Anda di halaman 1dari 16

MULTIKULTURAL KONSELING PADA ANAK BERBAKAT

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Rochmad Wahab, M.Pd,. MA

Disusun oleh :

Alfiana Rohali

15103241026

PLB B 2015

PENDIDIKAN LUAR BIASA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak berbakat seperti anak yang lain, berasal dari berbagai suku dan budaya. Seperti perbedaan
yang ada di Amerika. Hal ini sangat penting bagi efektivitas konselor untuk memberikan konseling
kepada anak yang secara suku dan budaya berbeda dengan diri konselor maupun dengan anak lain.
Meskipun populasi dari Hispanics, African-Americans dan Native Americans meningkat, kelompok ini
masih dibawah representasi dari psikolog terlatih, konselor, dan pekerja kesehatan mental. Hal ini
seperti konselor Caucasian akan berkembang yang mana akan bekerja dengan anak yang berbeda suku
dan budaya

Hal ini dipercaya bahwa tidak etis ketika konselor yang terlatih secara multicultural untuk
melayani kesehatan mental kepada pasien yang berbeda dari diri mereka sendiri. Konselor yang secara
budaya berbeda dengan budaya anak harus lebih sadar akan perbedaan budaya, pengetahuan yang
spesifik tentang kelompok suku, budaya dan kemampuan bekerja secara efisien dengan mereka.
Multicultural konseling digunakan ketika seorang konselor dank lien berasal dari kelompok kebudayaan
yang berbeda (LeBeauf, et at. 2009). Multikultural mencakup keberagaman budaya, kelompok rasial,
kelompok gender, kelompok ekonomi termasuk kemiskinan (C.H Patterson, 1996)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori yang berkaitan dengan konseling multicultural?
2. Apa saja isu-isu terkait dengan perbedaan kebudayaan anak?
3. Bagimana dampak prasangka konselor pada dirinya sendiri dan anak?
4. Bagaimana konselor multicultural yang ideal?

C. Tujuan
1. Mengetahui teori yang berkaitan dengan konseling multicultural
2. Mengetahui isu-isu terkait dengan perbedaan kebudayaan anak
3. Mengetahui dampak prasangka konselor pada dirinya sendiri dan anak
4. Mengetahui konselor multicultural yang ideal
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kurangnya Teori Yang Ada

Masalah tersebesar dengan teori konseling yang ada adalah pada kepercayaan antara keturunan
Inggris-Amerika atau negara-negara barat. Asumsi teori-teori tentang orang yeng berdasarkan pada
budaya barat adalah normal. Kebanyakan semua teori gagal untuk mengenali apa itu normal dibudaya
barat mungkin dianggap tidak normal oleh budaya lain. Sue (1981) dan Pedersen (1988) mengemukakan
beberapa point kekurangan dari teori negara barat dan pemikiran barat yang bekerja secara kelompok
yang berbeda. Banyak konselor disekolah yang merasa tidak cukup akan pekerjaan mereka karena
mereka kurang dapat membuat hubungan dengan siswa yang berbeda bahasa (Audrey, tanpa tahun).
Asumsi dari budaya barat mengenai konseling

1. Menurut Sue
a. Harapan untuk terbuka, pemikiran psikologis dan pengalaman duniawi
b. Penyingkapan dari aspek pribadi dari hidup mereka, atau mereka bersifat menentang
c. Harapan dari pola komunikasi
d. Tekanan pada tujuan jangka panjang
e. Orientasi satu bahasa
f. Perbedaan antara kesejahteraan fisik dan mental
g. Tekanan pada hubungan penyebab dan akibat
2. Menurut Perseden
a. Orang membagikan semua keadaannya berdasarkan perilaku yang normal
b. Individual merupakan benteng bangunan dasar dari sosial
c. Berdasarkan budaya barat, ketergantungan pada kata-kata yang abstrak dan asumsi
konselor di U.S orang lain akan paham peng-abstrak-an pada satu cara yang mereka
maksud
d. Kebebasan adalah nilai dan ketergantungan adalah hal yang tidak menyenangkan
e. Sistem dukungan alamiah tidak penting untuk klien
f. Konselor butuh untuk mengubah individu agar sesuai dengan sistem dan tidak
dimaksudkan untuk mengubah sistem agar sesuai dengan individu
g. Semua orang tergantung pada pemikiran linier, yang mana penyebabnya akan memiliki
dampak dan dampaknya akan mengikat penyebab, untuk memahami dunia disekitar
mereka
h. Sejarah tidak penting pada pemahaman keadaan yang kontemporer
i. Konselor harus sudah mengetahui harapan mereka
j. Masalah didefinisikan dengan menggunakan kerangka dari aspek akademik, dan berbagai
disiplin ilmu.

