Anda di halaman 1dari 8

POSISI INDONESIA DALAM KONSTELASI POLITIK INTERNASIONAL

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai konstelasi politik internasional, perlu untuk kita ketahui
bersama kedudukan Negara-negara dalam percaturan politik internasional tersebut, dimana posisi Negara-
negara tersebut dibagi menjadi empat kategori, yakni:
Negara Pertama merupakan negara nomor satu di dunia yang dapat mempengaruhi politik internasional.
Siapapun atau negara mana pun dapat menjadi Negara pertama asal mempunyai kemampuan
mempengaruhi perpolitikan dunia. Untuk saat ini dunia internasional masih menjadikan AS sebagai
Negara pertama atau superpower.
Negara Pengikut adalah negara yang terikat dengan Negara lain dalam politik luar negerinya dan
sebagian masalah dalam negerinya. Misalnya, beberapa Negara-negara di kawasan timur-tengah terhadap
AS (Mesir terhadap AS), Kazakhstan terhadap Rusia.
Negara Satelit adalah negara yang politik luar negerinya terikat dengan negara lain dalam ikatan
kepentingan, bukan ikatan sebagai pengikut. Misalnya Jepang terhadap AS, Australia terhadap AS dan
Inggris, Kanada terhadap AS, Inggris, dan Perancis, dan Turki terhadap Inggris dan AS.
Negara Independen adalah negara yang mengelola politik dalam dan luar negerinya sesuai kehendaknya
sendiri atas dasar kepentingannya sendiri. Misalnya Perancis, Cina, dan Rusia.
Yang pasti harus diketahui adalah kedudukan Negara pertama (nomor satu). Sebab, kedudukan Negara
pertama merupakan kedudukan yang sangat stategis untuk memahami politik internasional dan konstelasi
internasional. Dalam posisi damai, Negara pertama dalam posisi internasional dianggap sebagai pembuat
kebijakan dan setelah Negara pertama adalah Negara kedua dan Negara mana pun yang memiliki
kemampuan mempengaruhi perpolitikan dunia.
Kemampuan mempengaruhi Negara-negara lainhanya akan dimiliki oleh Negara- negara yang
mempunyai bobot untuk mempengaruhi Negara pertama. Kekuatan pengaruh ini berbeda-beda
tingkatannya sesuai dengan tingkat perbedaan masing- masing Negara dalam hal kekuatannya sendiri dan
kekuatannya secara internasional. Kadar kekuatan Negara, dan sejauh mana bobot internasionalnya, juga
tergantung pada kadar pengaruhnya terhadap Negara pertama dan selanjutnya tergantung pada politik
dunia dari segi internasional. (Taqiyuddin an-Nabhani, Konsep Politik Hizbut Tahrir, HTI Press 2009).
Konstelasi Politik Internasional
Perpolitikan Internasional saat ini memang sedang di dominasi oleh Amerika Serikat, yang notabene di
kategorikan sebagai Negara pertama, dimana AS dikatakan mampu mempengaruhi politik internasional
secara global. AS memiliki kemampuan mempengaruhi perpolitikan dunia. AS sendiri memiliki ideologi
yang khas, yang disebarkannya keseluruh penjuru dunia, bahkan hampir di sebagian belahan dunia
memgadopsi ideologi yang diemban oleh AS, yakni ideologi yang dikenal dengan nama kapitalisme.
Kenapa ideologi AS disebut ideologi kapitalisme, bukan Demokrasi, Liberalisme dan lain sebagainya.
Kapitalisme adalah sebuah ideologi yang berasaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sistem Pemerintahannya disebut demokrasi. Sistem ekonominya disebut system ekonomi kapitalis yang
berbasis bunga (riba). Saat ini kepemimpinan kapitalisme dipegang oleh Amerika Serikat. Kapitalisme
mempunyai berbagai produk pemikiran turunan seperti: Demokrasi, nasionalisme, permissivisme (budaya
serba boleh), hedonisme, kebebasan tanpa batas, feminisme, dan lain-lainl. Karena yang paling
berkembang dan menonjol dalam ideologi ini adalah modal (capital) maka, kapitalisme-lah yang
dijadikan patokan dalam penyebarannya.
Bila kita analisa mengapa kapitalisme ini yang paling menonjol dan dijadikan sebuah ideologi, karena
Penjajahan Ekonomi Kapitalis lebih memudahkan sebuah Negara untuk mempengaruhi Negara-negara
lainnya dan mempertahankan National Interest negaranya melalui penjajahan ekonomi. Penjajahan
ekonomi ini nampaknya terlihat tidak berbahaya dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme dan
imperialisme gaya lama. Namun akibat yang ditimbulkan sangat mengerikan dan sejatinya lebih
berbahaya.
