial.
Karakteristik simptom tersebut berasosiasi dengan elevasi segmen ST yang
persisten pada EKG dan pelepasan biomarker nekrosis miokardial yang
subsekuen. Gambaran pada perubahan awal EKG STEMI adalah gelombang T
yang hiperakut yang merefleksi hiperkalemia lokal diikuti dengan elevasi segmen

11
ST pada lead yang merekan aktivitas listrik pada regio miokardium yang

terlibat.13

2.3.2. Diagnosis2,9,10
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG
perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis STEMI
perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12
sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan
tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan
perlunya tindakan segera.

2.3.2.1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia.

12
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada nonkardiak):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

2.3.2.2. Pemeriksaan fisik


Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, dan penyakit penyerta. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan
dengan keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan
keluhan nyeri dada sebagai representasi SKA. 2
Pada fase awal serangan jantung, pasien amat stres dan dapat berkeringat
dingin. Keadaan umum penderita umumnya membaik bila rasa sakit sudah
dikendalikan dan sering sekali dalam beberapa jam terlihat baik. Volume dan laju
denyut neadi bisa normal, tapi pada kasus berat nadi kecil dan cepat. Aritmia dan
bradikardia juga sering dijumpai. Tekanan darah biasanya menurun selama
beberapa jam atau hari dan pelan-pelan kembali ke keadaan normal dalam dua
atau tiga minggu, tetapi juga dapat menurun sampai terjadi hipotensi berat atau
terjadi syok kardiogenik.

13
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri
pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA.2

2.3.2.3. Pemeriksaan Elektrokardiogram


Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-
V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia 40 tahun adalah
0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah 0,25 mV. Sedangkan pada perempuan
nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah 0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah 0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang 0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah 0,5 mV.

14
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali
jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan
elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplit)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Sadapan dengan deviasi ST segmen Lokasi iskemik atau infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, Avl Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V$R Ventrikel kanan

Tabel 2.1. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG


Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG
pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen
ST 1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 1
mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk
diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan
dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat
rendah.

2.3.2.4. Pemeriksaan Biomarker Kerusakan Jantung


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase(CK) MB dan
Troponin T atau I dan dilakukan secara serial. Troponin harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena
pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
Elevasi ST dan gejala IMA (Infark Miokard Akut), terapi reperfusi diberikan
segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan
nilai enzim di atas 2 kali nilai batas normal, menunjukkan ada nekrosis jantung
(miokard infark).

15
1. CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik juga dapat meningkatkan
CKMB
2. Troponin T : ada 2 jenis yaitu Troponin T dan Troponin I. Enzim ini
meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam. Enzim cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan
cTn I setelah 5-10 hari.

2.3.3. Diagnosis Banding17


Banyak penyakit yang menjadi diagnosis banding dari penyakit arteri
koronaria. Karena gejala klinis yang ditemukan adalah nyeri di dada, batuk, sesak
napas, maka tidak menutup kemungkinan penyakit yang berasal dari paru,
gastrointestinal, psikososial dapat menyebabkan gejala yang sama. Begitu banyak
penyakit yang memiliki gejala seperti ini, dan yang penulis tidak dapat
membahasnya satu persatu. Karena itu penulis mengambil yang paling mirip
untuk dibahas disini.
Perikarditis adalah peradangan pada perikardium (kantung selaput
jantung), yang dimulai secara tiba-tiba dan sering menyebabkan nyeri. Peradangan
menyebabkan cairan dan produk darah (fibrin, sel darah merah dan sel darah
putih) memenuhi rongga perikardium. Perikarditis akut memiliki bermacam-
macam penyebab, mulai dari infeksi virus sampai kanker. Perikarditis akut juga
bisa merupakan akibat dari efek samping obat tertentu (misalnya antikoagulan,
penisilin, prokainamid, fenitoin dan fenilbutazon).
Gejala perikarditis akut menyebabkan demam dan nyeri dada, yang
menjalar ke bahu kiri dan kadang ke lengan kiri. Nyerinya menyerupai serangan
jantung, tetapi pada perikarditis akut nyeri ini cenderung bertambah buruk jika
berbaring, batuk atau bernafas dalam. Perikarditis dapat menyebabkan tamponade
jantung, suatu keadaan yang bisa berakibat fatal.