4 isu pertama yang dideskripsikan oleh Sue fokus pada harapan budaya barat dalam hal komunikasi
di setting konseling. Keefektivitasan konseling dapat dengan sungguh-sungguh membatasi ketika budaya
klien berbeda dengan budaya konselor dalam hal berkomunikasi misalnya harapan untuk konselor dapat
mengetahui informasi secara detail. Orientasi satu bahasa oleh konselor dengan signifikan ketika sedang
bersepakat dengan klien yang bahasanya bukan bahasa Inggris. Tiga isu selanjutnya dari pertimbangan
perilaku pada bagian dari konselor. Jika klien tidak tertarik pada perencanaan jangka panjang atau
hubungan sebab akibat atau lebih tertarik pada interaksi antara kesejahteraan fisik dan mental, konselor
mungkin akan melabeli hal ini sebagai perilaku yang patologis.

Pedersen (1988) berasumsi bahwa psikologis budaya barat meningkatkan kesadaran yang mana
berbeda secara signifikan dari nilai budaya barat. Berbagai kelompok budaya yang mana lebih penting
daripada individual, kebebasan, dukungan alami dan sejarah. Konselor meneruskan dibawah asumsi ini
tidak akan memberikan pemahaman kepada klien mereka akan melawan ketika diintervensi. Asumsi lain
dapat menjadi perdebatan adalah definisi apakah itu normal. Mereka termasuk asumsi pengabstrakan
yang diinterpretasikan dengan cara yang sama oleh semua orang dan cara berpikir linier adalah model
yang paling disukai dari cara berpikir kebanyakan orang. Orang yang dari budaya berbeda memiliki pola
bahasa berbeda dan belajar untuk menginterpretasi bahasa berdasarkan pola bahasa disekitarnya. Hal
yang dapat dikatakan sama adalah tentang pola berpikir dan pemecahan masalah. Peran konselor
multicultural adalah mengetahui kebutuhan individu yang berbeda budaya (Mika, 2005).

Semua asumsi ini memiliki potensial untuk merugikan klien, tapi tidak ada yang sangat
berbahaya pada akhirnya, asumsi bahwa konselor tahu semua tentang asumsi mereka. Konselor yang
berhenti bertanya tentang akibat dari kepercayaannya dan nilai yang pasti untuk melakukan lebih
banyak kerugian daripada keuntungan ketika bekerja dengan klien. Hal tersebut adalah alasan dari teori
budaya barat dan model konseling mungkin tidak sesuai jika diaplikasikan secara kesukuan dan
perbedaan budaya dari klien. Perkembangan saat ini banyak latar belakang keluarga yang memiliki
kebuyaan berbeda sehingga konselor harus mampu untuk menemukan kebutuhan dari perkembangan
individu dan perbedaan sosial (Ahmed, et al; 2011)

B. Isu-Isu Dari Perbedaan Budaya Anak

Silverman (1990) mencatat 12 masalah yang sering muncul pada anak berbakat. dari rentang
personal, interpersonal sampai ke akademik. Beberapa masalah mungkin secara khusus menyusahkan
anak yaitu a) perbedaan siswa yang mendapatkan kritik (yang mana dapat berhubungan dengan
pengenalan diri dan konsep diri), b) perilaku sulit menyesuaikan diri dan perlawanan kekuasaan (yang
mana mungkin dihubungkan dengan motivasi), c) pengucilan dari teman sebaya, d) menyembunyikan
bakat untuk dapat diterima teman sebaya. Penambahan masalah tersebut secara suku dan budaya
berbeda dari anak berbakat harus juga diatasi dengan rasisme dan prasangka dan perkembangan yang
lain terhadap diri anak. Percampuran yang komplek dari isu-isu tersebut lebih lanjut akan mempersulit
interaksi. Hal ini menciptakan tantangan yang lebih besar untuk anak berbakat (Lee, 2015).

