Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DAUR HIDROLOGI

Daur hidrologi adalah gerakan air di permukaan bumi. Dalam daur

hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan

terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau

badan-badan air lainnya. Sebagian uap air sebagai air hujan. Air hujan yang

jatuh di atas permukaan tanah, sebagian kecil akan meresap (absorbsi) di

dalam tanah (infiltrasi), sedang yang lainnya akan menjadi limpasan

permukaan (surface run off). Air yang meresap ini ada yang keluar dan

kembali ke permukaan melalui mata air (interflow), tapi sebagian besar akan

tetap tersimpan dalam tanah (ground water). Air tanah ini umumnya

membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat muncul kembali ke

permukaan, yang biasa disebut dengan limpasan air tanah. Semua bagian -

bagian air yang disebut di atas tadi pada akhirnya akan mengalir menuju

sungai, waduk, danau, atapun laut.

Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses

siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi,

kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu,

hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju

bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung

5
jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah.

Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam

tiga cara yang berbeda antara lain :

a) Evaporasi / Transpirasi Air yang ada di laut, di daratan, di sungai,

ditanaman, yang kemudian akan menguap ke atmosfer dan kemudian akan

menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik -

bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan,

salju, dan es.

b) Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah Air bergerak ke dalam tanah melalui

celah - celah dan pori - pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air

dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertical

atau horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki

kembali system air permukaan.

c) Air Permukaan Air yang bergerak di atas permukaan tanah dekat aliran

utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori - pori tanah,

maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat

biasanya pada daerah urban. Sungai - sungai bergabung satu sama lain dan

membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar

daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir

maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah

permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir di

laut. Melalui daur hidrologi inilah terbentuklah system Daerah Aliran

Sungai (DAS).

6
Gambar 2.1 Daur Hidrologi

B. Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai ( DAS ) adalah suatu daerah atau wilayah daratan

yang secara topografi dibatasi oleh punggung - punggung gunung yang

menampung dan menyimpan air sungai untuk kemudian menyalurkannya ke

laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah

Tangkapan Air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem

dengan unsur utamanya terdiri atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi)

dan sumber daya manusia sebagai pemanfaatan sumber daya alam (Asdak,

2007).

DAS adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik

tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS - DAS disebelahnya oleh

7
suatu pembagi (divide), atau punggung bukit / gunung yang dapat ditelusuri

pada peta topografi.

Sungai merupakan fungsi utama menampung curah hujan dan

mengalirkannya sampai ke laut. Daerah dimana sungai memperoleh air

merupakan daerah tangkapan hujan yang biasanya disebut dengan daerah aliran

air sungai (DAS). Dengan demikian DAS dapat dipandang sebagai suatu unit

kesatuan wilayah tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul

ke sungai menjadi aliran sungai (Sarwono, 1991).

Kondisi suatu daerah aliran sungai (DAS) dianggap normal apabila :

a. Koefisien air larian berfluktuasi secara normal (nilai C dari sungai

utama di DAS yang bersangkutan dari tahun ke tahun cenderung

kurang lebih sama besarnya).

b. Angka koefisien varians (CV) debit aliran kecil (lebih kecil dari 10%).

c. Angka koefisien regim sungai (nisbah Qmax / Qmin) juga normal

(tidak terjadi fluktusi mencolok antara musim hujan dan musim

kemarau dalam beberapa tahun pengamatan).

d. Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar

lumpur Cs terhadap debit sungai (Q).

e. Debit aliran kecil (low flows) menunjukan kecendrungan meningkat.

f. Tinggi permukaan air tanah tidak berfluktuasi secara mencolok.

Kondisi suatu daerah aliran sungai (DAS) dianggap mulai terganggu

apabila :

a. Koefisien air larian cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

8
b. Angka koefisien varians (CV) debit aliran termasuk besar (> 10%).

c. Angka koefisien regim sungai (nisbah Qmax / Qmin) cenderung terus

naik dari tahun ke tahun.

d. Kurva Cs terhadap debit sungai (Q) semakin tajam dari tahun ke

tahun.

e. Debit aliran kecil (low flows) menurunkan kecendrungan menurun.

f. Tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim.