16
2.3.4. Tatalaksana
2.3.4.1. Tatalaksana dan Langkah Awal
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaks ud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan
pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
marker jantung.14,15
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. 14,15
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <90% atau yang mengalami distress respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, atau
Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.

17
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

Gambar 2.4. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana SKA

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk


diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah
saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga
seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.2
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi
reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin
pasien dilakukan Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Pusat-pusat kesehatan yang

18
mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan pelayanan
setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera
mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.2
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut
ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama 10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi
reperfusi:
Untuk fibrinolisis 30 menit
Untuk IKP primer 90 menit (60 menit apabila pasien datang
dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah
sakit yang mampu melakukan IKP)2
2.3.4.2. Terapi Referpusi2,10,16
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)
baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.2
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. 2
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien

19
dengan gagal jatung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan
angioplasti balon untuk IKP primer. Pasien yang akan menjalani IKP primer
sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan
penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi, disertai dengan
antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg).
Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari)
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading
600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
dikontraindikasikan.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
IIb/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin.
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi.
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer.
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer.
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. 2
Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. 2

20
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel diberikan
sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien
STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan)
atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. 2
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mapu melakukan IKP
setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. Angiografi emergensi
dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal
jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisi inisial. Jika memungkinkan,
angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang
mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. 2

Gambar 2.5. Langkah-langkah reperfusi

21
Jenis-jenis obat fibrinolitik adalah :2,10
1. Streptokinase : Regimen 1,5 juta unit dilarutkan dalam 100 NaCl 0,9% atau
dekstrose 5% diberikan dalam 1 jam. Terapi dinyatakan berhasil bila dijumpai
VES (ventricular extrasystole) pada pantauan elektrokardiografi yang
menandakan lisisnya tromboemboli.
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA) : Dosisnya 15 mg IV bolus dilanjutkan 0,75
mg/kgBB selama 30 menit, kemudian 0,5 mg/kgBB selama 60 menit. Penggunaan
tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang telah mendapatkan
streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap streptokinase, hipotensi
(TDS < 90 mmHg).

2.3.5. Komplikasi STEMI


Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada STEMI adalah :2,9
1. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau
trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila
terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada
dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa
dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan
jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik.
2. Kongesti Paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada
dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
3. Keadaan Output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin.
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk,
komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.
4. Syok Kardiogenik

22
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati
50%. Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung 18
mmHg. Selain itu, diuresis biasanya 90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada
infark ventrikel kanan. Gambaran klinis penderita ini adalah hipotensi
disertai keringat dingin, akral dingin, gelisah dan keadaan memburuk terus
sampai tekanan darah tidak terukur. Baik mortalitas jangka pendek maupun
jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri
awal dan beratnya regurgitasi mitral.

2.3.6. Prognosis STEMI


Pada 25% episode infark miokard akut, kematian terjadi mendadak dalam beberapa
menit setelah serangan, karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit.
Mortalitas keseluruhan 15-30%. Resiko kematian tergantung pada banyak faktor,
termasuk usia penderita, riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya, adanya
penyakit lain-lain dan luasnya infark. Mortalitas serangan akut naik dengan
meningkatnya umur. Kematian kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun, dan
20% pada usia lanjut.
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca miokardium akut
(IMA).Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis
dinilai menggunakan klasifikasi Killip. Stratifikasi berdasarkan Killip merupakan
klasifikasi resiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi
infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam
30 hari.2,9