1. Rasisme dan kurangnya model


Rasisme tekah didefinisikan oleh Katz (1976) sebagai apapun yang tindakan atau langkah
kelembagaan untuk menciptakan suatu bantuan atau mengabdikan keuntungan atau hek
istimewa dan pengecualian atau perampasan dari kelompok minoritas. Meskipun Amerika
Serikat menemukan bahwa semua orang adalah sama, idealnya harus direalisasikan. Raisisme
masih hidup dan baik di Amerika Serikat. Secara original, masyarakat Amerika membantu
perkembangan negara. Orang yang datang dari budaya berbeda, ras dan agama dan semua
menjadi Amerika. Sayangnya, apa yang dimaksud orang-orang untuk menyesuaikan konsep
dari Amerika. Seseorang yang secara substansial berbeda dari apa yang masyarakat anggap
bahwa Amerika tidak dapat diterima.
Non-Amerika termasuk siapa saja yang tidak termasuk orang Anglo-Saxon beragama
protestan dan berkulit putih atau semua orang yang tidak masuk golongan itu, akhirnya
mencoba untuk berasimilasi untuk lebih dekat dari penggambaran. Seseorang yang secara
nyata berbeda akan mempertimbangkan standard an mutu. Individu yang menjadi anggota
kelompok suku yang terlihat berbeda yang tidak dapat terlihat sama dengan budaya kulit putih.
Meskipun, mereka selalu mempertimbangkan rendahnya mutu. Stereotip berkembang untuk
menghidupkan konsep inferioritas. Ukuran legal termasuk orang yang secara suku dan budaya
berbeda. Selama beberapa tahun, hukum lebih dulu berubah dan rasisme yang terbuka serta
diskriminasi menjadi illegal.
Pembatasan yang legal tidak menghentikan usaha institusi untuk membuktikan
perbedaan walaupun masih tergolong inferior. Usaha ini memiliki manifestasi perbedaan untuk
diri mereka sendiri di beberapa bentuk. Hasil yang berbahaya dari kepercayaan rasisme dan
yang telah membentuk kelembagaan dari model yang kurang, berdasarkan Smith (1981),
menggunakan asumsi inferioritas daripada kelengkapan inferioritas persaingan antar kelompok,
modal dari orang menengah kulit putih lebih mempertimbangkan kurangnya budaya,
ketidakberuntungan dan kelemahan. Sue (1981) menandai konsep tersebut sebagai 1)
menyiratkan bahwa kelompok rasial tidak memiliki budaya 2) penyebab kebingungan yang
dapat mempengaruhi penelitian dan perencanaan pendidikan 3) asumsi superioritas pada
orang kulit putih 4) terjadi kesamaan dengan patologi.
Kurangnya role model anak berbakat di sistem sekolah, hasilnya yaitu : 1) kurangnya
identifikasi pada anak berbakat, 2) kurangnya dorongan untuk mengembangkan bakat dan
minat, 3) identifikasi dari anak sebagai permasalahan disiplin dan perilaku ketika mereka
bertindak seolah menantang, hasil penyerahan dari penempatan pada pendidikan khusus.
Masyarakat sudah melakukan tujuan pekerjaan pada konsep inferioritas dari kelompok orang
tersebut, termasuk orang dengan warna kulit berbeda yang memiliki internalisasi dan diterima
sebagai role model pada kenyataanya.
Rasisme dan prasangka berdampak pada anak dengan warna kulit berbeda sebagai
individu. Menurut Allport (1954), anak merupakan sasaran pada 3 tingkat yaitu penolakan
secara verbal, diskriminasi dan serangan fisik. Perilaku tersebut dengan realitas pada keunikan
mereka, anak belajar beberapa pengajaran nyata tentang apa artinya menjadi berbeda di
masyarakat Amerika. Anak berbakat karena mereka memiliki sensitivitas yang tinggi mungkin
pengalaman rasa sakit dari diskriminasi lebih intense daripada pengalaman teman sebaya
mereka. Hal ini membutuhkan kerja yang ekstra untuk mendukung anak.
Kesukuan atau kebudayaan yang berbeda pada anak berbakat harus segera ditemukan
caranya untuk mengatasi pelabelan dari inferioritas dan untuk memilih informasi tentang orang
terdekatnya. Anak yang memunngkinkan untuk menyelesaikan tugas dengan efektif dapat lebih
memiliki konsep diri yang positif.
Aspek lain dari isu pada inferioritas dapat terlihat pada usaha untuk mengubah norma
untuk mengidentifikasi anak berbakat untuk memasukkan lebih banyak kebudayaan yang
berbeda pada program anak berbakat. Dikarenakan banyak insrumen yang mendapat kritikan
maka menjadi kebudayaan yang menyimpang. Cara alternative atau asesmen tradisional
dibutuhkan untuk mengkoreksi perbedaan kebudayaan anak. Orang dengan suku dan budaya
yang menyimpang melihat perubahan asesmen sebagai asesmen standard an mereka melihat
perubahan sebagai ekuivalen untuk melemahkan daripada yang sudah terstandar. Kelompok
mayoritas berasumsi bahwa inferioritas mungkin membingungkan anak dengan warna kulit
yang berbeda yang mana mereka heran apakah mereka benar-benar berbakat. Hal ini dipercaya
bahwa kebanyakan anak berbakat diremehkan kemampuannnya dan anak dengan warna kulit
berbeda sering mendapatkan hasil kurang tepat dalam asesmen keberbakatannya. Perdebatan
