Triple Bottom Line
Triple Bottom Line
berkembangnya konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan
mengenai CSR ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini
hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan
(profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet)
Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) dipopulerkan oleh Jhon Elkington, (1997)
melalui bukunya Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business.
Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic prosperity,
environmental quality dan social justice. Definisi dari CSR, pertama dalam Pemerintah Inggris,
dikatakan Voluntary action that bussines can take over and above compliance with minimum
requirement,. Inti dari CSR adalah dijalankan beyond compliance to law (melampui kepatuhan
terhadap hukum). Melalui buku tersebut, Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang
ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan 3P. Selain mengejar profit, perusahaan juga
mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut
Ide paradigm TBL melihat sebuah keberhasilan perusahaan harus diukur tidak hanya
dengan pendekatan keuangan tradisional, tetapi juga oleh sosial dan lingkungan. TBL
menangkap spektrum yang lebih luas dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan
organisasi (dan masyarakat): ekonomi, lingkungan dan sosial, hal ini berarti memperluas
kerangka kerja pelaporan tradisional untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan di
samping kinerja keuangan. Ini juga menangkap esensi pembangunan berkelanjutan dengan
Gambar 1.1
Gambar 1.1 menjabarkan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
TBL adalah cara yang inovatif bagi para eksekutif dan perusahaan untuk menemukan jalan
menuju konsep berkelanjutan yang menguntungkan masa depan di era akuntabilitas lingkungan
dan sosial.
Craig dan Diga (1998) menganalisa praktik pengungkapan dari laporan tahunan atas 5
negara ASEAN yaitu Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia dan Thailand, hasilnya
informasi yang sensitif terkait dengan politik dan sosial seperti informasi aktivitas tenaga kerja
sosial dan program lingkungan, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pelaporan perusahaan
ASEAN lebih cenderung terorientasi terhadap penyedia modal daripada stakeholder secara
lingkungan pada perusahaan di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini sendiri karena belum ada
pedoman atau aturan khusus mengenai pengungkapan Triple Bottom Line di Indonesia. Berbeda
dengan negara Jepang dimana pengungkapan sosial dan lingkungan di negara tersebut sangat
rinci dan mendalam, terutama mengenai lingkungan sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Jennifer Ho dan Taylor (2007). Pada negara Jepang, pemerintah sebagai regulator memberikan
pedoman khusus untuk pengungkapan informasi kepada publik. Tulisan Ini dibuat untuk
membandingkan dan menganalisis pedoman pelaporan Triple Bottom Line pada dua negara yang
Jennifer Ho dan Taylor ( 2007 ), GRI ( Global Reporting Initiative ) , Aulia, Sandra (2011) dan
lainnya secara keseluruhan Jepang memiliki tingkat pengungkapan TBL (ekonomi, sosial dan
lingkungan) yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia, terutama pada pengungkapan lingkungan.
Hal ini konsisten dengan penelitan Jennifer Ho dan Taylor (2007) yang mengatakan bahwa
perusahaan Indonesia, hal ini diduga karena negara Jepang telah memiliki peraturan mengenai
pengungkapan TBL yang walaupun tidak bersifat mandatory namun banyak perusahaan di
perusahaan di Jepang bahkan telah memuat report CSR mereka pada website website
Dari hasil pengamatan melalui media yaitu laporan tahunan, website serta laporan
terpisah lainnya seperti CSR report, Environmental Report, Sustainability Report, Environmental
Sustainability Report, Environmental & Social Reporting. Hasil analisis menunjukan bahwa
pengungkapan TBL (kombinsi ekonomi, sosial dan lingkungan) lebih tinggi pada perusahan
dengan ukuran yang lebih besar, dan likuiditas yang lebih tinggi dan khusus untuk pengungkapan
lingkungan faktor industri mempengaruhi luasnya pengungkapan lingkungan, yaitu lebih banyak
analisa diketahui bahwa pengungkapan lingkungan lebih paling tinggi untuk perusahaan Jepang,
hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan budaya dan regulasi antara Jepang dan Indonesia.
Seperti Kementrian Lingkungan dan Kementrian Ekonomi, perdangangan dan Industri di Jepang
memiliki pedoman untuk menyiapkan laporan lingkungan, walaupun laporan ini tidak bersifat
wajib namun banyak perusahaan di Jepang yang secara sukarela mengeluarkan report tersebut,
hal ini terbukti dari hasil penelitian ini. Sedangkan di Indonesia walaupun sudah ada kebijakan
mengenai pengungkapan lingkungan dan sosial namun tidak ada pedoman khusus mengenai
Contoh pengungkapan triple bottom line yang ada di Indonesia adalah yang dilakukan
oleh Bank Negara Indonesia (BNI). BNI menyajikan secara rinci kinerja Triple Bottom Line
mereka baik kinerja finansial, pengembangan masyarakat dan pengelolaan lingkungan. laporan
BNI lebih banyak mengarah kegiatan kegiatan sosial yang mereka laporkan dibandingkan
laporan mengenai kinerja ekonomi dan lingkungan. Dibandingkan dengan sejumlah perusahaan
yang ada ini mungkin di sebabkan oleh perbedaan budaya dan peraturan di negara masing -
masing.
Dari hasil pengamatan ini terlihat bahwa perusahaan di Indonesia jarang yang melakukan
pengungkapan terutama terkait dengan isu sosial dan lingkungan sehingga mendorong
Aulia, Sandra . 2011. Analisis Pengungkapan Triple Bottom Line dan Faktor yang
Jennifer Hoo. Li-Chin and Taylor. Martin E. 2007. An Empirical Analysis of Triple
Bottom-Line Reporting and its Determinants: Evidence from The United States and Japan.
https://www.academia.edu/3605854/Analisis_Pengungkapan_Laporan_Sosial_dan_Lingk
ungan_Sebagai_Bagian_dari_Triple_Bottom_Line_Reporting_dalam_Akuntansi_Pertanggungja
waban_Sosial