atau dokter dan atau ahli lainnya untuk kepentingan penyidikan dan peradilan
wajib memberikan keterangan ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap
korban tindak pidana yang berada dalam keadaan terluka, keracunan atau mati.
Urgensi kewajiban menempuh IKK berkait erat dengan peranan dokter sebagai
saksi ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap manusia sebagai korban tindak
pidana, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Formulasi Pasal 133 ayat (1) KUHAP, ditentukan sama dan tidak
mengalami perubahan di dalam Rancangan KUHAP 2013 Pasal 37 ayat (1), yang
selengkapnya menentukan: dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani korban luka, keracunan, atau mati yang diduga akibat peristiwa tindak
pidana, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya.
Formulasi Pasal 133 ayat (1) KUHAP tidak menyebutkan tentang
pemeriksaan kedokteran kehakiman terhadap korban kejahatan kesusilaan. Tidak
disebutkannya urgensi pemeriksaan kedokteran forensik terhadap korban tindak
pidana kesusilaan sebenarnya dapat dilengkapi di dalam Rancangan KUHAP,
namun demikian ternyata tim panitia perumusan Rancangan KUHAP tidak
melengkapinya, apakah ini diserahkan dalam praktek di lapangan seperti yang
sudah berjalan selama ini?
Hukum pidana Indonesia menentukan, atas dasar permintaan
penyidik memberikan beban kewajiban bagi setiap dokter dalam
kapasitasnya sebagai ahli untuk memeriksa setiap orang yang luka
atau mati yang diduga sebagai korban tindak pidana. Pasal 216
KUHP mengancam sanksi pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu apabila dokter atas permintaan penyidik, menolak
melakukan pemeriksaan kedokteran forensik. Oleh karena itu,
merupakan salah satu pertimbangan pentingnya setiap mahasiswa
kedokteran menerima mata kuliah IKK dari aspek hukum.
Tugas bantuan dokter pada bidang kedokteran forensik
diatur dalam KUHAP Pasal 133 ayat (1), yang menyatakan: dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau
ahli lainnya.
Ketentuan Pasal 133 ayat (1) KUHAP tidak menentukan
pemeriksaan oleh dokter terhadap korban tindak pidana kesusilaan;
sedangkan korban tindak pidana kesusilaan khususnya perkosaan
memerlukan pemeriksaan dokter.
KUHAP tidak menyebutkan istilah visum et repertum,
namun demikian KUHAP merupakan salah satu dasar hukum dalam
pembuatan visum et repertum. Landasan hukum lain sebagai rujukan
dalam pembuatan visum et repertum adalah: Stbl. Tahun 1937 No.
350 dan Sumpah Jabatan Dokter.