tentang apakah merkea memang termasuk anak berbakat atau tidak, dapat berdampak pada
konsep diri dan motivasi.
2. Penyesuaian
Kesukuan dan kebudayaan yang berbeda dari anak harus dihilangkan. Kebudayaan ini sering
menimbulkan konflik dan ekspektasi dari anak. Kegagalan untuk memahami budaya dari siswa
dapat mengarahkan pada harapan konselor terhadap anak yang memiliki konflik terhadap
harapan orangtua. Kebingungan anak biasanya akan lebih banyak. Konselor yang tidak
menghargai budaya anak (berfikir bahwa dia temasuk inferior harus di sudahi) akan menyakiti
anak pada perkembangan identitas diri mereka. Meskipun terjadi kesepakatan pada dua
kebudayaan, hal itu telah ditemukan bahwa anak dengan kompetensi lebih dari satu kebudyaan
memiliki konsep diri yang tinggi, pemahaman tinggi dan pencapaian tinggi dari kebanyakan
orang.
Keluarga anak dengan warna kulit berbeda sering kurang antusias pada layanan khusus yang
diberikan pada anak berbakat. Beberapa keluarga seperti memelihara hubungan baik dengan
sekolah yang mana tidak dapat memberikan anak berbakat suatu program. Orangtua sering
fokus pada keadaaan yang mungkin mereka kehilangan kendali pada anak berbakat mereka,
atau mereka khawatir bahwa anak mereka terlalu pintar sehingga dia mungkin merebut ini
ditangkap ketika mereka memuaskan sekolah, guru dan konselor. Sekali anak berbakat
mencapai masa remaja, konflik dapat terjadi dengan 3 dorongan : mereka kemudian berkecil
hati dari kurangnya penerimaan teman sebaya. Dengan kata lain, mereka memperingatkan
untuk tidak menjual kebudayaan untuk menjadi lebih dominan.
3. Status Sosial Ekonomi
Pada pembahasan diskusi perbedaan budaya, hal tersebut didefinisikan sebagai suku
dan etnik yang tidak seragam. perbedaan kebudayaan digunakan untuk mendeskripsikan orang
yang berbeda dari mayoritas kulit putih di Amerika. Kesamaan antara perbedaan kebudayaan
kelompok dan perbedaan antara mereka yang berasumsi. Meskipun begitu, ada perbedaan
yang penting dari kelompok yang memperngaruhi kerja konselor yang multicultural.
Tantangan dari konselor yang multicultural adalah menambah pengaruh dari status ekonomi.
Pentingnya status ekonomi melebihi kekurangan pada faktor suku dan etnik dan kebohongan
pada sistem alamiah yang mana sumber dari masyarakat selalu didistribusikan dan digunakan.
Tetapnya pembayaran yang baik pada karyawan, kredit rumah yang cukup dan kesempatan
yang berlimpah mungkin menghasilkan penghasilan yang rata-rata atau lebih tinggi di
kelompok. Kelompok tengah (yang bersosialisasi dari refleksi alam dan manfaat dari masyarakat
yang lebih baik) dapat terlihat, di perlakukan dan merasa seperti pemenang.
Dan sebaliknya, pengangguran yang tinggi, sedikitnya lapangan kerja, sewa rumah yang
tidak standard dan lemahnya upah borongan sehingga mengembangkan kebudayaan yang
miskin. Karakteristik dari kelompok ini berdampak pada presepsi mereka dan respon terhadap
sistem. Pembangunan kelompok sendiri melibatkan diri pada sistem sosial yang mana
menyediakan identitas dan proteksi untuk anggotanya. Anggota dari kelompok miskin sering
nampak dan diperlakukan (oleh diri mereka dan orang lain) sebagai orang ketidakcukupan dan
kekurangan (pecundang).
Anak yang tumbuh dibawah kondisi kemiskinan dari sosialisasi kedalam budaya
kemiskinan. Mereka jarang mempublikasikan dan manfaat dari masyarakat yang tinggi. Lewis
(1965)mencatat karakteristik budaya kemiskinan 1) lebih fokus pada masa sekarang daripada
masa depan 2) ketidakmampuan untuk menunda kepuasan 3) kecenderungan untuk bertindak
4) ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain 5) ketidakberdayaan dan ketergantungan
dan 6) mengekspresikan perasaan dari inferioritas.
Banyak anak-anak yang berbeda merupakan hasil dari budaya kemiskinan. Beberapa
konselor bingung pada budaya kemiskinan ini dengan anak yang rasial atau budaya kesukuan.
Smith (1977) mengidentifikasi beberapa kesalahan konselor yang sering membuat stereotip
tentang klien yang minoritas, termasuk kepercayaan yang mereka bawa dari kacaunya keluarga
atau rumah tangga yang tidak utuh. Hal tersebut juga merupakan kesalahan kepercayaan
semua suku dan budaya yang berbeda dari individu yang miskin. Kebalikannya, kepercayaan
tentang perbedaan kebudayaan di representasikan pada strata aspek ekonomi dengan rentang
rendah sampai rentang tertinggi dari pendapatan. Anak yang berbeda dikaitkan dengan
kemiskinan karena mereka sering terlihat miskin. tahun 1986, distribusi keluarga yang tinggal
pada level kemiskinan dari anak dibawah 18 dipaparkan sebagai berikut :
- Afrika-Amerika 42%
- Puerto Rican 42%
- Native Amerika 23,7%
- Mexican-American 24%
- Chinese-American 12%

