Anda di halaman 1dari 18

Kala III Persalinan

Asuhan Kebidanan II
Makalah diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan
Kebidanan Persalinan
Dosen pembimbing: Dra. Hj. Tetty Supartini, SST.

Kelompok II Jalum I.A


1. Alifa Rahmannnisa P17324113016
2. Amalia Marjan T. P17324113009
3. Dini Nur Fitriani P17324113002
4. Febrianti Nur Azizah P17324113038
5. Intan Permatasari P17324113013
6. Intan Puspitasari P17324113045
7. Nafasa Agnia R. A. P17324113020
8. Rina Oktavia P17324113029

Jurusan Kebidanan Bandung


Potekkes Kemenkes Bandung
2014
KASUS

Kala III Persalinan

Tanggal 7 April 2014, Ny. N usia 27tahun, baru melahirkan anak


keduanya pukul 08.20 WIB, lahir spontan, bayi langsung menangis sekarang ibu
dalam kala III persalinan. Sesuai Evidance Based bidan B akan melakukan
penanganan kala III sesuai standar, karena dalam fisiologis klien akan melalui
fase refrakter yang lama, potensi terjadi komplikasi kala III.
Hasil pemeriksaan bidan B:

- TFU sepusat
- Tidak ada janin kedua
- Uterus globuler
- Blas kosong

Bidan menyuntikkan oksitosin, agar terjadi kontraksi dan relaksasi uterus


sesuai dengan fungsi oksitosin, ketika ada kontraksi Bidan melakukan PTT
sambil tangan kiri diatas simphisis menekan dorsokranial untuk mencegah
inversio uteri, akhirnya plasenta lahir spontan pukul 08.28 WIB dan bidan B
melakukan massase uterus, hasilnya baik. Selanjutnya bidan B memeriksakan
kelengkapan plasenta yaitu jumlah kotiledon, apakah ada plasenta suksenturiata,
ketahuan selaput ketupan, hasilnya lengkap. Bila ada bagian yang tertinggal
lakukan eksplorasi, untuk membersihkan sisa plasenta. Lalu bidan B melakukan
pemeriksaan jalan lahir, terdapat robekan derajat II.
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud kala tiga persalinan ?

2. Jelaskan bagaimana fisiologi fase pelepasan plasenta dan fase kelahiran


plasenta!

3. Sebutkan tanda tanda pelepasan plasenta?

4. Jelaskan bagaimana perubahan fisiologis tekanan darah, nadi, respirasi,


dan sistem pencernaan pada kala III !

5. Bagaimana manajemen asuhan pada kala III, melahirkan plasenta,


manajemen aktif kala III, dan manajemen kelahiran plasenta secara
psikologis tanpa intervensi
ISI

1. Pengertian Kala III Persalinan

a. Kala III adalah dari lahirnya bayi sampai keluarnya placenta. Lamanya 5
sampai 30 menit.
(Oxorn, H dan William. (1990). Ilmu Kebidanan : Patologi dan Fisiologi
Persalinan. Yogyakarta : Andi Offset)

b. Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang
berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
(Sondakh, J. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Erlangga)

c. Kala III (pelepasan uri) yaitu setelah kala II, kontraksi uterus berhenti
sekitar 5 sampai 10 menit. Dengan lahirnya bayi, sudah mulai pelepasan
plasenta pada lapisan Nitabusch, karena sifat retraksi otot rahim.
(Manuaba, I. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC)

d. Kala III terjadi setelah anak lahir dan muncul his berikutnya, his ini
dinamakan his pelepasan uri yang melepaskan uri sehingga terletak pada
segmen bawah rahim atau bagian atas vagina. Lamanya kala uri 8,5
menit dan pelepasan plasenta hanya memakan waktu 2-3 menit.
Pendarahan yang terjadi pada kala uri 250 cc, dan dianggap patologis
jika 500 cc.
(FK Unpad. (1983). Obstetri Patologi. Bandung: Elemen)

e. Kala tiga disebut juga kala uri atau kala pengeluaran plasenta. Kala tiga
persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban.
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen
Kesehatan)
f. Kala III dimulai sejak lahir bayi sampai lahirnya plasenta. Kala III juga
disebut sebagai kala uri atau kala pengeluaran plasenta dan selaput
ketuban bayi lahir. Lama kala II <10 menit pada sebagian besar pelahiran
dan <15 menit pada 95% pelahiran.
(Sumber: Fraser, D.M dan Cooper,M.A. (2009). Myles Textbooks for
Midwives. Jakarta: EGC)

g. Persalinan Kala III merupakan jangka waktu sejak bayi lahir hingga
keluarnya plasenta dan selaput ketuban dengan lengkap.
( Boston, H. (2011). Midwifery Essential. Jakarta: EGC)