C. Karakteristik Fisik Daerah Aliran Sungai

Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai dua

bentuk karakteristik yang spesifik yaitu karakteristik fisik dan biofisik.

Karakteristik fisik suatu DAS terdiri atas topografi, kerapatan drainase DAS

dan koefisien corak / bentuk.

1. Topografi

Kemiringan dan panjang lereng, keadaan parit dan bentuk - bentuk

cekungan permukaan tanah lainnya adalah beberapa faktor yang menentukan

karakteristik topografi suatu daerah aliran sungai. Semakin besar kemiringan

lereng suatu DAS, semakin cepat laju air larian dan dengan demikian,

mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Dengan

demikian bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit dan bentuk

- bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan

volume air larian.

9
Faktor kemiringan lereng (S) didefenisikan secara matematis sebagai

berikut (Schwab et al., 1981) :

S = (0,43 + 0,30 s + 0,04 s2) / 6,61 . . . . . . . . . . . . (2.1)

Komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan

menjadi faktor LS dapat dihitung dengan rumus :

a. Untuk kemiringan lereng (S) < 20% :

LS = LO0,5 x (0,0138 + 0,00965 S + 0,00138 S2) . . . . . . . . . . . . (2.2)

Dengan : LS = Faktor kemiringan lereng

L = Panjang lereng (m)

S = Kemiringan Lereng (%)

b. Untuk kemiringan lereng (S) > 20% :

LS = ( l/22 )mC (cos )1.50 [ 0,5 (sin ) 1,25 + (sin ) 2,52 ] . . . . . (2.3)

Dengan : m = 0,5 untuk lereng 5 % atau lebih

0,4 untuk lereng 3,5 - 4,9 %

0,3 untuk lereng 3,5 %

c = 34,71

= sudut lereng

l = Panjang Lereng

10
2. Kerapatan Drainase DAS

Kerapatan drainase adalah panjang aliran sungai per kilometer persegi

luas DAS. Kerapatan drainase merupakan suatu indeks yang menunjukan

banyaknya anak sungai dalam suatu daerah pengaliran dan menunjukan

keadaan topografi serta geologi daerah penelitian. Kerapatan sungai itu adalah

kecil digeologi yang permeable, di pegunungan - pegunungan dan di lereng -

lereng, tetapi besar untuk daerah - daerah yang banyak curah hujannya.

Besarnya kerapatan drainase dapat dihitung dengan rumus matematis

sebagai berikut :

Dd = L / A . . . . . . . . . . . . (2.4)

Dengan : Dd = Kerapatan drainase

L = Panjang sungai (km)

A = Luas DAS / sub DAS (km2)

3. Koefisien Corak / Bentuk

Koefisien ini memperlihatkan perbandingan antara luas daerah

pengaliran dengan panjang sungai. Besarnya koefisien corak dapat dihitung

dengan rumus :

F = A / L2 . . . . . . . . . . . . (2.5)

Dengan : F = Koefisien corak

L = Panjang sungai utama (km)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

11
D. Air Larian ( Surface Run Off )

1. Pengertian Air Larian ( Surface run off )

Air larian (surface run off) adalah again dari curah hujan yang mengalir

di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Air hujan yang

jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau

disebut air infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan

oleh karenanya mengalir di atas permukaan tanah menuju ke tempat yang lebih

rendah. Fenomena tersebut disebut Air Larian.

2. Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Air Larian

Faktor - faktor yang mempengaruhi air larian dapat dikelompokkan

menjadi faktor - faktor yang berhubungan dengan iklim, terutama curah hujan

dan yang berhubungan dengan karakteristik daerah aliran sungai. Lama waktu

curah hujan, intensitas (jumlah air hujan per satuan waktu) dan penyebaran

hujan mempengaruhi laju dan volume air larian.

Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume air larian. Pada

hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda

yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan

demikian, total volume air larian akan lebih besar pada hujan intensif

dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan total

untuk kedua hujan tersebut sama besarnya. Namun hujan dengan intensitas

tinggi dapat menurunkan infiltrasi akibat kerusakan struktur permukaan tanah

(pemadatan) yang ditimbulkan oleh tenaga kinetis hujan dan air larian yang

dihasilkannya.