Yang mana perbedaannya termasuk strata sosial-ekonomi yang kemungkinan tidak jelas
definisinya. Sebagai contoh, seorang anak Puerto Rican yang berasal dari keluarga dengan
pendapatan tinggi mungkin lebih memiliki keadaan yang stabil dengan orang kulit putih dari
keluarga yang memiliki pendapatan yang sama daripada dengan anak Puerto Rican yang miskin.
Nicholas and Anderson (1973) menemukan perbedaan IQ pada African-American kulit putih
yang kurang 10 point ketika status sosial-ekonomi kedua kelompok adalah sama.

Kebanyakan, keluarga dengan level pendapatan rendah memiliki pengalaman negative


dengan konselor dan sistem layanan sosial yang mana membuat mereka curiga dengan
kelembagaan. Penerimaan orangtua terhadap konseling intervensi dengan anak berbakat dapat
berjarak sangat jauh. Konselor menemui tantangan dari pembentukan kecurigaan sehingga
orangtua melihat keuntungan untuk anak berbakat mereka untuk belajar. Anak berbakat, anak
yang miskin merupakan salah satu yang paling tersakiti dari asumsi pada beberapa pendidik
dan orang tua anak berbakat dapat melakukan lebih baik dari anak lain meskipun tanpa
pendampingan atau program khusus.

Tanpa dukungan struktur dari pendidikan anak berbakat di sekolah, anak yang berbeda
yang miskin mungkin beresiko tidak pernah mencapai potensial akademiknya. Memberikan
godaan dari lingkungan mereka, mungkin mereka akan menundukkan keberbakatan mereka di
jalan yang merusak mereka sendiri dan masyarakat.

C. Dampak Dari Prasangka Konselor dan Anak


1. Dampak pada Konselor
Konselor yang tidak akan berubah atau menjadi fleksibel mengenai perlakuan klien, yang
menolak untuk dilihat asumsi yang tidak sesuai atau yang merasa bahwa mereka tidak memiliki
hal yang lain untuk di explore, dapat menjadi karakteristik sebagai budaya yang membebaskan.
Seperti konselor yang terjebak di budaya mereka sendiri, cara mereka berpikir atau
mempercayai.
Konselor yang mendapatkan pelatihan di multicultural konseling sering menemukan mereka
sendiri bersepakat dengan beberapa emosi sebaik kekayaan dari informasi. Meskipun begitu,
seminar atau ketidak-cukupan untuk merasa cukup dari kualifikasi seorang konselor untuk
bekerja dengan populasi yang spesifik. Program pelatihan mungkin dapat menaikkan level
kesadaran konselor. Peningkatan level kesadaran cenderung membentuk gerakan
perkembangan tingkatan dari identitas orang berkulit putih. Hardiman fokus pada aspek
sosiologi dari identitas rasial, Helms fokus pada interaksi orang kulit gelap dan putih dan
Ponterotto menerapkan pelatihan konselor. Ponterotto memberikan statemen bahwa dia data
melihat siswa pada latihan multicultural konselingnya termasuk beberapa tingkat dari
kesadaran rasial. Tingkatan menyaring dan meluaskan oleh Sabnani, Ponterotto dan
Borodovsky (1991) termasuk
- Kurangnya kesadaran dari diri sendiri sebagai bagian dari rasial
- Interaksi dengan anggota dari budaya yang berbeda
- Gangguan dari pembentukan pengetahuan dari keadaan rasial dan konflik
- Cara berpendirian kaum minoritas
- Yang mendukung orang kulit putih, pendirian anti minoritas
Dimana tingkatan terlihat linier, konselor mungkin atau mungkin tidak mengikuti pola yang
linier pada perkembangannya.

