Anda di halaman 1dari 26

Makalah Arbitrase

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat. Dinamika
dan kepastian yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi
yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum
disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis
yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan
reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas
substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-
undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.

Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga
terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak
independen bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya.
Akibatnya, lembaga pengadilan yang secara konkrit mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan
keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan
efisien.

Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase bukan
sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase
kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem
hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim
dipraktikan di kalangan para usahawan.

Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan arbitrase pun
bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional maupun internasional. Kompleksitas
dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat
berpotensi menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas
komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial (selanjutnya
disebut dengan sengketa komersial). Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh
aspek kegiatan bisnis. Oleh sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa komersial tidak ditetapkan
secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari kasus yang ada
berdasarkan kebutuhan kajian ini. Bahkan sengketa komersial dimaksud tidak ditentukan berdasarkan
jenis objek sengketanya maupun ragam kontrak bisnisnya.
Sengketa komersial di dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji berdasarkan perbedaan subjek-
subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas dua prototipe sengketa komersial. Pertama,
sengketa komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi antara subjek-subjek atau para pihak orang
Indonesia yang melakukan kontrak bisnis satu sama lain, dan objek sengketanya terletak dalam negeri.
Kedua, yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing, baik individu maupun
lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan. Sengketa tersebut terjadi dari kontrak bisnis
internasional.

Berdasarkan persektif cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe sengketa komersial
domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-subjek sengketanya cenderung
membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di pengadilan negeri. Memilih forum arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa komersial tipe yang pertama belum menjadi bagian dari perilaku para pihak
domestik. Sementara itu memilih forum arbitrase umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka
menyelesaikan sengketa komersial internasional. Dari pembacaan beberapa literatur diketahui bahwa
praktik pada beberapa negara maju menunjukkan bahwa untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa
tipe kedua itu hampir setiap kontrak bisnis internasional mencantumkan klausula pemilihan forum
arbitrase, bahkan dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. Van den Berg secara ekstrim
menyebutkan bahwa bevat ongeveer 90% Van de Internationale contracten een arbitraal beding.
Untuk kasus negara-negara lain sinyalemen tersebut mungkin saja benar seperti itu. Namun belum
dapat dipastikan apakah keadaan di Indonesia juga semacam itu. Oleh karena adakalanya juga, kontrak
bisnis internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta asing dengan pengusaha swasta Indonesia
tidak mencantumkan klausula arbitrase sebagaimana lazimnya.

Menyadari urgensi permasalahan diatas maka sangat penting kiranya dilakukan suatu penelitian
mengenai penyelesaian sengketa terhadap kasus Karaha Bodas, disertai dengan analisis mengenai
tinjauan hukum pembuktiannya.

Maka dengan alasan/latar belakang tersebut Penulis tertarik untuk menyusun makalah yang berjudul
TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KASUS KARAHA BODAS.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah mengenai penyelesaian sengketa terhadap Kasus Karaha Bodas,
maka dapat dirumuskan identifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan mengenai penyelesaian sengketa ?

2. Bagaimana upaya pelaksanaan keputusan arbitrase asing ?

C. Metode Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mempermudah analisis
permasalahan hal-hal tersebut antara lain :

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian dalam makalah ini adalah Deskriptif Analitis, yakni menggambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang
menyangkut permasalahan di atas.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang ditunjukkan untuk
menemukan hukum in concreto dengan menerapkan hukum secara konkrit guna menyelesaikan suatu
permasalahan tertentu. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu penelitian inventarisasi hukum positif
yang merupakan kegiatan pendahuluan mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari jenis-jenis
yang lain.

3. Tahapan penelitian

Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan
mengenai data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan dilakukan penelitian
lapangan dengan harapan dapat melengkapi data kepustakaan. Dengan demikian penelitian ini
dilakukan melalui dua tahap :

a. Penelitian kepustakaan (Library Research)

b. Penelitian Lapangan

c. Dwi.djanuarto @ bisnis.co.id

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan cara studi dokumen.

