Anda di halaman 1dari 3

KISAH SANG PEMBERONTAK, SOE HOK GIE

Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga
Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan--seorang penulis. Ia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin,
sosiolog terkemuka.

Sebagai peranakan Tionghoa, ia lebih dekat dengan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan


Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Tapi, di LPKB, Gie juga bersikap
kritis. Ujung-ujungnya ia dipecat dengan sejumlah tuduhan miring diarahkan ke dadanya.

Sejak kecil, Soe Hok Gie telah memperlihatkan diri sebagai seorang pemberontak. Nuraninya gampang
tersentuh saat melihat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Ketika ia duduk di kelas 2 SMP, guru Ilmu Bumi mengurangi nilai ulangannya tanpa alasan: dari 8 menjadi
5. Gie marah sekali. Ia tulis dalam buku hariannya, 4 Maret 1957: "Hari ini adalah hari ketika dendam
mulai membatu...Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu."

Beberapa tahun kemudian, sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI), Gie menjadi salah
seorang pemimpin mahasiswa dalam aksi menumbangkan Orde Lama pada 1966. Ia menjadi tokoh
mahasiswa Angkatan 66 bersama nama-nama lain seperti Cosmas Batubara, Soegeng Sarjadi, Mar'ie
Muhammad, atau Nono Anwar Makarim.

Protes-protes itu ditujukan kepada pemerintah yang dianggap tak becus mengurus negara, pejabat yang
hanya memperkaya diri sendiri, juga terhadap kebijakan "memberi angin" kepada Partai Komunis
Indonesia (PKI).

Gie dan teman-temannya jelas juga berhadapan dengan Sang Bapak Bangsa, Sukarno. Ia sendiri menilai
Sukarno sebagai manusia yang baik. Namun, ia menulis di catatan harian, "...dikelilingi oleh Menteri-
menteri Dorna yang hanya memberikan laporan-laporan yang bagus-bagus saja."
Ia juga penulis yang produktif. Tulisannya tersebar di Harian KAMI, Kompas, Sinar Harapan, Mahasiswa
Indonesia, danIndonesia Raya. Ia menulis di rumah keluarganya di Jalan Kebon Jeruk IX, dekat Glodok,
Jakarta Barat. Di kamar belakang yang temaram, berteman nyamuk, ketika kebanyakan orang telah
terlelap dalam mimpi.

Saat Orde Lama tumbang dan Orde Baru tegak, sejumlah pentolan Angkatan 66 masuk parlemen. Gie
tetap di luar. Tapi mengirimi pupur dan lipstik --tentu sebagai sindiran-- agar mereka terlihat elok di mata
penguasa. Sebelum mendaki Semeru, ia mengirim bedak, gincu, dan cermin kepada 13 aktivis
mahasiswa yang menjadi anggota DPR setelah Orde Baru berkuasa. Harapannya, agar mereka bisa
berdandan dan tambah "cantik" di hadapan penguasa.

Gie kecewa dengan teman-teman mahasiswanya di DPR. Mereka dianggap sudah melupakan rakyat,
lebih mementingkan kedudukannya di parlemen. Buat Gie, aktivis mehasiswa sebagainya hanya menjadi
kekuatan moral, bukan pelaku politik praktis.

Dalam surat pengantar kiriman, 12 Desember 1969, ia menulis, "Bekerjalah dengan baik, hidup Orde
Baru! Nikmati kursi Anda--tidurlah nyenyak."

Selain membaca dan menulis, hobi Gie adalah mendaki gunung. Ia menjadi salah seorang pendiri
organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI.

"Mencintai Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena
itulah kami naik gunung," tulis Gie di esaiMenaklukkan Gunung Slamet.

Di gunung pula, Gie menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember
1969, akibat menghirup asap beracun di sana. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Lubis.

Pada 2005, kisah hidupnya diangkat ke layar lebar oleh sutradara Riri Riza dalam film Gie. Nicholas
Saputra didapuk memerankan Gie. Karya itu menyabet 3 Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI)
2005, termasuk gelar Aktor Terbaik untuk Nicholas.
Gie adalah tipikal intelektual sejati. Berani melawan arus jika diperlukan. Tak membeo.

Dalam artikel Di Sekitar Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali, Gie mengkritik aksi perburuan dan
pembunuhan kader serta simpatisan PKI pasca-G30S. Tulisan itu dimuat diMahasiswa Indonesia,
Desember 1967.

Ia menulis, "...di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka yang mengerikan, suatu
penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman moderen ini, baik dari waktu
yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka yang disembelih..."

Pada hari-hari itu, tak banyak intelektual Indonesia yang mengecam. Nyaris semua diam, dengan alasan
masing-masing.

Akibat kritik-kritik dalam tulisannya, ia pernah menerima surat kaleng. Petikannya, "Cina tak tahu diri,
sebaiknya pulang ke negerimu saja."

Kakaknya, Arief Budiman, berkisah bahwa ibu mereka berkata, "Gie, untuk apa semuanya ini? Kamu
hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang."

Ditegur seperti itu, pria berperawakan kecil itu menjawab pendek seraya tersenyum, "Ah, Mama tidak
mengerti."

Gie dimakamkan di lingkungan Museum Taman Prasasti, Tanah Abang, Jakarta. Di nisannya, tertulis,
"Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow."

Liputan6.com

Anda mungkin juga menyukai