2. Fisiologis Pelepasan Plasenta

Menurut Varney (20207:826), pelepasan plasenta adalah hasil


penurunan mendadak ukuran kavum uterus selama dan setelah pelahiran
bayi, sewaktu uterus berkontraksi mengurangi isi uterus. Pengurangan
ukuran uterus secara bersamaan berarti penurunan area perlekatan
plasenta. Plasenta, bagaimanapun, ukurannya tetap. Plasenta pertama
mengakomodasi penurunan ukuran uterus ini dengan cara menebal,
tetapi pada sisi perlekatan tidak mampu menahan tekanan dan
melengkung. Akibatnya, terjadi perlepasan plasenta dari dinding uterus, di
lapisan spongiosa desidua. Pada saat plasenta lepas, hematoma
terbentuk antara plasenta yang lepas dan desidua yang tersisa sebagai
akibat perdarahan dalam ruang intervili. Hal ini dikenal sebagai
hematoma retroplasenta dan ukurannya sangat bervariasi. Walaupun
hematoma ini adalah akibat, bukan penyebab pelepasan plasenta,
hematoma memfasilitasi pelepasan plasenta lengkap. Setelah lepas,
plasenta turun ke segmen bawah uterus atau ke dalam ruang vagina
atas.

Pengeluaran plasenta dimulai dengan penurunan plasenta ke dalam


segmen bawah uterus. Plasenta kemudian keluar melewati serviks ke
ruang vagina, dari arah plasenta keluar. Pengeluaran Schultz jauh lebih
umum dari kedua mekanisme tersebut, meskipun keduanya dianggap
normal.

Pengeluaran plasenta mekanisme Schultz adalah pelahiran plasenta


dengan presentasi sisi janin. Presentasi ini dianggap ketika pelepasan
dimulai dari tengah disertai pembentukan bekuan retroplasma sentral,
yang memengaruhi berat plasenta sehingga bagian sentral turun
terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan membran melepaskan sisa
desidua dan tertinggal di belakang plasenta. Mayoritas perdarahan
yang terjadi dengan mekanisme persalinan ini tidak terlihat sampai
plasenta dan membran lahir, karena membran yang terbalik
menangkap dan menahan darah.

Pengeluaran plasenta mekanisme Duncan adalah pelahiran plasenta


dengan presentasi sisi maternal. Presentasi ini diduga terjadi akibat
pelepasan pertama kali terjadi pada bagian pinggir atau perifer
plasenta. Darah keluar di antara membran dan dinding uterus dan
terlihat secara eksternal. Plasenta turun ke samping dan kantong
amnion, oleh karena itu, tidak terbalik, tetapi tertinggal di belakang
plasenta untuk pelahiran.

Menurut Sulistyawati (2012: 157), segera setelah bayi dan air


ketuban sudah tidak berada di dalam uterus, kontraksi uterus akan
terus berlangsung dan ukuran rongganya akan mengecil.
Pengurangan dalam ukuran ini akan menyebabkan pengurangan
dalam ukuran situs penyambungan plasenta. Oleh karena situs
sambungan tersebut menjadi lebih kecil, plasenta menjadi lebih tebal
dan mengkerut serta memisahkan diri dari dinding uterus.

Permulaan proses pemisahan diri dar dinding uterus atau pelepasan


plasenta:

1. Menurut Duncan
Plasenta lepas mulai dari bagian pinggir (marginal) disertai dengan
adanya tanda darah yang keluar dari vagina apabila plasenta mulai
terlepas.