5. Metode Analisis Data

Sebagai cara menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang terkumpul, akan digunakan metode normatif
tolak dari peraturan peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan dikatakan kualitatif
karena analisis data yang bertitik tolak pada usaha usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi
yang diperoleh.
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE

A. Perjanjian Arbitrase Secara Umum

1. Pengertian Arbitrase

Menurut Black, S Law Dictionary : Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement
of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary ligitation.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua)
bentuk, yaitu :

a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa (factum de compromitendo); atau

b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta
kompromis)

2. Objek Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase
dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya). Menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999 ( UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain : perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu pasal 5 (2) UU Arbitrase
memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata buku III Bab
Kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

3. Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen
(institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan
arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau
UNCITRAL ARBITARION RULES. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak.
Penggunaan Arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.

Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase
yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau
yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di
Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)
di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase


Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui penjelasan umum Undang-undang Nomor 30 tahun
1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan
pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :

a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;

b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administrasi dapat dihindari;

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya;

Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase

e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana
ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi
dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai
beberapa keunggulan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia.
Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah :

1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat.

2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan
mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.

3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.

4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan
kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.

Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase.
Dari praktek yang berjalan di Indonesia, keamanan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari
suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

1. Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No 30 tahun 1999. Pada dasarnya
para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan
negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan arbitrase diucapkan. Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat.

Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap), sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No. 30 tahun 1999 sebelum
memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya
hukum apapun.

2. Putusan Arbitrase Internasional

Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia didasarkan pada ketentuan Konvesi
Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan
bahwa konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York
ditandatangani UN Convention on The Recognition and En Forcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftarkan di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990
Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958.
Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.

1 http : // jurnal hukum.blogspot.com

2 ibid

3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase


BAB III

KASUS KARAHA BODAS

Pertamina ajak PLN garap Karaha Bodas

PT. Pertamina mengajak PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) untuk mengembangkan proyek
PLTP Karaha Bodas, yang rencananya akan dimulai kembali pada 2008 menyusul kekalahan di
pengadilan Cayman Island.

Direktur Utama PT. Pertamina Ari Hernanto Soemarno mengatakan pihaknya kini merupakan
pemilik lapangan panas bumi Karaha Bodas. Kami ingin bekerja sama dengan PLN mengembangkan
lapangan itu, ujarnya di Jakarta, pekan lalu.

Pertamina kini tengah bersiap mengembangkan PLTP Karaha Bodas dengan potensi panas bumi
pasti sebesar 50 MW bahkan akan ditingkatkan menjadi 120 MW.

Jika ajakan Pertamina tersebut disambut oleh PT. PLN, maka nilai investasi yang harus dikeluarkan
BUMN listrik tersebut di PLTP Karaha Bodas diperkirakan sekitar US$300 juta.

Rencana Pertamina mengembangkan PLTP Karaha Bodas mulai tahun depan. Sejalan dengan
alokasi pendanaan yang akan dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2008.

Dalam RKAP tahun ini, Pertamina hanya menganggarkan dana untuk pembayaran klaim KBC
sebesar US$261 juta karena adanya perkiraan Pertamina akan kalah di pengadilan Cayman Island
setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung AS.

Saat ini, di lokasi PLTP Karaha Bodas, telah dilakukan pengeboran sebanyak 18 sumur eksplorasi
untuk pembuktian potensi cadangan yang ada dan telah terbukti sebanyak 50 MW.

11
PT. Pertamina ingin cepat melakukan pengembangan PLTP Karaha Bodas, setelah kalah dari KBC.
Sebab berdasarkan kontrak yang ada, lapangan tersebut harus diserahkan kepada pemerintah jika tidak
dikembangkan hingga 2010.

Ari mengungkapkan pengadilan Cayman Island telah memutuskan Pertamina harus membayar
ganti rugi kepada KBC sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung AS. Semula, pengadilan Cayman
Island merupakan harapan terakhir Pertamina.

Penjualan Migas

Menurut dia, Pertamina telah membayar US$319 juta terdiri dari klaim US261 juta dan bunganya
4% per tahun yang diambil dari dana simpanan hasil penjualan migas BUMN tersebut di AS.