Negara penjajah yang dimotori oleh Amerika Serikat, mempunyai strategi untuk melancarkan serangan
dengan perusak ekonomi (Economic Hit Man). EHM tersebut bekerja dibawah komando NSA (The
National Security Agency) dengan melakukan langkah-langkah strategis:

1
1. Merekrut dan melatih ekonom dan pengusaha untuk dimasukan kedalam perusahan perusahaan besar
dibawah komando NSA. Perusahan tersebut antara lain Monsanto, General Electric, Nike, General
Motors, dll.
2. Gencarnya usaha mereka untuk memperoleh komitmen dari para penguasa negara- negara jajahan untuk
melakukan transaksi kredit dan utang luar negeri (ULN). Dengan mekanisme tersebut menjadikan
negara terjajah mengalami ketergantungan dan tidak mandiri secara ekonomi. Sekaligus dijadikan alat
oleh Barat untuk melakukan penekanan secara politik terhadap negara terjajah.
3. Kegagalan EHM tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Negara negara yang dirasa tidak mampu di
goyahkan oleh EHM maka tugas operasi dialihkan kepada CIA dengan melancarkan pembunuhan,
pengulingan kekuasaan bahkan serangan militer. (John Perkins, Confessions of An Economic Hit Man,
Berrett-Koehler Publishers, 2004).
Semuanya itu dilakukan oleh Negara-negara Barat khususnya AS sebagai negara adidaya mengingat
bahwa adanya:
1. Kebutuhan bahan baku yang besar.
Negara Kapitalis adalah negara industri. Sedangkan bahan baku industrinya sangat minim didapatkan dari
negaranya sendiri, dapat kita lihat fakta bahwa negara- negara barat tersebut sangat miskin SDA. Oleh
sebab itu dari penjajahan atau imperialisme dilakukan untuk kepentingan mendapatkan bahan baku yang
murah bahkan gratis.
2. Kebutuhan akan pasar yang besar.
Industri barat mampu mencukupi kebutuhan 75 % penduduk dunia, sedangkan jumlah penduduk mereka
hanya 25% dari penduduk dunia. Hal tersebut mengakibatkan surplus barang dan jasa yang akan
menumpuk ketika tidak mengalihkan pasar keluar negeri. Oleh karena itu dengan mekanisme pasar bebas,
barang dan jasa dari negara negara barat akan dipasarkan ke negara-negara yang menjadi tujuannya,
khususnya negara-negara berkembang.
3. Kebutuhan akan pasar bebas dunia.
Sebagian besar negara di dunia ini memiliki kebijakan proteksionalime terhadap barang import, yaitu
dengan adanya bea cukai barang yang sangat tinggi. Hal itu dilakukan untuk melakukan proteksi terhadap
barang dan jasa dari negara asing yang masuk kenegaranya. Karena jika tidak ada proteksi tersebut maka
dengan harga yang sama, akan mendapatkan barang dengan kualitas yang jauh berbeda. Karena negara
Kapitalis lebih maju industrinya tentunya barang dan jasa yang dihasilkan akan jauh lebih efisien dan
lebih tinggi kwalitasnya. Sehingga akan dimungkinkan sekali Perusahaan Nasioanal akan mengalami
gulung tikar karena kalah bersaing dengan barang dan jasa negara barat. Proteksi inilah yang akan
dihilangkan dengan melalui mekanisme Pasar Bebas melalui WTO dan GATT.
4. Kebutuhan untuk terus membesar.
Kapitalis tidak mengenal kata cukup. Karena cukup berarti sebuah kegagalan industri. Oleh karena itu
negara-negara kapitalis segera melancarkan strategi jitu yang dikenal dengan Multi Natioanal
Corporation (MNC). Dengan dalih akan membuka lapangan pekerjaan baru di negara terjajah akhirnya
bermunculanlah perusahan-perusahan MNC di negara terjajah termasuk di Indonesia. Hal tersebut jelas
memiliki 3 keuntungan sekaligus, yaitu:
a. Bahan Baku murah dan mudah di dapat;
b. Pasar yang menjanjikan karena perusahaan berada didalam pasar itu sendiri;
c. Tenaga kerja yang murah;
Untuk melancarkan proyek tersebut barat melancarkan strategi PMA (Penanaman Modal Asing). Hal
tersebut akan mudah diterima karena negara terjajah akan menganggap hal tersebut adalah bantuan untuk
memajukan industri di negaranya, padahal dibalik itu semua skenario besar untuk menghancurkan
ekonomi tetap berjalan rapi. Selain itu, Negara penjajah berusaha untuk mendorong negara terjajah untuk
melakukan go internasional dengan maksud agar menjadi perusahaan terbuka untuk dapat dibeli oleh
siapapun termasuk dari negara manapun. Strategi ini dianggap jauh lebih mudah dan murah daripada
strategi sebelumnya. Strategi kedua ini juga berlaku untuk perusahaan-perusahaan milik negara, yang di
Indonesia dikenal dengan BUMN. Untuk perusahaan milik negara ini mereka akan mendorong untuk
melakukan privatisasi dan divestasi, dengan alasan agar perusahaan tersebut menjadi lebih sehat dan lebih
2
efisien.