12
Pengaruh daerah aliran sungai terhadap air larian adalah melalui bentuk

dan ukuran DAS, topograf, geologi, dan tata guna lahan (jenis dan kerapatan

vegetasi). Semakin besar ukuran DAS, semakin besar air larian dan volume air

larian. Tetapi laju dan volume air larian per satuan wilayah DAS akan turun

apabila luas daerah tangkapan air (catchment area) bertambah besar.

Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit dan bentuk -

bentuk cekungan permukaan tanah mempengaruhi kecepatan dan volume air

larian. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah

dengan cekungan - cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan

menghasilkan air larian yang lebih kecil dibandingkan daerah DAS dengan

kemiringan lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang dengan

baik.

Kerapatan daerah aliran (drainase) juga merupakan faktor yang

mempengaruhi kecepatan air larian. Semakin tinggi kerapatan daerah aliran

semakin besar pula kecepatan air larian untuk curah hujan yang sama.

Pengaruh vegetasi dan cara bercook tanam dapat memperlambat jalannya air

larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah

(surface detention) sehingga menurunkan laju air larian.

3. Proses Terjadinya Air Larian

Proses terjadinya air larian (surface run off), dapat diuraikan berdasarkan

konsep daur hidrologi. Dimana daur hidrologi menunjukan gerakan air di

permukaan bumi atau perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian

ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tak pernah habis. Air

13
tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dalam tanah,

sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk lain. Energi panas

matahari menyebabkan terjadinya proses evaporasi di laut. Uap air tersebut

akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan

apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian uap air akan turun sebagai

hujan.

Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan tersebut tertahan oleh

tajuk, dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela -

sela daun (througfall) atau mengalir ke bawah melalui batang pohon

(stemflow). Sebagian dari hujan tidak akan pernah sampai ke permukaan tanah,

melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan

setelah berlangsung hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai

permukaan tanah, sebagian akan teresap ke dalam tanah (infiltration).

Sedangkan air hujan yang tidak teresap ke dalam akan terapung sementara

dalam cekungan - cekungan permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (run

off) untuk selanjutnya masuk ke sungai. (Sri Harto, 2001).

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1976), proses terjadinya air larian

(surface run off) adalah sebagai berikut : (1) pada bagian akhir hujan

permulaan, air yang mengisi lekukan - lekukan menambah dalamnya luapan

dan mulai meluap. (2) air luapan ini lambat laun bertambah besar,

mempersatukan aliran - aliran yang kecil dan mengalir di permukaan tanah ke

sungai. (3) air yang mencapai sungai itu mengalir ke hilir, mempersatukan

aliran - aliran dari samping.

14
4. Perkiraan Air Larian

Debit aliran yang keluar dari ujung bawah (outlet) suatu daerah aliran

sungai diperlukan dalam melihat perubahan karakteristik yang terjadi, terutama

debit banjir (flood flows) dan debit puncak (peak flows). Kedua jenis aliran air

dalam sungai tersebut menjadi indicator respons daerah aliran sungai oleh

adanya masukan berupa hujan. Salah satu metode empiris yang dipakai untuk

memperkirakan besarnya debit air larian adalah :

a. Metode Rasional

Q = 0,278 C I A . . . . . . . . . . . . (2.6)

Dengan : Q = Debit air larian puncak (m3/det)

C = Koefisien air larian (diperoleh dari table)

I = Intensitas hujan (mm/jam) (besarnya waktu dan

frekuensi hujan sama dengan waktu konsentrasi

DAS/sub DAS

A = Luas wilayah DAS (km2)

1. Koefisien Air Larian

Koefisien air larian (C) adalah bilangan yang menunjukan perbandingan

antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Secara matematis,

koefisien air larian dapat dijabarkan sebagai berikut :

()
Koefisien air larian (C) = . . . . . . . . . . . . (2.7)
()

15
Angka koefisien air larian ini merupakan salah satu indikator untuk

menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Angka

koefisien air larian C yang dipakai untuk menghitung debit puncak dengan

menggunakan metode Rasional untuk berbagai tataguna lahan yang dapat di

lihat pada tabel 2.1 :