2. Menurut Schultz
Plasenta lepas mulai dari bagian tengah (sentral) dengan tanda adanya
pemanjangan tali pusat yang terlihat di vagina.

3. Terjadi serempak atau kombinasi dari keduanya


Sebagian dari pembuluh-pembuluh darah yang kecil akan robek saat
plasenta terlepas. Situs plasenta akan berdarah terus sampai uterus
seluruhnya berkontraksi. Setelah plasenta lahir, seluruh dinding uterus
akan berkontraksi dan menekan seluruh pebuluh darah yang akhirnya
akan menghentikan perdarahan dari situs plasenta tersebut. Uterus tidak
dapat sepenuhnya berkontraksi hingga bagian plasenta lahir seluruhnya.

A. Sedangkan pelepasan plasenta menurut Nurasiah, Rukmawati,


Badriah (2012: 155), yaitu :

1. Metode Ekspulsi Schultze


Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah plasenta, disini terjadi hematoma
retro placentair yang selanjutnya mengangkat plasenta dari dasarnya. Plasenta
dengan hematom diatasnya sekarang jatuh ke bawah dan menarik lepas selaput
janin. Bagian plasenta yang nampak dalam vulva adalah permukaan fetal,
sedangkan hematoma terdapat dalam kantong yang terputar balik. Oleh karena
itu pada pelepasan schultze tidak ada perdarahan sebelum plasenta lahir atau
sekurang-kurangnya terlepas seluruhnya. Baru setelah plasenta seluruhnya lahir,
darah akan mengalir. Pelepasan schultze ini adalah cara pelepasan plasenta
yang sering dijumpai.

2. Metode Ekspulsi Matthew-Duncan


Pelepasan plasenta secara Duncan dimulai dari pinggir plasenta. Darah
mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim, jadi perdarahan sudah
ada sejak plasenta sebagian lahir atau terlepas sehingga tidak terjadi bekuan
retroplasenta. Plasenta keluar menelusuri jalan lahir, permukaan maternal lahir
terlebih dahulu. Pelepasan Duncan terjadi terutama pada plasenta letak rendah.
Proses ini memerlukan waktu lama dan darah yang keluar lebih banyak, serta
memungkinkan plasenta dan membran tidak keluar secara komplit. Ketika
pelepasan plasenta terjadi, kontraksi uterus menjadi kuat kemudian plasenta dan
membrannya jatuh dalam segmen bawah rahim, ke dalam vagina, kemudian
ekspulsi.

Gambar 1 (Cara Pelepasan Plasenta)

B. Menurut Bagian Obstetri & Ginekologi FK UNPAD, sebab


sebab terlepasnya placenta ialah:

a. Waktu bayi dilahirkan rahim sangat mengecil dan setelah


bayi lahir uterus merupakan alat dengan dinding yang tebal
sedangkan rongga rahim hampir tidak ada.
Fundus uteri terdapat sedikit di bawah pusat. Karena
pengecilan rahim yang sekonyong konyong ini tempat
perlekatan placenta juga sangat mengecil.
Placenta sendiri harus mengikuti pengecilan ini hingga
menjadi 2x setebal pada permulaan persalinan dan karena
pengecilan tempat melekatnya placenta dengan sangat, maka
placenta juga berlipat-lipat malah ada bagian-bagian yang terlepas
dari dinding rahim karena tak dapat mengikuti pengecilan dari
dasarnya.
Pelepasan placenta ini terjadi dalam stratum spongiosum
yang sangat banyak lubang-lubangnya; memang boleh disamakan
dengan lubang-lubang perangko untuk memudahkan pelepasan
perangko tersebut.
Jadi secara singkat faktor yang paling penting dalam
pelepasan placenta ialah retraksi dan kontraksi otot-otot rahim
setelah anak lahir.