23
Gambar 2.6. Klasifikasi KILLIP

Gambar 2.7. TIMI Risk Score untuk STEMI

24
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
Kepaniteraan Klinik RSUP. H. Adam Malik
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

No. RM : 00.72.62.25 Tanggal : 18/11/2017 Hari : Sabtu


Nama Pasien : Ramadhan Umur : 50 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat: Dsn III, Padang
Pekerjaan : Pegawai Swasta Agama : Islam
Halaban, Labura

ANAMNESIS
Autoanamnesis Alloanamnese

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama : Nyeri dada
Anamnesa :
- Hal ini dialami oleh pasien sejak 2 hari, tanggal 17-11-2017 siang
sekitar pukul 13.00 (33 jam) sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada di
rasakan berat dan panas di dada sebelah kiri dan tembus kepunggung,
dirasakan saat pasien sedang beraktivitas ringan. Rasa nyeri dirasakan >20
menit dan pada saat nyeri disertai dengan keringat dingin dan mual,
namun tidak disertai dengan muntah. Rasa nyeri tidak berkurang dengan
isitrahat.. Riwayat nyeri dada yang sama juga dijumpai sejak 5 hari saat
sedang beraktivitas biasa, namun berkurang saat pasien beristirahat.
Riwayat sesak napas dijumpai sudah 2 hari ini.
- Untuk keluhan ini, pasien berobat ke RS Rantau Prapat dan disebut
mengalami serangan jantung dan telah diberi obat di bawah lidah, obat
kunyah 2 tablet dan obat 4 tablet sekaligus di telan, kemudian dirujuk ke
RSUP HAM untuk terapi lebih lanjut.

25
- Riwayat sesak napas pada malam hari hingga terbangun disangkal oleh
pasien. Riwayat sesak karena cuaca, debu, atau alergen lainnya tidak
dijumpai.
- Keluhan kaki bengkak atau perut membesar tidak dijumpai pada pasien.
- Demam dan batuk pada malam hari disangkal oleh os.
- Pasien juga mengaku merokok 15 tahun dengan 1-2 bungkus/hari
- Riwayat darah tinggi dijumpai 3 tahun ini, dengan tensi tertinggi 200
mmHg, namun tidak rutin minum obat. Riwayat sakit gula dan kolestrol
tinggi disangkal.

Faktor Risiko PJK : Laki-laki usia >45 tahun, hipertensi,


smoker.
Riwayat Penyakit Terdahulu :-
Riwayat Pemakaian Obat :-

Status Presens:
KU : Sedang Kesadaran : CM
TD : 150/70 mmHg HR : 100x/i, reguler
RR : 24 x/i Suhu : 36, 10C
Sianosis : (-) Ortopnu : (-) Dispnu : (-)
Ikterus : (-) Edema : (-) Pucat : (-)

Pemeriksaan Fisik :
Kepala : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : Trakea medial, TVJ R+2 cmH2O
Dinding toraks Batas Jantung
Inspeksi : Simetris fusiformis Atas: ICS II LMCS
Palpasi : SF kanan = kiri Kiri:1cm medial LMCS ICS V
Perkusi : Sonor pada kedua Kanan: LPSD ICS V
Lapangan paru Bawah: Diafragma

26
Auskultasi
Jantung : S1 (+) S2 (+) S3 (-) S4 (-) regular gallop (-)
Murmur (-) Tipe : - Grade :-
Punctum maximum : - Radiasi : -
Paru : Suara Pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan :-
Abdomen : Palpasi Hepar/Lien : Tidak teraba
Asites (-)
Ekstremitas : Superior: sianosis (-/-) clubbing (-/-)
Inferior : edema pretibial (-/-) pulsasi arteri (+/+)
Akral : hangat (+/+)

Elektrokardiografi

Gambar 3.1 Hasil EKG (18-11-2017)