Tabel 2.1. Nilai Koefisien air larian (C) untuk persamaan Rasional

(U.S Forest Service, 1980)

Tata guna lahan Tata guna lahan


Perkantoran Tanah lapang
Daerah pusat kota 0,70 - 0,95 Berpasir, datar2 % 0,05 - 0,10
Daerah sekitar kota 0,50 - 0,70 Berpasir, agak rata, 2 - 7% 0,10 - 0,15
Perumahan Berpasir, miring 7% 0,15 - 0,20
Rumah tunggal 0,30 - 0,50 Tanah berat, datar 2% 0,13 - 0,17
Rumah susun, terpisah 0,40 - 0,60 Tanah berat, agak rata 2-7% 0,18 - 0,22
Rumah susun, bersambung 0,60 - 0,75 Tanah berat, miring 7% 0,25 - 0,35
Pinggiran kota 0,25 - 0,40 Tanah pertanian, 0 - 30%
Daerah industri Tanah kosong
Kurang padat industri 0,50 - 0,80 Rata 0,30 - 0,60
Padat industri 0,60 - 0,90 Kasar 0,20 - 0,50
Ladang garapan
Taman, Kuburan 0,10 - 0,25 Tanah berat, tanpa vegetasi 0,30 - 0,60
Tempat bermain 0,20 - 0,35 Tanah berat,dengan vegetasi 0,20 - 0,50
Daerah stasiun KA 0,20 - 0,40 Berpasir, tanpa vegetasi 0,20 - 0,25
Daerah tak berkembang 0,10 - 0,30 Berpasir, dengan vegetasi 0,10 - 0,25
Jalan raya Padang rumput
Beraspal 0,70 - 0,95 Tanah berat 0,15 - 0,45
Berbeton 0,80 - 0,95 Berpasir 0,05 - 0,25
Berbatu bata 0,70 - 0,85 Hutan / bervegetasi 0,05 - 0,25
Trotoar 0,75 - 0,85 Tanah tidak produktif, >30%
Rata, kedap air 0,70 - 0,90
Daerah beratap 0,75 - 0,95 Kasar 0,50 - 0,70
(Asdak, 1995 ) Catatan : Umumnya daerah dengan tanah permeable, datar
dan bervegetasi mempunyai nilai C terkecil. Daerah sempit dengan tanah padat,
kemiringan sedang hingga dan bervegetasi jarang di beri nilai C besar.

16
2. Intensitas Hujan (I)

Untuk analisa intensitas curah hujan perlu ditetapkan rumus - rumus

acuan yang digunakan dalam perhitungan hidrologi, mencakup perhitungan

curah hujan rencana dengan menggunakan beberapa metode analisa frekuensi.

Pemakaian dan penetapan rumus tersebut harus diperhatikan beberapa hal

antara lain :

a. Data yang tersedia

b. Kesederhanaan dan kepraktisan rumus yang dipakai

c. Kepercayaan terhadap hasil yang akan dicapai dan dapat

dipertanggung jawabkan hasilnya.

Dalam hal ini, didapat dari pengamatan stasiun otomatis, mm/hari dan

mm/jam. Kemudian dengan analisa frekuensi akan diperkirakan besarnya curah

hujan dengan interval kejadian tertentu yakni 2, 5, dan 10 tahun. Besarnya

intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus empiris intensitas hujan dari

Mononobe sebagai berikut :

2
R24 24 3
I= ( )( ) . . . . . . . . . . . . (2.8)
24 Tc

Dengan :

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

R 24 = Curah hujan maksimum yang terjadi selama 24 jam (mm)

Tc = Waktu konsentrasi (jam)

17
Waktu konsentrasi Tc (Time of concentration) adalah waktu perjalanan

yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke

titik pengamatan aliran air (outlet). Waktu konsentrasi terdiri dari dua bagian

antara lain waktu yang diperlukan air larian sampai ke sungai / saluran

terdekat, dan waktu yang diperlukan aliran air sungai sampai lokasi

pengamatan. Salah satu teknik menghitung nilai Tc yang diperlukan air larian

sampai ke sungai terdekat yang umum dilakukan adalah persamaan matematik

yang dikembangkan oleh Kirpich (1940) :

Tc = 0,0133 L S -0,6 . . . . . . . . . . . . (2.9)

Besarnya nilai waktu yang diperlukan aliran air sungai sampai ke lokasi

pengamatan adalah sebagai berikut :

L
Tc = ( ) . . . . . . . . . . . (2.10)
60 V

Dengan :

Tc = Waktu konsentrasi (menit)

L = Panjang maksimum aliran (meter)

S = Beda ketinggian antara titik pengamatan dengan lokasi

terjauh pada DAS dibagi panjang maksimum aliran.