Pengadilan AS telah membekukan pencairan dana penjualan migas tersebut sejak beberapa
tahun lalu dan kini pihak KBC berhak mencairkan dana tersebut sesuai dengan keputusan pengadilan
Cayman Island.

Proyek PLTP Karaha Bodas ditandatangani KBC dan Pertamina pada Desember 1994. Namun
karena terjadi krisis keuangan pada 1997, pemerintah menghentikan sejumlah proyek pembangkit listrik
termasuk PLTP Karaha Bodas melalui Keppres No. 39/2007.

KBC yang merupakan rekanan Pertamina sebagai operator di PLTP Karaha Bodas menggugat
Pertamina melalui lembaga arbitrase internasional di Jenewa, Swiss pada Desember 2000.

KBC menang di Arbitrase itu dan dikuatkan oleh keputusan pengadilan di AS hingga terakhir
keputusan Mahkamah Agung pada Oktober 2006.

KBC dimiliki Caithness Energy, Florida Power dan Light, Tomen Corp, dan PT. Sumarah Dayasakti
sebagai mitra lokal dimana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro
sempat menjadi salah satu petinggi di PT. Sumarah Daya Sakti.(dwi.djanuarto@bisnis.co.id)

BAB IV

PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KASUS KARAHA BODAS


A. Alternatif Penyelesaian Sengketa

Menurut pasal 6 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase sebagai berikut :

1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di pengadilan Negeri.

2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui Alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling
lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat
diselesaikan maka atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.

4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Arbitrase atau lembaga Alternatif penyelesaian
sengketa dalam waktu paling lama 7 hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

6. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagai mana dimaksud dalam ayat 5
dengan memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam
waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.

8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 7
wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari sejak pendaftaran.

9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sampai dengan ayat 6 tidak dicapai
maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui
lembaga Arbitrase, arbitrase Ad-hoc.
B. Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Menurut Peraturan MA No. 1

Tahun 1990.

Ditengah-tengah pertentangan pendapat itu, pada tanggal 1 Maret 1990, Mahkamah Agung (MA)
mengeluarkan peraturan MA No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Meskipun tidak dengan tegas disebutkan status peraturan ini, namun dapat disimpulkan bahwa
peraturan No. 1 ini adalah Peraturan Pelaksanaan dari Keppres No. 34 tahun 1981. Kesimpulan ini ditarik
dari konsideraan peraturan yang menyebutkan kalimat : .dipandang perlu untuk menetapkan
peraturan tentang tata-cara pelaksanaan suatu keputusan Arbitrase Asing.

Dikeluarkannya Peraturan MA No. 1 Tahun 1990 ini menjawab dua masalah hukum di Indonesia yang
telah lama mengambang. Masalah pertama adalah : Apakah suatu Keppres memerlukan peraturan
perundang-undangan pelaksanaannya atau tidak sebagaimana halnya dengan Undang-undang ? Yang
kedua adalah : Badan Peradilan manakah yang berwenang menangani masalah-masalah pelaksanaan
putusan Arbitrase Asing ?

Pemerintah meratifikasi konvensi New York dengan Keppres. Seperti diuraikan dimuka, karena konvensi
maupun Keppresnya sendiri tidak menguraikan bagaimana tata-cara pelaksanaan putusan arbitrase,
maka timbul reaksi dari para pakar hukum kita. Di satu pihak berpendapat bahwa Keppres tidak perlu
peraturan pelaksanaannya, di pihak lain berpendapat perlu.

Karena menurut pendapat kami peraturan MA ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Keppres No.
34/1981, maka dapat disimpulkan disini bahwa Keppres-pun, apabila diperlukan, bisa saja dibuat
peraturan pelaksanaannya.

Masalah kedua, yaitu siapa yang berwenang menangani masalah putusan Arbitrase terjawab dalam
pasal 1 Peraturan MA. Badan yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing adalah Pengadilan Negeri Jakara Pusat.

Pasal 2 memberi batasan arti putusan Arbitrase Asing, yakni putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan
Arbitrase ataupun Arbiter Perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu
Badan Arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres
No. 34 tahun 1981.

Pasal 3 Peraturan MA memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu putusan
Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakan atau ditolaknya suatu
putusan arbitrase. Suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus
memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu negara
yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu
konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing.

2. Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanyalah terbatas pada putusanputusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
3. Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

4. Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari
Mahkamah Agung RI.

Dalam pasal 4 yaitu tentang exequatur, juga telah dijelaskan lebih lanjut tentang pihak mana yang
berhak memberikannya. Menurut pasal ini, exequatur diberikan oleh Ketua MA atau Wakil Ketua atau
Ketua Muda Bidang Hukum Perdata tertulis yang diberi wewenang oleh Ketua MA atau Wakil Ketua MA.
Ditentukan pula bahwa exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata
bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia
(ketertiban umum).

Namun belum genap 2 tahun usia Perma No. 1/1990, timbul lagi kontroversi yang cukup hangat
dibicarakan sekitar masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Asing. Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah
Agung (MA) mengeluarkan suatu putusan eksekusi suatu putusan arbitrase asing terhadap kasus jual
beli gula pasir. Namun kemudian, putusan eksekusi tersebut ternyata dibatalkan. Alasannya adalah
karena putusan arbitrase asing itu bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.

Dari kasus Karaha Bodas itu terlihat bahwa alasan kepentingan umum dipakai sebagai alasan
pembatalan suatu putusan arbitrase. Pada berbagai konvensi atau perjanjian internasional mengenai
arbitrase asing, memang salah satu alasan untuk tidak melaksanakan suatu putusan arbitrase adalah
ketertiban umum. Sebagai contoh, The Uncitral Law on International Commercial Arbitration (21 Juni
1985) mengaturnya dalam pasal 36 ayat 1 (b) bagian ii. Konvensi New York 1985 mengatur hal serupa
dalam pasal V ayat 2 (b).

4 Dr. Eman Suparman, S.H., M.H., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa

Komersial Untuk Penegakan Keadilan, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2004

5 Huala Adolf, S.H., Hukum Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja

Grafindo Persada, 1994

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Seperti telah ditulis dimuka, perjanjian arbitrase acapkali menyertai perjanjian pokoknya (kontrak-
kontrak komersial) baik nasional maupun internasional. Segi positif dengan adanya klausula arbitrase
yaitu bahwa para pihak dapat memilih proses penyelesaian sengketa mereka kelak di kemudian hari. Di
dalam hal ini, mereka dapat pula merancang klausula tersebut sedemikian rupa sehingga ketentuan-
ketentuan (persyaratan arbitrase) yang didalamnya dapat memenuhi keinginan mereka.

Untuk dapat merumuskan suatu klausula yang baik sudah barang tentu peranan ahli hukum atau ahli
arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu ketentuan yang terkandung di
dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati agar pihaknya atau kedua belah pihak sama-sama puas
dan sama-sama tidak merasa dirugikan.

Makalah 2

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latarbelakang
Dalam suatu perjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada
kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang terjadi seringkali terkait cara melaksanakan
klausal-klausal perjajian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya di luar yang diatur
dalam perjajian. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, ada beberapa cara yang biasanya dapat
dipilih, yaitu melalui mediasi, negoisasi, pengadilan dan arbitrase.
Bebicara mengenai arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya sudah ada dan telah
dipraktekkan selama berabad-abad (bahkan pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat Yunani
sebelum Masehi). Namun, definisi pasti mengenai apa arbitrase itu, masih saja ditemui begitu
banyaknya perbedaan pendapat. Namun, perbedaan pendapat tersebut tidak sampai
menghilangkan makna arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa melainkan justru
memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai arbitrase. Ini memberikan suatu gambaran
bahwa menyelesaikan sengketa melalui arbitrse merupakan cara yang paling disukai oleh para
pengusaha kerena dinilai sebagai cara yang paling serasi dengan kebutuhan dalam dunia bisnis.
Kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase terlihat pada
pencantumanarbitration clause (klausul arbitrase) dalam kontrak-kontrak bisnis.
b. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi sehingga timbul yang namanya arbitrase?
2. Selain kelebihan, kelemahan apa saja yang dimiliki oleh arbitrase?

BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa Latin) yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Definisi secara
terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun sebenarnya
mempunyai makna inti yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih[1].
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan
suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak[2].
H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan
sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan meraka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang
tidak memihak yang ditunjuk oleh pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak[3].
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin penting yang
membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan menggunakan satu peradilan
permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk
khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam
mahkama arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang
ditangani[4].
Menurut Frank Elkoury dan Etna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau
simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru
pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dengan dalil-dalil
dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara
final dan mengikat[5].
Di Indonesia, perangkat aturan mengenai arbitrase yakni UU No. 30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, pasal 1 angka 1 mendefinisikan arbitrase sebagai
cara penyelesaikan sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari beberapa pengertian arbitrase di atas, maka terdapat beberapa unsur kesamaan, yaitu:
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun akan
terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan;
2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang
dapat dikuasai sepenuhnya, kususnya di sini dalam bidang perdagangan industri dan keuangan;
dan
3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat.

Dalam dunia ekonomi dan keuangan arbitrase dapat diartikan


sebagai praktik untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan harga yang terjadi di antara dua
pasar keuangan. Arbitrase ini merupakan suatu kombinasi penyesuaian transaksi atas dua pasar
keuangan di mana keuntungan yang diperoleh adalah berasal dari selisih antara harga pasar yang
satu dengan yang lainnya.
Apabila harga pasar tidak memungkinkan dilakukannya arbitrase yang menguntunkan,
maka harga tersebut merupakan ekuilibrium arbitrase (harga keseimbangan)[6].
b. Kondisi Arbitrase
Arbitrase bukanlah merupakan suatu tindakan sederhana dari
pembelian produk dari suatu pasar dan menjualnya di pasar lain dengan harga yang lebih tinggi
kelak. Transaksi arbitrase harus terjadi secara kesinambungan guna menghindari terungkapnya
risiko pasar ataupun risiko perubahan harga pada salah satu pasar sebelum kedua transaksi selesai
dilaksanakan. Dalam segi praktik, hal ini umumnya hanya dimungkinkan untuk dilakukan terhadap
sekurini dan produk keuangan yang dapat diperdagangkan secara elektronis.
Arbitrase dimungkinkan apabila salah satu dari ketiga kondisi ini terjadi:
1. Aset yang sama tidak diperdagangkan dengan harga yang sama pada setiap pasar;
2. Dua aset dengan arus kas yang identik tidak diperdagangkan dengan harga yang sama; dan
3. Suatu aset dengan nilai kontrak berjangka yang diketahui, dimana aset tersebut pada saat ini
tidaklah diperdagangkan pada harga kontrak berjangka dengan dikurangi potongan harga
berdasarkan suku bunga bebas risiko.
Salah satu contoh arbitrase adalah sebagai berikut:
Misalnya nilai tukar ( setelah dipotong biaya penukaran) di London adalah 5 Pounsterling
= 10 USD = 1.000 Yen dan nilai tukar di Tokyo adalah 1.000 Yen = 6 Pounstarling = 12 USD.
Sehingga dengan melakukan penukaran uang senialai 1.000 akan memperoleh $ 12 di Tokyo
dan dengan menukarkan $ 12 di London akan memperoleh 1.200, sehingga akan dilakukan
arbitrase untuk keuntungan sebesar 200 tersebut[7].

