Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam dengue atau Dengue Fever (DF)dan Demam Berdarah Dengue

(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock

syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok

(Suhendro dkk, 2014).

2.2. Etiologi

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan

ukuran 50 nm dan terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah

dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan

serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan

Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus

(Suhendro dkk, 2014).

Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk

Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering

ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan

berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau

4
tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,

berbintik bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi

dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes

albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini

berada di sekitar rumah dan pohon pohon, tempat menampung air hujan yang

bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada

siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter (Gubler, 2009).

2.3 Epidemiologi

DBD menjadi perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan

sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian anak (Kaushik, 2010). Data dari

WHO menunjukkan sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi berisiko

dengue di seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia

Tenggara dan Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban penyakit global

saat ini disebabkan oleh demam berdarah dengue (WHO, 2009).

Gambar 2.1. Negara dengan Risiko Transmisi Virus Dengue. Sumber : WHO,
2012 (NaTHNaC, 2013)

5
Epidemi DBD adalah masalah kesehatan utama masyarakat di Indonesia,

Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang berada di zona hujan tropis

dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah perkotaan

dan pedesaan, tempat beberapa serotype virus beredar (WHO, 2009). DBD

pertama kali digunakan di Asia Tenggara tahun 1953 di Filipina. DBD di

Indonesia pertama kali dicurigai pada tahun 1968 terdapat di Surabaya dan

konfirmasi virologisnya diperoleh pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama

di luar Jawa dilaporkan terdapat di Sumatera Barat dan lampung kemudian tahun

1973 disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini DBD sudah endemis di kota

besar dan penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012

menyebutkan jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan

jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan

Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak

terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177

kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya

merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini

merupakan faktor risiko dari penyebaran penyakit dengue (Soedarmo, 2012).

6
v
Gambar 2.2. Jumlah Kasus Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.
Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013 (Kementrian Kesehatan, 2013).

Sedangkan untuk jumlah kematian penyakit DBD tiap provinsi pada tahun

2012, tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 167 kematian yang diikuti

oleh Provinsi Jawa Timur (114 kematian) dan Jawa Tengah (108 kematian) dan

Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kematian DBD yang rendah yaitu 4

kematian, hal tersebut dikarenakan sistim surveilans dan manajemen

penatalaksanaan kasus DBD di DKI Jakarta yang cukup baik (Kementrian

Kesehatan, 2013).

Gambar 3.3. Jumlah Kematian Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.
Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013 (Kementrian Kesehatan, 2013).

7
2.4 Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi

pertama kali mungkin memberi gejala seperti Demam Dengue. Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat

berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus

dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik

antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi

(kompleks virus antibodi) yang tinggi (Soedarmo, 2012).

Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal

sebagai berikut :

1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat

dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan meningginya

permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui

endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya

renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33%

dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar

komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun

plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a

agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses

inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk

membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin

yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami

metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan

8
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia

hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan

amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan

permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang

koagulasi intravaskular.

3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir

terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini,

plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan

anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product.

Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam

proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.

Gambar 2.4 Patogenesis pada Infeksi Sekunder Virus Dengue yang Berbeda

9
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari

ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya

reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut (Soedarmo, 2012):

1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag

dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.

2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada

sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada

permukaan sel fogosit mononukleus.

3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang

telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah

jumlah sel yang terinfeksi.

4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated

intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya

mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator

tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi

komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah,

serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

2.5 Patofisiologi

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan

gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh

badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin

terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjarkelenjar getah

bening, hati dan limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah

dibawah kulit (Soedarmo, 2012).

10
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan

DD dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena

pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein

yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat berkurangnya volum

plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan

renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan

demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat,

volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30% (Kaushik, 2010).

Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan

ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan

perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,

bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan

kematian (Soedarmo, 2012).

Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan

fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombositopenia yang

dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan

pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi

trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Fungsi agregasi trombosit menurun

mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem koagulasi

disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu

oleh aktivitasi sistem koagulasi (Soedarmo, 2012).

DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan. Pada

awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma,

11
tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan

memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol (Kaushik, 2010).

Gambar 2.5 Patofisiologi terjadinya Plasma Leakage Pada DBD(Kaushik, 2010).

2.6 Manifestasi Klinis

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :

a. Silent dengue atau Undifferentiated fever

b. Demam dengue klasik

Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih

manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi

perdarahan dan leukopenia Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya

trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam (Soedarmo, 2012).
-
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat

bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.


-
Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat

pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan

12
kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang

muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu

naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.

Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobi,

berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan

membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang

patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai (Soedarmo,

2012).

Gambar 2.6. Spektrum Klinis DD dan DBD

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut

- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian

leukopeni hingga periode demam berakhir

- Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme

pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi

trombositopeni

- Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin

meningkat.

13
c. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)

Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan

plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia

dan peningkatan hematokrit (Kaushik, 2010).

Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,

disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri

otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita

mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,

namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut

dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat

menimbulkan kejang demam terutama pada bayi(Kaushik, 2010).

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)

positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau

pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan

tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya

ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih

jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase

demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm

di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan

dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan

pada penderita dengan syok (Soedarmo, 2012).

Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi

penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi

yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi

14
ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita

dapat mengalami syok (Soedarmo, 2012).

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal

dibawah ini dipenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

o Uji bendung positif

o Petekie, ekimosis, atau purpura

o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

o Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)

sebagai berikut:

o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau

hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya

manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan

atau perdarahan lain.

15
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau

hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan

lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak terukur.Keempat derajat tersebut

ditunjukkan pada gambar 2.7

Gambar 2.7.Spektrum Klinis DBD(Kaushik, 2010).

d. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan

cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan

pasien tampak gelisah(Kaushik, 2010).

16
Gambar 2.8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran
plasma pada DBD(Kaushik, 2010).

2.7 Diagnosis Banding

Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus,

atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam

chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas

disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.

Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).

Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya

mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan

serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir

selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai

17
nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama

dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.

Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit

infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula

pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.

Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear

(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan

untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus

jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan

serebrospinalis.

Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat

II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-

hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada

ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak

dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran

ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih

cepat kembali normal daripada ITP.

Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia

demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis.

Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia.

pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan

trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto

toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD

18
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma

(Suhendro dkk, 2014).

2.8 Diagnosis

Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium

(WHO, 2011).

a. Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-

menerus selama 2-7 hari

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,

ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena

Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20

mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien

tampak gelisah.

b. Kriteria laboratorium

Trombositopenia (100.000/mikroliter)

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai

dasar / menurut standar umur dan jenis kelaminDiagnosis DBD ditegakkan

berdasarkan

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan

hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit20%

Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

Dijumpai tanda perembesan plasma

- Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)

19
- Hipoalbuminemia

Perhatian

- Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang

jelas, mendukung diagnosis DSS

- Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok

sepsis

Tabel 21 Kriteria Diagnosis DD, DBD dan DSS (WHO, 2011)

2.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka

demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,

jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis

relative disertai gambaran limfosit plasma biru (Soedarmo, 2012).

20
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)

ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih

rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik

terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak

(Soedarmo, 2012).

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :

Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan

limfositosis relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit

plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit pada fase syok

akan meningkat.

Trombosit

Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin 20% dari

hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam

Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP

pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan

pembekuan darah.

Protein/albumin

Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma

Elektrolit

21
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

Serologi

Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:

- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,

menghilang setelah 60-90 hari

- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2

(infeksi sekunder).

NS1

Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai

hari kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold

standart kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan

adanya infeksi virus dengue.

2. Radiologi

Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat

kelainan radiologis terjadi apabila pada perembesan plasma telah

mencapai 20%-40% (Soedarmo, 2012).

Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan

untuk menilai edema paru karena overload pemberiancairan.

Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah

paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih

radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih

tinggi daripada kanan, dan efusipleura.

Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan

dinding vesika felea, ascites dan dindingbuli-buli

22
2.10 Komplikasi (Hadinegoro,2004)

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa

syok

Kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan

Edema paru, akibat over loading cairan.

2.11 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID)

Gambar 29. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit


(Hadinegoro, 2004).
a. Penatalaksanaan Demam Dengue

Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :

- Tirah baring selama fase demam akut

- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C,

sebaiknya diberikan parasetamol

- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang

mengalami nyeri yang parah

23
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang

berkeringat lebih atau muntah (Suhendro dkk, 2014).

b. Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue

Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat

sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran

plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda.

Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan

penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang

menunjukkan adanya kehilangan cairan.8 Kunci keberhasilan pengobatan DBD

ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat

mencegah syok (WHO, 2009).

Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga

hingga ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari

saat demam turun hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar

hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu

dilakukan.

Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi

hanya dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15%

memerlukan transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO

untuk resusitasi awal syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%.

Ringer memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan sebagai base

corrector untuk mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada

DBD. Untuk DBD stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping

pemberian cairan Ringer akibat adanya asidosis berat (WHO, 2009).

24
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan

bukan cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah

cairan harus disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak

ada perembesan plasma (WHO, 2009).

Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi

kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan

hydroxy ethyl starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih

besar sehingga dapat bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam)

daripada cairan kristaloid dan memiliki kapasitas mempertahankan tekanan

onkotik vaskular lebih baik.

Tabel 2.2 Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid

(20ml/kgBB/30menit) dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada

perbaikan maka diperlukan pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat

segera diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan pemberian

cairan yang memadai tetapi syok belum dapat diatasi.

25
Tabel 2.3. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD

Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP

bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan

homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur

pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.

Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila

terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi

trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma

(FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah

agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula

diberikan packed red cell (PRC) (Suhendro dkk, 2014).

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam

intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk

mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)

bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi

26
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak

masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar

hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi (Suhendro dkk,2014).

27
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Gambar 2.10 Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD

28
Gambar 2.11. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

29
Gambar 2.12. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

30
Gambar 2.13. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

31
Kriteria memulangkan pasien : (Soegijanto,2007)

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau

asidosis).

2.12 Pencegahan (depkes, 2015)

- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan

tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap

keluarga

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3

bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

- Foging Focus dan Foging Masal

d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan

selang waktu 1 minggu

e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB

dalam jangka waktu 1 bulan

f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan

menggunakan Swing Fog

32
- Penyelidikan Epidemiologi

g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam

setelah menerima laporan kasus

h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat.

- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD

33

Anda mungkin juga menyukai