V = Kecepatan aliran dalam sungai (meter/detik)

5. Prakiraan Curah Hujan Rencana

Pemakaian rumus - rumus acuan berdasarkan data curah hujan yang

tersedia untuk menentukan besarnya curah hujan untuk periode ulang tertentu

adalah sebagai berikut :

18
a. Analisa Frekuensi / Curah Hujan

Dalam analisa frekuensi curah hujan digunakan pengukuran parameter

statistik. Parameter statistik yang digunakan meliputi pengukuran tendensi

sentral (central tendency), dispersi (dispersion) dan metode distribusi kontinyu

sebagai berikut :

1. Tendensi Sentral

a. Nilai rerata (average) :



. . . . . . . . . . . . (2.11)
=


=

Dengan :

X = Jumlah curah hujan

n = Jumlah data

2. Dispersi

a. Nilai deviasi standar (standard deviation) :



= )
( . . . . . . . . . . . . (2.12)

=

Dengan :

X = Jumlah curah hujan

n = Jumlah data

Xi = nilai ke- i dari data pengamatan

= nilai rerata

19
b. Koefisien Skewness :


= )
( . . . . . . . . . . . . (2.13)
( )( )
=

c. Koefisien Varians :

. . . . . . . . . . . . (2.14)
=

Dengan : Sx = nilai deviasi standar


X = nilai rerata

d. Koefisien Kurtosis : . . . . . . . . . . (2.15)




= )
(
( )( )( )
=

b. Analisa Data Hujan dengan Seri Data Hidrologi

Untuk analisa ini dipilih dari seri data lengkap yang berisi seluruh data

debit banjir atau hujan sepanjang tahun pencatatan. Data yang digunakan untuk

analisis frekuensi dapat dibedakan menjadi dua tipe antara lain sebagai berikut:

(Hidrologi Terapan, 2008).

1. Partial Duration Series

Metode ini digunakan apabila jumlah data kurang dari 10 tahun data

runtut waktu. Partial Duration Series yang juga disebut dengan Peaks Over

Treshold, POT adalah rangkaian data debit banjir/hujan yang besarnya di atas

suatu nilai batas bawah tertentu. Dengan demikian dalam satu tahun bias

20
terdapat lebih dari satu data yang digunakan dalam analisis. Dari setiap tahun

dapat dipilih 2 sampai 5 data tertinggi.

2. Annual Maximum Series

Metode ini digunakan apabila tersedia data debit atau hujan minimal 10

tahun data runtut waktu. Tipe ini adalah dengan memilih satu data maksimum

setiap tahun.

c. Analisa Data Hujan dengan Metode Distribusi Kontinyu

Analisa data hujan dimaksudkan untuk mengetahui curah hujan periode

ulang tertentu, dengan beberapa metode distribusi sebagai berikut :

1. Distribusi Normal

+
= . . . . . . . . . . . (2.16)

Dengan :

= nilai rata rata


X

S = standar deviasi

K = faktor frekuensi dari variabel reduksi Gauss ( lampiran tabel )

2. Distribusi Log Normal

=
+ . . . . . . . . . . . . (2.17)

Dengan :

K = karakteristik dari distribusi log normal. Nilai K dapat

diperoleh dari tabel nilai variabel Gauss


log X = nilai rata - rata log X

Sx = standar deviasi untuk log X

21
a. Nilai Rata - rata



= . . . . . . . . . . . . (2.18)

=

Dengan :

n = jumlah data

Xi = nilai ke-i dari data pengamatan

b. Nilai koefisien varians

. . . . . . . . . . . . (2.19)
=

c. Nilai koefisien kurtosis




= )
( . . . . . . . . . (2.20)
( ) ( ) ( )
=

3. Distribusi Person Type III

=
+ . . . . . . . . . . . . (2.21)