c. Jenis Arbitrase
Adapun beberapa jenis arbitrase adalah sebagai berikut:
1. Arbitrase Merger
Arbitrase merger umumnya dilakukan dengan membeli saham dari perusahaan yang menjadi target
akuisisi disamping membeli dengan cara short selling saham perusahaan yang akan mengambil
alih.
2. Arbitrase Obligasi Daerah
Arbitrase obligasi daerah merupakan strategi pengelola investasi global yang menggunakan satu
atau dua tehnik. Umunya seorang manejer akan mencari kesepakatan atas nilai relatif dengan cara
melakukan penjualan dan pembelian obligasi daerah dengan jangka waktu netral.
3. Arbitrase Obligasi Konversi
Suatu obligasi konversi merupakan obligasi dimana investor dapat mengembalikannya kepada
perusahaan penerbit dengan ditukarkan dengan sejumlah tertentu saham perusahaan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Harga dari obligasi konversi ini sangat sensitif terhadap suku bunga, harga
saham dan obligasi selisih kredit.
4. Depository Receipts
Depository receipt adalah sekuriti yang ditawarkan sebagai pengikut saham pada pasar asing,
misalnya suatu perusahaanJepang ingin memperoleh uang maka ia dapat menerbitkan depository
receipt pada the New York Stock Exchange, oleh karena terbatasnya jumlah modal yang beredar
pada bursa lokal.
5. Arbitrase peraturan
Arbitrase peraturan adalah suatu arbitrase dimana suatu lembaga mengambil keuntungan atas
selisih antara suatu risiko nyata atau risiko ekonomis dengan posisi aturan yang ada.
Selain itu, Remy Sjahdeini menggolonkan arbitrase menjadi 2
(dua) macam, yaitu:
1. Arbitrase Ad-Hoc
Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa arbitrase Ad-Hoc bersifat sekali pakai (eenmalig). Berarti,
setelah para wasit atau arbiter menjalankan tugasnya, maka arbiter atau majelis arbiter yang
memeriksa sengketa itu bubar
2. Arbitrase Institusional
Merupakan suatu badan arbitrase permanen yang telah mempunyai peraturan prosedur tersendiri
untuk menyelesaikan setiap sengketa yang diperiksanya.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa arbitrase institusional
sengaja didirikan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul untuk bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian di luar peradilan. Arbitrase ini merupakan satu wadah yang sengaja
didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Suyud Margono
sebagaimana dikutip pula oleh A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino mengatakan bahwa arbitrase
institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen sehingga disebut
Permanent Arbital Body[8].

d. Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase


Lembaga arbitrase disini adalah badan yang dipilih oleh para pihak
yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa. Arbitrase disini dapat berupa, klausul arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Berikut penjelasan
mengenai kelebihan dan kelemahan dari penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalan
arbitrase.
1. Kelebihan
Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administrasf;
Para pihak dapat memilih arbiter yang memiliki pengalaman dan latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, secara jujur dan adil;
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana dan
langsung dapat dilaksanakan.
2. Kelemahan
Putusan arbitrase sangat tergantung kepada kemanpuan teknis arbiter untuk memberikan putusan
yang memuaskan kepada kedua belah pihak. Karena walaupun arbiter adalah seorang ahli, namun
belum tentu dapat memuaskan para pihak.
Tidak terikat dengan putusan arbitrase sebelumnya, atau tidak mengenal legal precedence. Oleh
karenanya, bisa saja terjadi putusan arbitrase yang berlawanan dan bertolak belakang;
Pengakuan dan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase bergantung pada pengakuan dan
kepercayaan terhadap lembaga arbitrase itu sendiri; dan
Proses arbitrase ini akan memakan waktu , tenaga serta biaya yang lebih mahal, jika ada salah satu
pihak yang belum puas dan masih ingin memperkarakan putusa arbitrase[9].

Makalah 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan badan arbitrase di dalam penyelesaian sengketa sengketa bisnis di bidang perdagangan
nasional maupun internasional dewasa ini adalah semakin penting. Banyak kontrak nasional dan
internasional menyelipkan klausula arbitrase dan memang bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian
sengketa melalui badan ini memberi keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional.

Untuk menyelesaikan sengketa sengketa melalui badan arbitrase ini, hukum yang akan diberlakukan
oleh dewan arbitrase pertama tama adalah hukum yang dipilih oleh para pihak sebagaimana yang
tertulis dalam klausula tambahan dokumen kontrak atau perjanjian. Apabila tidak ada hukum yang tegas
tegas di pilih oleh para pihak, maka hukum yang akan diberlakukan adalah hukum di mana perjanjian
atau kontrak dibuat.

Di tahun 1999, pemerintah Negara Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan
untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan
dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau
perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak.
Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.

B. Rumusan Masalah

Dalam pembahasan makalah ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:


Apakah yang dimaksud dengan arbitrase

Bagaimanakah Arbitrase menurut ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Arbitrase

Perkataan arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arbitrase adalah usaha
perantara dalam meleraikan sengketa. Sedangkan beberapa sarjana dan peraturan perundang-
undangan yang ada memberikan defenisi Arbitrase sebagai berikut.