b. Di tempat-tempat yang lepas terjad perdarahan ialah


antara placenta dan decidua basalis dan karena hematoma ini
membesar, maka seolah-olah placenta terangkat dari dasarnya
oleh hematoma tersebut sehingga daerah pelepasan meluas.
Placenta biasanya terlepas dalam 4-5 menit setelah anak
lahir, malahan mungkin pelepasan sudah mulai sewaktu anak
lahir. Juga selaput janin menebal dan berlipat-lipat karena
pengecilan dinding rahim. Oleh kontraksi dan retraksi rahim
terlepas dan sebagian karena tarikan waktu placenta lahir.
Sedangkan mekanisme pengeluaran plasenta adalah
setelah placenta lepas, maka karena kontraksi dan retraksi otot
rahim, placenta terdorong ke ddalam segmen bawah rahim atau
ke dalam bagian atas dari vagina. Dari tempat ini placenta
didorong ke luar oleh tenaga mengejan.
Tetapi ternyata bahwa hanya 20% dari ibu-ibu dapat
melahirkan placenta secara spontan, maka lebih baik, lahirnya
placenta ini dibantu dengan sedikit tekanan oleh si penolong pada
fundus uteri setelah placenta lepas.

C. Pelepasan placenta secara Schultz dan Duncan :


1. Secara Schultze
Pelepasan dimulai pada bagian tengah dari placenta dan disini
terjadi hematoma retro placentair yang selanjutnya mengangkat placenta
dari dasarnya. Placenta dengan hematom di atasnya sekarang jatuh ke
bawah dan menarik lepas selaput janin. Bagian placenta yang nampak
dalam vulva ialah permukaan foetal, sedangkan hematoma sekarang
terdapat dalam kantong yang terputar balik.
Maka pada pelepasan placenta secara Schultz tidak ada
perdarahan sebelum placenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas
seluruhnya. Baru setelah placenta terlepas seluruhnya atau lahir, darah
sekonyong-konyong mengalir.

2. Secara Duncan
Pada pelepasan secara Duncan pelepasan mulai pada pinggir
placenta. Darah mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim,
jadi perdarahan sudah ada sejak sebagian dari placenta terlepas dan
terus berlangsung sampai seluruh placenta lepas.
Placenta lahir dengan pinggirnya terlebih dahulu. Pelepasan
secara Duncan terutama terjadi pada placenta letak rendah.

3. Tanda-tanda pelepasan plasenta :

Semburan darah dengan tiba-tiba


Semburan darah ini disebabkan karena penyumbatan retroplasenter
pecah saat plasenta lepas.

Pemanjangan tali pusat


Hal ini disebabkan karena pasenta turun ke segmen uterus yang
lebih bawah atau rongga vagina.

Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular (bulat)


Perubahan bentuk ini disebabkan oleh kontraksi uterus.
Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam abdomen
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sesaat setelah plasenta
lepas TFU akan naik, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan
plasenta ke segmen uterus yang lebih bawah.

4. Perubahan Fisiologis Kala III

Banyak perubahan fisiologis normal terjadi selama kala satu dan dua
persalinan, yang berakhir ketika plasenta dikeluarkan, dan tanda-tanda vital
wanita kembali ke tingkat sebelum persalinan selama kala tiga :

Tekanan Darah
Tekanan sistolik dan tekanan diastolik mulai kembali ke tingkat sebelum
persalinan.

Nadi
Nadi secara bertahap kembali ke tingkat sebelim melahirkan

Respirasi
Kembali bernapas normal

Aktivitas Gastrointestinal
Jika tidak terpengaruh obat-obatan, motilitas lambung dan absrobsi
kembali mulai ke aktivitas normal. Wanita mengalami mual dan muntah
selama kala tiga adalah tidak wajar

5. Manajemen Aktif kala III

Tujuan manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi


uterus yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu setiap kala,
mencegah perdarahan, dan mengurangi kehilangan darah kala III persalinan
jika dibandingkan kala III fisiologis. Sebagian besar kasus kesakitan dan
kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan di
mana sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri dan retensio plasenta yang
sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala III.

Keuntungan keuntungan manajemen aktif kala III adalah sebagai berikut.


1. Persalinan kala III yang lebih singkat
2. Mengurangi jumlah kehilangan darah
3. Mengurangi kejadian retensio plasenta

Manajemen aktif kala III terdiri atas tiga langkah utama, yaitu sebagai berikut.
1. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir
2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT)
3. Masase fundus uteri.

Pemberian Suntikan Oksitosin


Oksitosin 10 IU secara IM dapat diberikan dalam 1 menit setelah bayi
lahir dan dapat diulangi setelah 15 menit jika plasenta belum lahir. Berikan
oksitosin 10 IU secara IM pada 1/3 bawah paha kanan bagian luar.