Stage 1. Kurangnya kesadaran diri sebagai bagian dari rasial

Pada tingkatan ini, pelatihan konselor memiliki sedikit atau tidak dapat membuka untuk
kebudayaan yang lain dan itu seperti digunakan pada standar budaya barat dari konseling. Hal
ini dipercaya bahwa klien diperlakukan dengan sama, mereka akan sewajarnya dilayani. Pelatih
melihat tidak ada alsan untuk pelatihan khusus di multicultural konseling ketika orang di
perlakukan sebagai individu. Konselor pada tingkat ini juga percaya bahwa mereka tidak
memegang prasangka atau melawan prasangka orang lain.

Stage 2. Interaksi dengan anggota dari budaya yang berbeda

Sabnani, Ponterotto dan Borodovsky (1991) membuat pernyataan yang berargumentasi


bahwa Stage 2 lebih condong ke peristiwa daripada tingkatan pertama. Konselor pada tingkatan
ini menemukan bahwa orang-orang yang berbeda dari diri mereka sendiri dan mengenali bahwa
perbedaan dapat terjadi secara substansial dan bermanfaat. Interaksi memaksa orang untuk
memahami sifat putihnya dan memeriksa manfaat dari kebudayaannya. Misalnya, pertama kali
konselor menyaksikan seorang anak dengan dua bahasa menerjemahkan bahasa untuk
orangtuanya, dia tiba-tiba menyadari bahwa ada beberapa keluarga yang dinamis yang dia tidak
dipertimbangkan.

Stage 3. Gangguan

Pada bagian ini konselor mulai untuk bertanya manfaat dia memegang dan mengakui
bahwa dia dan mengistimewakan hak. Tingkatan ini merupakan karakteristik oleh konflik antara
keinginan untuk menyesuaikan untuk norma mayoritas dan mengharapkan untuk menegakkan
menilai kemanusiaan.

Stage 4. Mendukung Monoritas

Pada tingkatan ini konselor, merasa bersalah tentang tindasan dari minoritas kelompok
pada umumnya dan dia berpartisipasi pada penindasan secara khusus, mengganti dengan
identifikasi yang lebih mendalam tentang rasial dan budaya yang berbeda dari klien. Orang ini
mungkin menjadi overprotektif dari perbedaan klien mereka atau mungkin ingin menjadi orang
baik, berbeda dari semua konselor.

Stage 5. Mendukung kulit putih

Beberapa konselor memberikan reaksi berbeda untuk rasa bersalah dan malu terhadap
tindasan. Beberapa menjadi marah dan hal itu masuk pada tingkat sikap membela diri dari
perkembangan identitas rasial mereka- sebuah kemunduran dari budaya kulit putih. Konselor
telah mendengar tentang kecukupan multicultural dan merasa perlakuan yang spesial pada
rasial dan budaya yang berbeda dari anak mencabut hak anak berkulit putih. Dia lebih suka tidak
melihat anak dari kulit dan membuat penyerahan kapanpun itu mungkin. Konselor ini mungkin
akan marah tentang apa yang telah dimasukkan pada kebalikan diskriminasi.

Stage 6. Internalisasi

Konselor mulai untuk memasukkan sebuah identitas positif kedalam dirinya. Konselor
lebih nyaman dengan identitas putihnya dan mulai untuk melihat dunia lebih flexible.