5. Kebutuhan untuk selalu menang.
Politik ekonomi kapitalis adalah persaingan bebas. Siapa yang kuat dialah yang menang dan menguasai.
Sehingga semakin persaingan itu seru maka itu semakin menghawatirkan negara negara barat. Oleh
karena itu agar senantiasa persaingan tersebut selalu di menagkan oleh Barat, maka dilakukan strategi
sebagai berikut:
Utang Luar Negeri. Walaupun negara kapitalis nampak menolong, tetapi sebenarnya yang
dimasukan adalah virus yang sangat mematikan. Dengan ULN tersebut negara penghutang tidak
memiliki kemandirian secara ekonomi bahkan politik. Barat sangat mudah menekan Indonesia
karena ULN yang begitu besar. Selain itu, memang sudah menjadi strategi barat untuk menjadikan
negara terjajah tersebut memiliki hutang yang tidak akan sanggup dibayar oleh negara
penghutang, sehingga mudah dalam menyetir negara tersebut.
Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan dalih go internasional dan alih teknologi negara barat
memaksakan strategi tersebut kepada Negara-negara terjajah.
Embargo Ekonomi. Hal tersebut dilakukan terhadap negara-negara yang tidak mau tunduk
(membandel) dan berpotensi kuat menjadi pesaing yang seimbang. Oleh karena itu Barat termasuk
Amerika sangat sering melakukan embargo ekonomi, politik, bahkan persenjataan agar
melemahkan negara yang diembargo. Selain itu embargo juga dijadikan hukuman agar negara
tersebut mau kembali naik di atas gerbang kapitalis dalam penjajahan ekonomi global.
Serangan Militer. Jika kalau tiga strategi sebelumnya tidak mampu digunakan lagi, maka dengan
berbagai dalih dan alasan, terutama politik, serangan militer dan invasi dilakukan. Irak, Afganistan,
Somalia, Vietnam, dll bukti kongkrit dari kebijakan yang telah terealisasi. (Abu Harits Al-Amin,
Solusi Islam dalam Menghapus Penjajahan ekonomi, dalam http://khilafah1924.Org).
Semua hal tersebut memang tidak dapat terlepas dari politik internasional yang mempengaruhi Negara-
negara yang saling terikat dengan sebuah kebijakan. Namun dari pemaparan terkait Negara pertama kita
dapat menganalisa bahwasanya Negara pertama AS dan sekutu-sekutunya saat ini menggunakan konsep
yang di dalam teori Hubungan Internasional dikenal dengan sebutan Realisme, setidaknya ada tiga inti
asumsi dasar yang dapat kita temukan dalam konsep realisme ini. Pertama adalah Selfish atau egois yang
dianalogikan pada negara melahirkan statisme yakni konsep anarki sehingga negara cenderung sangat
mengutamakan National Interest-nya. Kedua insting untuk survival atau bertahan hidup yang kemudian
dalam ranah negara adalah tentang National Security. Dan yang ketiga dari kedua asumsi dasar ini
melahirkan karakter haus kekuasaan, sebagaimana yang dikatakan Morgenthau Apapun tujuan akhir
politik internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.
Dimanakah Posisi Indonesia?
Realisme beranggapan bahwa sistem Internasional yang terjadi adalah anarki, dimana tidak ada
kewenangan tertinggi diluar kewenangan negara. Dalam keadaan seperti ini, negara dituntut untuk
melindungi lima nilai dasar dalam sebuah Negara yaitu keadilan, kebebasan, keamanan, kesejahteraan
dan ketertiban. Lima nilai dasar yang harus dipertahankan oleh negara inilah yang mendasari pikiran kaum
Realisme bahwa, dunia internasional ini bersifat konfliktual, dan jalan untuk tetap bertahan maupun
struggle of power adalah dengan tercetusnya perang. Walaupun nyatanya Radical Realisme lebih
menekankan bahwa dalam sebuah perang kepentingan, menjadi pihak yang menang merupakan suatu
keharusan. Sebab-sebab inilah yang menyebabkan Realisme menjadi sangat concern terhadap keamanan
negara. Negara menjadi satu- satunya faktor yang mempunyai andil dalam menjalankan kebijakan luar
negeri dan politik Internasional.
