Anda di halaman 1dari 23

Referat

Kekerasan Seksual pada Anak

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Departemen Forensik RSMH Palembang

Oleh:
Osi Rahmani 04084821719001
Nur Annisa Faradina 04084821618174
Dhiya Silfi Ramadhani 04084821618151
Alzena Dwi Saltike 04084821618152
Bima Ryanda Putra 04084821618145
Filia Nurul Dasti, S.Ked 04054821719166
Revana Prammudita K, S.Ked 04084821719167

Pembimbing:
dr. Baringin Sitanggang

DEPARTEMEN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP MOH. HOESIN PALEMBANG
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah swt, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat dengan topik Kekerasan Seksual pada
Anak. Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Baringin Sitanggang selaku pembimbing yang telah
membantu dalam penyelesaian referat ini. Referat ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di Departemen Forensik FK UNSRI-
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini, sehingga referat ini
dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan referat ini,
semoga bermanfaat, amin.

Palembang, November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya


pembinaan kesehatan masyarakat, karena anak merupakan cikal bakal penerus
bangsa di masa depan. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak di
Indonesia diperlukan upaya pembinaan kesehatan anak yang komprehensif dan
terarah pada semua permasalahan kesehatan akibat penyakit maupun masalah
lainnya. Kekerasan dan penelantaran anak mengakibatkan terjadinya gangguan
proses pada tumbuh kembang anak. Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini
dengan baik, akan berdampak terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia.1
Kekerasan terhadap anak menurut Centers for Disease Control and
Prevention adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian
oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau
berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak..
Kekerasan pada anak menurut keterangan WHO dibagi menjadi lima jenis, yaitu
kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak,
eksploitasi anak.2
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan
pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak
67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Dan dari kasus kekerasan tersebut
yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7
persen (53 kasus).3
Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan seksual
pada anak semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah kasus yang
terlaporkan dan dilaporkan meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap
tahunnya antara tahun 2004 ke tahun 2007. Secara umum yang dimaksud dengan
kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala
bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur
tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang
dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki
pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau
aktivitas seksual. Di Indonesia UU Perlindungan Anak memberi batasan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.4
Kekerasan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum
mencukupi menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual
orang dewasa atau anak yang sangat lebih tua. Belakangan ini banyak muncul
kasus perilaku seks bebas yang melanda anak-anak di bawah umur, dimana anak
merupakan kelompok yang rentan baik fisik maupun mental. Seksual abuse
termasuk oral-genital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal
atau kontak tangan-payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa
anatomi seksual, dan menunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak
dalam produksi pornografi. Penelitian tentang Kekerasan Pada Anak yang
dilakukan oleh Sudaryono menyatakan selama tiga dasawarsa masalah anak baik
sebagai pelaku maupun korban kekerasan (kekerasan) dapat dikatakan kurang
mendapat perhatian.5
Beberapa bulan terakhir ini, kasus kekerasan seksual pada anak kembali
marak terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual pada anak ini sangatlah
memprihatinkan banyak pihak terutama bagi sekolah-sekolah serta ibu-ibu yang
memiliki anak. Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5
hingga 11 tahun.6
Dari sekian ratus kasus yang pernah terjadi, kekerasan seksual pada anak
diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Laporan LBH (Lembaga Badan
Hukum) Apik Jakarta menyebutkan dari 239 kasus kekerasan seksual yang terjadi
pada Januari-Oktober 2003, sekitar 50% di antaranya menimpa anak-anak. Data
itu mencakup kasus perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan, dan pelecehan
seksual. Sementara itu, dari 32 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada bulan
April 2002, 28 kasus atau 87,5% di antaranya terjadi pada anak di bawah umur.6
Menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Biro Pusat
Statistik Tahun 2007, angka kejadian tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia
adalah 3,02% yang artinya setiap 10.000 anak terdapat 302 anak korban
kekerasan. Kekerasan pada anak itu sendiri terdiri dari kekerasan seksual, fisik,
emosional, eksploitasi anak, perdagangan anak, dan penelantaran anak.
Berdasarkan data Komisi Nasional perlindungan anak, pada tahun 2009 kasus
kekerasan seksual pada anak sudah mencapai 1298 kasus. Sebelumnya, pada
tahun 2008 kasus kekerasan seksual pada anak sudah meningkat 30 persen
menjadi 1.555 kasus dari 1.194 kasus pada tahun 2007. Dengan kata lain setiap
harinya terdapat 4,2 kasus. Hal yang memprihatinkan adalah untuk kasus jenis
perkosaan dan percabulan, tersangkanya masih berusia anak-anak 10 hingga 17
tahun. Kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak di wilayah Nusa
Tenggara Timur (NTT) sangat tinggi. Bahkan kasus pemerkosaan anak di NTT
tertinggi/terbanyak di Indonesia.6
Karena tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak, refrat ini dibuat
untuk mengulas lebih dalam mengenai kekerasan seksual terhadap anak yang
terjadi di masyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)

Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang


dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan
fisik dan atau mental. Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU No
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan
yang di lakukan seseorang atau individu pada mereka yang belum genap berusia
18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga
dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual,
maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka
mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak
kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek
pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya.
Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit
dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak
kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan
dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak
anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir
ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang
merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).7
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran
pada anak merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun
emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau
eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial
terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau
martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,
salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga
(family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua,
atau situasi tertentu.8
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan
salah satu penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa
lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau
tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga
sering bertengkar.
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental
dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap
hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin
merasa sah untuk menyiksa anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya
berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah
penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan
keluarganya.8
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala,
geger otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat
kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar,
patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari
luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi.
Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas
menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu
lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang
maka perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang
berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau sudah
meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada
tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan
biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung, telinga,
langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya.9
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak
sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan
pidana senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang
tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004.
Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2)yat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut orang tuanya.

2.1.1. Bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on
child abuse prevention) yaitu : 8
1. Kekerasan fisik (Physical abuse)
Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun
potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi,
yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya
bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar,
menampar.

2. Kekerasan seksual (sexual abuse)


Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak
sepenuhnya memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang
melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah
laku seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan
lain-lain.

3. Mengabaikan (Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk tumbuh kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi,
rumah atau tempat bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks
sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang
mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau
gangguan perkembangan fisik, mental, moral dan sosial, termasuk didalamnya
kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya gangguan.

4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)


Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan
memadai bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat
dijadikan figur primer sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan
pencapaian kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan
potensi pribadina dalam konteks lingkungannya. Segala tingkah laku atau sikap
yang mengganggu kesehatan mental anak atau perkembangan sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif,
membandingkannya dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan
atau mengucapkan aku sayang kamu.

5. Eksploitasi anak (child exploitation)


Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling
dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak,
yang berlanjut pada permasalahan-permasalahan lain, baik fisik, psikologis
maupun sosial.

Stigma yang melekat pada korban :8


1. Stigma Interna
a. Kecenderungan korban menyalahkan diri.
b. Menutup diri.
c. Menghukum diri.
d. Menganggap dirinya aib

2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.
Faktor-faktor kausalitas yang signifikan :10
1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus
Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang
demikian berat dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya
langkah penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan
interdisipliner, interinstitusional dan intersektoral dengan dukungan optimal dari
berbagai sumber dan potensi dalam masyarakat.

2.2. Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual merupakan segala kekerasan, baik fisik maupun
psikologis, yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan
seksualitas. Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan
seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual,
penghinaan seksual di depan umum, dan pelecehan seksual.Terdapat dua macam
bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan berat.4
Macam-macam kekerasan seksual ringan :4
Pelecehan seksual
Gurauan porno,
Siulan, ejekan dan julukan
Tulisan/gambar
Ekspresi wajah,
Gerakan tubuh
Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan dan
atau menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.

Macam-macam kekerasan seksual berat:4


Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul,
perbuatan yang rasa jijik, terteror, terhina
Pemaksaan hubungan seksual
Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu.
Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban.
Tindakan seksual + kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

2.2.1. Dasar Hukum Kekerasan Terhadap Kesusilaan


Persetubuhan tertera pada Bab XIV KUHP Tentang Kekerasan Terhadap
Kesusilaan
(a) Persetubuhan dalam perkawinan: Pasal 288 KUHP
(b) Persetubuhan di luar Perkawinan:
1. Dengan persetujuan si wanita
- Tanpa ikatan
wanita < 15 tahun : (287 KUHP)
wanita > 15 tahun : (284 KUHP)
- Dengan Ikatan
wanita < 21 tahun
- Pemberian/janji uang/barang (293 KUHP)
- Asuhan/Pendidikan (294 KUHP)
wanita > 21 tahun
- Bawahan (294 KUHP)
- Dalam pengawasan (294 KUHP)
2. Tanpa Persetujuan
- Dengan Kekerasan/ ancaman (285 KUHP)
- Si wanita pingsan/tidak berdaya (286 KUHP)

Pasal KUHP yang mengatur mengenai pencabulan ada dalam pasal 289-296.
a. Pasal 289 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam
karena melakukan perbuatan yang menyerang kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama 9 tahun.
b. Pasal 290 KUHP
Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal
diketahui bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas
tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin
Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus
diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak
ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan
perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain
c. Pasal 292 KUHP
Orang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum
cukup umur,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
d. Pasal 293 KUHP
Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik
tingkah-lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan
cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau
selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kekerasan itu.
Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing
9 bulan dan 12 bulan.

