Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
Alfiana Rohali
15103241026
PLB B 2015
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak berbakat seperti anak yang lain, berasal dari berbagai suku dan budaya. Seperti perbedaan
yang ada di Amerika. Hal ini sangat penting bagi efektivitas konselor untuk memberikan konseling
kepada anak yang secara suku dan budaya berbeda dengan diri konselor maupun dengan anak lain.
Meskipun populasi dari Hispanics, African-Americans dan Native Americans meningkat, kelompok ini
masih dibawah representasi dari psikolog terlatih, konselor, dan pekerja kesehatan mental. Hal ini
seperti konselor Caucasian akan berkembang yang mana akan bekerja dengan anak yang berbeda suku
dan budaya
Hal ini dipercaya bahwa tidak etis ketika konselor yang terlatih secara multicultural untuk
melayani kesehatan mental kepada pasien yang berbeda dari diri mereka sendiri. Konselor yang secara
budaya berbeda dengan budaya anak harus lebih sadar akan perbedaan budaya, pengetahuan yang
spesifik tentang kelompok suku, budaya dan kemampuan bekerja secara efisien dengan mereka.
Multicultural konseling digunakan ketika seorang konselor dank lien berasal dari kelompok kebudayaan
yang berbeda (LeBeauf, et at. 2009). Multikultural mencakup keberagaman budaya, kelompok rasial,
kelompok gender, kelompok ekonomi termasuk kemiskinan (C.H Patterson, 1996)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori yang berkaitan dengan konseling multicultural?
2. Apa saja isu-isu terkait dengan perbedaan kebudayaan anak?
3. Bagimana dampak prasangka konselor pada dirinya sendiri dan anak?
4. Bagaimana konselor multicultural yang ideal?
C. Tujuan
1. Mengetahui teori yang berkaitan dengan konseling multicultural
2. Mengetahui isu-isu terkait dengan perbedaan kebudayaan anak
3. Mengetahui dampak prasangka konselor pada dirinya sendiri dan anak
4. Mengetahui konselor multicultural yang ideal
BAB II
PEMBAHASAN
Masalah tersebesar dengan teori konseling yang ada adalah pada kepercayaan antara keturunan
Inggris-Amerika atau negara-negara barat. Asumsi teori-teori tentang orang yeng berdasarkan pada
budaya barat adalah normal. Kebanyakan semua teori gagal untuk mengenali apa itu normal dibudaya
barat mungkin dianggap tidak normal oleh budaya lain. Sue (1981) dan Pedersen (1988) mengemukakan
beberapa point kekurangan dari teori negara barat dan pemikiran barat yang bekerja secara kelompok
yang berbeda. Banyak konselor disekolah yang merasa tidak cukup akan pekerjaan mereka karena
mereka kurang dapat membuat hubungan dengan siswa yang berbeda bahasa (Audrey, tanpa tahun).
Asumsi dari budaya barat mengenai konseling
1. Menurut Sue
a. Harapan untuk terbuka, pemikiran psikologis dan pengalaman duniawi
b. Penyingkapan dari aspek pribadi dari hidup mereka, atau mereka bersifat menentang
c. Harapan dari pola komunikasi
d. Tekanan pada tujuan jangka panjang
e. Orientasi satu bahasa
f. Perbedaan antara kesejahteraan fisik dan mental
g. Tekanan pada hubungan penyebab dan akibat
2. Menurut Perseden
a. Orang membagikan semua keadaannya berdasarkan perilaku yang normal
b. Individual merupakan benteng bangunan dasar dari sosial
c. Berdasarkan budaya barat, ketergantungan pada kata-kata yang abstrak dan asumsi
konselor di U.S orang lain akan paham peng-abstrak-an pada satu cara yang mereka
maksud
d. Kebebasan adalah nilai dan ketergantungan adalah hal yang tidak menyenangkan
e. Sistem dukungan alamiah tidak penting untuk klien
f. Konselor butuh untuk mengubah individu agar sesuai dengan sistem dan tidak
dimaksudkan untuk mengubah sistem agar sesuai dengan individu
g. Semua orang tergantung pada pemikiran linier, yang mana penyebabnya akan memiliki
dampak dan dampaknya akan mengikat penyebab, untuk memahami dunia disekitar
mereka
h. Sejarah tidak penting pada pemahaman keadaan yang kontemporer
i. Konselor harus sudah mengetahui harapan mereka
j. Masalah didefinisikan dengan menggunakan kerangka dari aspek akademik, dan berbagai
disiplin ilmu.