Dan sistem internasional dalam pandangan Realisme adalah curiga dan merasa selalu mawas terhadap
keberadaan negara lain. Hal inilah yang lalu disebut security dilemma. Inilah salah satu poin negative bagi
Realisme, bahwa tidak ada kemajuan internasional, sehingga kaum Realis memandang bahwa moral yang
diakui secara universal tidak akan ada gunanya. Dan dalam menjalan politik serta kebijakan internasional,
kaum Realis menganggap bahwa permainan national interest to struggle of power merupakan strategi yang
paling tepat. Hingga saat ini, Realisme masih eksis dan menjadi relitas di dunia internasional. Negara-
negara besar seperti AS dan sekutu- sekutunya sangat memegang konsep ini sehingga tidak aneh bahwa
semboyan mereka yakni no free lunch digunakan untuk meraih kekuasaan dalam politik internasional.
Sehingga sangat wajar jika dikatakan Politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia dan
3
apapun tujuan akhirnya kekuasaan adalah tujuan terpenting dan cara-cara memperoleh, memelihara dan
menunjukkan kekuasaan menentukan teknik dari tindakan politik. (Hans J, Morgenthau. 1960. Politics
among Nations: The Strunggle for Power and Peace, 3rd edn. New York: Knopf).
Melihat dari paparan di atas, kita sudah dapat menganalisa dan menelaah yang dimana dalam hal ini yang
menjadi pertanyaan adalah dimanakah posisi Indonesia terkait dalam dinamikan konstelasi politik
internasional dan politik internasional tersebut. Padahal jika kita lihat Negeri ini memiliki kekayaan alam
yang melimpah yang mampu menandingi Negara-negara lainnya bahkan bisa saja dengan kekuatan yang
ada mampu mempengaruhi perpolitikan internasional, dapat kita lihat Indonesia memiliki:
Areal hutan paling luas di dunia;
Tanahnya subur, alamnya indah;
Potensi kekayaan laut luar biasa (6,4 juta ton ikan, mutiara, minyak dan mineral lain);
Di darat terkandung barang tambang emas, nikel, timah, tembaga, batubara dan sebagainya. Di
bawah perut bumi tersimpan gas dan minyak yang cukup besar;
Di Papua saja terdapat 25 milyar pon tembaga (ke 3 dunia), 40 juta ons emas (ke 1 dunia) dan 70
juta ons perak, nilainya ditaksir sekitar USD 40 Milyar;
Total potensi pendapatan emas tambang Grasberg adalah 178 US$ miliar.
Total potensi pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 3000 triliun.
Namun, yang terjadi pengelolaan SDA Indonesia rata-rata diserahkan kepada perusahaan asing (UU
22/2001 tentang migas, Perpres 5/2006 tentang kebijakan energi nasional, UU 30/2007 tentang energi,
UU 4/2009 tentang minerba). Lihat dan buktikanlah, tambang di Papua, misalnya, diserahkan kepada PT
Freepot, bagian yang kita terima pun sangat kecil: royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1%,
untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound)
dan untuk perak 1,25%.
Diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dinilai sangat liberal. Pemenintah, melalui
UU ini, seakan melepas tanggung jawab dalam pengelolaan Migas. Dalam UU ini dapat dikatakan bahwa
: (1) Pemerintah membuka peluang pengelolaan Migas kepada asing dan domestik karena BUMN Migas
Nasional diprivatisasi; (2) Pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun
domestik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3) Perusahaan asing dan domestik
dibiarkan menetapkan harga sendiri.
Di Indonesia ada 60 kontraktor Migas yang terkategori ke dalam 3 kelompok: (1) Super Major: terdiri dan
ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan
gas 80% Indonesia; (2) Major; terdiri dan Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex
dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%; (3) Perusahaan independen; menguasai
cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Kita dapat melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua
adalah perusahaan multinasional asing dan berwatak kapitalis. Wajar jika negeri yang berlimpah-ruah
dengan minyak dan gas meradang tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual
keluar negeri oleh perusahaan-penusahaan asing tersebut.
Liberalisasi berbagai sektor strategis di negeri ini sangat sistematis dan rapi. Bahkan langkah demi
langkah dilakukan dengan cermat. Ketika masyarakat negeri ini euporia dengan reformasi, berbagai UU
energi primer telah diubah oleh asing. UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pembuatannya
dibiayai oleh USAID dan World Bank sebesar 40 juta dolar AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan
dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air
pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia sebesar 350 juta dolar AS. (Abdullah Sodik, SP Pertamina,
Pengelolaan Migas Amburadul? Jakarta, 12 Juni 2008).