Subekti

Menurut Subekti (1992:1) menyatakan bahwa arbitrase adalah : Penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk
pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.

HMN.Poerwosutjipto

Menurut HMN. Poerwosutjipto (1992:1), yang mempergunakan istilah perwasitan untuk arbitrase ini,
menyatakan bahwa: Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat
agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan
diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat
bagi kedua belah pihak.

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa Umum

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1
angka 1, Arbitrase adalah Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

B. Dasar Hukum Berarbitrase

Dasar hukum berarbitrase adalah dasar hukum yang dipergunakan seseorang untuk dapat
menyelesaikan perselisihannya melalui arbitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional maupun
internasional. Dasar hukum tersebut adalah:

UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum

UU No.5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara
dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York 1958

Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 mengenai peraturan lebih lanjut tentang pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing

C. Lembaga Arbitrase

Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu. Berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan
memutus perselisihan yang terjadi antara pihak yang mengadakan perjanjian ada dua jenis arbitrase
yaitu:

Arbitrase ad hoc

Arbitrase ad hoc adalah (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan
atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu
sampai sengketa itu diputuskan.

Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen. Ciri dari lembaga
arbitrase institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad
hoc adalah sebagai berikut:

1. Arbitrase institusinal sengaja didirikan untuk bersifat permanen/selamanya, sedangkan arbitrase


ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai diputus.

2. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul, sedangkan
arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak yang bersangkutan.

3. Karena bersifat permanen, arbitrase institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata
cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum
dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada sama
sekali

Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang bersifat internasional. Dikatakan
bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan.
Sementara dikatakan bersifat internasional karena merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara
pihak yang berbeda kewarganegaraan.

Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang dikenal adalah:

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

3. The Internasional Centre for Settlement of Invesmen Disputes (ICSID)

4. The Court of Arbitrasetion of The Internasional Chamber of Commerce (ICC)

D. Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat. perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian
ketentuan pasal 1253-1267 KUHPerdata. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak
digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak
mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan
lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak.

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi materi pokok perjanjian.
Perjanjian arbitrase yang lazim disebut klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada
perjanjian pokok. Jadi perjanjian arbitrase bersifat asesoir, dimana keberadaannya hanya sebagai
tambahan pada perjanjian pokok dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan
perjanjian pokok. Walaupun tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan terus dan
berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, tidak akan pernah ada
perjanjian arbitrase.

Dari berbagai sumber undang-undang, peraturan dan konvensi internasional, dijumpai dua bentuk
perjanjian arbitrase sebagai berikut:

Pactum De Compromittendo

Bentuk klausula arbitrase yang pertama, disebut Pactum de compromittendo yang berarti kesepakatan
setuju dengan putusan arbiter atau wasit. Pactum de kompromiteendo atau disebut juga Akta
kompromitendo merupakan suatu klausula dalam perjanjian pokok dimana ditentukan bahwa para
pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase

Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan
akan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikat
dan meneyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan, seakan-akan klausula
arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan
datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk
menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Bentuk klausula pactum de
compromittendo diatur dalam pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:

Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase.

Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara

a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok,

b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri

Akta Kompromis

Bentuk perjanjian Arbitrase yang kedua disebut akta kompromis atau compromise and settlemen
(perdamaian yang dicapai di luar pengadilan). Akta kompromis adalah perjanjian khusus yang dibuat
setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi
itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan. Akta kompromis harus dibuat dalam
bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan notaris.

Akta kompromis diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:
1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak.

2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :

a. masalah yang dipersengketaan;

b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase;

d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e. nama lengkap sekretaris;

f. jangka waktu penyelesaian sengketa;

g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

E. Prosedur Arbitrase

Bila telah terjadi perselisihan yang penyelesaiannya disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase,
prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.

Permohonan Arbitrase

Tahap pertama berarbitrase harus dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase. Pada surat
permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus
meneyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/majelis arbitrase (akta kompromis); atau perjanjian
yang memuat klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh
arbiter/majelis arbitrase.