27
Interpretasi Rekaman EKG
Irama: Sinus ritme, QRS rate 93 x/menit, Axis: Normoaxis; P wave (+) durasi
0,08 detik, PR interval 0,20 detik ; QRS normal durasi 0,10 detik; ST elevasi di
lead II, III, aVF; T inversi di lead III, aVF; LVH (-) ; VES (-)
Kesan EKG : Sinus Rhitem + STEMI inferior

Foto Thoraks (18-11-2017)

Gambar 3.2 foto thoraks (18-11-2017)

Interpretasi Foto Toraks AP


CTR >55%. Segmen aorta dilatasi. Segmen pulmonal normal. Apeks jantung
downward. Pinggang jantung (+) Normal. Kongesti (+), Infiltrasi (-).
Kesimpulan : suspek kardiomegali disertai kongesti, segmen aorta dilatasi

28
Hasil Laboratorium (18-11-2017)
Darah Lengkap
Hb : 15,4 g/dL (13-18)
Eritrosit : 5,15 juta /L (4,50-6,50)
Leukosit : 17.360/L (4000-11000)
Hematokrit : 46% (39-54)
Trombosit : 216 x 103/L (150 000-450 000)
MCV : 88 fl (81-99)
MCH : 29,9 pg (27,0 31,0)
MCHC : 33,8 g/dl (31.0 37.0)
RDW : 13,5 % (11,5 14,5)
MPV : 11,0 fL (6,5 9,5)
PCT : 0,240 % (0,100 0,500)
PDW : 12,9 % (10,0 -18,0)
Hitung jenis
Neutrofil : 81,40% (50,00 70,00)
Limfosit : 10,30% (20,00 40,00)
Monosit : 8,20% (2,00 8,00)
Eosinofil : 0,00% (1,00 3,00)
Basofil : 0,10% (0,00 1,00)
Metabolisme Karbohidrat
KGD puasa : 126 mg/dl (70-105)
KGD 2 jam PP : 123 mg/dL (76-140)
Hb-A1c : 6.2 % (4.0-6.0)
Lemak
Kolesterol total :187 mg/dL (<200)
Trigliserida :126 mg/dL (<150)
Kolesterol HDL :37 mg/dL (>40)
Kolesterol LDL :113 mg/dL (<160)
Elektrolit
Natrium (Na) : 134 mEq/L (135-155)
Kalium (K) : 4,5 mEq/L (3,6-5,5)

29
Klorida (Cl) : 102 mEq/L (96-106)
Enzim Jantung
CK-MB : 282 U/L (< 24)
Ginjal
BUN : 14 mg/dL (8-26)
Ureum : 30 mg/dL (18-55)
Kreatinin : 1,04 mg/dL (0,7-1,3)
Kimia Klinik
Troponin I : 29,64 ng/mL (<0,1)

Diagnosa kerja : STEMI inferior onset 33 jam Killip I TIMI Risk 4/14
1. Fungsional : Killip I TIMI Risk 4/14
2. Anatomi : Arteri Koroner
3. Etiologi : Arterosklerosis

Diferensial Diagnosis:
1. Perikarditis
2. Diseksi Aorta
Pengobatan:
Bed rest
O2 2-4 L/i via nasal kanul
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i (mikro)
ISDN 3x 5 mg
Aspilet 1x80 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Captopril 3x12,5mg
Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam
Inj. Furosemide 20mg/8 jam
Simvastatin 1x40 mg
Inj. Pethidine 25 mg
Clobazam 1x10 mg
Laxadin syr 1 x CI

30
Rencana pemeriksaan lanjutan
- KGD puasa, KGD 2 jam pp, HbA1c, lipid profile
- Cek enzim jantung serial
- EKG serial
- Echocardiography
- Angiografi koroner
Prognosis :
Dubia et bonam