Dengan :

K = faktor frekuensi


log = nilai rata - rata log X

Sx = standar deviasi untuk log X

a. Nilai Rata - rata





= . . . . . . . . . . . (2.22)

=

22
Dengan :

n = jumlah data

Xi = nilai ke-i dari data pengamatan

b. Nilai koefisien Skewness

= . . . . . . . . . (2.23)



= (
)
( ) ( ) (
) =

c. Nilai standar deviasi (standard deviation) untuk Log


(
)
= = . . . . . . . . . . . (2.24)

Dengan :

Log X = nilai log data curah hujan

n = jumlah data

4. Distribusi Gumbel

+ .
= . . . . . . . . . . . (2.25)

Dengan :

X Tr = Besarnya curah hujan untuk periode berulang Tr tahun


(mm)
Tr = periode berulang (return period) (tahun)


X = curah hujan rata - rata selama tahun pengamatan (mm)

Sx = Standar deviasi

23
K = Faktor frekuensi

a. Nilai Rata - rata


= . . . . . . . . . . . (2.26)

Dengan :

YTr = Reduced variate

Yn = Reduced mean, fungsi dari besarnya data (lampiran tabel)

Sn = Reduced standard deviation, fungsi dari besarnya data.

b. Reduced Variate

. . . . . . . . . . . (2.27)
= [ ]

c. Nilai Standar


= . . . . . . . . . . . (2.28)

Dengan :

b = nilai selang kepercayaan

Sx = standar deviasi

n = jumlah data

d. Nilai selang kepercayaan untuk hasil perhitungan rencana dengan

Metode Gumbel.

= + , () + , () . . . . . . . . . . . (2.29)

24
Dengan :

K = faktor frekuensi

e. Nilai batas penyimpanan

Batas bawah : = . . . . . . . . . . . (2.30)

Batas atas : = + . . . . . . . . . . . (2.31)

3. Pengujian Chi-Kuadrat

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menguji apakah jenis

distribusi yang dipilih sesuai untuk data yang ada yaitu uji Chi-Kuadrat (Sri

Harto, 1991). Uji Chi-Kuadrat menggunakan nilai X2 yang dapat dihitung

dengan persamaan :

( )
= . . . . . . . . . . . (2.32)

=

Dengan :

X2 = Nilai Chi-Kuadrat terhitung

Ef = frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai

dengan pembagian kelas

Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama

n = Jumlah sub kelompok dalam satu grup

2 2
Nilai X yang harus lebih kecil dari nilai X cr (Chi-Kuadrat kritik),

nilai X 2 cr diperoleh dari tabel nilai Chi-Kuadrat Kritik (lampiran, tabel).

25
Besarnya derajat kebebasan dihitung dengan persamaan :

= ( + ) . . . . . . . . . . . (2.33)

Dengan :

DK = derajat kebebasan

K = banyaknya kelas

= banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji


Chi-Kuadrat adalah 2.

6. Prakiraaan Debit Empiris

Prakiraan besarnya aliran air sangat diperlukan untuk mengevaluasi

keadaan DAS. Karena keterbatasan alat ukur debit, besarnya debit dapat

ditentukan secara tidak langsung dengan pendekatan slope - area method.

Salah satu metode yang digunakan untuk menukur kecepatan aliran air melalui

pendekatan slope - area method adalah persamaan Manning (Brooks et

al.1985).

Bentuk persamaan Manning adalah sebagai berikut :


= () . . . . . . . . . . . (2.34)

Dengan :

V = kecepatan aliran (m/detik)

R = jari jari hidrolik (meter, tabel 2.3)

S = kemiringan permukaan air

N = koefisien kekasaran Manning

26
Tabel 2.2. Koefisien kekasaran Manning ( n )

Tata guna lahan C Rata-rata Maksimum

Saluran buatan
1 Tanah liat, lurus, bersih 0,016 0,018 0,020
2 Tanah liat berumput, 0,025 0,030 0,033
berapa tumbuhan bawah

Saluran Alam
1 Tanpa vegetasi, 0,030 0,040 0,050
dasar saluran berkerikil
2 Dasar berumput, 0,050 0,070 0,080
pertumbuhan bawah