Demikian halnya dengan listrik. Krisis listrik dengan segala macam pencitraan negatif tentang PLN
merupakan paket liberalisasi energi. PLN terus dicitrakan negatif dan tidak efesien. Dengan kondisi PLN
demikian, menurut UU Kelistrikan No. 20/2002, maka arahnya PLN mi akan diswastakan. Perlu
diketahui, bahwa harga minimal sebuah pembangkit listrik adalah Rp 5.5 triliun. Dengan harga sebesar
itu, dipastikan yang akan membeli pembangkit tersebut adalah swasta asing. (Dirjen Migas, 2009)
Itu merupakan beberapa bukti saja yang terkait kebijakan dalam negeri Indonesia yang dikatakan terikat
4
oleh luar negeri atau Negara lain, lalu bagaimana Indonesia dapat berkonstelasi secara politik dan
melakukan politik internasionalanya, jika kebijakan luar dalam dalam negerinya sangat sarat dengan
keterikatan asing. Padahal di dalam kancah konstelasi politik internasional diperlukan bargaining
posisition dalam rangka mempertahankan national interest suatu Negara guna mendapatkan survival
power. Lalu dari pemaparan diatas dalam kancah konstelasi internasional Indonesia termasuk dalam
Negara mana? Negara pertama, Negara pengikut, Negara satelit, atau Negara Independen?
Jika kita menelaah pastinya politik suatu Negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional,
khususnya rencana pembangunan nasional. Ditengah perkembangan dunia yang ditandai oleh saratnya
kepentingan nasional masing-masing Negara dalam proses negosiasi di tingkat bilateral, regional maupun
multilateral maka semakin penting bagi suatu Negara, khususnya Indonesia untuk menentukan sikap dan
menempatkan posisi yang tepat dan jelas agar tidak terombang ambing di antara pergulatan kepentingan
Negara-negara lain yang saling berebut pengaruh untuk mempertahankan kelangsungan negaranya dan
memiliki hegemoni terhadap Negara lainnya.
Menghadapi konstelasi internasional yang berubah serta transformasi sosial politik di dalam negeri,
perumusan dari pelaksanaan politik luar negeri Indonesia mau tidak mau perlu diperbaharui. Dalam krisis
multi-dimensional ini, politik luar negeri Indonesia diharapkan dapat memainkan setidaknya lima fungsi,
yaitu membantu pemulihan ekonomi, membantu menjaga kautuhan territorial, memelihara lingkungan
regional yang aman dan stabil, menumbuhkan rasa kebersamaan dalam masyarakat yang terpecah-pecah
serta membangkitkan rasa kebanggaan pada masyarakat yang mulai kehilangan kepercayaan diri. (Ali
Alatas, Tatanan Politik Dunia Abad XXI Kompas Juni 2000).
Namun yang terpenting dari ke lima fungsi yang harus dipulihkan oleh Indonesia kedepannya yakni
diperlukan sebuah Ideologi yang jelas. Negara Indonesia merupakan Negara kaya dengan potensi yang
begitu besar, baik itu dari segi SDA maupun SDM nya untuk bisa melakukan suatu perubahan, untuk bisa
mengancam kepentingan dan menciptakan pengaruh yang efektif dalam kancah konstelasi dan politik
internasional, suatu Negara haruslah memenuhi syarat mempunyai potensi-potensi untuk membela diri
dan mempunyai sebab-sebab pengendalian yang sempurna di dalam negara. Metode yang benar untuk itu
adalah menempuh jalan yang semakin menanjak dan meningkat. Yakni Negara tersebut wajib mempunyai
sebuah ideologi yang paripurna dan berdiri sendiri dengan aturannya yang menyeluruh, bukan berasal
dari campuran ideologi-ideologi lain, kemudian ideologi tersebut diserukan keseluruh dunia. Dimulai dari
Negara-negara di sekelilingnya hingga Negara itu mampu melindungi dirinya sendiri dari serangan
intervensi asing di dalam negeri. Negara itu tidak hanya menjaga tapal batasnya, tapi harus terus
memperluas ideologi dan pengaruhnya hingga menyaingi Negara pertama dalam posisi internasional.