31
BAB 4
FOLLOW UP
Tanggal S O A P Keterangan
19/11/2017 Nyeri Sens = CM STEMI Tirah baring Hasil Lab :
dada(+) TD= 120/80mmhg Inferior O2 4-6 L/i Hb : 15,4
HR = 70x/i onset 33 jam via nasal mg/dl
RR = 22x/i killip I TIMI kanul Eritrosit:5,15
T = 36,4 4/14 IVFD NaCl juta/l,
Kepala ec HHD 0,9% 10gtt/i Leukosit:
Mata=Konjungtiva HT stage I mikro 17360l,
anemis (-/-) Aspilet Trombosit:216
Konjungtiva 1x80mg 000
ikterik (-/-) Clopidogrel Hematokrit:
Leher= trakea 1x75mg 46%
medial,TVJ Inj Neutrofil :
R+2cm H2O furosemide 81,4 %
Thorax 20mg/8 jam Limfosit:
Cor:S1S2(N) ,
Inj lovenox 10,3%
reguler, murmur(- 0,6cc/12jam Monosit:8,2%
),gallop(-)
Captopril Eosinofil:0,00
Pulmonal :
3x12,5mg %
Sp : vesikuler
St : ronki basah ISDN 3x5mg Basofil:0,10%
basal Ureum:30mg/
Abdomen dL
Soepel, BU(+)N Creatinin:1,04
Ekstremitas mg/dL
Akral BUN:14mg/dl
hangat,edema(-/-) Troponin
I:29,64ng/mL
CK-MB:
282U/L
HbsAg:non
reaktif
Anti HCV:non
20/11/2017 Nyeri Sens = CM STEMI Tirah baring Hasil Lab:
dada(-) TD= 114/70mmhg Inferior O2 via nasal KGD
HR = 92x/i onset 33 jam kanul 2-4 L/i sewaktu:
RR = 20x/i killip I IVFD NaCl 126mg/dL
T = 36,4oC TIMI 4/14 0,9% 10gtt/i KGD 2jam
Kepala ec HHD mikro PP:123mg/dL
Mata=Konjungtiva HT stage I Aspilet Kolesterol
anemis (-/-) 1x80mg total:187mg/d
Konjungtiva Clopidogrel
ikterik (-/-)
L
1x75mg Trigliseride:1
Leher= trakea inj
medial,TVJ 26mg/dL
furosemide
R+2cm H2O HDL:37mg/d
20mg/8 jam
L

32
Thorax Inj pethidine LDL:113mg/d
Cor:S1S2(N) , 25 mg (klp) L
reguler, murmur(- Inj lovenox Urinalisa:
),gallop(-) 0,6cc/12jam Warna:kuning
Pulmonal : Captopril keruh
Sp : vesikuler 3x12,5mg Leukosit: +
St : ronki basah ISDN Darah: +
basal 5mg(klp)
Abdomen Inj.
Soepel, BU(+)N Ranitidine
Ekstremitas 50/12jam
Akral Simvastatin
hangat,edema(-/-) 1x40mg
Clobazam
1x10mg
Laxadyne
1xC1

21/11/2017 Nyeri Sens = CM STEMI Tirah baring


dada(-) TD= 100/70mmhg Inferior O2 via nasal
HR = 78x/i onset 33 jam kanul 2-4 L/i
RR = 20x/i killip I IVFD NaCl
T = 36,4oC TIMI 4/14 0,9% 10gtt/i
Urine:1100cc/14 ec HHD mikro
jam HT stage I Aspilet
Kepala 1x80mg
Mata=Konjungtiva Clopidogrel
anemis (-/-) 1x75mg
Konjungtiva inj
ikterik (-/-) furosemide
Leher= trakea 20mg/8 jam
medial,TVJ R-2cm
Inj pethidine
H2O
25 mg (klp)
Thorax
Inj lovenox
Cor:S1S2(N) ,
0,6cc/12jam
reguler, murmur(-
),gallop(-) Captopril
Pulmonal : 3x12,5mg
Sp : vesikuler ISDN
St : ronki basah 5mg(klp)
basal (+/+) Inj.
Abdomen Ranitidine
Soepel, BU(+)N 50mg/12jam
Ekstremitas Simvastatin
Akral 1x40mg
hangat,edema(-/-) Clobazam
1x10mg
Laxadyne
1xC1