2. Dampak Pada Anak


Anak dengan suku atau budaya yang berbeda yang dikonselingi oleh konselor Stage 1
dilarang untuk merasakan identitas natural mereka, memperoleh informasi yang campur
karena mereka diperlakukan berbeda, hal ini disebabkan oleh ras dan budaya dan mendapat
pesan bahwa hal itu tidak tepat untuk membicarakan perbedaan. Konselor ini juga mencoba
untuk mendapat asimilasi klien untuk norma Amerika, dengan cara menolak kekeluargaan dan
norma budaya. Konselor mungkin melihat anak yang menemukan perbedaan ini sebagai
patologis.
Pada Stage 3 konselor mulai bingung terhadap kemampuannya untuk bekerja dengan
klien yang berbeda budaya. Konselor ini mungkin khawatir untuk menunjuk klien atau
pendatang kedua pada intervensi mereka, yang mana tepat atau tidak tepat. Konselor yang
bingung akan mencari informasi dan pelatihan.
Pada stage 4 konselor berlebihan dalam mengidentifikasi klien dari budaya yang
berbeda. Sering hal ini terselesaikan pada jalan yang paternalistic. Konselor terlalu protektif
pada klien atau ingin sekali menunjukkan klien bagaimana dia dapat bersimpati. Konselor ini
seperti menyerang ketika dia percaya orang lain sedang berakting sebagai orang rasis. Konselor
ini juga tidak dapat melihat patologis pada anak dengan warna kulit berbeda-termasuk semua
masalah anak yang mungkin fokus pada anak baik dan tidak membantu klien untuk
berkembang.
Ketika siswa berbakat menghadapi konselor dengan budaya prasangka, mereka
menemukan bahwa setiap orang yang dilatih untuk membantu mereka dapat menyakiti
mereka. Konselor yang melihat anak sebagai perkecualian untuk stereotip dari anak di
kelompok mereka berasal dari model yang kurang dan anak berbakat yang sadar pada
inferioritas tentang kelompok budaya mereka.
Di Stage 5, konselor akan mencoba untuk menghindari bekerja dengan klien yang
memiliki budaya berbeda. Jika tidak memungkinkan menunjuk klien, ada hal yang terlewatkan
ketika mendiagnosis masalah anak karena kesetiaan pada norma budaya prasangka, standard
and aturan. Hal ini dapat menyebabkan anak tidak teridentifikasi sebagai anak berbakat atau
mungkin menunjuk pada pendidikan khusus untuk masalah perilaku.
Konselor pada stage 6 memiliki banyak pendekatan multicultural pada klien dan klien
merasakan apresiasi mereka dan menghargai budaya mereka. Klien juga dibantu untuk lebih
melihat aspek positif pada semua budaya. Mereka membantu untuk membangun konsep diri,
motivasi dan eksplorasi pada bagian klien.
D. Konselor Yang Multikultural
Sue (1981) mendeskripsikan karakteristik dari kemampuan kebudayaan konselor adalah satu
yang berat jika diterapkan di lapangan. Ketika konselor sadar akan prasangka mereka, mereka akan
mulai untuk bekerja selama pengawasan atau pelatihan lain. Kesadaran meningkat adalah prioritas
pertama dari kebanyakan program pelatihan di konseling multicultural. Kemampuan multicultural
dibangun pada kesadaran dan pengetahuan dari konselor dan mereka tidak menunjukkan
efektivitas tanpa mereka. Ketidaknyamanan konselor adalah dengan perbedaan klien, seperti klien
akan menderita.
Kemampuan konselor
a. Kesadaran akan asumsi, nilai dan prasangka
1) Seseorang yang beralih dari tidak sadar menjadi sadar dan sensitive pada budaya mereka
sendiri
2) Sadar akan nilainya sendiri dan prasangka dan bagaimana mereka mungkin akan
berdampak pada klien minoritas
3) Seseorang yang nyaman pada perbedaan yang ada antara konselor dan klien pada
kepercayaan dan ras
4) Sensitive terhadap lingkungan (prasangka orang, identitas etnik, sosial-politik) yang
mungkin mendikte menyerahkan dari klien yang minoritas untuk anggota rasa tau
budanyanya
5) Mengakui dan sadar tentang perilaku rasis mereka, kepercayaan dan perasaan
b. Pengetahuan dan pemahaman dari sudut pandang klien
1) Harus memiliki pengetahuan spesifik dan informasi tentang bagian kelompok yang mana
dia berkerja dengannya.
2) Akan memiliki pemahaman bagis dari sistem sosialpolitik di Amerikan dengan menghargai
perlakuan kaum minoritas
3) Harus jelas dan pengetahuan yang eksplisit dan memahami karakter umum dari konseling
dan terapi
4) Sadar dari kurangnya lembaga yang mencegak keminoritasan dari menggunakan layanan
kesehatan mental
c. Teknik
1) Harus dapat menggeneralisasi variasi yang luas dari respon verbal dan non-verbal
2) Harus mengirim dan menerima pesan verbal dan non-verbal dengan akurat dan tepat
3) Dapat berlatih kemampuan intervensi yang terstandar pada kepentingan klien yang tepat
4) Sadar tantang gaya bantuan, mengenali batasan yang memperngaruhi dan dapat
mengantisipasi dampak dari perbedaan budaya klien.
Multicultural konselor yang ideal akan memiliki kemajuan sepanjang semua stage dari identitas
rasial dapat diinternalisasi. Ketika berhenti berlatih sebelum mencapai 6 tahap akan membatasi
keefektifitasan konselor untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya. Semua stage lebih dulu
di internalisasi termasuk elemen dari potensi prasangka yang mana akan berbahaya untuk klien
yang berbeda budaya.
Pengetahuan dari kelompok budaya yang spesifik dan kualitas keunikan mereka merupakan
komponen kunsi dari konseling multicultural. Bagaimanapun, peringatan selalu menjamin ketika
informasi disebar. Konselor butuh berhati-hati untuk tidak menyalahgunakan informasi yang
mereka pelajari dari pengembangan stereotip baru tentang perbedaan ras dan budaya. Ada banyak
perbedaan yang membuat generalisasi besar tentang kelompok yang produktif. Gibbs, Huang dan
Associates (1989) dan Sue (1990) menyarankan kedua kelompok dan faktor individu yang perlu
untuk mempertimbangkan ketika melakukan konseling dengan individu yang berbeda budaya.
Mereka menyarankan konselor untuk mencatat budaya klien mereka (bahasa, budaya) sebaik
status sosial-ekonomi mereka, level akulturasi, identitas rasiallatar belakang pendidikan, sejarah
imigrasi, perilaku, dan sistem kepercayaan. Semua faktor berdampak pada budaya klien.
Catatan mengenai kemampuan spesifik atau teknik yang digunakan dengan kebudayaan klien
berbeda tidak panjang. Konselor mungkin menggunakan banyak kemampuan yang mereka miliki
tetapi di konteks budaya yang spesifik. Pederson (1988) menggaris bawahi 4 area kemampuan yang
berhubungan dengan pengalaman pada budaya yang berbeda yaitu 1) mengartikulasikan masalah
dari prespektif budaya klien 2) mengenali hambatan dari budaya klien yang spesifik daripada
bentuk umum 3) kurang bertahan pada hubungan kebudayaan yang ambigu 4) belajar kemampuan
menyembuhkan untuk mencari jalan keluar ketika membuat kesalahan di konseling dengan klien
yang berbeda budaya.
Dia menemukan area yang dapat dialamatkan dengan efektif dengan mengadaptasi
pengembangan kemampuan mikro konseling (Ivey : 1980) untuk menggunakan budaya yang
berbeda dari klien. Untuk mengadaptasi kemampuan ini, harus benar-benartahu tentang
perbedaan kebudayaan kelompok yaitu bahasa, nilai, dan perilaku. Pengetahuan jenis ini datang
dari belajar sejarah mereka, iklim sosial-politik sekarang untuk kelompok yang spesifik dan dari
pengalaman bekerja dengan mereka.
BAB III