Penegangan Tali Pusat Terkendali


Tempatkan klem pada ujung tali pusat5 cm dari vulva, memegang tali
pusat dari jarak dekat untuk mencegah avulsi pada tali pusat. Saat terjadi
kontraksi yang kuat, plasenta dilahirkan dengan penegangan tali pusat terkendali
kemudian tangan pada dinding abdomen menekan korpus uteri ke bawah dan
atas (dorso kranial) korpus.
Lahirkan plasenta dengan penegangan yang lembut dan keluarkan
plasenta dengan gerakan ke bawah dan ke atas mengikuti jalan lahir. Ketika
plasenta muncul dan keluar dari dalam vulva, kedua tangan dapat memegang
plasenta searah jarum jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.

Rangsangan Taktil (Masase) Fundus Uteri


Segera setelah plasenta dan selaput dilahirkan, dengan perlahan tetapi
kukuh lakukan masase uterus dengan cara menggosok uterus pada abdomen
dengan gerakan melingkar untuk menjaga agar uterus tetap keras dan
berkontraksi dengan baik serta untuk mendorong setiap gumpalan darah agar
keluar.
Sementara tangan kiri melakukan massage uterus, periksalah plasenta
dengan tangan kanan untuk memastikan bahwa kotiledon dan membrane sudah
lengkap (Seluruh lobus di bagian maternal harus ada dan bersatu/utuh, tidak
boleh ada ketidaketeraturan pada bagian pinggir-pinggirnya, jik hal tersebut ada,
berarti menandakan ada sebagian fragmen plasenta yang tertinggal).

Memeriksa plasenta, selaput ketuban dan tali pusat


Pemeriksaan kelengkapan plasenta sangatlah penting sebagai tindakan
antisipasiapabila ada sisa plasenta baik bagian kotiledon ataupun selaputnya.
Penolong haruslah memastikan betul plasenta dan selaputnya betul-betul utuh
(lengkap), periksalah sisi maternal (yang melekat pada dinding uterus) dan sisi
fetal (yang menghadap ke bayi) untuk memastikan apakah ada lobus tambahan,
serta selaput plasenta dengan cara menyatukan kembali selaputnya.

Pemantauan kontraksi, robekan jalan lahir dan perineum, serta tanda-tanda


vital termasuk higine
Periksalah kembali uterus setelah satu hingga dua menit untuk
memastikan uterus berkontraksi, jika uterus masih belum berkontraksi dengan
baik, ulangi masase fundus uteri. Ajarkan ib dan keluarganya cara melakukan
masase uterus hingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak
berkontraksi baik. Periksa uterus setiap 15 menit pada satu jam pertama
pascapersalinan dan setiap 30 menit pada jam kedua pascapersalinan.
Selain itu, hal yang juga penting untuk dilakukan adalah mengetahui
apakah terjadi robekan jalan lahir dan perineum dengan cara melakukan
pemeriksaan dengan menggunakan ibu jari telunjuk dan tengah tangan kanan
yang telah dibalut kasa untuk memeriksa bagian dalam vagina, bila ada
kecurigaan robekan pada serviks dapat dilakukan pemeriksaan dengan
speculum untuk memastikan lokasi robekan serviks. Laserasi perineum dapat
diklasifikasikan menjadi empat yaitu sebagi berikut :

1. Derajat satu : mukosa vagina, komisura posterior, dan kulit


2. Derajat dua : derajat satu + otot perineum
3. Derajat tiga : Derajat dua + otot sfingter ani
4. Derajat empat : derajat tiga + dinding depan rectum

Observasi yang lain adalah tanda-tanda vital ibu. Pengawasan ini juga
dilakukan secara ketat untuk mengetahui keadaaan umum ibu dan tanda-tanda
yang patologis (misalnya syok). Tindakan ini dilakukan tiap 15 menit pada jam
pertama dan 30 menit pada jam kedua pascapersalinan, demikian halnya
dengan kandung kemih karena kandung kemih yang penuh akan memengaruhi
kontraksi uterus yang juga dapat menyebabkan perdarahan. Kebersihan
vulvadan vagina ibu juga harus jadi perhatian penolong untuk mencegah
terjadinya infeksi.