33
BAB 5
DISKUSI KASUS

TEORI DISKUSI
Etiologi
SKA hampir selalu dikaitkan dengan ruptur Pada pasien diduga adanya penyumbatan
plak aterosklerotik dan trombosis secara pada arteri koroner jantung.
parsial atau total dari arteri terkait infark.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini
akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner.
Diagnosis Anamnesis
STEMI KU : Nyeri dada
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, - Telaah : Hal ini dialami oleh os
pemeriksaan fisik, foto toraks, sejak 33 jam sebelum masuk
elektrokardiografi, ekokardiografi, dan rumah sakit. Nyeri dada di
kateterisasi.
rasakan berat dan panas di dada
sebelah kiri dan tembus
Anamnesa
kepunggung, berlangsung >20
Keluhan pasien dengan iskemia miokard
menit disertai keringat dingin dan
dapat berupa dada yang tipikal (angina
mual, nyeri tidak berkurang
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika dengan isitrahat. Riwayat nyeri
keluhan tersebut ditemukan pada pasien dada yang sama juga dijumpai
dengan karakteristik sebagai berikut : sejak 5 hari saat sedang
1. Pria beraktivitas biasa, namun
2.Diketahui mempunyai penyakit berkurang saat pasien
aterosklerosis non koroner beristirahat. Riwayat sesak napas
3. Diketahui mempunyai PJK
dijumpai sudah 2 hari ini.
4. Mempunyai faktor risiko: umur,
- Untuk keluhan ini, pasien berobat
hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
ke RS Rantau Prapat dan disebut

34
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga. mengalami serangan jantung dan
telah diberi obat di bawah lidah,
Elektrokardiografi obat kunyah 2 tablet dan obat 4
Didapati gelombang ST elevasi pada J point
tablet sekaligus di telan,
dan ditemukan pada 2 sadapan yang
kemudian dirujuk ke RSUP
bersebelahan.
HAM untuk terapi lebih lanjut.
- Riwayat sesak napas pada malam
Marka Jantung
hari hingga terbangun (-).
Pada pasien STEMI didapati peningkatan
marka jantung yaitu CK-MB dan Troponin Riwayat sesak karena cuaca,
I/T. debu, atau alergen lainnya (-).
- Keluhan kaki bengkak (-)
Definitif SKA adalah dengan gejala dan - Demam dan batuk pada malam
tanda: hari (-)
1. Angina tipikal. - Merokok 15 tahun dengan 1-2
2. EKG dengan gambaran elevasi yang
bungkus/hari
diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
- Riwayat Hipertensi.
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan
Status Presens
iskemia miokard, atau LBBB
Kesadaran : CM
baru/persangkaan baru.
TD : 150/70 mmHg
3. Peningkatan marka jantung.
HR : 100 x/i, reguler
RR : 24x/i
Suhu : 36,10C
Status Lokalisata
Kepala : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Leher : TVJ R+2 cmH2O
Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi :Sonor di kedua lapangan paru.
Auskultasi: SP = Vesikuler (+/+); ST = -/-
Abdomen : Soepel, H/L/R tidak teraba
Ekstremitas : Superior/Inferior: dbn

35
Pemeriksaan penunjang
EKG : Sinus rhitem + STEMI Inferior
Foto Thorax: Suspek kardiomegali
Lab : CK-MB : 282 U/L
Troponin I:29,64 ng/mL
Penatalaksanaan
Terapi awal adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Bed rest
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak O2 2-4 L/i via nasal kanul
harus diberikan semua atau bersamaan.
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
1. Tirah baring
(mikro)
2. Suplemen oksigen
ISDN 3x 5 mg
3. Aspirin 160-320 mg
4.Penghambat reseptor ADP (adenosine Aspilet 1x80 mg

diphosphate) Clopidogrel 1x75 mg


5.Nitrogliserin (NTG) spray/tablet Captopril 3x12,5mg
sublingual sebagai pengganti. Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam
6. Morfin sulfat Inj. Furosemide 20mg/8 jam
Simvastatin 1x40 mg
Inj. Pethidine 25 mg
Clobazam 1x10 mg
Laxadin syr 1 x CI