Surat permohonan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:

a. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak

b. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti

c. Isi tuntutan yang jelas

Penunjukan Arbiter
Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan
mereka. Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka ketua pengadilan Negeri atau Ketua
Lembaga arbitrase yang dipilih akan menunjuk/membentuk arbiter yang akan memeriksa dan memutus
sengketanya. Jika sengketa itu dianggapnya sederhana dan mudah, akan ditunjuk seorang arbiter
tunggal untuk memeriksa dan memutusnya.

Proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan

Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis,
bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang dipergunakan dalam persidangan
sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Demikian juga, para pihak bebas
menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya pemeriksaan/persidangan, termasuk arbiter
atau majelis arbitrasi yang akan memutuskan.

F. Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad hoc maupun lembaga
arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu
pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan
pada arbitrase ad- hoc tersebut, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Sebagai suatu
pranata (hukum), arbitrase dapat mengambil berbagai macam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi
dan keadan yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian.

Berdasarkan pada tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat
kita bedakan ke dalam:

1. Putusan arbitrase nasional, yamg merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di
negara Republik Indonesia

2. Putusan arbitrase internasional atau arbitrase asing, yang merupakan putusan arbitrase yang
dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia

Putusan arbitrase berbeda dengan putusan badan peradilan, putusan arbitrase baik yang diputuskan
oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase, adalah merupakan putusan pada tingkat akhir (final),
dan karenanya secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak. Namun meskipun demikian, putusan
arbitrase masih bisa dilakukan upaya pembatalan putusan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang diatur dalam Bab VII tentang Pembatalan Putusan Arbitrase, pasal 70-72 Undang-undang
No. 30 Tahun 1999.

G. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara pelaksanaan putusan
arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional

Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah
Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak
memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan).
Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena majelis tersebut tidak bersifat
yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita yang bertugas melaksanakan eksekusi.

Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, ada beberapa tahap yang akan
dilalui, sebagaimana diuraikan berikut ini.

a. Pendaftaran Putusan Arbitrase

Pasal 59 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa tahap pertama yang harus dilakukan dalam
rangka eksekusi putusan arbitrase adalah tahap pendaftaran/penyimpanan atau yang disebut dengan
istilah deponir pada Pengadilan Negeri dalam wilayah putusan tersebut dikeluarkan. Kewajiban
mendaftarkan harus dilakukan paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
Dan yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah:

1) Salah seorang anggota arbiter, atau

2) Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter

Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Nomor 30 tahun
1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yan bersengketa sendiri, bukan arbiter

b. Permohonan Eksekusi

Makna/pengertian eksekusi adalah permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilakukan
perintah eksekusi terhadap putusan. Dengan demikian, tahap kedua adalah mengajukan permohonan
eksekusi, yaitu permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi
terhadap putusan arbitrase

Perintah eksekusi akan diberikan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (pasal 62 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999).
Dan selama waktu tersebut, sebelum perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berwenang
untuk memeriksa terlebih dahulu, apakah putusan arbitrase itu sah atau tidak

Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila:

1) Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui
arbitrase

2) Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase yang menyangkut
perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional

Sama halnya dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional,pelaksanaan putusan arbitrase


internasional ini pun melalui proses yang sama, yaitu tahap pendaftaran, lalu baru kemudian eksekusi

Dalam pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah
pengakuan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau dilaksanakan di
Indonesia tanpa memandang dari negara mana putusan tersebut dikeluarkan. Pasal 66 UU Nomor 30
Tahun 1999 menentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang
dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional. Ini disebut asas reciprositas

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekusi dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekusi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Untuk keperluan pendaftaran ini dokumen yang diperlukan adalah :

a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal
autentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;

b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional
sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa
Indonesia; dan

c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase
Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Para sarjana memberikan definisi yang berbeda tentang arbitrase namun pada hakekat memiliki makna
yang sama, bahwa arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri oleh para
pihak yang berselisih

Arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
sebagai landasan hukum dalam berarbitrase.

Anda mungkin juga menyukai