Anda di halaman 1dari 3

A.

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik,
batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi
asma terus meningkat terutama di Negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia
Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk
kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir
separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma
yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA) (IDI,

2008).
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat dihampir semua
negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan
sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia
menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak-anak. Asma merupakan gangguan
saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis,
faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat
bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing),
bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi. Penelitian epidemiologi di
berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di
Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia 0,9-2,0%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia
5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1%4). Prevalensi asma di seluruh dunia
adalah sebesar 8-10% padaanak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini
meningkat sebesar 50%. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan
kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daearah lembah
(Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9% (1992), dari daerah perifer yang kering adalah
sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5% dan mengi 2%6). Beberapa
survei menunjukkan bahwa penyakit asma menyebabkan hilangnya 16% hari sekolah pada
anak-anak di Asia, 43% anak-anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika
Serikat7). Serangan asma yang terjadi pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli
sebagai asma ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen.
B. DEFINISI ASMA
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah
riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik,
tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran
napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang
dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran
napas.1,2,4 Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik
saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan
gejala episodic berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada
malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1
Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna untuk
mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang
paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral,
inhalasi maupun sistemik.
C. ETIOLOGI
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi,
endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas
bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung
sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada
lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang
kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai
relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida
dominan yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap
faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk asma inilah yang
paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang
timbul lambat), disebut intrinsik. Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam
hubungannya dengan kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-
gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat-
sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit
kronis lainnya.
D. PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan
yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur
imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel
ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus
yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat
epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada
beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui
refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid
sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,3-6
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat
diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik
E. KLASIFIKASI
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
G. PENATALAKSANAAN

Anda mungkin juga menyukai