Agar suatu Negara mampu menyaingi Negara pertama untuk merebut kedudukan nomor satunya, Negara
itu harus mengubah iklim politik agar bergantung padanya dan menarik Negara-negara lain secara politis
agar berada di pihaknya dan mendukung pemikirannya. Namun, sebuah Negara tidak akan menjadi
sebuah Negara yang memiliki eksistensi secara Internasional, kecuali dengan melakukan interaksi-
interaksi dengan Negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan karena individu dalam sebuah masyarakat
tidak akan memiliki eksistensi di tengah mereka, kecuali ia melakukan interaksi dengan individu-individu
lain. Kedudukannya di tengah masyarakat dan komunitas manusia sesuai dengan pengaruhnya terhadap
interaksi tersebut, demikian halnya dengan sebuah Negara, sebab eksistensi Negara adalah karena
eksistensinya melakukan interaksi dengan Negara-negara lain. Begitu pula kedudukannya akan naik turun
sesuai dengan interaksinya dengan Negara lain dan sesuai dengan pengaruhnya terhadap interaksi dengan
Negara-negara lain itu.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, posisi Indonesia dalam kancah konstelasi dan politik Internasional bisa
dikategorikan sebagai Negara pengikut. Yakni Negara yang terikat dengan Negara lain dalam politik luar
negerinya dan sebagian masalah dalam negerinya. Sebab pendiktean Negara lain, khususnya AS terhadap
Indonesia sangat dominan. Untuk itu dibutuhkan kesadaran politik yang bersifat ideologis dalam melihat
fakta konstelasi dan politik internasional yang terjadi dalam kancah dunia. Maksud dari kesadaran politik
ini adalah memandang dunia tanpa sudut pandang khusus, yakni memandang dunia hanya pada wilayah
lokal atau regional saja. Kesadaran politik tidak akan sempurna kecuali dengan terpenuhinya dua unsur,
yakni adanya pandangan pada dunia secara keseluruhan dan pandangan ini bertolak dari sudut pandang
khusus yang jelas batasannya. Adapun sudut pandang tersebut dapat berupa ideologi tertentu, pemikiran
tertentu, kepentingan tertentu atau yang lainnya.

5
Kesadaran penuh terkait posisi suatu Negara dalam konstelasi dan politik internasional sangat penting
untuk dimiliki, agar sebuah Negara lebih memiliki ketahanan Negara yang mantap dan memiliki power
untuk mempengaruhi Negara lain. Dan yang tidak boleh dilupakan oleh sebuah Negara untuk dapat
mempengaruhi Negara lain dibutuhkan sebuah ideologi yang bersifat independen, paripurna (menyeluruh
dalam segala aspek aturan kehidupan) dan juga dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata, bukan
hanya sebuah angan-angan belaka tanpa sebuah aplikasi. Ideologi tersebut mampu diterapkan dan
disebarkan ke seluruh dunia, dan yang terpenting ideologi tersebut haruslah sebuah ideologi yang benar
yang jika diterapkan akan mampu menciptakan kemaslahatan bagi keseluruhan masyarakat dunia.
Politik Luar Negeri Negara Khilafah
Eksistensi suatu negara akan tampak dalam kiprahnya di percaturan politik internasional. Islam memiliki konsep
yang khas dalam masalah politik internasional. Kerangka politik internasional ini inheren dalam sistem Islam yang
utuh pada sistem negara Islam (Khilafah Islam). Sebab, politik internasional atau politik luar negeri adalah bagian
dari politik Islam, dan politik Islam adalah bagian dari sistem Negara Islam (Khilafah Islam). Artinya, dalam
kerangka inilah kita berbicara tentang politik luar negeri Islam, bukan dalam konteks politik luar negeri negara-
negara Muslim yang saat ini ada, karena mereka tidak menerapkan Islam secara utuh dalam sistem kenegaraannya.
Setidaknya ada enam hal yang bisa kita bandingkan untuk bisa mendapatkan kekhasan politik luar negeri Khilafah,
yakni menyangkut: asas, metodologi, cara pengembanan, dan pelaksana politik luar negeri; pandangan terhadap
negara lain; serta hubungan dengan lembaga internasional.
Asas Politik Luar Negeri
Umumnya, sistem negara bangsa berlandaskan sekularisme. Berdasarkan sejarah, sekularisme mendapati bentuk
konkretnya pada masa renaissance di Eropa. Kebangkitan sekularisme berdampingan dengan hadirnya teori
Machiavelli. Teori ini menyebutkan bahwa tidaklah realistis mengandaikan penguasa-penguasa tertinggi (princes)
harus baik. Adakalanya mereka harus tidak baik. Kebutuhan-kebutuhan akan kehidupan politik sering
mengharuskan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum moral. Penguasa tertinggi dari teori ini berkuasa karena
mereka lihai dalam memanipulasi kekuasaan (Apter, 1996: 76). Artinya, politik luar negeri negara-negara Barat,
sesuai dengan asas negaranya, dibangun atas landasan sekularisme.
Islam tidak mengenal pemisahan antara rohaniwan dan negarawan sebagaimana yang dikenal dalam sekularisme.