36
BAB 6
KESIMPULAN

Laporan kasus pasien atas nama Ramadhan, Laki-laki, usia 50 tahun, berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis
dengan STEMI Inferior onset 33 jam killip I TIMI 4/14 ec HHD HT stage I. Selama
dirawat inap pasien diterapi awal dengan :

Tirah baring
O2 via nasal kanul 2-4 L/i
IVFD NaCl 0,9% 10gtt/i mikro
Aspilet 1x80mg
Clopidogrel 1x75mg
Inj furosemide 20mg/8 jam
Inj pethidine 25 mg (klp)
Inj lovenox 0,6cc/12jam
Captopril 3x12,5mg
ISDN 5mg(klp)
Inj. Ranitidine 50mg/12jam
Simvastatin 1x40mg
Clobazam 1x10mg
Laxadyne 1xC1

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly, Leonard S. Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of


medical students and faculty. Lippincott Williams & Wilkins, 2012..
2. Indonesia PD. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Jakarta: Perki.
2015.
3. ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable
angina/non ST-elevation myocardial infarction. A report of the American
College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practive
Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2007; DOI:10.1016/j.jacc.2007.02.028.
available at : http://content.onlinejacc.org/cgi/content/ full/50/7/e1.
Circulation.2007; DOI

4. Gray, H. H., et al. "Kardiologi: lecture notes." Ed 4. Jakarta: Penerbit


Erlangga, 57 69 (2005).
5. Management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevation. European Heart Journal 2002;23:1809-1840
6. Davis, Russell C. ABC of heart failure. London: Blackwell Publishing Ltd.,
2007.
7. Lily I R, Faisal B, Santoso K K, Poppy S R : Buku Ajar Kardiologi. FKUI.
Jakarta. 2003.
8. David LC : Acute Coronary Syndrome. Medscape. Dis 11 2016.
http://emedicine.medsca pe.com/article/1910735-overview
9. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.
10. Dewi, Ridha Fahliati, Abdurrahman Wahid, and Ifa Hafifah.
"GAMBARAN FAKTOR RISIKO PADA KEJADIAN MORTALITAS
PASIEN STEMI DI RSUD ULIN BANJARMASIN." Dunia
Keperawatan 4.2 (2017): 110-117.
11. Marn-Garca, Jos. Heart failure: bench to bedside. Springer Science &
Business Media, 2010.

38
12. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal
2012;33:2569-261
13. ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial
Infarction : Task Force on Practice Guidelines A Report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association 2013.
AHA National Center on December 18, 2012. Available at
http://circ.ahajournals.org/content/early/2012/12/17/CIR.0b013e3182742cf
6.citati on
14. Rahmatini, Gestina Aliska, and Masrul Syafri. "OVERVIEW
CHARACTERISTICS AND P2Y12 REACTIVITY UNIT (PRU)
VALUES OF ACUTE CORONARY SYNDROME AGE PRODUCTIVE
PATIENTS WITH CLOPIDOGREL THERAPY." Medical and Health
Science Journal 1.1 (2017).
15. Dharma, Surya, and F. I. H. A. SpJP. "Sistematika Interpretasi EKG
Pedoman Praktis." EGC, 2010
16. Fujino M, Ishihara M, Ogawa H, Nakao K, Yasuda S, Noguchi T, Ozaki
Y, Kimura K, Suwa S, Fujimoto K, Nakama Y. Impact of symptom
presentation on in-hospital outcomes in patients with acute myocardial
infarction. Journal of cardiology. 2017 Jul 31;70(1):29-34
17. Guys SR, Harold LK : Criteria for the diagnosis of acute mi. UpToDate.
2016. Jul 5.

39

Anda mungkin juga menyukai