Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) semakin berkembang, dan dengan

berkembangnya konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan

mengenai CSR ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini

memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan

hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan

(profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan

masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet)

(Yusuf wibisono, 2007).

Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) dipopulerkan oleh Jhon Elkington, (1997)

melalui bukunya Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business.

Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic prosperity,

environmental quality dan social justice. Definisi dari CSR, pertama dalam Pemerintah Inggris,

dikatakan Voluntary action that bussines can take over and above compliance with minimum

requirement,. Inti dari CSR adalah dijalankan beyond compliance to law (melampui kepatuhan

terhadap hukum). Melalui buku tersebut, Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang

ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan 3P. Selain mengejar profit, perusahaan juga

mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut

berkonstribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Ide paradigm TBL melihat sebuah keberhasilan perusahaan harus diukur tidak hanya

dengan pendekatan keuangan tradisional, tetapi juga oleh sosial dan lingkungan. TBL

menangkap spektrum yang lebih luas dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan

organisasi (dan masyarakat): ekonomi, lingkungan dan sosial, hal ini berarti memperluas
kerangka kerja pelaporan tradisional untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan di

samping kinerja keuangan. Ini juga menangkap esensi pembangunan berkelanjutan dengan

mengukur dampak dari kegiatan organisasi di dunia (Zu, 2009, p. 29).

Gambar 1.1

Gambar 1.1 menjabarkan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.

TBL adalah cara yang inovatif bagi para eksekutif dan perusahaan untuk menemukan jalan

menuju konsep berkelanjutan yang menguntungkan masa depan di era akuntabilitas lingkungan

dan sosial.

Craig dan Diga (1998) menganalisa praktik pengungkapan dari laporan tahunan atas 5

negara ASEAN yaitu Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia dan Thailand, hasilnya

menunjukan bahwa secara keseluruhan perusahaan ASEAN terlihat enggan mengungkapkan

informasi yang sensitif terkait dengan politik dan sosial seperti informasi aktivitas tenaga kerja

sosial dan program lingkungan, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pelaporan perusahaan
ASEAN lebih cenderung terorientasi terhadap penyedia modal daripada stakeholder secara

keseluruhan seperti pegawai, pemerintah dan komunitas lainnya.

Penelitian Nurhayati, Brown dan Tower (2006) menunjukan bahwa pengungkapan

lingkungan pada perusahaan di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini sendiri karena belum ada

pedoman atau aturan khusus mengenai pengungkapan Triple Bottom Line di Indonesia. Berbeda

dengan negara Jepang dimana pengungkapan sosial dan lingkungan di negara tersebut sangat

rinci dan mendalam, terutama mengenai lingkungan sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Jennifer Ho dan Taylor (2007). Pada negara Jepang, pemerintah sebagai regulator memberikan

pedoman khusus untuk pengungkapan informasi kepada publik. Tulisan Ini dibuat untuk

membandingkan dan menganalisis pedoman pelaporan Triple Bottom Line pada dua negara yang

berbeda dan melihat perbedaan diantara keduanya.


PEMBAHASAN

Pengungkapan Triple Bottom Line Pada Indonesia dan Jepang

Dari sejumlah pengamatan berdasarkan penelitian penelitian yang dilakukan oleh

Jennifer Ho dan Taylor ( 2007 ), GRI ( Global Reporting Initiative ) , Aulia, Sandra (2011) dan

lainnya secara keseluruhan Jepang memiliki tingkat pengungkapan TBL (ekonomi, sosial dan

lingkungan) yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia, terutama pada pengungkapan lingkungan.

Hal ini konsisten dengan penelitan Jennifer Ho dan Taylor (2007) yang mengatakan bahwa

pengungkapan lingkungan pada perusahaan di negara Jepang adalah tinggi. Sedangkan

pengungkapan ekonomi tidak terlalu jauh perbedaannya.