Seorang negarawan mesti mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sebagaimana seorang
ulama juga harus mengawasi kehidupan bernegara. Karenanya, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara.
Bahkan Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara. (Kurnia, 2002: 14).
Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum Muslim, termasuk
politik dalam dan luar negeri.
Tujuan Politik Luar Negeri
Akidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara Khilafah Islam, yang mengharuskannya untuk menyebarluaskan
risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik
luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain, baik dalam bidang
politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pada semua bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap
tindakan dan kebijakan.
Yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip hubungan luar negeri adalah
kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman:
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita
dan pemberi peringatan. (QS Saba [34]: 28).
Katakanlah, Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua. (QS. al-Araf [7]: 158).
Semua ini menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam
tersebar luas ke seluruh dunia.
Negara-negara Barat berkiprah dalam politik internasional tentunya dalam peranannya untuk menyebarluaskan ide-
ide sekularisme, demokratisasi, HAM, dll. Amerika Serikat mulai menyebarkan Kapitalisme sejak tampil di
panggung dunia sebagai negara penjajah. Metode yang digunakannya untuk menyebarkan Kapitalisme adalah
dengan melakukan penjajahan (imperalisme), baik penjajahan gaya lama maupun gaya baru. (Zallum, 1996: 4).
Dalam Kapitalisme, motif ekonomi sangat menonjol, seperti kerakusan serta ketamakan Amerika dan Barat yang
kapitalistis terhadap sumberdaya alam di negeri-negeri Islam dan posisi geografisnya yang amat strategis dan
6
istimewa; juga adanya potensi negeri-negeri Islam itu sebagai pasar raksasa bagi produk-produk Barat dan sumber
bahan mentah utama bagi industri mereka. (Zallum, 1996: 11-12).
Metode Politik Luar Negeri
Negara Khilafah Islam menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (tharqah) tertentu yang tidak berubah,
yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan negara di Madinah sampai
keruntuhan Khilafah Islam tahun 1924.
Jihad ditujukan untuk menyingkirkan para penguasa zalim dan institusi pemerintahan yang menghalangi dakwah
Islam. Dengan begitu, dakwah Islam dapat sampai ke rakyat secara terbuka sehingga mereka dapat melihat dan
merasakan keadilan Islam secara langsung, merasa tenteram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam. Rakyat
diajak memeluk Islam dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan tekanan. Dengan penerapan hukum Islam
inilah, berjuta-juta manusia di dunia, tertarik dan memeluk agama Islam.
Salah satu tuduhan keji yang dilontarkan oleh Barat kepada Islam adalah bahwa Islam disebarluaskan dengan darah
dan peperangan. Mereka menggambarkan para pejuang Islam yang memegang pedang di tangan kanan dan al-
Quran di tangan kiri. Memang metode penyebaran Islam adalah dengan jihad (perang). Namun, perang adalah
langkah terakhir, bukan langkah pertama yang dilakukan Khilafah Islam. Negara Khilafah tidak pernah memulai
peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali setelah disampaikan kepada mereka tiga pilihan: memeluk
Islam; membayar jizyah, yang berarti tunduk pada Khilafah Islam; jihad memerangi merekajika dua pilihan
sebelumnya ditolak. Demikian sebagaimana sabda Rasulllah saw. yang diriwayatkan Muislim dari Buraydah r.a.
Kekejian justru tampak dalam politik luar negeri negara-negara Barat. Dengan slogan-slogannya yang menipu,
mereka memalsukan niat busuk mereka dengan kata-kata indah. Penjajahan ekonomi dinamai konsep perdagangan
bebas dan pasar bebas, padahal prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi
perdagangan dan pendapatan negara-negara Barat. Penjajahan politik disebut dengan demokratisasi. Selain itu,
mereka juga menciptakan wilayah-wilayah konflik seperti di Timur Tengah, Balkan, Amerika Latin, dan Asia.
Semuanya dalam konteks mengobarkan perang berkepanjangan di sana serta mempertahankannya sebagai kawasan
yang bergolak dan rawan konflik sekaligus menyibukkan negara-negara sekitarnya.
Pelaksana Hubungan Luar Negeri
Islam memandang, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang lingkup negara. Bagi individu-
individu atau partai-partai sama sekali dilarang melakukan hubungan dengan negara manapun. Meskipun demikian,
mereka berhak berdiskusi, mengkritik negara dan menyampaikan pendapat kepada negara dalam hubungannya
dengan negara luar. Rasulullah saw., misalnya, secara langsung pernah membuat ikatan perjanjian, perdamaian,
pernyataan perang, dan melakukan korespondensi (surat-menyurat) ke luar negeri. Demikian pula yang dilakukan
para khalifah sesudahnya.