2.2.2. Peran Kedokteran Forensik Dalam Kasus Kekerasan Seksual


1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke
dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa
terjadinya pancaran air mani. Pemeriksaan dipengaruhi oleh : besarnya zakar
dengan ketegangannya, seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta
posisi persetubuhan. Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan
adanya benda padat/kenyal yang masuk (bukan merupakan tanda pasti
persetubuhan). Jika zakar masuk seluruhnya & keadaan selaput dara masih cukup
baik, pada pemeriksaan diharapkan adanya robekan pada selaput dara. Jika elastis,
tentu tidak akan ada robekan. Adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam
vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Pada orang mandul, jumlah
spermanya sedikit sekali (aspermia), sehingga pemeriksaan ditujukan adanya zat-
zat tertentu dalam air mani seperti asam fosfatase, spermin dan kholin. Namun
nilai persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang
mutlak atau tidak khas.
1. Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-
5 jam setelah persetubuhan.
2. Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak
bergerak) sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan
pada orang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling
lama 7-8 hari setelah persetubuhan.
3. Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi sebanyak
2-5 ml, yang mengandung sekitar 60 juta sperma setiap mililiter dan 90%
bergerak (motile)
4. Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP, misalnya
pada sprei atau kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya
ultraviolet dan akan terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke
laboratorium.
5. Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar
harus diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada
zakar. Ini dikerjakan dengan menempelkan gelas objek pada gland penis
(tepatnya sekeliling korona glandis) dan segera dikirim untuk
mikroskopis.
6. Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan
tersebut masih terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak robekan
selaput dara pada persetubuhan umumnya di bagian belakang (comisura
posterior), letak robekan dinyatakan sesuai menurut angka pada jam.
Robekan lama diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar (insertio)
dari selaput dara.
7. VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi
penyelidikan), dengan disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan.
hal ini dapat diketahui dari keadaan sperma serta dari keadaan normal
luka (penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada keadaan normal
akan sembuh dalam 7-10 hari.
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari
penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari
kekerasan itu sendiri. Tindakan membius juga termasuk kekerasan, maka
perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat obat bius/racun pada
korban.
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti
tidak ada kekerasan. Faktor waktu sangat berperan. Dengan berlalunya
waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan, racun/obat bius telah
dikeluarkan dari tubuh. faktor waktu penting dalam menemukan sperma.
3. Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur, meskipun
pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk
memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi. Perkiraan umur digunakan untuk
menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa (> 21 tahun)
khususnya pada homoseksual/lesbian serta pada kasus pelaku kekerasan.
Sedangkan pada kasus korban perkosaan perkiraan umur tidak diperlukan.
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan keturunan,
pengertian pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah korban telah
siap dibuahi yang artinya telah menstruasi, namun untuk bukti hal ini
korban perlu diisolir untuk waktu cukup lama. Bila dilihat Undang-Undang
Perkawinan, yaitu pada Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan
hanya diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah
mencapai 16 tahun. Namun terbentur lagi pada masalah penentuan umur
yang sulit diketahui kepastiannya.

2.2.2. Pemeriksaan Medis


1. Anamnesis
Anamnesis umum memuat:
Identitas : Nama, umur, TTL, status perkawinan,
Spesifik : Siklus haid, penyakit kelamin, peny. kandungan, peny.
lain, pernah bersetubuh, persetubuhan yang terakhir, kondom ?
Anamnesis khusus memuat waktu kejadian
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum memuat :
Kesan penampilan (wajah, rambut), ekspresi emosional, tanda-
tanda bekas kehilangan kesadaran / obat bius / needle marks.
Berat badan, tinggi badan, tanda vital, pupil, refleks cahaya, pupil
pinpoint, tanda perkembangan alat kelamin sekunder, kesan nyeri ?
Pemeriksaan fisik khusus memuat:
o Pembuktian persetubuhan :
-Ada / tidak penetrasi penis ke vagina / anus / oral
-Ejakulat / air mani pada vagina / anus
o Bukti Penetrasi :
-Robekan hymen, laserasi (mencakup perkiraan waktu)
-Variasi : - korban 3 hari yang lalu / lebih hymen elastis
Penetrasi tidak lengkap
- Bukti Ejakulat/air mani (mencakup perkiraan waktu)
- Perlekatan rambut kemaluan
- Ejakulat di liang vagina
- Pemeriksaan Pakaian
- Rapi / tidak,
- Robekan? lama/baru, melintang? pada jahitan? kancing putus?
- Bercak darah
- Air mani
- Lumpur / kotoran lain di TKP
3. Pemeriksaan Laboratorium
- Cairan dan sel mani dalam lendir vagina
- Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhoea sekret ureter
- Pemeriksaan kehamilan
- Toksikologik darah dan urin
4. Pembuktian Adanya Kekerasan
- Luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks), luka-luka memar
- Lokasi : Muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat
kelamin
5. Perkiraan Umur
- Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin
sekunder
- Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
6. Penentuan sudah atau belum waktunya dikawin
- Pertimbangan kesiapan biologis : menstruasi,
- Wanita sudah ovulasi / belum : vaginal smear
- Berdasar umur ? : > 16 th
7. Pemeriksaan terhadap Pelaku
- Upaya pengenalan persetubuhan,
- Bercak sperma, darah, tanah dan pakaian, robekan.
- Bentuk tubuh : memungkinkan tindakan kekerasan.
- Tanda cedera : perlawanan korban ?
- Rambut terlepas.
- Pemeriksaan menyeluruh alat kelamin : mampu seksual ? cedera ?
- Tanda infeksi gonokokus,
- Sekret
- Smegma
8. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah
- Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yg sekretor
- Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)
9. Homoseksual
- Homoseksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual
- Didalam Pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang
yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang
sama kelaminnya yang belum cukup umur

