a) Pembantaian Rawagede
Peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berupa penembakan beserta pembunuhan
terhadap penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang,
Jawa Barat) oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya
Agresi Militer Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan
dibunuh tanpa alasan yang jelas. Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan
bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda harus
membayar ganti rugi kepada para keluarga korban pembantaian Rawagede.
c) Penculikan Aktivis
Kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis pro-demokrasi, sekitar 23
aktivis pro-demokrasi diculik.Kebanyakan aktivis yang diculik disiksa dan menghilang,
meskipun ada satu yang terbunuh.9 aktivis dilepaskan dan 13 aktivis lainnya masih belum
diketahui keberadaannya sampai kini.Banyak orang berpendapat bahwa mereka diculik dan
disiksa oleh para anggota militer.
f) Peristiwa 27 Juli
Peristiwa ini disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan
mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996. Massa mulai
melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI dan ABRI
datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai merusak
bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas. Dikabarkan lima orang meninggal dunia, puluhan
orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-luka dan sebagian ditahan. Menurut Komnas
Hak Asasi Manusia, dalam peristiwa ini telah terbukti terjadinya pelanggaran HAM.
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut
lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi),
yaitu:
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;
Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian kekuasaan
disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik
secara vertikal maupun horizontal;
Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and
impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan
kebenaran;
Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan warga negara
yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi
negara);
Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif;
Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-
jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan
Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem
penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan system demokrasi karena terdapat
korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan
rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi.Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat
merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.
Menurut Frans Magnis Suseno, demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam
arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas negara hukum.Dengan demikian dalam negara hukum yang
demokratis, hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.Hukum tidak
boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan semata (machtsstaat).Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum
(rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk
mencegah munculnya mobokrasi, yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.