Penatalaksanaan dengan menunggu (fisiologis, Pasif)

Penataaksanaan pasif
Penatalaksanaan pasif adalah penatalaksanaan kelahiran plasenta tanpa
intervensi-tanpa obat oksitosin, tanpa pengkleman tali pusat kecuali jika
denyutan telah berhenti, tapa terkendali. Kelahiran plasenta terjadi atas upaya
ibu, dibantu gaya gravitasi dan bayi yang mengisap payudara ibu. Terlihat tanda-
tanda pelepasan dan penurunan plasenta. Hal ni berkaitan dengan kehilangan
darah yang lebih banyak, yang sebagian disebabkan oleh pengukuran darah yag
lebih banyak, yang sebagian disebabkan oleh pengukuran dara yang lebih
akurat. Seama darah yang keluar tidak terlalu banyak dan kondisi ibu tidak
memburuk, perdarahan tersebut masih bersifat fisiologis yang masih dapat
diatasi oleh tubuh ibu. Penatalaksanaan fisiologis atau pasif terhadap persalinan
kala III memerlukan waktu yang lebih lama daripada penatalaksanaan kala III
yang aktif, yaitu sampai satu jam. Selama kondisi ibu tetap stabil, tanpa
perdarahan yang berlebihan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat ini
merupakan waktu yang tepat untuk memulai pemberian ASI, yang memberikan
manfaat tambahan berupa peningkatan pelepasan oksitosin yang meningkatkan
kontraksi uterus.
Prinsip Penatalaksanaan Pasif
Bidan masih memakai sarung tangan yang telah dipakai untuk menolong
kelahiran bayi
Catat waktu kelahiran bayi
Anjurkan ibu untuk menggunakan posisi tubuh tegak
Letakkan pispot atau wajah lain yang sesuai di bawah ibu untuk
menampung plasenta yang akan keluar
Observasi kondisi ibu secara menyeluruh, terutama untuk adanya
perdarahan per vaginam, dan ukur nadi ibu setiap 15 menit sekali atau
lebih sering sesuai indikasi
Jangan menyentuh tali pusat, biarkan tali pusat berhenti berdenyut secara
lami
Anjurkan dan bantu ibu untuk menyusui
Jangan melakukan palpasi pada uterus kecuali jika terjadi perdarahan
hebat
Anjurkan ibu untuk melahirkan plasenta dengan kekuatannya sendiri,
mengejan untuk mengeluarkan plasenta
Catat waktu plasenta keluar (biasanya dalam satu jam setelah bayi lahir)
Tali pusat dapat diklem kemudian dipotong bila telah berhenti berdenyut,
pasang klem 3-4cm dri dinding perut bayi (lebih jauh bila bayi praterm,
karena dapat diperlukan kateterisasi pada vena umbilikalis ; prosedur
tersebut akan lebih berhasil bila tali pusat lebih panjang)
Kaji kondisi ibu, catat kondisi uterus, jumlah darah yang keluar, nadi dan
tekanan darah setelah kala III berakhir. Kondisi saluran genitalia juga
harus diperiksa, dilakukan penjahitan bila perlu
Bantu ibu ke posisi yang nyaman, ganti semua kain yang kotor, bila hasil
observasi ibu semua dalam batas normal, biarkan ibu bersama bayinya
(bersama suami atau orang yang menemaninya selama persalinan) ,
pastikan bahwa bel panggil terletak ditempat yang mudah dijangkau ibu.
Periksa plasenta dan catat jumlah darah yang keluar
Buang plasenta dan bereskan alat dengan benar
Dokumentasikan hasil dan lakukan tindakan yang sesuai
Bila ibu menginginkan dilakukannya penatalaksanaan pasif pada kala II
namun kondisi pusat memburuk, klem yang berada di ujung tali pusat yang
menempel pada ibu harus dilepas, kemudian ujung tali pusat tersebut diletakkan
di wadah steril. Hal ini membuat sejumah darah mengalir dan plasenta, dan
membantu menurunkan ukuran plasenta secara keseluruhan. Prinsip
penatalaksanaannya sama. Tetapi hal ini tidak efektif dan dapat menghambat
proses fisiologis. Bila terdapat tanda-tanda perdarahan, dapat diperlukan obat
oksitosik dan penatalaksanaan kala III dilakukan secara aktif. Darah yang
mengalir dari plasenta tidak boleh diumlahkan dengan perkiraan jumlah darah
yang keluar setelah persalinan, karena merupakan darah plasenta bukan matern
Hasil Diskusi