4 isu pertama yang dideskripsikan oleh Sue fokus pada harapan budaya barat dalam hal komunikasi
di setting konseling. Keefektivitasan konseling dapat dengan sungguh-sungguh membatasi ketika budaya
klien berbeda dengan budaya konselor dalam hal berkomunikasi misalnya harapan untuk konselor dapat
mengetahui informasi secara detail. Orientasi satu bahasa oleh konselor dengan signifikan ketika sedang
bersepakat dengan klien yang bahasanya bukan bahasa Inggris. Tiga isu selanjutnya dari pertimbangan
perilaku pada bagian dari konselor. Jika klien tidak tertarik pada perencanaan jangka panjang atau
hubungan sebab akibat atau lebih tertarik pada interaksi antara kesejahteraan fisik dan mental, konselor
mungkin akan melabeli hal ini sebagai perilaku yang patologis.
Pedersen (1988) berasumsi bahwa psikologis budaya barat meningkatkan kesadaran yang mana
berbeda secara signifikan dari nilai budaya barat. Berbagai kelompok budaya yang mana lebih penting
daripada individual, kebebasan, dukungan alami dan sejarah. Konselor meneruskan dibawah asumsi ini
tidak akan memberikan pemahaman kepada klien mereka akan melawan ketika diintervensi. Asumsi lain
dapat menjadi perdebatan adalah definisi apakah itu normal. Mereka termasuk asumsi pengabstrakan
yang diinterpretasikan dengan cara yang sama oleh semua orang dan cara berpikir linier adalah model
yang paling disukai dari cara berpikir kebanyakan orang. Orang yang dari budaya berbeda memiliki pola
bahasa berbeda dan belajar untuk menginterpretasi bahasa berdasarkan pola bahasa disekitarnya. Hal
yang dapat dikatakan sama adalah tentang pola berpikir dan pemecahan masalah. Peran konselor
multicultural adalah mengetahui kebutuhan individu yang berbeda budaya (Mika, 2005).
Semua asumsi ini memiliki potensial untuk merugikan klien, tapi tidak ada yang sangat
berbahaya pada akhirnya, asumsi bahwa konselor tahu semua tentang asumsi mereka. Konselor yang
berhenti bertanya tentang akibat dari kepercayaannya dan nilai yang pasti untuk melakukan lebih
banyak kerugian daripada keuntungan ketika bekerja dengan klien. Hal tersebut adalah alasan dari teori
budaya barat dan model konseling mungkin tidak sesuai jika diaplikasikan secara kesukuan dan
perbedaan budaya dari klien. Perkembangan saat ini banyak latar belakang keluarga yang memiliki
kebuyaan berbeda sehingga konselor harus mampu untuk menemukan kebutuhan dari perkembangan
individu dan perbedaan sosial (Ahmed, et al; 2011)
Silverman (1990) mencatat 12 masalah yang sering muncul pada anak berbakat. dari rentang
personal, interpersonal sampai ke akademik. Beberapa masalah mungkin secara khusus menyusahkan
anak yaitu a) perbedaan siswa yang mendapatkan kritik (yang mana dapat berhubungan dengan
pengenalan diri dan konsep diri), b) perilaku sulit menyesuaikan diri dan perlawanan kekuasaan (yang
mana mungkin dihubungkan dengan motivasi), c) pengucilan dari teman sebaya, d) menyembunyikan
bakat untuk dapat diterima teman sebaya. Penambahan masalah tersebut secara suku dan budaya
berbeda dari anak berbakat harus juga diatasi dengan rasisme dan prasangka dan perkembangan yang
lain terhadap diri anak. Percampuran yang komplek dari isu-isu tersebut lebih lanjut akan mempersulit
interaksi. Hal ini menciptakan tantangan yang lebih besar untuk anak berbakat (Lee, 2015).
Yang mana perbedaannya termasuk strata sosial-ekonomi yang kemungkinan tidak jelas
definisinya. Sebagai contoh, seorang anak Puerto Rican yang berasal dari keluarga dengan
pendapatan tinggi mungkin lebih memiliki keadaan yang stabil dengan orang kulit putih dari
keluarga yang memiliki pendapatan yang sama daripada dengan anak Puerto Rican yang miskin.
Nicholas and Anderson (1973) menemukan perbedaan IQ pada African-American kulit putih
yang kurang 10 point ketika status sosial-ekonomi kedua kelompok adalah sama.
Tanpa dukungan struktur dari pendidikan anak berbakat di sekolah, anak yang berbeda
yang miskin mungkin beresiko tidak pernah mencapai potensial akademiknya. Memberikan
godaan dari lingkungan mereka, mungkin mereka akan menundukkan keberbakatan mereka di
jalan yang merusak mereka sendiri dan masyarakat.