2.2.3. Gangguan Psikis Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan


Post Traumatic Stress Disorder11
Sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan
kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah mengalami stress fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.
Gejala:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-olah
peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang
kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang
berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat,
berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu
juga kehilangan minat terhadap semua hal, dan perasaan terasing dari orang lain.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak
dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih,
respon yang berlebihan atas segala sesuatu.

Gangguan Sosial PTSD:


- Panic attack (serangan panik).
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panik ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada
trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak
nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa
kedinginan, badan panas, mati rasa.
- Perilaku menghindar.
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
penderita pada kejadian traumatis. Kadang -kadang penderita mengaitkan semua
kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami. Hal ini sering
menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan
harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
- Depresi.
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa
trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang dialami merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
- Membunuh pikiran dan perasaan.
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah
tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kekerasan
mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan
anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa
traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan para
profesional.
- Merasa disisihkan dan sendiri.
Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka
seringkali merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut,
penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami
apa yang telah dia alami.
- Merasa tidak percaya dan dikhianati.
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh
dunia, nasib atau oleh Tuhan. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang
umum diantara penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja,
khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar
dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
- Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan
fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah
trauma. Seorang korban kekerasan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal
sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi
dan melakukan tugasnya di sekolah.
BAB III

SIMPULAN
Kekerasan seksual pada anak adalah setiap aktivitas pada anak, di mana
umur belum mencukupi menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber
kepuasan seksual orang dewasa atau anak yang lebih tua. Anak ialah individu
yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam
kandungan. Beberapa tahun belakangan angka kekerasan seksual pada anak
meningkat, pelaku kekerasan seksual pada anak biasanya adalah seseorang yang
harus menjaga dan melindungi anak (caretaker) yang umumnya merupakan orang
terdekat anak. Peran dokter forensik dalam kasus kekerasan seksual diantaranya
adalah: menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, menentukan adanya tanda-
tanda kekerasan, memperkirakan umur dan menentukan pantas tidaknya korban
untuk dikawin. Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat menyebabkan Post
Traumatic Stress Disorder yaitu sindrom kecemasan, labilitas autonomic,
ketidakrentanan emosional dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih
setelah mengalami stress fisik maupun emosi yang melampau batas ketahanan
orang biasa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap


Anak Bagi Petugas Kesehatan, diakses tanggal 16 November 2017
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011
2. Centers for Disease Control and Prevention, Child Maltreatment
Surveillance: Uniform Definitions for Public Health and Recommended
Data Elements di akses tanggal 16 November 2017
http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/CM_Surveillance-a.pdf.2010
3. Sutrisno,ED KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual Pada Anak di
Tahun 2010 diakses tanggal 16 November 2017 dari
http://news.detik.com/read/2010/12/22/191329/1531095/10/kpai-banyak-
temukan-kekerasan-seksual-pada-anak-di-tahun-2010?nd992203605).2010
4. Mira, Doni. Kekerasan Seksual Pada Anak. Newsletter PULIH Volume
15 p1-8.2010
5. Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC:
Jakarta.2012
6. Reneta Kristiani, Doni, Mira Nurcahyo budi W. Kekerasan Seksual Pada
Anak. diakses tanggal 16 November 2017 dari
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf ).2010
7. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality.
Dalam: Child Abuse and Neglect A Clinicians Handbook. 2nd Edition.
Churchill Livingstone, London. 1999.
8. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and
neglect. Pediatric Rev 2:198, 1998.
9. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in
Hong Kong. Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine
University of Hongkong. 2007
10. Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya.
Diakses tanggal 16 November 2017 dari
:http://www.lcki.org/images/seminar /anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli
2007]
11. Rose, S, J. Bisson & S. Wessely, Psychological Debriefing for Preventing
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review, dalam Cochrane
Database of Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560, 2002

Anda mungkin juga menyukai