Daerah banjir
1 Padang rumput, tanpa 0,025 0,030 0,035
tumbuhan bawah
2 Bertumbuhan bawah, 0,035 0,050 0,070
beberapa tanaman semak
3 Saluran lurus, bervegetasi 0,110 0,150 0,200

Sumber : Gray, 1970

Dengan mengetahui luas penampang melintang saluran / sungai ( A ),

dapat dihitung besarnya debit di tempat tersebut melalui persamaan :

= . . . . . . . . . . . . (2.35)

Dengan :

Q = debit aliran ( m3/detik )

27
A = luas penampang melintang ( m2 )

V = kecepatan aliran ( m/detik )

Berbagai bentuk penampang melintang sungai dan persamaan matematik

untuk menghitung luas penampang dan lebar permukaan sungai disajikan pada

tabel 2.3 (diadaptasi dari Schwab et al. 1982).

Tabel 2.3. Penampang melintang sungai dan persamaan luas penampang dan
lebar permukaan sungai

1. Penampang melintang trapesium

t DZ = e/d
b e

2. Penampang melintang segitiga


T

Z = e/d

d
e
3. Penampang melintang parabola

T
t

d D

Luas Penampang Keliling Basah Jari - jari Hidrolis Lebar Bagian Atas
(A) (p) (R=a/p)
1. bd+z (d d) b +2d (z z) +1 {bd+z(dxd) }/{b+2d (zxz ) + 1 } t = b + 2dz
T = b + 2Dz
2. z . (d d) 2d (z z) + 1 {zd } / {2 (zxz ) + 1 } t = b + (D/d )t
T = b + 2dz
3. (2/3) td { t + 8(dd) }/{3t} {(txt )d }/{1,5 (txt ) + 4 (dxd )} t = a/ (0,67)d
T = t Dd

Catatan : Free board = D-d, untuk semua bentuk penampang.

28
Penampang saluran terbagi atas dua, yaitu penampang saluran alam dan

penampang saluran buatan. Penampang saluran alam umumnya sangat tidak

beraturan, biasanya bervariasi dari bentuk seperti parabola sampai trapesium.

Sedangkan penampang saluran buatan biasanya di rancang berdasarkan

geometris yang umum seperti persegi panjang, trapesium, segitiga, lingkaran,

parabola, persegi panjang sisi dibulatkan dan segitiga dasar bulat.

Penampang yang paling umum digunakan adalah penampang yang

berbentuk trapesium, sebab penampang ini mempunyai stabilitas kemiringan

dinding yang dapat disesuaikan untuk saluran pasangan atau tanpa pasangan

(tanah). Dibawah ini adalah unsur-unsur geometris untuk penampang saluran

berbentuk trapesium.

Pada sebuah perencanaan saluran khususnya trapesium ada beberapa

komponen yang harus perhatikan, antara lain :

1. Angka kekasaran ditentukan berdasarkan jenis bahan yang dipergunakan

2. Kemiringan dasar saluran (S) yang ditentukan berdasarkan data topografi

3. Kemiringan dinding saluran berdasarkan kriteria

4. Perbandingan lebar saluran (b) dan tinggi air (h) = b : h = 1sehingga b=h

5. Luas penampang (A) = (b + m . h) h = (h + 1 . h) h = 2 h2

6. Keliling basah (P) = b + 2h 1 + m2 = h + 2h 1 + 12


= 3,828 h

2
7. Jari-jari Hidrolis (R) = A P = 2 h 3,828 h = 0,522 h

8. Untuk Analisa Tinggi Muka Air (h) dapat dicari

29
9. Analisa lebar dasar saluran (b) = 1,5 x h

10. Analisa tinggi jagaan (f) = 25 % x h

11. Analisa tinggi saluran (H) = h + f

Dimana :

Q = Debit saluran (m3/detik),

V = Kecepatan rata-rata (m/detik),

A = Luas penampang melintang (m2),

P = Keliling basah (m),

R = Jari-jari hidrolik (m),

T = Lebar puncak (m),

b = Lebar dasar (m),

h = Tinggi air (m),

f = tinggi jagaan (m),

30

Anda mungkin juga menyukai