KESIMPULAN

Konselor yang berbeda secara budaya dengan anak berbakat harus berpegang bahwa anak
berbakat sangat luar biasa pada banyak bidang. Untuk berpikir bahwa anak hanya memiliki hubungan
dengan ras, budaya atau etnik yang sama adalah sesuatu yang berbahaya. Konselor yang multicultural
harus sensitive pada semua kebutuhan anak, masalah yang mungkin muncul dan keinginan. Hal ini
termasuk aspek dari ras, budaya dan identitas sebagai anak berbakat.

Anak berbakat dari kebudayaan berbeda sering terlewatkan ketika mereka diberikan program
khusus anak berbakat dan mereka mendapat representasi dibawah dari program tersebut. Ras dan
budaya anak yang berbeda kebanyakan ditempatkan di kelas pendidikan khusus untuk gangguan emosi
dan perilaku. Konseling multicultural sangat kompleks dan membutuhkan usaha keras serta kemampuan
untuk melakukannya dengan baik. Hal tersebut sangat dinamis dan membutuhkan konselor yang secara
berkelanjutan untuk bekajar budaya baru dan bereksperimen dengan teknik yang mana mungkin efektif
untuk kelompok tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Helms, J.E. 1990. Black and White racial Identity : Theory, Research and Practice. New York : Greenwood

Audrey. ---. Knowledge of Multicultural School Counseling. Elementary School Counselor. Preparing
School Counselor For English Language Learners

Launikari, Nika and Sauli Puukari. 2005. Multicultural Guidance and Counselling-Theoritical Foundation
and Best Practices in Europe. Finland : Kirjapaino Oma Oy

Lee, Courtland C. 2012. Multicultural Issues in Counseling : New Approaches to Diversity. American
Counseling Association.

Ahmed, Shamshad et al. 2011. In Special Issue on Multicultural Social Justice Leadership Development.
Journal for Social Action in Counseling and Psychology. Vol. 3 Number 1

LeBeauf, et al. 2009. Adapting Counseling Skills for Multicultural And Diverse Clients. American
Counseling Association Annual Conference and Exposition. March 19-23, Charlotte, North
Carolina.

Patterson, C.H. 1996. Multicultural Counseling : From Diversity To Universally. Journal of Counseling and
Development

Anda mungkin juga menyukai