Jumlah pengungkapan TBL lebih besar untuk perusahaan Jepang dibandingkan

perusahaan Indonesia, hal ini diduga karena negara Jepang telah memiliki peraturan mengenai

pengungkapan TBL yang walaupun tidak bersifat mandatory namun banyak perusahaan di

Jepang memberikan informasi berdasarkan pedoman tersebut secara sukarela. Kebanyakan

perusahaan di Jepang bahkan telah memuat report CSR mereka pada website website

perusahaan sehingga masyarakat dapat melihat secara langsung. Dibandingkan dengan

perusahaan di Indonesia yang belum banyak membuat laporan mengenai TBL.

Dari hasil pengamatan melalui media yaitu laporan tahunan, website serta laporan

terpisah lainnya seperti CSR report, Environmental Report, Sustainability Report, Environmental

Sustainability Report, Environmental & Social Reporting. Hasil analisis menunjukan bahwa

pengungkapan TBL (kombinsi ekonomi, sosial dan lingkungan) lebih tinggi pada perusahan

dengan ukuran yang lebih besar, dan likuiditas yang lebih tinggi dan khusus untuk pengungkapan

lingkungan faktor industri mempengaruhi luasnya pengungkapan lingkungan, yaitu lebih banyak

untuk industri manufaktur.


Total pengungkapan TBL lebih di dominasi oleh pengungkapan non-ekonomi. Dari hasil

analisa diketahui bahwa pengungkapan lingkungan lebih paling tinggi untuk perusahaan Jepang,

hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan budaya dan regulasi antara Jepang dan Indonesia.

Seperti Kementrian Lingkungan dan Kementrian Ekonomi, perdangangan dan Industri di Jepang

memiliki pedoman untuk menyiapkan laporan lingkungan, walaupun laporan ini tidak bersifat

wajib namun banyak perusahaan di Jepang yang secara sukarela mengeluarkan report tersebut,

hal ini terbukti dari hasil penelitian ini. Sedangkan di Indonesia walaupun sudah ada kebijakan

mengenai pengungkapan lingkungan dan sosial namun tidak ada pedoman khusus mengenai

penyiapan laporan lingkungan yang dibuat oleh pemerintah.

Contoh pengungkapan triple bottom line yang ada di Indonesia adalah yang dilakukan

oleh Bank Negara Indonesia (BNI). BNI menyajikan secara rinci kinerja Triple Bottom Line

mereka baik kinerja finansial, pengembangan masyarakat dan pengelolaan lingkungan. laporan

BNI lebih banyak mengarah kegiatan kegiatan sosial yang mereka laporkan dibandingkan

laporan mengenai kinerja ekonomi dan lingkungan. Dibandingkan dengan sejumlah perusahaan

Jepang yang lebih banyak mengungkapkan kegiatan pengelolaan lingkungannya. Perbedaan

yang ada ini mungkin di sebabkan oleh perbedaan budaya dan peraturan di negara masing -

masing.

Dari hasil pengamatan ini terlihat bahwa perusahaan di Indonesia jarang yang melakukan

pengungkapan lingkungan. Sehingga diharapkan pemerintah dapat memberikan pedoman khusus

pengungkapan terutama terkait dengan isu sosial dan lingkungan sehingga mendorong

perusahaan untuk meningkatkan aktivitas sosial dan lingkungan serta mengungkapkannya.


Daftar Pustaka

Aulia, Sandra . 2011. Analisis Pengungkapan Triple Bottom Line dan Faktor yang

mempengaruhi, Lintas Negara Indonesia dan Jepang.

Jennifer Hoo. Li-Chin and Taylor. Martin E. 2007. An Empirical Analysis of Triple

Bottom-Line Reporting and its Determinants: Evidence from The United States and Japan.

Journal of International Financing Management and Accouting, Vol. 18, No. 2.

https://www.academia.edu/3605854/Analisis_Pengungkapan_Laporan_Sosial_dan_Lingk

ungan_Sebagai_Bagian_dari_Triple_Bottom_Line_Reporting_dalam_Akuntansi_Pertanggungja

waban_Sosial

Anda mungkin juga menyukai