Dalam perspektif Barat, hubungan internasional tidak hanya meliputi interaksi yang berlangsung antarnegara, tetapi
juga mencakup segala macam hubungan antarbangsa, kelompok-kelompok bangsa dan individu dalam masyarakat
dunia dan kekuatan-kekuatan, tekanan-tekanan, dan proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak, dan
cara berfikir manusia. (Wiriaatmadja, 1988: 36). Studi hubungan internasional mengacu pada segala bentuk
interaksi antara aktor-aktor, baik yang bersifat negara (state) maupun non-negara (non-state).
Pandangan Terhadap Negara Lain
Islam telah membagi dunia ini atas dua katagori, yaitu Darul Islam dan darul kufur (dr al-harb). Darul Islam
adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dan system keamanan Islam.
Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan sistem
keamanan bukan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim (Lihat: Mitsq al-Ummah). Dasar
pembagian ini adalah hadis Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Sulaiman bin Buraidah r.a:
Serulah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan
atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka (yang merupakan darul kufr) ke Darul
Muhajirin (Darul Islam yang berpusat di Madinah). Beritahulah pada mereka, bahwa apabila mereka telah
melakukan semua itu, mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh kaum
Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban Muhajirin.
Hadis ini adalah sebuah nash yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul Muhajirin agar mereka memperoleh
hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul
Islam, sedangkan selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam diminta
berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul Islam; dan apabila mereka tidak
7
berpindah maka hukum-hukum Darul Islam tidak bisa diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan
adalah hukum-hukum darul kufur.
Di samping itu, istilah darul kufr dan Darul Islam kedua-duanya adalah istilah syariat. Kata dr tersebut masing-
masing disandarkan pada Islamdan harb atau kufr, bukan pada muslimn dan kuffr. Darul Islam mengandung arti
bahwa yang memerintah dalam sebuah negara adalah Islam. Jika agama yang memerintah dalam sebuah negara,
berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini menunjukkan bukti bahwa dunia secara
keseluruhan hanya terdiri dari darul Islam dan darul kufur.
Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan Negara Islam dengan negara-negara
yang dianggap darul kufur, baik mayoritas penduduknya adalah Muslim atau non-Muslim.
Sementara itu, pandangan negara Barat terhadap negara lain bergantung pada kepentingan nasional (national
interest) yang dapat diraih dalam hubungannya terhadap negara tersebut.
Hubungan dengan Lembaga Internasional
Organisasi, yang merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional ini, merupakan wadah atau sarana untuk
melaksanakan kerjasama internasional. (Rudi, 1993: 1). Untuk memahami keberadaan organisasi internasional,
Quincy Wright mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu seni untuk menciptakan dan mengurus
masyarakat luas yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memudahkan kerjasama dalam mencapai tujuan
dan keputusan bersama serta merupakan wadah atau tempat kerjasama hubungan internasional. (Kartasasmita,
1987:3).
Konsep dan praktik dasar yang menjadi inti organisasi internasional modern termasuk diplomasi, perdagangan,
kesejahteraan, aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan, penyelesaian perdamaian, pengembangan hukum
internasional, kerjasama ekonomi internasional, kerjasama sosial internasional, komunikasi dunia, keamanan
bersama, administrasi internasional, dan gerakan-gerakan dalam pemerintahan dunia. Pandangan-pandangan dan
praktik-praktik ini telah ada beberapa ratus tahun sebelumnya. Namun, pada dasarnya, mereka membentuk dasar
bagi keberlangsungan suatu organisasi internasional dan bagi kebangkitan setiap organisasi pada masa yang akan
dating. (Bennet, 1984: 4).
Dalam hubungannya dengan lembaga internasional, Khilafah tidak boleh ikut dalam lembaga internasional maupun
regional yang tidak berasaskan Islam atau menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini
merupakan alat politik negara besar, khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat telah memanfaatkan lembaga-
lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk
menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum Muslim dan negara Muslim. Oleh karena itu, secara syar, hal ini
tidak diperbolehkan. []

DAFTAR PUSTAKA
Mulyana, Budi. (2010). Politik Luar Negeri Negara Khilafah. [Online] Tersedia:
https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/07/11/politik-luar-negeri-negara-khilafah/[16 Desember 2017].

Siti Amelia Q. A. (2013). Konstelasi Politik Internasional: Dimanakah Posisi Indonesia? GLOBAL & POLICY JOURNAL
OF INTERNATIONAL RELATIONS, 1(1). PP. 63-73. Issn 2337-9960.

Anda mungkin juga menyukai