Pada tingkatan ini, pelatihan konselor memiliki sedikit atau tidak dapat membuka untuk
kebudayaan yang lain dan itu seperti digunakan pada standar budaya barat dari konseling. Hal
ini dipercaya bahwa klien diperlakukan dengan sama, mereka akan sewajarnya dilayani. Pelatih
melihat tidak ada alsan untuk pelatihan khusus di multicultural konseling ketika orang di
perlakukan sebagai individu. Konselor pada tingkat ini juga percaya bahwa mereka tidak
memegang prasangka atau melawan prasangka orang lain.
Stage 3. Gangguan
Pada bagian ini konselor mulai untuk bertanya manfaat dia memegang dan mengakui
bahwa dia dan mengistimewakan hak. Tingkatan ini merupakan karakteristik oleh konflik antara
keinginan untuk menyesuaikan untuk norma mayoritas dan mengharapkan untuk menegakkan
menilai kemanusiaan.
Pada tingkatan ini konselor, merasa bersalah tentang tindasan dari minoritas kelompok
pada umumnya dan dia berpartisipasi pada penindasan secara khusus, mengganti dengan
identifikasi yang lebih mendalam tentang rasial dan budaya yang berbeda dari klien. Orang ini
mungkin menjadi overprotektif dari perbedaan klien mereka atau mungkin ingin menjadi orang
baik, berbeda dari semua konselor.
Beberapa konselor memberikan reaksi berbeda untuk rasa bersalah dan malu terhadap
tindasan. Beberapa menjadi marah dan hal itu masuk pada tingkat sikap membela diri dari
perkembangan identitas rasial mereka- sebuah kemunduran dari budaya kulit putih. Konselor
telah mendengar tentang kecukupan multicultural dan merasa perlakuan yang spesial pada
rasial dan budaya yang berbeda dari anak mencabut hak anak berkulit putih. Dia lebih suka tidak
melihat anak dari kulit dan membuat penyerahan kapanpun itu mungkin. Konselor ini mungkin
akan marah tentang apa yang telah dimasukkan pada kebalikan diskriminasi.
Stage 6. Internalisasi
Konselor mulai untuk memasukkan sebuah identitas positif kedalam dirinya. Konselor
lebih nyaman dengan identitas putihnya dan mulai untuk melihat dunia lebih flexible.
KESIMPULAN
Konselor yang berbeda secara budaya dengan anak berbakat harus berpegang bahwa anak
berbakat sangat luar biasa pada banyak bidang. Untuk berpikir bahwa anak hanya memiliki hubungan
dengan ras, budaya atau etnik yang sama adalah sesuatu yang berbahaya. Konselor yang multicultural
harus sensitive pada semua kebutuhan anak, masalah yang mungkin muncul dan keinginan. Hal ini
termasuk aspek dari ras, budaya dan identitas sebagai anak berbakat.
Anak berbakat dari kebudayaan berbeda sering terlewatkan ketika mereka diberikan program
khusus anak berbakat dan mereka mendapat representasi dibawah dari program tersebut. Ras dan
budaya anak yang berbeda kebanyakan ditempatkan di kelas pendidikan khusus untuk gangguan emosi
dan perilaku. Konseling multicultural sangat kompleks dan membutuhkan usaha keras serta kemampuan
untuk melakukannya dengan baik. Hal tersebut sangat dinamis dan membutuhkan konselor yang secara
berkelanjutan untuk bekajar budaya baru dan bereksperimen dengan teknik yang mana mungkin efektif
untuk kelompok tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Helms, J.E. 1990. Black and White racial Identity : Theory, Research and Practice. New York : Greenwood
Audrey. ---. Knowledge of Multicultural School Counseling. Elementary School Counselor. Preparing
School Counselor For English Language Learners
Launikari, Nika and Sauli Puukari. 2005. Multicultural Guidance and Counselling-Theoritical Foundation
and Best Practices in Europe. Finland : Kirjapaino Oma Oy
Lee, Courtland C. 2012. Multicultural Issues in Counseling : New Approaches to Diversity. American
Counseling Association.
Ahmed, Shamshad et al. 2011. In Special Issue on Multicultural Social Justice Leadership Development.
Journal for Social Action in Counseling and Psychology. Vol. 3 Number 1
LeBeauf, et al. 2009. Adapting Counseling Skills for Multicultural And Diverse Clients. American
Counseling Association Annual Conference and Exposition. March 19-23, Charlotte, North
Carolina.
Patterson, C.H. 1996. Multicultural Counseling : From Diversity To Universally. Journal of Counseling and
Development