Pertanyaan : Penyuntikan oksitosin bisa disuntikkan selain di paha ?


apakah ada perbedaan atau efek sampingnya ? (Indah Maulina)
Jawaban : Oksitosin itu merupakan suntikan melalui intramuskular
jadi dapat dilakukan di paha maupun deltoid yang merupakan jaringan
yang memiliki otot. (intan permatasari) Paha atau bokong jaraknya lebih
dekat dengan uterus dibanding lengan atas maka akan bereaksi lebih
cepat dan lebih efektif (Febrianti) Jika dilihat dari kepraktisannya lokasi
paha dan bokong lebih dekat dari kita dari pada harus berjalan atau
berpindah tempat tapi efeknya sama. Tapi jika ingin menghasilkan efek
yang lebih cepat lagi bisa dilakukan lewat intravena (tambahan Ibu Tetty)

Pertanyaan : Jika pendarahan lebih dari 500cc tetapi plasenta tidak


keluar/lahir, penatalaksanaan yang paling awal bidan lakukan adalah ?
(Sintia)
Jawaban : Jadi harus dilakukan penatalaksanaan manual plasenta
(Alifa Rahmannisa) selain itu hal ini bisa dicegah dengan
penatalaksanaan aktif untuk mencegah perdarahan berlebihan (Amalia)

Pertanyaan : Jelaskan kembali mengenai pemeriksaan uterus ?


apakah melakukan pemeriksaan dalam ? (Rahayu bella)
Jawaban : pemeriksaan ini dilakukan 1-2menit, untuk memeriksa
kontraksi abdomen apakah kontraksinya masih ada atau sudah tidak
(Intan Permatasari)

Pertanyaan : Apakah ada efek samping dari metode schultze dan


duncan (nurisa)
Jawaban : itu bukan metode yang diciptakan melainkan teori dari
pelepasan fisiologis dari pelepasan plasenta (amalia, rina)
Pertanyaan : Pada metode lotustbirth tidak ada pemotongan plasenta,
apa efek samping bagi janin dan bagaimana penatalaksanaan bidan ?
(Nursahidah)
Jawaban : Sebetulnya lotusbirth itu sebetulnya lebih banyak sisi
negatifnya karena belum ada evidance based yang menyebutkan bahwa
hal itu berefek baik bagi janin. Jadi biasanya hanya dianut oleh
pandangan oleh orang awam dan belum dianut oleh asuhan medis. (Intan
Permatasari) ditakutkan juga bayi mengalami kuning karena bilirubin yang
banyak atau eritroblastosist fetalis jika rhesus ibu dan bayi berbeda (intan
Puspitasari)

Pertanyaan : Pada pelepasan plasenta terjadi hematoma, terjadi


dimana dan kapan ? Manajemen yang digunakan bidan dalam pelepasan
plasenta itu manajemen yang mana ? (nurmalasari)
Jawaban : Hematoma itu terjadi ditempat yang merupakan tempat
pelepasan plasenta dari desidua (rina) terjadi pada waktu kelahiran bayi
dan setelah pelahiran bayi, terjadi waktu kontraksi uterus untuk
mengeluarkan isinya. (Amalia) darah yang keluar bukan merupakan
gumpalan karena kejadiannya terjadi cepat sehingga waktu koagulasi pun
tidak terjadi (nafasa) untuk mengurangi perdarahan dilakukan manajemen
aktif, untuk mengurangi pendarahan dan pengefektifan tindakan. Menurut
evidance based lebih baik digunakanl manajemen aktif kala III untuk
mencegah perdarahan post partum maka dilakukan penyuntikan oksitosin
(febrianti)

Anda mungkin juga menyukai